Oleh: Triwardana Mokoagow



Salah satu ciri khas daripada kapitalisme adalah sifatnya yang senantiasa berkembang mengikuti dinamisme sosial dan ekonomi. Kekuatan terbesar dari kapitalisme adalah modal yang kemudian dengan itu mereka mampu mengendalikan komoditi dengan pencapaian nilai-guna sehingga menghasilkan nilai-lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Komoditi adalah barang-barang yang memiliki nilai-guna semata-mata untuk memenuhi kebutuhan serta memberikan kenikmatan bagi konsumen. Tentunya kebutuhan tiap masyarakat di berbagai negara selalu berbeda dan berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Dan bahkan dalam satu negara, corak komoditi selalu berbeda sesuai dengan formasi sosial serta lapisan sosial yang dominan di dalam suatu negara. Realitas sosial inilah yang menuntut kreativitas para kapitalis untuk senantiasa mengembangkan dan menyesuaikan produk demi menjaga eksistesi mereka.

Kekuatan terbesar dari kapitalis adalah ketika mereka dapat menghegemoni masyarakat terutama masyarakat dengan kelas sosial dan ekonomi tingkat bawah. Memaksimalkan kerja buruh sesuai dengan keuntungan mereka. Fokus dalam mekanisme kerja bukanlah dengan menetapkan jam kerja rendah tapi bagaimana bisa menetapkan jam kerja tinggi dengan upah minimum. Apalagi didorong oleh fakta empiris bahwasanya masyarakat dengan tingkat ekonomi kebawah masih begitu banyak dan membuat masyarakat tersebut tidak memiliki jalan lain selain menopang hidup mereka dibawah kaki kapitalis. Ironisnya, pekerjaan yang ditawarkan ternyata tidak mampu mendorong nasib mereka menjadi lebih baik. Inilah salah satu faktor yang mendorong indeks kemiskinan melaju naik. Sasaran utama kapitalis kemudian tertuju pada negara dunia ketiga sebagai negara-negara berkembang yang masih rentan dengan isu kemiskinan, kelaparan, konflik horizontal dan lain sebagainya.

Semakin berkembangnya zaman, semakin terbuka pula pintu bagi masuknya arus globalisasi serta modernisasi apalagi ketika arus informasi mengalami kebablasan secara besar-besaran. Semakin kompleksnya dunia, semakin sederhana pula karakteristik sosial. Negara-negara dunia ke tiga kemudian menjadi sasaran empuk bagi kapitalis dengan keuntungan berupa teknologi yang sudah mapan masuk, mengingat bahwa negara-negara berkembang senantiasa mendapat posisi terakhir dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Karakteristik tenaga kerja kemudian perlahan-lahan bertransormasi menjadi tenaga mesin. Sehingga konsekuensi logis ketika tenaga kerja manusia diganti dengan tenaga mesin sebagai akibat dari melajunya kemajuan teknologi serta ilmu pengetahuan membuat tingkat pengangguran naik dan tingginya kemiskinan tidak dapat terbendung lagi.

Isu kependudukan kemudian mencuat. Karena sasaran tenaga kerja dari kapitalisme adalah masyarakat dengan tingkat ekonomi ke bawah, dan majunya teknologi mengurangi kebutuhan tenaga kerja manusia bagi kepentingan kapitalis menyebabkan pengangguran naik dan kemiskinan tak terbendung sehingga tingkat populasi masyarakat di suatu negara melonjak. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa semakin rendah tingkat ekonomi masyarakat, semakin rendah kelas sosial mereka, semakin mereka tidak memiliki wawasan edukasi yang cukup untuk menyadari pembatasan-pembatasan indeks kelahiran keluarga. Sedangkan pemerintah tidak bisa terlalu diharapkan untuk mensosialisasikan kepentingan negara untuk membatasa jumlah populasi karena kurangnya akses yang dimiliki oleh masyarakat-masyarakat pada kelas sosial dan ekonomi yang tergolong rendah.

Seorang pemikir pada abad 18 bernama Malthus telah menciptakan sebuah teori mengenai lonjakan penduduk ini. Malthus berangkat dari dua postulat, yaitu pertama bahwa manusia membutuhkan makanan, dan kedua bahwa dorongan seks bersifat terus-menerus sepanjang masa. Dari dua postulat ini, Malthus mengajukan teorinya bahwa, bila tidak ada pengendalian kelahiran, maka pertumbuhan penduduk akan lebih cepat daripada pertumbuhan pangan; pertumbuhan penduduk mengikuti gerak deret ukur, sedangkan pertumbuhan pangan mengikuti gerak deret hitung. Menurut Marx, teori ini abstrak dalam arti mengabaikan faktor perkembangan kekuatan-kekuatan produktif dalam kegiatan produksi dan ciri mendasar setiap corak produksi sebagai faktor pengaruh terhadap gejala kependudukan ini. Dalam artian bahwa karakateristik produksi hari ini yang lebih memprioritaskan kerja mesin dibandingkan kerja manusialah yang menyebabkan tingginya lonjakan penduduk. Bila kita menggunakan silogisme sederhana: Kelebihan pengangguran menyebabkan kelebihan kemiskinan. Kelebihan kemiskinan menyebabkan kekurangan kesadaran populasi. Maka, Kelebihan pengangguran menyebabkan kekurangan kesadaran populasi. Kemudian kesadaran ini berimplikasi terhadap lonjakan populasi yang sebab awalnya adalah tergesernya kebutuhan akan tenaga kerja dalam kepentingan industri.

Salah satu contoh mendasar dapat kita saksikan pada fenomena revolusi hijau dimana kapitalis masuk dalam lingkungan pertanian. Revolusi hijau ini bermaksud untuk menyederhanakan kerja para petan caranya mengganti tenaga kerja petani dengan mesin. Tidak ada lagi petani yang bekerja secara kolektif karena telah ada petani besar yang mempekerjakan petani kecil sebagai buruh tani dan tidak ada lagi kerbau sebab tugasnya untuk membajak sawah telah tergantikan oleh mesin. Fenomena tersebut kemudian mendorong emigrasi secara besar-besaran dari pedesaan menuju lingkungan perkotaan.

Emigrasi tersebut membuat mereka terpana karena melihat sedikitnya celah untuk memperoleh kerja. Fenomena semi-pengangguran terjadi. Masyarakat yang melakukan emigrasi tidak punya jalan lain untuk survive dalam persaingan kehidupan kota yang begitu keras menyebabkan mereka beralih menjadi gembel, pengemis, dan bahkan ada yang masuk ke rumah-rumah prostitusi untuk menjual dirinya.

Pada akhirnya problematika sosial yang terjadi akibat eksistensi kapitalis yang begitu meluas menyebabkan permasalah yang berdampak sistemik. Dari pengangguran menjadi kemiskinan, dari kemiskinan membuat lonjakan populasi, dari lonjakan populasi kemudian lahirlah problematika moral. Fenomena ini menuntut kita untuk menyadari bahwa problematika sosial akan menimpa problematika moral. Hal ini tentu disebabkan oleh serakahnya nafsu kapitalisme. Kita bisa menutup mata hanya untuk menghindari kenyataan ini, tapi tidak bisa menutup hati untuk merasakan kenyataan ini. Begitulah kapitalis bekerja. Seiring dengan berjalannya roda nasib yang sengaja diputar para kapitalis, Oxford kemudian membuat survey yang mengatakan bahwa 85 orang terkaya di dunia memiliki pendapatan yang setara dengan pendapatan dari setengah penduduk dunia. Kapitalisme dan teknologi adalah suami istri yang melahirkan anak-anak haram, yaitu kemiskinan, pengangguran, lonjakan penduduk, imoralitas dan permasalah kependudukan lainnya.


Salam!

http://triwardanamokoagow.blogspot.com/2013/03/policy-2-anak-dalam-satu-keluarga.html