Oleh: Triwardana Mokoagow

Sejak zaman dahulu kala, sebelum manusia mengenal yang namanya aksara, manusia ada saat itu telah memiliki sistem kepercayaan yang tegas. Ini dibuktikan lewat berbagai literatur sejarah oleh Karen Armstrong, seorang sejarahwan sekaligus filsuf besar dari Barat dalam  bukunya The History Of God, manusia di dataran Afrika pada 4000 tahun sebelum Masehi sudah memiliki kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat immateri. Manusia  pada dataran Afrika memiliki kepercayaan akan roh-roh yang dianggap sebagai pelindung kehidupan mereka. Bentuk kepercayaan ini di kemudian hari kita sebut sebagai animisme yaitu kepercayaan terhadap roh-roh yang mendiami suatu tempat atau benda. Sehingga Karen Armstrong mengatakan bahwa agama adalah suatu keniscayaan bagi manusia. Manusiapun disebut sebagai homo religius (mahluk yang beragama)

Di Indonesia sendiri kita mengenal Nurcholis Madjid, seorang cendekiawan Muslim yang melegenda dalam perjalanan wacana-wacana keislaman yang telah dilaluinya sejak pada akhir abad 20 hingga awal abad 21. Cak Nur (sapaan akrab Nurcholis Madjid) mengatakan bahwa manusia tidak akan bisa hidup tanpa adanya kepercayaan. Bahkan seorang atheistpun memiliki kepercayaan sendiri, kepercayaan bahwasanya Tuhan itu hanya imajinasi manusia, kenyataan bahwasanya alam semesta raya ini adalah hasil dari mekanisme alam bukan merupakan ciptaan dari sesuatu yang biasa kita sebut Tuhan.

Di penghujung abad-abad pertengahan di dunia Barat, sistem kepercayaan ini mulai runtuh berkembang seiring dengan lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap gereja-gereja yang diketahui merupakan rekan para kolonialis dan imperialisme. Kapitalis pada abad pertengahan di Barat rupanya bersembunyi di balik nuansa Gereja untuk menutupi tangan-tangan terselubung mereka yang akhirnya telah memeras darah dan air mata masyarakat pada masa itu. Barangkali inilah yang menyebabkan ideologi komunisme terpicu untuk tumbuh oleh pemikir besar sepanjang zaman, Karl Marx.

Melihat realitas bahwasanya masyarakat tertindas tidak menyadari ketertindasan mereka dikarenakan doktrinisasi yang disuntik oleh gereja Barat, Marx kemudian dengan lantang mengatakan kerisauan terhadap realitas tersebut dengan mengatakan bahwa “agama adalah candu masyarakat (religion is opium for the people)”. Bahkan filsuf yang hidup sebelum Marx ada yang berpendapat demikian. Melihat kenyataan bahwa masyarakat telah dijadikan budak tanpa secara langsung mempredikatkan kata budak tersebut kepada masyarakat, Nietzche kemudia pergi ke gereja dan melihat Tuhan tidak kunjung juga bangun dari tiang salibnya. Nietzche kemudian lari ke tengah pasar dan berteriak “Tuhan telah mati!”.

Seiring dengan bergulirnya waktu, masyarakat mulai kehilangan kepercayaan dan harapan yang awalnya mereka gantung pada tiang-tiang agama. Manusia mulai mengalami kemapanan secara mental dan secara berpikir. Keyakinan-keyakinan terhadap sesuatu yang immateri kemudian luntur oleh realitas yang begitu kejam. Benarlah apa yang dikatakan Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). Nietzche dan Marx telah menyadari bahwa agama mulai dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan dan menciptakan tirani di Eropa pada khususnya dan dunia pada umumnya. Nietzche dan Marx mulai menyadari bahwa suntikan-suntikan mitos yang telah berkecambang dalam alam mental manusia telah menutup mata, telinga dan indera peraba mereka bahwasanya mereka dininabobokan agar supaya mereka tak menyadari bahwa saat itu juga sedang ditindas.

Meskipun isu terhadap ketidakpercayaan agama ini memanas pada sekitar abad pertengahan di Eropa, sesungguhnya persoalan ini telah berakar sejak pemikiran ibnu Rusyd masuk dalam dunia Barat.  Akar dari isu sekulerisme telah ada jauh sebelum Nietzche dan Marx mengutuk sistem Monarki. Persoalan ini berakar dari kesalahpahaman dunia Barat dalam menginterpretasikan pemikiran Ibnu Rusyd (Averros) dalam paham rasionalitasnya. Dunia Barat memahami bahwa di dunia ini terdapat kebenaran ganda hingga melahirkan sebuah bentuk logika baru, yaitu logika paradoksikalitas. Logika yang mengakui mengakui kebenaran dalam dua hal yang bertentangn. Dua kebenaran yang dimaksud oleh Barat disini adalah kebenaran dalam ilmu pengetahuan dan kebenaran agama yang kata mereka tidak dapat disatupadukan. Padahal maksud dari Ibnu Rusyd yang sebenarnya adalah bahwa kebenaran sebenarnya tunggal hanya saja kemampuan manusia untuk memahami dan mempelajarinya berbeda-beda.

Isu sekulerisme atau pemisahan antara ilmu pengetahuan dan agama pun merebak. Pada abad-abad selanjutnya, sistem Pemerintahan Monarki telah dicurigai tertunggangi oleh kepentingan-kepentingan imperium untuk mencegah kemajuan ilmu pengetahuan dengan menyumbat pemikiran pemikiran para saintis seperti Charles Darwin dengan teori evolusinya yang mengatakan bahwa nenek moyang manusia adalah kera. Akan tetapi karena desakan-desakan revolusioner maka runtuhlah sistem pemerintahan Monarki di Barat.

Dengan berakhirnya zaman kerajaan di Eropa, arus perkembangan dan kemajuan teknologi serta ilmu pengetahuan seakan-akan meledak dan tak dapat dibendung lagi oleh manusia. Masyarakat internasionalpun termanjakan dengan modernisasi. Salah satu pemacu modernisasi ini adalh karena sumbangan dari sains. Kemajuan yang begitu pesat dari sains inipun mulai memanaskan isu sekulerisasi dengan berdatangannya pewaris-pewaris paham atheisme yang salah kaprah karena seringkali mereka mengutip perkataan Karl Marx, Nietzche dan Darwin yang telah mendahului mereka. Perlu diketahui bahwa Karl Marx dalam akhir hayatnya masih memeluk agama asalnya, Yahudi. Begitupula dengan Nietzche dan Charles Darwin yang meninggal dengan status sebagai seorang Kristen apalagi Nietzche yang dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama. Sekali lagi masyarakat yang mengatakan bahwa diri mereka atheist pada zaman ini telah salah kaprah dalam memahami konteks perkataan kontroversial dari tokoh-tokoh yang menjadi pijakan mereka sebab perkataan yang terlontar dari Marx dan Nietzche bukanlah dilontarkan pada agama, akan tetapi pada realitas sosial yang tidak beres pada zaman mereka. Sedangkan Darwinian sendiri sampai hari ini tidak pernah menemukan koneksi yang memutuskan rantai evolusi dari kera menuju manusia.

Akan tetapi salah kaprah akan penafsiran pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh tersebut masih terus berlanjut, sekulerisme seakan-akan menggali jurang ilusi yang begitu lebar memisahkan tataran agama dan tataran ilmu pengetahuan, ketidakpercayaan manusia terhadap agamapun membesar dan tidak dapat dihindar. Akal seakan-akan telah menjadi Tuhan baru dan teks-teks suci dalam kitab-kitab agama mulai dijadikan pajangan dan sekedar menjadi buku dongeng yang dibacakan tiap orang tua menjelang anaknya tidur.

Akan tetapi, ada seorang atheis yang bernama Bertand Russel dengan berani menyatakan secara jujur mengenai kekagumannya sekaligus pengakuannya terhadap dunia Islam di Timur Tengah: “Sains, sejak masa bangsa Arab, telah mempunyai dua fingsi: (1) untuk memungkinkan kita mengetahui banyak hal, dan (2) untuk memungjinkan kita melakukan banyak hal. Orang-orang Yunani, kecuali Archimedes, hanya tertarik kepada bagian pertama (dari dua fungsi itu). Mereka punya minat banyak tentang dunia, tetapi, karena orang beradab hidup enak atas kerja budak, mereka tidak punya minat kepada teknik”.

Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun seorang Bertand Russel mengaku sebagai atheis, dia juga mengakui bahwa dimensi lahiriah (duniawi) tidak dapat mengakomodir masyarakat dalam menjaga moralitas mereka. Pendapat ini juga sejalan dengan suatu penelitian bahwa semakin tinggi kualitas teknologi di suatu kota, maka akan semakin tinggi tingkat amoral yang terjadi dalam kota tersebut. Seperti yang dapat dijadikan contoh adalah Thailand yang telah melegalisasi prostitusi atau juga ada Jepang yang mengizinkan industri porno di negara mereka tetap eksis.


Bertand Russel mengatakan bahwa membuktikan bahwa Tuhan ada dan membuktikan bahwa Tuhan tidak ada, merupakan suatu hal yang mudah. Akan tetapi pada akhirnya dia lebih memilih untuk tidak beragama. Dia menunjukan sikap bahwa dia telah memilih untuk tidak berusaha membuktikan Tuhan, dalam artian dia telah gagal dalam mengenal kodratnya sekaligus menghianati jalan yang dia buka sendiri untuk dapat mengenal Tuhan. Akan tetapi sebagai seorang atheist, penulis menghargai keberanian dia untuk jujur mengakui peradaban yang dibangun oleh agama Islam baik dalam bidang moral maupun ilmu pengetahuan.