Galau? Apa yang terlintas di benak kita ketika kita mendengar kata yang satu ini? Cengeng, manja, lemah, banci, melankolis, dan lain sebagainya. Mindset kita pun dengan sendirinya menangkap dan menerima arti galau seperti ini. Galau dijadikan predikat bagi subyek-subyek yang sedang terlihat lemah dan frustasi. Galau bagai virus bagi generasi muda.

Sepertinya itulah opini yang dibangun masyarakat sebagai respon terhadap fenomena galau yang sedang merambah masyarakat Indonesia saat ini terutama bagi generasi muda. Galau mulai dimaknai dengan kesan-kesan jelek. Bahkan galau dikategorikan sebagai penyakit bagi masyarakat. Saya akan mengutip salah satu pernyataan Soekarno : “Jangan pernah sekali-kali melupakan Sejarah”. Nah terus apa hubungannya dengan galau ? Mari kita cari korelasi logis antara galau dan sejarah.

Galau adalah suatu fase pendewasaan diri bagi seseorang. Galau ditandai dengan adanya kebimbangan, pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk, dan masalah di tiap sisi hidup. Tanpa adanya proses “galau” ini, saya jamin seluruh manusia akan terperangkap dalam chaos selamanya. Seluruh manusia akan melakukan tumpah darah di atas bumi ini.  Malah sebenarnya kedatangan galau ini adalah untuk membuka gerbang baru bagi kita untuk berfikir kebih maju dan melatih diri mengasah kemampuan problem solving.

Apa hubungannya dengan sejarah ?

Lembaran sejarah berisi tokoh-tokoh hebat  yang berjasa merubah dunia. Sejarah adalah bahan refleksi besar bagi kita untuk merenungkan para pahlawan yang telah mengantarkan kita dari Negara yang terjajah ke Negara yang merdeka dan jaya. Sejarah pula yang memberi kita pengetahuan tentang masa lalu yang kacau balau, yang lalu di tertibkan oleh pahlawan-pahlawan sejarah. Pahlawan yang senantiasa galau melihat ketidakadilan dan penindasan terjadi dimana-mana, yang lalu dengan kegalauan luar biasa ini lahirlah apa yang kita alami hari ini, kemerdekaan.

Ini yang harusnya tidak kita hindari. Galau sebenarnya merupakan instrument bagi kita untuk merangsang kekuatan potensial yag tersembunyi di dasar diri kita. Galau adalah kunci untuk mengeluarkan singa yang tertidur dalam jiwa kita, Singa yang menunggu untuk disadarkan. Semua guru spiritual, shaman dan para nabi mengalami ini secara luar biasa. Sidharta Gautama harus mengalami kegalauan terlebih dahulu untuk mengalami pencerahan dan akhirnya turun ke ranah social membawa kepemimpinan dan kebijaksanaannya . Begitu juga Rasulullah yang merenungi kegalauannya di gua Hira dan lalu turun melahirkan peradaban Islam yang jaya dan mencakup seluruh sisi Bumi.

Galau bukanlah kutukan, bukan pula penyakit kronis yang harus kita hindari. Galau adalah sebuah proses dimana mental kita akan diuji yang kemudian diasah ke perubahan yang lebih baik. Galau lah yang mengeluarkan kita dari penjara gelap tanpa kemerdekaan. Tapi ironisnya di zaman yang telah maju melebihi tuntutan zaman ini, galau yang dialami oleh para generasi muda malah melahirkan keprihatinan bagi kita akibat terjadinya fallacy of logic dalam memaknai dan menafsirkan galau ini sendiri. Karena sebenarnya galau merupakan jalan ke arah jati diri sejati, pencarian dan perenungan adalah bekal utama ke ujung tanpa akhir, bukan malah terkatung-katung dan menunda untuk dewasa. Galau lah yang menuntun manusia menuju kekuatan yang kekal, yang tak akan termakan oleh waktu dan abadi dalam lembaran sejarah.