Oleh: Triwardana
Mokoagow
Pancasila merupakan landasan
falsafah negara yang di dalamnya termuat cita-cita bangsa Indonesia. Secara
historis, istilah landasan falsafah negara itu bagi saya lebih sesuai dengan
apa yang ditanyakan oleh Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Di awal
sidang, Radjiman berkata, “Sebentar lagi kita akan merdeka.
Apakah filosofische grondslag Indonesia merdeka nanti?” Radjiman
tidak bertanya tentang ideologi negara atau dasar negara. Dia
bertanya filosofische gronslag atau landasan falsafah Negara. Begitu
pula dalam pandangan Nawiasky yang mengatakan bahwa Pancasila adalah norma
fundamental Negara (staatfundamentalisnorm). Dalam artian bahwa Pancasila
merupakan fundamen dasar dimana pemikiran dan gerakan Indonesia yang telah
direpresentasikan pada alinea ke 4 pembukaan UUD dapat terealisasikan dari alam
ide ke alam realitas.
Pancasila sebagai landasan falsafah
negara hari ini telah kehilangan semangat awal pertama kalinya dia digali.
Masyakat dan bahkan para mahasiswa hanya memahami Pancasila sebatas simbol
saja. Pancasila hanya dipandang sebagai ornamen pelengkap ruangan yang
tergantung di depan kelas atau ruangan rapat tertentu. Pemahaman Pancasila
sendiri hanya sebatas pengetahuan saja tanpa adanya penghayatan. Barangkali inilah
yang perlu dikotemplasikan oleh bangsa Indonesia hari ini. Pancasila memang
hanya pengkristalan dari tataran ide bangsa sejak beratus-ratus tahun lamanya,
kemudian nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila wajib dihidupkan oleh
bangsa Indonesia sendiri.
Pada tulisan kali ini, penulis
ingin kita menginterpretasikan kembali sila ke empat Pancasila yang barangkali
merupakan nilai yang begitu urgent untuk kita angkat kembali. Yaitu nilai
kemasyarakatan, kemufakatan, dan demokratisasi. Melihat kondisi Indonesia hari
ini, dimana demokrasi hanya dijadikan rule
of the game bagi segelintir orang. Dalam artian bahwa konsep demokrasi
seakan-akan hanya dimiliki oleh oknum-oknum yang memiliki finansial lebih
dibanding kelompok lain. Pada realitasnya kita bisa melihat sendiri, bagaimana
kemudian tuhan “uang” mempengaruhi kelompok mayoritas untuk melegitimasi
kepentingan tertentu. Wabah penyakit ini telah terlalu akut menghinggapi bangsa
Indonesia. Ironisnya, ketika bangsa Indonesia mencari problem solving bagi penyakit ini, malah nilai Pancasila yang telah
terpampang di hadapan kita bahkan sejak kita SD, begitu saja terlewati.
Demokrasi sebagai cara hidup
didasarkan pada ciri-ciri khusus yang terdiri dari empirisme rasional, titik
berat pada orang, sifat instrumental dari negara, kesukarelaan, serta persamaan
pokok di antara umat manusia. Pada umumnya dikenal dua konsep demokrasi, yaitu
demokrasi kapitalisme dan demokrasi sosialisme. Secara historis apabila kita
gali dari sejarah, yang pertamakali ada adalah demokrasi kapitalis. Demokrasi
kapitalis memberikan kelonggaran terhadap kebebasan tiap individu untuk
kemudian melaksanakan kehidupannya sesuai dengan kehendaknya sendiri. Pada
sistem demokrasi kapitalis, disebabkan karena titik berat ada pada individu,
maka otomatis konsekuensinya akan jatuh pada paham-paham individualisme. Lewat
individualisme inilah terjadi ketegangan-ketegangan kepentingan hanya demi
meloloskan target-target pribadi yang kemudian berujung pada kapitalisme yaitu
melalui upaya penimbunan harta kekayaan atau kekuasaan bagi segelintir orang
tertentu. Barangkali inilah yang masih dipraktekkan dan hidup pada realitas
sosial di Indonesia.
Dalam Pancasila sendiri, konsep
demokrasi adalah “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan”. Dalam artian bahwa sila ke
empat mengutamakan musyawarah demi kepentingan sosial bukan kepentingan bagi
beberapa pihak tertentu. Tentunya ini dilaksanakan dengan itikad baik dan rasa
tanggungjawab yang begitu tinggi baik secara moral untuk Tuhan Yang Maha Esa
maupun secara sosial bagi bangsa Indonesia. Sedangkan dalam prakteknya, tidak
dapat dipungkiri bahwa demokrasi telah menutup sebelah mata terhadap kehadiran
moral di tengah-tengah tanggungjawab terhadap dunia sosial.
Menyadari betapa cerdasnya para founding fathers kita, konsep demokrasi
yang terpadatkan dalam sila ke empat ini, ternyata diapit oleh sila ke tiga dan
sila ke lima. Yaitu tentang persatuan dan keadilan sosial. Kesadaran inipun
memberikan rumus tersendiri tentang bagaimana demokrasi ideal yang diinginkan
oleh Pancasila. Seberapa kuat demokrasi ini tentunya tergantung dari seberapa
kuat implementasi dari sila ke tiga Pancasila yaitu “Persatuan Indonesia”, yang
kita pahami hari ini sebagai suatu konsep nasionalisme. Barangkali kita bisa
melihat bahwa model nasionalisme yang kita kenal hari ini terdiri dari dua
yaitu nasionalisme negatif dan nasionalisme progresif. Nasionalisme negatif
adalah konsep persatuan yang hanya akan terjadi ketika bangsa Indonesia
menghadapi suatu masalah tertentu seperti adanya public enemy ataupun masalah yang menyangkut ancaman kebudayaan,
pendidikan, hukum dan keamanan di Indonesia. Begitu mengherankan, kenapa bangsa
Indonesia hanya memperlihatkan nasionalisme mereka pada saat-saat tertentu
seperti ketika pengklaiman suatu tarian nasional oleh negara lain, seperti
ketika direbutnya pulau Sipadan dan Ligitan dari Indonesia, atau ketika
Malaysia menyanyikan lagu “Indonesia itu anjing” saat pertandingan bola antara Indonesia melawan
Malaysia beberapa waktu lalu.
Konsep nasionalisme inipun
begitu sempit, karena api persatuan hanya akan timbul ketika bangsa Indonesia
dihadapkan terhadap suatu bahaya tertentu. Saya lebih suka menyebut konsep
nasionalisme ini sebagai nasionalisme musiman. Menyadari bahwa bahwa konsep
nasionalisme tersebut tidak bisa mengakomodir realitas sosial untuk
mengimplementasikan nilai Pancasila ke dalamnya maka kemudian diperlukan adanya
suatu konsep nasionalisme yang berbeda dari konsep nasionalisme yang kita kenal
seperti biasanya, yaitu konsep nasionalisme progresif. Nasionalisme baru tidak
meununggu bahaya untuk hadir, tapi memantik api persatuan untuk menyambut
bahaya. Nasionalisme baru tidak menunggu bangsa Indonesia bersatu dalam suatu
momentum, tapi mewujudkan persatuan untuk menciptakan momentum baru yang telah
tersistematiskan dan terorganisir.
Neo-nasionalisme ini harus
diterapkan secara menyeluruh mengingat konsentrasi bangsa Indonesia dalam
melihat permasalah dalam konteks pemanfaatan sumber daya alam Indonesia yang tereksploitasi secara besar-besaran oleh pihak
asing dan sumber daya manusia yang masih terkendala dengan persoalan-persoalan
pendidikan. Para neo-nasionalisme harus hadir di kalangan masyarakat terutama
mahasiswa yang mengkritik hanya ketika terjadi korupsi di SKK Migas atau BUMN,
para neo-nasionalisme harus ada bukan sekedar menunggu korupsi itu terjadi,
tapi mengawal proses menuju fenomana korupsi dengan tujuan pencegahan.
Neo-nasionalisme akhirnya akan menjadi alasan mengapa demokrasi Indonesia kemudian
dapat diperbaiki dan menjadi kuat. Sebab demokrasi ideal tidak akan terbentuk
tanpa adanya nasionalime yang kuat.
Kemudian ketika output dari
neo-nasionalime ini melahirkan demokrasi yang kuat dan pro terhadap kehidupan
orang banyak, maka bagai efek domino, kemudian tidak akan terelakkan terjadinya
suatu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang begitu didambakan
oleh bangsa Indonesia sejak lama. Artinya ketika sila ke tiga berhasil
diimplementasikan kepada tiap individu, maka tiap individu Indonesia akan
melebur menjadi satu dalam suatu tujuan kebangsaan yang sama, kemudia lewat
persatuan sosial ini, hasil musyawarah dalam mekanisme demokrasipun akan
berujung pada kepentingan masyarakat secara menyeluruh, keadilan sosialpun
diwujudkan dengan melaksanakan kehendak sosial baik bagi mereka yang mayoritas
tanpa menutup mata untuk mereka yang minoritas.
0 Komentar