Oleh: Triwardana Mokoagow
Pancasila
sebagai landasan falsafah negara Indonesia merupakan fundamen dasar yang tidak
dapat dipisahkan sama sekali dari semangat pembentukan suatu negara. Secara
terminologis, Hans Kelsen mengatakan bahwa sebelum adanya suatu negara, ada
sebuah norma yang paling dasar sebagai bahan pembentuk kaidah-kaidah negara
yang dia sebut dengan Grund Norm. Hans
Nawiasky menyebutnya Staatfundamentalnorm
yang artinya kaidah dasar suatu negara. Ketika pertama kali Pancasila
hendak digali, sesuai dengan apa yang ditanyakan oleh Ketua BPUPKI Dr. Radjiman
Wedyodiningrat berkata, “Sebentar lagi kita akan merdeka. Apakah filosofische grondslag Indonesia
merdeka nanti?” Radjiman tidak bertanya tentang ideologi negara atau dasar
negara. Dia bertanya filosofische
gronslag atau landasan falsafah Negara. Dalam artian bahwa Pancasila
merupakan fundamen dasar dimana pemikiran dan gerakan Indonesia sebagai
representasi dari realitas sosial dan tataran cita-cita bangsa.
Nilai-nilai
yang terkandung di dalam Pancasila merupakan nilai yang digali dari realitas
sosio-kultural masyarakat Indonesia sejak lama. Kebiasaan dan harapan bangsa
merupakan bahan-bahan dasar perumusan Pancasila itu sendiri. Dapat disimpulakan
bahwa Pancasila merupakan representasi dari tataran realitas dan tataran idea
masyarakat Indonesia. Sehingga, semangat awal kehadiran Pancasila sesungguhnya
adalah untuk meletakkan dasar acuan bertindak dan arah perjalanan kemana bangsa
ini akan dibawa.
Akan tetapi
seiring bergulirnya waktu, zaman senantiasa datang membawa tantangan bagi
bangsa Indonesia. Perubahan sosial yang bersifat aktif dan dinamis senantiasa
mewarnai sejarah. Semangat awal pembentukan Pancasila tadi kemudian
perlahan-lahan terkubur dalam ingatan bawah sadar masyarakat Indonesia. Derasnya
arus globalisasi yang tidak dapat terbendung telah mengikis batas-batas antara
alam Indonesia dan masyarakat global (Global
Civil). Kemajuan teknologi yang begitu pesat telah membuat dampak yang
begitu besar bagi masyarakat Indonesia. Globalisasi dan modernisme kemudian
menjadi paradoks. Disatu sisi dia memuat kemudahan bagi manusia disisi lain dia
ikut andil dalam kemerosotan moral. Aspek negatif tersebut kemudian tercermin
dari realitas masyarakat hari ini yang memiliki kecenderungan hedonis, apatis,
opurtunis dan konsumtif. Ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa Pancasila bukan
lagi dijadikan sebagai ukuran pembentukan kepribadian bangsa melainkan
teknologilah yang merebut peran tersebut. Semangat awal hadirnya Pancasila
kemudian terlupakan karena masyarakat terlalu terbuai dengan kenikmatan yang
ditawarkan oleh globalisasi. Sehingga generasi Indonesia hari ini dapat disebut
generasi “alzhemeir”.
Selain faktor
global tadi, faktor lain yang mempengaruhi berkurangnya eksistensi Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari adalah faktor sejarah. Seperti yang kita ketahui,
bahwa pada pemerintahan Orde Baru, Pancasila dijadikan sebagai instrumen untuk
menghegemoni masyarakat. Sebenarnya bukan suatu persoalan ketika Pancasila
disosialisasikan secara menyeluruh dan penuh di atas alam Indonesia, persoalan
terjadi ketika penanaman ideologi ini dilakukan secara berlebihan bahkan dengan
manyamakan penafsiran terhadap Pancasila. Doktrinisasi tersebut kemudian
dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan. Pasca reformasi, citra Pancasila
kemudian dilihat buruk oleh masyarakat Indonesia. Padahal masyarakat harusnya
tidak melihat Pancasila secara negatif, tetapi aktor yang menjadikan Pancasila
sebagai instrumen politklah yang harusnya bertanggungjawab terhadap menurunnya
kepercayaan masyarakat terhadap Pancasila itu sediri.
Barangkali
inilah yang kemudian perlu dijawab oleh masyarakat Indonesia terutama oleh
mahasiswa sebagai intellectual organic atau
agent of change. Pancasila hari ini
hanya dipahami sekedar simbol. Pancasila hanya kita ketahui sebagai ornamen
yang tergantung di depan ruangan kelas. Bangsa Indonesipun kehilangan pedoman
mengenai arah dan tujuannya. Wajar bila diakatakan bahwa generasi Indonesia
hari ini adalah generasi “alzhemeir”, yaitu bangsa yang melupakan identitas
nasional mereka sendiri.
Kenyataan
bahwa ternyata masyarakat Indonesia telah bergeser orientasinya dari karakter
yang populis dan nasionalis menjadi pribadi yang elits dan pragmatis yang dapat kita jumpai dalam konteks politis
walaupun seringkali kita dapati fenomena itu dalam kehidupan sehari-hari.
Memudarnya kesadaran masyarakat atas eksistensi Pancasila bukan berarti bahwa
Pancasila adalah falsafah dasar yang bersifat kaku. Pancasila merupakan
pandangan hidup (weltanchauung) yang meskipun
digali dari bumi Indonesia tapi daya berlakunya bersifat universal dalam artian
dapat diterapkan diseluruh negara dan tidak dapat terbatasi oleh waktu.
Pancasila merupakan landasan falsafah dasar yang bersifat fleksibel. Dia dapat
diterapkan dalam berbagai zaman. Sehingga yang perlu dilakukan oleh bangsa
Indonesia hari ini adalah upaya untuk merevitalisasi dan reinterpretasi
terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
REVITALISASI PANCASILA: REAKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI
IDENTITAS NASIONAL
Revitalisasi
menurut kamus besar Bahasa Indonesia mempunyai arti proses, cara dan perbuatan
yang menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.
Sebenernya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi
vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali.
Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti membangkitkan
kembali vitalitas. Jadi, revitalisasi secara umum adalah usaha-usaha untuk
menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Revitalisasi
Pancasila dapat diartikan sebagai usaha mengembalikan Pancasila kepada
subjeknya yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara pemerintahan. Untuk
merevitalisasi, maka Pancasila perlu diajarkan dalam kaitannya dengan pembuatan
atau evaluasi atas kebijakan publik selain dibicarakan sebagai dasar negara.
Pancasila dapat dihidupkan kembali sebagai nilai-nilai dasar yang memberi
orientasi dalam pembuatan kebijakan publik yang pro terhadap aspek-aspek agama,
kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sebagaimana yang termaktub
dalam Pancasila.
Berangkat
dari konsep tersebut, bangsa Indonesia kemudian dituntut untuk tidak bersikap
pasif lagi terhadap arus globalisasi. Bangsa Indonesia harus aktif dalam tiap
episode perubahan sosial dengan memposisikan globalisasi sebagai tantangan zaman.
Dalam kaitannya dengan demokrasi, globalisasi juga melahirkan paradoksnya
sendiri: di satu sisi globalisasi demokrasi mengakibatkan kebangkrutan banyak
paham ideologi, di sisi yang lain juga mendorong bangkitnya nasionalisme lokal,
bahkan dalam bentuknya yang paling dangkal dan sempit semacam ethnonationalism, atau bahkan tribalism. Gejala ini yang terus
mengancam integrasi Indonesia sebagai negara majemuk dari sudut etnis,
sosiokultural, dan agama. Pasca reformasi, gelombang globalisasi tersebut
melanda Indonesia bersamaan dengan krisis moneter, ekonomi, dan politik
membuat Pancasila seolah kehilangan relevansinya.
Jawaban dari
permasalahan ini adalah dengan kembali memperkuat identitas nasional bangsa
Indonesia yang termanifestasikan dalam nilai-nilai Pancasila. Sebagai negara
yang bersifat majemuk, tantangan globalisasi tersebut bukan berarti dijawab
dengan cara menghapuskan pluralitas sebagai sikap atas sentimen kesukuan, akan
tetapi dijawab dengan cara mengembalikan mindset manusia Indonesia ke falsafah
dasar bangsa Indonesia, Pancasila, sebagai pemersatu bangsa. Konsekuensi
logisnya adalah, ketika persatuan dan kesatuan bangsa tercipta dibawah naungan Pancasila,
maka bangsa Indonesia dapat melepaskan kepentingan personal dengan memajukan
kepentingan umum dalam rangka menjawab krisis global.
Revitalisasi
sebagai manifestasi Identitas Nasional mengandung makna bahwa Pancasila harus
diposisikan sebagai satu keutuhan yang sejalan dengan dimensi-dimensi yang
melekat padanya, seperti realitas, Idealitas, dan Fleksibilitas. Dimensi
realitas yang bermakna bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila
merupakan cerminan kondisi obyektif yang sedang terjadi di masyarakat, dimana
seharusnya dimaknai dengan semakin sejalannya jalan hidup kita sesuai dengan Pancasila
itu sendiri, yang memiliki persatuan, penyelesaian dengan bermusyawarah, serta
rasa keadilan yang mempunyai nilai kemanusiaan. Kemudian dimensi Idealitas kita
posisikan sebagai salah satu cara untuk membangkitkan gairah optimisme warga
masyarakat yang melihat masa depan secara prospektif. Selain itu Pancasila
bukanlah sesuatu yang kaku dan sakral, namun bersifat fleksibel dan terbuka
dengan hal-hal baru. Dengan demikian tanpa menghilangkan nilai hakikatnya,
Pancasila menjadi tetap aktual, relevan, dan fungsional sebagai tiang-tiang
penyangga semangat ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Kandungan
sila-sila Pancasila jika dimaknai secara utuh juga akan menunjang pemberdayaan
Identitas Nasional. Sila pertama yang bermakna bangsa Indonesia beragama dan
berketuhanan akan semakin menguatkan moral masyarakat serta kehidupan yang
beretika. Selain itu sila kedua dan ketiga sebagai wujud persatuan bangsa dan
kemanusiaan yang bersifat adil dan memiliki tata kelakuan yang beradab juga
otomatis akan mendorong terwujudnya masyarakat yang beridentitas.
Revitalisasi
Pancasila semakin terasa penting kalau diingat kita tengah gigih menerapkan
prinsip-prinsip “good governance”,
dimana tiga aktor yaitu pemerintah (state),
swasta (private sector) dan masyarakat (civil
society) harus bersinergi secara konstruktif mewujudkan pemerintahan yang
lebih baik. Antara lain terwujud dalam bentuk pelayanan publik (public services) yang optimal. Dalam
kaitannya dengan ancaman atau pengaruh globalisasi harus dihadapi dengan sikap
mental dan karakter yang kuat sebagai jatidiri bangsa Indonesia. Akhirnya
revitalisasi Pancasila menjadi penting karena kita masih menghadapi ancaman
disintegrasi nasional dengan semangat separatisme dari Daerah yang merasa
diperlakukan secara tidak adil oleh Pemerintah Pusat.
Dengan
demikian, dalam kondisi masyarakat yang sedang dilanda krisis ini, Pancasila
menjadi satu jawaban. Melalui revitalisasi Pancasila sebagai wujud pemberdayaan
Identitas Nasional inilah, pembangunan nilai-nilai berbudaya akan
direalisasikan, jati diri bangsa akan semakin menguat. Sebab jangan sampai kita
tidak mengenal diri kita sendiri dan tidak mengenal nilai-nilai hakiki dan
luhur yang telah merupakan konsensus nasional menjadi falsafah dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara, yaitu Pancasila. Seperti kata Socrates (470-399
SM) “kenalilah dirimu sendiri”.
0 Komentar