Oleh: Triwardana Mokoagow

Saya telah beberapa kali berdiskusi dengan kawan-kawan saya dengan topik ideologi dunia khususnya ideologi komunis dan rata-rata dari mereka ternyata mengidetikan komunis dengan atheist. Begitu pula dalam forum diskusi di kelas sewaktu saya kuliah dulu, salah seorang teman pernah melempar statement bahwa komunis dilarang di Indonesia karena menyebarkan atheisme. Lebih aneh lagi, salah seorang teman saya pernah mengatakan bahwa orang-orang komunis menganut Darwinisme. Merupakan suatu kesesatan berpikir menurut saya, karena tentulah beda konteks antara komunis yang merupakan pandangan dunia dalam konteks ekonomi politik dan perbedaan kelas, berbeda dengan paham atheisme yang merupakan konsep dalam tataran teologis. Lebih lucu lagi ketika komunis ini dikaitkan dengan Darwinisme yang merupakan pembahasan mengenai teori evolusi manusia. Berangkat dari keinginan untuk memperbaiki kesalahan umum dalam masyarakat yang telah terbiasa melakukan cocoklogi seperti ini, sayapun mencoba menguraikan kesesatan berpikir dari pengidentikkan komunis dan atheis ini.

Komunis adalah suatu pandangan dunia yang berusaha untuk menghapuskan sistem perbedaan kelas serta melakukan perubahan dalam tataran ekonomi yang terkonsentrasi oleh penguasa. Paham komunis digagas oleh Karl Marx yang kemudian dikembangkan oleh Lenin di Rusia sehingga paradigma yang kita dapat secara historis adalah komunisme merupakan gabungan dari Marxsisme dan Leninisme. Komunis bertujuan untuk menghapus hak kepemilikan secara individual sehingga hak kepemilikan materi menjadi hak kepemilikan bersama dengan negara sebagai wasitnya. Namun sayangnya tujuan dari ideologi ini dipandang hanya sebagai ideologi utopia (angan-angan) saja. Bahkan ketika Lenin berada pada awal kepemimpinannya dia tidak langsung menerapkan ideologi komunis secara penuh tapi masih menggunakan sistem “kepemilikan modal” dan “buruh” sebab tidak bisa dipungkiri bahwa transisi pergantian ideologi tidak bisa terjadi hanya dalam satu hari.

Sedangkan atheist adalah suatu kepercayaan bahwa Tuhan itu tidak ada. Bila kita definisikan secara bahasa, kata atheist terbagi atas dua yaitu “a” yang artinya “tidak” dan “theist” yang artinya adalah “agama”, sehingga atheist dapat dipahami sebagai tidak beragama. Berbeda dengan agama Bumi dan agama langit yang merasionalisasikan kepercayaan mereka dengan hal-hal yang berbau spiritual dan mistis, atheist merasioanalisasikan kepercayaan mereka dengan cara-cara yang materialistis. Misalnya ketika agama langit berbicara tentang teori penciptaan dalam konteks ketuhanan, maka atheist berbicara tentang teori penciptaan dari perspektif sains dengan argumen-argumen kosmologis mereka.

Barangkali akar dari pendapat umum bahwa komunisme sama halnya dengan atheist adalah berasala dari statement Karl Marx yang mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat (religion is opium for the people). Marx mengkritik fenomena realitas sosial yang direkayasa oleh para tokoh gereja pada zamannya yang seringkali menggunakan dalih agama untuk melegalkan penindasan dan keterpurukan. Masyarakatpun dihegemoni dengan sedemikian rupa sehingga kepasrahan atas perintah agama menjadi pelarian utama. Tokoh-tokoh gereja pada saat itu memberikan masyarakat pilihan-pilihan yang ujung-ujungnya hanya akan menguntungkan pihak gereja sendiri yang mensponsori para pihak imperialisme yang sama-sama bertujuan untuk meredam kemajuan ilmu pengetahuan demi agar supaya masyarakat masih bisa dikendalikan oleh para tuan tanah. Sebab para imperialis menyadari, bahwa untuk mempertahankan kekuasaan mereka terhadap masyarakat adalah dengan menjadikan agama sebagai alat untuk membodohkan masyarakat. Karl Marx pun menyimpulakan bahwa agama telah mengalienasi masyarakat untuk patuh dan dipaksa buta terhadap ketertindasan dihadapan mereka.

Ideologi komunis berasal dari pemikiran-pemikiran Karl Marx dan Lenin. Dalam konteks atheist adalah komunis, telah terbantahkan karena lebih tepatnya akar atheist dalam konteks ini berasal dari Marxisme bukan komunisme. Bahkan interpretasi terhadap relevansi atheist dan Marxisme ini juga masih merupakan salah kaprah sebab statement Karl Marx adalah menukik realitas sosial yang terjadi pada zamannya, sehingga argumen tersebut bersifat partikular bukan universal. Bahkan Karl Marx sendiri tidak pernah mengatakan bahwa dirinya atheist dan dia mati dalam keadaan beragama, yaitu agama Yahudi.

Saya pikir sampai disini kita sudah mulai mengarah ke satu arah yaitu frame yang sama. Pembuktian lain yang membenarkan bahwa komunis dan atheis adalah hal yang berbeda, bisa dilihat di Indonesia yaitu adanya sosok Tan Malaka yang merupakan aktor komunis internasional akan tetapi dia merupakan seorang muslim yang taat dengan latarbelakangnya yaitu lahir dan dibesarkan dalam tradisi Minangkabau dengan corak keislaman yang begitu kental. Ada juga Haji Misbach atau si Haji Merah yang membuktikan bahwa komunis dan atheist merupakan dua hal yang terpisah secara prinsipil sehingga arah komunisme bisa sejalan dengan pemahaman dan tujuan agama. Di Inda, orang-orang komunis juga dirangkul bahkan dipimpin oleh seorang muslim. Begitu juga di Amerika Latin yang ideologi komunis di negara tersebut begitu mempengaruhi ajaran Kristen sehingga akhirnya lahirlah suatu konsepsi yang disebut teologi pembebeasan.

Salah seorang dosen saya pada mata kuliah Kewarganegaraan pernah mengatakan bahwa upaya Soekarno untuk menggabungkan agama dan komunis dalam NASAKOM (Nasionalis, Agamis dan Komunis) adalah tidak mungkin terjadi karena agama dan komunis tidak akan pernah menyatu. Bahkan seorang dosenpun masih banyak yang mengalami kesesatan berpikir semacam ini. Di Indonesia sendiri bila kita gali akar dari propaganda hebat sejak zaman Orde Baru dalam upaya memusnahkan komunisme di atas alam Indonesia, akan kita dapati bahwa Soehartio melakukan kudeta creeping coup d’etat (kudeta bertingkat) terhadap Soekarno. Soeharto harus berusaga mematikan kekuatan komunis yang pada waktu itu kekuatannya bernar-benar menggurita. Sehingga terjadilah rekayasa sosial yang kita kenal dengan peristiwa G30SPKI dan diikuti dengan ketetapan MPR tahun 1966 nomor XXV tentang pelarangan ideologi komunisme, Marxsisme dan Leninisme. Sayang sekali dalam benak saya, dosen yang memberikan mata kuliah kewarganegaraan tersebut merupakan korban doktrinisasi era Orde Baru. Teror dan ketakutan yang masih terngiang didalam mental dia telah membuat dia untuk tidak menguji kebenaran terlebih dahulu.

Pada zaman yang telah jauh terlipat mengecil menuju suatu komleksitas, mengerucut ke satu arah yang sempit yang entah apapun namanya itu, masyarakat ternyata telah keliru dalam memahami berbagai hal sebab ganasnya propaganda yang menyatu dalam derasnya arus globalisasi bukanlah hal yang mudah untuk diubendung. Masyarakat mulai tidak dapat menilai mana yang identik dan mana yang sama. Seperti halnya liberalis dianggap zionis, nasionalis langsung dianggap fasis, Islam dianggap sebagai anti-zionis, FPI dianggap preman, komunis dianggap atheist dan sebagainya. Dalam tulisan ini saya bukan penganut Marxisme atau Leninisme ataupun Komunisme, akan tetapi sebagai seorang mahasiswa saya berpendirian untuk  senantiasa berpegang teguh terhadap kebenaran, maka merupakan kewajiban untuk mengklarifikasi kebenaran yang telah terdistorsi oleh propaganda sejarah. Sehingga kekeliruan seperti ini harus diluruskan. Bukan dengan maksud melakukan pembelaan terhadap nama komunisme, akan tetapi untuk meluruskan kekeliruan berpikir yang telah menggejala secara hebat di alam pikiran masyarakat Indonesia.



Salam !


Sumber:
Ebenstein, William, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia; Komunisme, Fasisme, Kapotalisma, Sosialism. Yogyakarta, Narasi 2006
Wheen, Francis. Marx’s Das Kapital: A Biography. London: Atlantic Books, 2006
Pilliang, Yasraf A. Dunia Yang Dilipat. Jakarta: Jalasutra anggota IKAPI, 2004
Sukarno, Sukmawati. “Creeping Coup d’Etat Mayjen Suharto”. Yogyakarta: Media Pressindo, 2011.