Karakteristik kejayaan adalah
pasti akan runtuh. Setelah suatu kejayaan dipangku oleh Negara, dalam kurun
waktu tertentu kejayaan itu pergi dan menandai kemerosotan imperial. Itulah
yang dialami Iran pada awal abad 18. Hal
ini disadari Britania Raya yang kemudian memanfaatkan situasi untuk kepentingan
politik setelah degradasi dan krisis-krisis politik merebak di negeri Persia
tersebut.
Meloncat satu abad dari
runtuhnya imperial Persia. Di tahun 1953 mungkin merupakan tititk awal dimana
Iran kembali maju sebagai Negara yang berani di arena politik internasional.
Terjadinya kudeta terhadap presiden Mossadeq oleh AS dan Britania Raya
merupakan langkah strategis para kapitalis untuk menggenggam kekuasaan politik
di atas Iran walaupun nantinya peristiwa kudeta ini akan berefek boomerang kepada
AS dan Britania Raya nantinya.
Campur tangan Amerika di tengah
geopolitik Iran melahirkan monster baru yaitu dengan berkuasanya Shah terakhir
sebagai presiden yang menjabat tahun 1965 – 1975. Presiden Shah mendeklarasikan
bahwa dirinya adalah perwujudan dari sang legenda Persia, “Alexander”, yang
lalu dengan dengan lantangnya dia menyarakan kebangkitan kaisar minyak. Masa kepemerintahan presiden Shah ini membuat
pihak Barat kewalahan dengan kebijakannya yang controversial. Dia sempat menaikkan harga
minyak empat kali lipat yang sangat diluar dugaan pihak Barat padahal
sebelumnya pihak Barat telah memperhhitungkan kenaikan yang hanya dua kali
lipat serta strategi-strategi yang nantinya digunakan untuk mengantisispasi
krisis social politik. Menyadari awal dari krisis global, Britania Raya
bersusah payag menjilat presiden Shah untuk mengambil simpati dari Iran.
Disaat Britania Raya melakukan
pendekatan secara emosional dengan Iran, AS lebih suka melakukan hubungan yang
bersifat pragmatis antara AS dan Iran dengan menyediakan keperluan-keperluan logistic
yang menguntungkan bagi Iran. Adanya hubungan kerjasama dalam bidang logistic membuat
Iran membutuhkan tenaga ahli yang memadai sesuai dengan alat-alat yang dianggap
terlalu canggih bagi Iran pada saat itu.
AS lalu mengirimkan tenaga ahli secara besar-besaran ke Iran yang membuat
lonjakan penduduk. Dalam beberapa tahun saja jumlah penduduk AS di Iran
meningkat 600%. Konsekuensi yang tidak bisa dihindari adalah adanya benturan
budaya yang secara kontras antara budaya Barat dan budaya Timur yang akhirnya
melahirkan suatu penyakit bernama xenophobia (rasa takut terhadap orang asing).
Benturan ini lalu merangsang gerakan reformis dan nasionalis religious terhadap
penduduk AS yang dinilai melampaui batas
kesopanan budaya Timur dan menumbuhkan mitologi historis lintas budaya.
Era barupun digagas oleh
Ayatullah Khomeni. Saat itu beliau dipandang sebagai satu-satunya solusi bagi polemic
politik Iran. Setelah kembali dari diasingkan ke Perancis, Ayatullah Khomeni
melakukan gerakan-gerakan reformis yang bercorak religious-nasionalis.
Puncaknya adalah krisis penyanderaan yang diprakarsai oleh gairah revolusi Iran
selama 444 hari dan berakhir setelah
presiden Ronald Reagen dilantik sebagai presiden baru di AS.
AS yang merasa Iran mulai keluar
dari cengkeraman kapitalisasinya merencanakan aliansi busuk dengan Irak dengan
momentum isu terorisme yang dituduhkan pada organisasi Islam radikal,
Hisbullah. Organisasi Hisbullah diduga merupakan miniature Iran. Hal ini
dijadikan alibi bagi AS untuk mengintimidasi Iran. Sayangnya, Irak yang
merupakan boneka perang AS pada waktu itu, akhirnya menjadi korban penghianatan
ketika tujuan AS telah tercapai. Saddam Hussein dicap sebagai diktator yang
harus dimusuhi masyakarat Internasional.
Dalam bayang-bayang tragedy WTC
setelah masa pemerintahan Bush, hubungan Iran dan AS kembai mengalami dinamika kearah
kolaboraasi. Iranpun berkoalisi dengan AS ketika melakukan invasi ke
Teheran-Palestina.
Namun kolaborasi ini tidak
bertahan untuk waktu yang lama. Sikap Bush yang seakan cenderung membentuk aura
konfrontasi karena kebenciannya terhadap budaya Timur kemudian bermain di balik
isu nuklir Iran untuk kembali memantik api permusuhan. AS yang phobia terhadap
ancaman kekuatan nuklir mengemukakan banyak pendapat di hadapan masyarakt
Internasional dengan tujuan mempengaruhi dunia agar sama-sama membenci Iran.
Sayangnya upaya itu tidak berhasil karena Uni Eropa memperlihatkan diri
tertarik untuk bernegosiasi dengan Iran.
Majunya Ahmadinejad sebagai
presiden Iran tahun 2005 setelah masa kepresidenan Khatami tidak merubah
apapun. Ahmadinejad yang merupakan salah satu actor penting dalam peristiwa krisis
penyanderaan tentunya memiliki akar ideology yang kuat dan rasa juang yang
besar karena muak dengan perilaku neo-kapitalisme. Poros setan yang diwariska
dari masa pemerintahan Khatami menjadi lebih kuat di tangan Ahmadinejad.
Berbagai negosiasi diplomatic dilakukan Uni Eropa untuk membujuk Iran melakukan
pengayaan uranium yang tak kunjung juga menghasilkan hasil sehingga hubungan
diplomasi Iran dan Uni Eropa berhenti pada tahun 2006.
Pada perjalanan panjang
supremasi hukum Iran yang masih akan berlanjut sampai saat ini dan nanti,
konsistensi dan militansi terhadap penolakan gerakan kapitalisme merupakan
langkah yang berani di tengah kekacauan dunia yang sudah hamper tidak mungkin
lagi dikendalikan. Berkaca pada refleksi sejarah ini, marilah kita kembali
merenungkan kemana arah ideology kita akan kita bawa. Apakah kita akan menjadi
Amerika Serikat yang kapitalis, atau Republik Islam Iran yang idealis.
Salam !
0 Komentar