Manusia adalah mahluk yang diciptakan penuh dengan kelemahan. Salah satu kekurangan manusia sekaligus kelemahan terbesar adalah hasrat. Bagaikan arus sungai deras yang selalu mendominasi hidup manusia, hasrat menguasai setiap tindakan, sikap dan cara manusia berfikir. Sejak awal manusia telah digulir ke arah jurang yang nyata saat peristiwa buah kuldi dan hingga hari ini peristiwa buah kuldi itu masih saja berulang kali terjadi. Bukan berarti manusia tidak pernah belajar dari pengalaman, manusia telah memahami kesalahan yang dilakukan nenek moyang mereka dan mereka dengan sadar menjerumuskan diri mereka sendiri ke dalam jurang yang sama. Bukan karena jurang yang terjal ini adalah sebuah ketakutan, karena tak mungkin iblis membuat jebakan tanpa dibungkus secara manis dan nikmat. Disinilah Iblis memanfaatkan senjata utamanya, hasrat, yang tersimpan dalam tiap diri manusia.

Kecenderungan manusia untuk selalu memuaskan hasratnya ini disebut Hedonisme. Suatu pemahaman yang mengagungkan kebahagiaan dan kesenangan. Kita dapat menyebut ini seperti sebuah wabah yang menyebar secara besar-besaran di panggung global. Tak pelak lagi seiring berkembangnya tuntutan zaman semakin terbaharui pula kebutuhan manusia. Bila ada orang yang mengatakan bahwa kita beruntung hidup di era dimana semuanya serba praktis dan mudah maka saya akan tersinggung karena menurut saya, tepatnya ini adalah era dimana konsumerisme mengendalikan otak manusia demi memuaskan kebutuhan material  individu yang lalu meracuni kehidupan banyak umat bahkan dengan berkedok ilmu pengetahuan dan teknologi. Semuanya semata-mata untuk saling memuaskan, dan tanpa disadari, manusia kehilangan hakikatnya sebagai manusia di muka bumi ini.

Seakan-akan tidak mungkin terelakkan, bagaimana virus hedon itu merasuk lalu merusak ideologi kita. Bagai tersihir, kita masuk ke zona yang dikutuk dan melupakan fitrah diri sebagai mahluk Tuhan. Seakan-akan janji terhadap kesenangan duniawi menutupi semua kewajiban sebagai mahluk yang harus melaksanakan kewajiban. Dalam sebuah buku saya membaca, seorang biarawati pada awal abad 19 di Perancis mengatakan bahwa manusia diciptakan dengan pilihannya sendiri dan semua umat manusia berhak untuk bersenang-senang sesukanya dengan jaminan dia tidak boleh melupakan kewajibannya sebagai mahluk sehingga tercipta keseimbangan tanpa adanya dominasi duniawi dan surgawi. Saya sangat menghargai argumen wanita ini karena mencerahkan sedikit kegelapan dalam kegalauan saya dan seandainya namanya tertulis di buku yang saya baca akan saya cantumkan disini.



Dalam pandangan saya, kesenangan yang berlebihan adalah akar dari kejahatan dan saya yakin semua orang setuju akan hal itu. Hal buruk banyak lahir dari kesenangan yang berlebihan. Tamak, rakus, sombong dan lain sebagainya kian merasuk pribadi manusia dan merusak fitrahnya. Bila Tuhan ingin manusia menyembahnya kenapa harus diciptakan kenikmatan duniawi ? Bukankah inilah penyebab manusia murtad dariMu Tuhan. Aku akan berspekulasi bahwa kenikmatan yang kau sediakan di dunia harusnya digunakan dengan bijaksana dan mungkin itulah esensi dari konsep ini. Sebab kebijaksanaan membantu kita untuk senantiasa terjaga 3 langkah dari sikap berlebih-lebihan.

Saya tidak akan munafik, saya adalah orang dengan segudang kebutuhan sekaligus membenci pola hidup yang berlebihan. Seandainya saya Rasulullah yang bisa mengendalikan kebutuhannya dengan sangat bijaksana saya yakin kecemasan akut dalam jiwa saya pasti tergantikan kedamaian. Sayangnya saya lahir di era yang salah, segalanya telah tersedia tanpa kita minta, semakin praktis dunia semakin besar hasrat tumbuh dalam diri. Memang benar bahwa lawan paling besar manusia adalah diri manusia itu sendiri. Untuk memenangkan kompetisi dunia saya harus menjinakkan kebutuhan hasrat saya terlebih dahulu.