Ilmu bagaikan cahaya bagi manusia yang membawa manusia dari kegelapan, dari ketidaktahuan, dari kekosongan kearah pencerahan sehingga tak ada lagi keraguan dalam diri manusia. Sebagai mahluk yang penuh kekurangan yang dihapuskan ingatannya oleh Allah dimuka bumi, sebagai mahluk yang memiliki fitrah dasar untuk selalu ingin mencari tau hakekat dasarnya sebagai cipataan Allah, kita wajib untuk menuntut ilmu/cahaya.
Sesuai dengan peribahasa yang mengatakan bahwa “banyak jalan menuju Roma”, dalam upaya manusia untuk mengupas rasa penasarannya terdapat banyak opsi dan kita bisa memilih dari mana saja kita memulai. Kita mengenal aliran filsafat rasionalisme dan empirisme di Barat, kita mengenal metode iluminasis milik Plato, kita mengenal metode penucian jiwa para penganut Mistisme. Sayangnya dalam metode-metode tersebut kita malah mendapati diri kita berada di bibir jurang yang bernama keraguan. Pertanyaanpun timbul dari kasus ini : “Sudah benarkah instrument yang kita gunakan untuk menggali ilmu?”
Di Al-Quran tertulis : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari rahim ibumu dalam keadaan kamu tidak mengetahui apapun, dan Dia memberi kamu pendengaran dan penglihatan dan hati (af’idah) agar kamu bersyukur” Al-Nahl : 78.
Dari ayat di atas maka kita mengetahui dalam Islam dikenal 3 modus pencerapan ilmu pengetahuan :
1.    Panca Indera
Mencerap pengetahuan serta ilmu menggunakan kelima indera kita. Semua hasil dari panca indera kita adalah pengetahuan, sebagaimana yang dikatakan Marx bahwa pengetahuan adalah hasil copas dari alam yaitu dengan menggunakan panca indera kita sebagai instrument utama.

2.    Akal Fikiran
Akal adalah organ penting bagi manusia yang membedakan manusia dengan mahluk hidup lainnya di muka bumi ini. Dengan akal-lah kita bisa berfikir dan merenung dan tanpa adanya unsure ini manusia bukanlah sebagai entitas melainkan hanyalah raga yang tak memiliki makna sama sekali.

3.    Penyucian Jiwa
             Jiwa adalah unsure penting dalam entitas manusia sebagai mahluk hidup. Jiwa adalah sebuah bentuk immateri yang bersemayam di raga manusia yang tanpa adanya jiwa itu maka raga tak lebih dari seonggok daging dan tanpa adanya raga maka jiwa tak memiliki untuk persemayaman. Sesungguhnya kedua unsure ini saling melengkapi satu sama lain dan manusia tidaklah lagi disebut mahluk hidup tanpa adanya salah satu dari kedua unsure tersebut.
             Penyucian jiwa adalah melepaskan jiwa dari rvirus-virus duniawi yang bernama materi dari diri kita. Dengan jiwa yang tersucikan kita bisa merasa ilmu-ilmu yang secara tersebunyi  telah ada dalam diri kita yang telah kita lupakan yaitu hakekat dari fitrah manusia itu sendiri.

Point pertama dan point kedua adalah metode pencerapan ilmu dari luar ke dalam yang disebut metode khusulli. Dalam metode ini manusia berusaha memahami dan mengetahui ilmu pengetahuan secara nyata dengan mengekspor kesan-kesan materi yang nantinya akan tersusun secara sistematis dalam akal budi manusia dan menjadi semakin kompleks sebagai suatu ilmu. Metode ini sering digunakan oleh para filsuf Barat dan melahirkan apa yang kita kenal dengan aliran filsafat rasionalisme, empirisme, meterialisme, dan lain sebagainya. Konsekuensi dari penggunaan metode ini adalah hanya akan menghasilkan pertanyaan baru yang berujung ke jurang keraguan tak terhingga. Telah kita saksikan para pemangku  metode ini tidak sedikit adalah orang-orang atheis.

Dan point ketiga adalah metode pencerapan ilmu pengetahuan dari dalam keluar yang disebut metode khuduri. Dalam metode ini manusia mencerap ilmu pengetahuan yang secara fitrahnya berada di dalam dirinya sendiri. Slah satu filsuf yang menggunakan metode ini adalah Plato sang pelopor filsafat illuminasis yang diadaptasi oleh filsuf Timur dengan konsepanya yang terkenal yaitu ‘re-thinking collection”. Para penganut metode ini disebut mistisme, yaitu para sufi yang menganggap bahwa penyucian jiwa adalah satu-satunya tharikh (jalan) menuju kesmpurnaan.

Sedangkan di dalam Islam kita harus mencerap ilmu pengetahuan dengan ketiga modus tersebut artinya harus saling melengkapi antara metode khusulli dan khuduri dan tidak ada kontradiksi  di antara keduanya. Al-Quran merupakan contoh nyata ilmu pengetahuan yang dapat diuji kebenarannya dengan kedua metode tersebut yaitu tentang ruh (az-Zumar : 42), proses penciptaan manusia (al-Mu’minuun : 12-14), atom (Yasin : 36), bukti tenggelamnya Fir’aun (Yunus : 92), Gunung sebagai pasak bumi (an-Naba : 6-7), teori big-bang (al-Anbiya :30) dan masih banyak lagi ayat-ayat yang dapat dibuktikan kebenarannya.

Imam Al-Ghazi suatu ketika pernah mengalami galau berat karena tidak dapat membuktikan keberadaan Allah, hal tersebut terjadi karene metode yang dia gunakan adalah metode khuduri semata. Itu yang menyebabkan dia sempat mendalami mistisme dan menemukan hakekat eksistensi.

Kasus lain yaitu apabila kita menggunakan metode khuduri saja adalah cenderung melakukan bid’ah, sebab ketika kita menganggap penyucian jiwa adalah satu-satunya tarikh dalam mengalami ilmu pengetahuan dengan kata lain kita harus melepaskan keterikatan kita seutuhnya terhadap duniawi maka perspektif beribadah cenderung tertutup. Sedangkan Rasulullah saw pernah bersabda “hiduplah untuk duniamu seakan-akan kau hidup selamanya, dan hiduplah untuk akhiratmu seakan-akan kau mati besok.” Jelaslah dalam menjalani nafas kehidupan di dunia kita harus menempatkan waktu untuk urusan yang bersifat materi dan immateri bagi kita agar terciptanya keseimbangan dalam pencerapan ilmu pengetahuan dan kesempurnaan lahir maupun bathin.

Dalam upaya manusia untuk menuntut ilmu sebagai bekal nantinya, jangan mengenyampingkan salah satu dari unsure penting dalam pencerapan ilmu pengetahuan agar terhindar dari fallacy of logic (kerancuan berfikir). Inilah jawaban dari keraguan manusia yang masih berada di tengah perjalanan ke tingkat kesadaran tertinggi manusia. Apabila metode ini diadopsi secara universal oleh seluruh umat manusia apapun agamanya maka kedamaian dan rahmat takkan terelakkan di muka bumi ini.