Oleh: Triwardana Mokoagow

Akhirnya setelah berbulan-bulan berlalu, tidak terasa hari ini (5 November 2013) kembali kita akan memulai tanggal-tanggal baru dalam kalender Hijriah. Hari ini bertepatan dengan momentum tahun baru Islam, perlu kiranya kita kembali menggali semangat yang termuat dalam momentum ini. Sebab, tahun baru Islam bukan sekedar kita lewati dengan perayaan, bukan pula sebatas seremoni-seremoni semu yang ketika hari ini telah lewat, seakan-akan semangat kita dan ingatan kitapun ikut memudar melewati momentum ini.

Titik permulaan hitungan kalender Islam yang kita pakai hari ini adalah hasil dari tindakan Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththab untuk menandai peristiwa hijrah Rasulullah Muhammad saw yang bertolak dari Mekkah menuju Yatsrib (sebuah kota yang hari ini kita kenal dengan nama Madinnah). Merupakan tindakan yang tepat dengan menentukan awal perhitungan kalender Hijrah lewat peristiwa hijarh, dan bukannya berdasarkan hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Sebab agama Islam bukanlah agama kultus tapi agama Ilahi.

Tahun baru Islam bagaimanapun tidak akan pernah terlepas dari peristiwa Hijrah Nabi Muhammad saw. Saat itu Nabi Muhammad mendapatkan wahyu bahwasanya merupakan waktu yang tepat untuk melakukan hijrah. Peristiwa tersebut juga dilandasi dengan kenyataan bahwa kaum kafir Quraisy mulai menunjukan sikap intoleran yang begitu tajam dan mulai memperlihatkan goyangnya kondusifitas akan kemanan kaum Muslim di kota Mekkah.

Disisi lain, tahun-tahun itu juga merupakan tahun-tahun yang menghinggapi Rasulullah dengan begitu banyak kesedihan. Mulai dari kematian istrinya yang tercinta, Siti Khadijah, dan juga kematian pamannya yang bernama Abu Thalib. Selama Rasul menetap dan menyebarkan ajaran Islam pada tahun-tahun awal kenabiannya, satu-satunya orang yang melindungi Rasulullah dari kecaman-kecaman masyarakat Mekkah adalah sang paman, Abu Thalib. Dikarenakan Abu Thalib merupakan salah satu pemimpin suku yang cukup disegani di masyarakat Mekkah, sang paman kemudian berusaha menjaga dan melindungi Rasulullah yang merupakan titipan dari temannya sekaligus ayahanda Rasulullah.

Namun sebenarnya, yang menjadi dasar dari hijrahnya nabi, adalah intruksi langsung dari Tuhan untuk berpindah dari satu titik yang buruk menuju ke titik yang lebih baik. Sehingga semangat hijrah yang sebenarnya adalah semangat dari keburukan menuju kebaikan diri maupun kebaikan komunal.

Hijrah sendiri bila kita definisikan secara bahasa (secara literatur), kata ini berasal daripada perkataan "Hajara-yahajiru-uhjur" bermakna:"tinggalkan" atau "menjahuinya" (tidak melakukan segala perbuatan keji). Sesuai dengan salah satu firman Allah yang bermaksud: "dan perbuatan dosa, tinggalkanlah! " (surah al-Muddathir:5). Sedangkan menurut Ali Syari’ati, migrasi atau hijrah (tentu saja hijrah di jalan Allah) adalah pemutusan keterikatan masyarakat terhadap tanahnya. Artinya, pergi meninggalkan tanah kelahirannya atau kampung halamannya menuju tempat yang lebih luas. Sehingga bila kita komparasikan dan mengambil kesimpulan serta dikaitkan dengan peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad saw, maka hijrah adalah suatu perpindahan untuk melepaskan keterikatan dari kekejian dan dosa yang tentunya menuju kebaikan.

Perpindahan ini tentu saja membuahkan hasil yang baik dan bahkan merupakan titik awal dari lahirnya suatu peradaban yang baru, peradaban yang kemudian meberikan pencerahan kepada dunia Barat saat itu yang sedang mengalami masa-masa kegelapan (dark ages). Di Yatsrib yang kemudian menjadi Madinnah, adalah awal dimana inovasi-inovasi segar muncul. Katakanlah Piagam Madinnah (Madinnah Charters) yang merupakan konstitusi dalam arti modern pertama. Lalu ada juga inovasi seperti Hukum Humaniter Islam yang telah ada bahkan 12 abad sebelum adanya Hukum Humaniter Internasional. Ini menunjukan bahwa hijrah bukan hanya dimaknai dengan perpindahan dari kondisi yang buruk menuju kondisi yang lebih baik atau perlepasan dari belenggu tradisi masyarakat yang begitu mengikat, hijrah juga dimaknai sebagai perpindahan dari ketidaktahuan menuju kemajuan ilmu pengetahuan.


Lantas bagaimana kita mau menyelami semangat yang terkandung dalam tahun baru Islam ini? Apakah akan kita lakukan dengan model budaya hedonis khas Barat dengan membakar petasan maupun kembang api? Apakah akan kita lewati dengan membuat status di media sosial atau membroadcast kawan-kawan kita di BBM? Atau hanya sekedar membuat profile picture yang berhubungan dengan tahun baru Islam ini? Satu hal yang perlu kita sadari, bahwa uang yang kita habiskan untuk itu tidak bisa bertahan hingga keesokan harinya. Satu-satunya yang menjaga semangat hijrah yang terpendam dalam kalender Islam kita adalah dengan berkontemplasi terhadap sisi negatif yang masih menghinggapi kepribadian diri kita sebagai individu dan identitas kita sebagai bagian dari masyarakat. Kemudian dari kontemplasi itu kita menuju sisi yang lebih positif, artinya ketika kita telah selesai pada tataran ide kita kemudian harus terjun ke tataran realitas yang lebih konkrit. Mungkin inilah yang harus dijawab oleh para pemuda terutama mahasiswa hari ini yang mulai kehilangan progresifitas mereka sebagai agent of changes.