Berabad-abad lamanya manusia telah mengatung di atas gagasan Tuhan. Secara naluriah inilah manusia, mahluk hidup yang diberkahi akal fikiran untuk senantiasa menggagas, menghasilkan ide dan makna. Inilah salah satu sifat pembeda manusia dengan mahluk lain yang ada di muka bumi ini. Selama berabad-abad lamanya kita menerima keberadaan Tuhan dengan tangan terbuka tanpa sempat menanyakan awal darimana tangan ini mulai terbuka ; Benarkah TUHAN hanyalah berupa gagasan belaka ?

Secara historis kita telah melihat bagaimana bumi ini berkembang dan maju dari fase merangkak hingga berlari sampai hari ini dengan kaca mata sejarah berupa naskah-naskah maupun peninggalan masa lalu lainnya.  Perkembangan gagasan Tuhan telah berkembang dari gagasan primitive ke tradisional dan sekarang ke fase modern dimana manusia kini memandang Tuhan dengan layar sains yang malah menjauhkan manusia sendiri dari hakikat Tuhan sebagaimana yang dikatak Aristoteles :  “emanasi semakin melemah ketika semakin jauh dari sumbernya”.  Semakin kita merangkak jauh dari perspektif  awal dalam cara memandang Tuhan semakin kita jauh dari pemahaman hakiki dari eksistensi Tuhan. Karena sains adalah produk dari pemikiran manusia dan sangatlah terbatas untuk digunakan dalam cara memahami Sang Pencipta manusia sendiri.

Sekitar tahun 4000 SM di dataran Afrika telah berkembang sebuah kepercayaan murni yang mengungkapkan keberadaan roh-roh di  atas tanah mereka. Disisi bumi lain di atas dataran Arab hal yang serupa terjadi dalam bentuk kepercayaan bahwa roh itu berupa jin. Pada zaman itu penampakan alam yang tidak wajar dan tidak biasa biasa dengan mudah diungkapkan sebagai hal mistis. Api dipuja dan petir dianggap sebagai bentuk kemarahan Tuhan. Terlepas dari naskah agama inilah yang bisa kita terima dari sejarah. Bahwa Tuhan merupakan hasil dari renungan manusia terhadap alam.

Di tahun 2000 SM di Negara Babylon, Negara yang disebut sebagai pintu gerbang para dewa terdapat sebuah cerita mistikal tentang proses penciptaan dunia oleh para dewa. Pada awal dunia terdapat dua dewa yang bernama Apsus dan Tiamat yang memiliki makna dewa “jurang” dan dewa “kehampaan” lalu lahirlah Marduk, sang dewa “Matahari”. Marduk yang ingin menjadi satu-satunya dewa terkuat saat itu menantang Apsus dan Tiamat untuk bertarung untuk membuktikan eksistensi Marduk sebagai dewa yang terkuat. Di akhir pertempuran ditebaslah Apsus dan Tiamat dan dari penggalan itu Marduk menciptakan Bumi dan Langit serta horizon yang membatasi Laut dan Langit serta menciptakan undang-undang yang mengatur peredaran bumi untuk berputar menyembah Marduk. Mungkin inilah ikhwal dimana Matahari mulai disembah oleh manusia pada zaman itu. Manusia lalu diciptakan dari kekalahan Kingu (Salah satu dewa yang bodoh yang berteman dengan Tiamat). Marduk.lalu menggabungkan darah dewa dan debu bumi sehingga terciptalah manusia.

Pada zaman itu gagasan tentang proses penciptaan dunia mulai berkembang dan semakin menguatkan gagasan Tuhan secara tidak langsung meski pada zaman itu agama masih bersifat politheisme. Namun demikian hubungan kausal antara manusia dan sosok yang dianggap Tuhan sebagai sosok yang ghaib telah menguat dalam diri manusia.

Pada zaman nabi Ibrahim Tuhan dipanggil El-Shadai, sebuah sebutan yang agung untuk Tuhan pada zaman itu. Pada zaman ini tepatnya abad 18 SM agama langit sebagai agama monotheisme mulai muncul dalam tulisan sejarah dan dikuatkan dengan tulisan Injil yang diambil dari karya J salah seorang Rabbi yang hidup di abad 8 SM. Di zaman nabi Ibrahim penentangan terhadap paganisme bermulai dan konflik antara agama langit (revealed religion) dan agama bumi (culture religion) terjadi.

Nabi Musa dalam perjalanannya menyebarkan agama langit (sekitar abad 12 SM) sempat mendapatkan penghiatanan dari kaum-kaumnya. Ketika Nabi Musa beranjak dari Israel ke Gunung Sinai dimana Tuhan (disebut Yahweh oleh J dalam Injil kitab Kejadian) akan menampakkan wajahnya pada saat itu juga masyarakat Israel kembali berpaling menyembah dewa-dewa asal mereka yaitu Baal, Anat dan Asyera dalam cara lama dan bahkan menciptakan patung untuk Yahweh yaitu berupa patung lembu emas yang kemudian di jawab dalam surat Al-Baqarah di kitab suci Al-Quran. Pada zaman itu nama Yahweh atau disebut juga El-Shadai tenggelam dalam tradisi Paganisme.

Perilaku ini dijawab dalam Al-Quran dalam surat  Yusuf : 39, yang berbunyi :
“ Apakah Tuhan –Tuhan yang bermacam-macam itu lebih baik ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?”.

Prakitik paganism atau politheismepun mulai berkembang kembali dengan memanfaatkan celah yang ditinggalkan oleh nabis Musa. Ironisnya para penganut Politheisme ini menyebut bahwa berhala-berhala yang mereka sembah adalah anak dari Allah.  Jelas-jelas ini berkontradiksi dengan sifat Tuhan yang tidak memperanakkan dan tidak bisa diterima oleh penganut agama langit. Peristiwa ini terjadi kembali di zaman kenabian Muhammad yang  tertulis dalam Al-Quran : “Kami tidak meyembah mereka (tuhan-tuhan selain Allah) kecuali agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Al-Zumar : 3.

Antara tahun 800 hingga 200 SM di Cina timbul ajaran Konfusianisme dan Taoisme, di India berkembang pula Hindusme dan Buddhisme. Pada periode ini gagasan Tuhan mulai bersatu dengan berbagai macam corak budaya. Pada tahun 538 SM, Sidharta Gautama mengembangkan Buddhisme yang sayangnya  dalam ajaran ini kita akan menemukan banyaknya pertanyaan dan perenungan deibanding jawaban. Mungkin inilah bentuk baru dalam ajaran agama bumi yang lebih menekankan pencerahan diri sebagai refleksi alam sebagaimana yang dilahirkan oleh renungan secara mendalam.

Sekitar tahun 428 – 322 SM di Yunani ajaran Paganisme ditentang oleh Plato dengan aliran filsafat Iluminasi yang nantinya akan sangat mempengaruhi perspektif dan pemikiran ketiga agama monoteis yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam nantinya. Plato mengembangkan kerangka filosofis tentang dunia arketipal yang telah tercantum dalam mitologi kuno sebelum zaman Plato. Salah satu pemikirannya yang berhubungan dengan ajaran Islam adalah pandangannya tentang pemikiran sebagai proses pengingatan kembali terhadap kehidupan sebelum duniawi.

Keberadaan dan eksistensi Tuhan merupakan gagasan yang tak pernah  berhenti berkembang dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dan dari zaman ke zaman. Gagasan Tuhan nantinya akan semakin dikuatkan oleh para penerus ajaran-ajaran Tuhan di muka bumi. Selama rasa puas manusia belum tercapai baik itu dari segi lahiriah maupun batiniah, manusia selalu mencari hakikat kebenaran dan dasar secara sadar yang akan digunakan sebagai landasan keimanannya dan akan mengalami penyesuaian dengan rasionalitasnya sebagai manusia yang terbatas.