Oleh: Triwardana
Mokoagow
Pemilihan Umum pada tanggal 9
April lalu akhirnya telah kita lalui bersama. Meskipun begitu, euforia politik
masih terasa. Berbagai evaluasi kemudian diselenggarakan dalam rangka membedah
plus minus pemilu. Dengan hikmat para pemerhati roh bangsa kita sedang
meresapi, bagaiamanakah mekanisme demokrasi yang diharapkan oleh para pahlawan
masa lalu kita hari ini.
Sistem demokrasi adalah sistem
yang menempatkan rakyat sebagai raja atas suatu negara. Indonesia sesuai dengan
pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tertuliskan bahwa
“Kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan lewat
Undang-undang Dasar..”. Landasan konstitusional tersebut lebih meneguhkan
ekspektasi serta realitas yang perlu ditegaskan bahwa pemerintah negara
Indonesia, dengan segala kekayaan dan martabat yang dia miliki, harus menyerahkan
loyalitas serta integritas dirinya kepada rakyat. Rakyat merupakan raja yang
harus dilayani.
Pertanyaan kemudian timbul. Untuk
Indonesia, konsep demokrasi seperti apakah yang kita gunakan ? Pertama-tama
harus kita akui bersama, bahwa perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan yang
tidak akan pernah terhapuskan di atas bumi ini. Tiap individu, masyarakat serta
bangsa memiliki pandanga ideal mereka masing-masing. Ketika Blok Barat dan Blok
Timur bertemu untuk memusyawarahkan mengenai model demokrasi, terjadi
perdebatan disana. Amerika sebagai representasi dari Blok Barat mengatakan
bahwa demokrasi yang harus kita junjung adalah demokrasi liberal, yang
menempatkan posisi kebebasan individu lebih tinggi dibandingkan kebebasan
masyarakat. Sedangkan Uni Soviet sebagai representasi Blok Timur membantah,
bahwa demokrasi yang ideal adalah demokrasi yang mengedepankan kebebasan sosial
dibandingkan kebebasan indiviud. Kemudian Indonesia sebagai negara yang
menegaskan diri untuk bersikap non-blok atas realitas global yang terjadi pada
awal kemerdekaan, lantas harus juga memilih konsep demokrasi apa yang cocok
bagi Indonesia. Soekarno, salah satu founding
leaders kita mengatakan bahwa Indonesia bukan negara mayorasi yang hanya
mengakomodir kepentingan mayoritas, bukan pula negara minokrasi yang hanya
mengakomodir kepentingan segelintir elitis, tapi Indonesia adalah negara
gotongroyongkrasi, negara yang mengakomodir kepentingan mayoritas dan minoritas
dalam satu garis yang sama. Ini kemudian sesuai dengan konsep negara
interalistik Soepomo, bahwa kelompok mayoritas dan minoritas, haruslah berada
pada garis yang sama, bukan garis vertikal tapi garis horizontal.
Melihat realitas yang baru saja
terjadi kemarin, merefleksi kembali kenyataan demokrasi yang berlangsung di
atas alam Indonesia. Sudah sesuaikah dengan tataran konseptual serta cita-cita
bangsa kita? Saya secara personal, bahkan
bila kita semua menilai dengan totalitas objektif yang ada, saya rasa semuanya
akan bersepakat paham bahwa Indonesia masih jauh dari pondasi demokrasi yang
dibangung oleh para sokoguru kita dimasa lampau. Salah satu aspek yang sangat
krusial yang ingin saya sorot pada tulisan kali ini adalah maraknya money politic pada pemilu yang
diselenggarakan di berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Money Politic, atau politik uang merupakan persoalan besar yang
harus kita dikritisi serta diawasi agar
tidak menjadi wabah permanen dalam ruang politik bangsa Indonesia. Politik uang
adalah politik yang digunakan oleh para calon legislator dengan cara
membagi-bagikan uang kepada rakyat dengan harapan dapat memperoleh suara dalam
pemilu. Saya bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa bangsa Indonesia hari
ini sedang mengalami masalah mental, roh absolut bangsa Indonesia sedang
kesakitan bila dengan seksama kita resapi realitas pemilu kemarin. Mengenai
persoalan politik uang ini, sudah menjadi sebuah istilah yang terkenal “tidak
ada uang, tidak ada suara”. Bahkan di daerah asal saya, di Sulawesi Utara,
malah ada lagu khusus yang senantiasa ternyanyikan dalam momentum pemilu berupa
“ad u ad su..” dalam artian “ada
uang, ada suara”. Merupakan ironi yang diterima begitu saja oleh masyarakat,
bahwa kebiasaan ini kemudian memberikan suatu kesadaran tersendiri pada para
calon yang mendambakan kursi di gedung DPR untuk merelakan jutaan harta mereka
demi hak suara yang diberikan rakyat. Bahkan secara tersirat, politik uang ini
seakan-akan menjadi syarat plus bagi seseorang yang ingin terpilih.
Moralitas masyarakat berada pada
titik mendekati nol. Memang tidak bisa kita generalisir bahwa semua rakyat lebih
memilih uang, ada juga rakyat yang telah tertanam ruh-ruh idealis dalam
dirinya. Masyarakat kita harusnya bukanlah pelacur
suara. Mereka merelakan harga diri bangsa dibutakan oleh kemilau harta yang
sayangnya hanya sementara. Pada pemilu yang baru saja kita lalui dalam sejarah
perpolitikan Indonesia, politik uang seakan-akan telah menjadi ritual, menjadi
tradisi, dan mendarah daging terutama
dalam konteks pemilihan umum. Uang hadir sebagai berhala politik yang kian hari
kian megah disembah oleh para konstituen.
Bila kita gunakan kacamata utilitarianisme dalam melihat serta
menganalisis persoalan politik uang ini, akan kita dapati bahwa masyarakat
lebih memilih untuk menerima kesenangan kecil hari ini dibanding kesenangan
besar dimasa depan. Jeremy Bentham sebagai seorang filsuf utilitarian, atau
filsuf moralis mengatakan bahwa kesenangan masa depan akan berkurang ketika
kesenangan tersebut kita ambil pada waktu dini. Masyarakat rupanya tidak bisa
melihat secara jernih, kebahagiaan sosial bukanlah kebahagiaan semu yang bisa
dibeli dengan setan-setan rupiah. Kebahagiaan sosial adalah hasil dari seleksi
pelayan-pelayan mereka yang akan didudukkan pada kursi pemerintahan.
Kebahagiaan sosial dapat tercapai dengan maksimal ketika masyarakat menyadari
bahwa masa depan bangsa kita adalah berada pada tangan orang-orang yang
memiliki integritas, bukan pada tangan-tangan yang menyodorkan uang 50.000an,
atau 100.000an.
Saya pernah berbincang dengan
salah seorang teman yang mengatakan bahwa seorang legislatif yang menjalankan
masa jabatannya selama lima tahun membagi 3 tahap dalam perjalanan jabatannya.
Dua tahun pertama digunakan untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan pada
pemilu sebelumnya, pada tahun ketiga barulah dia fokus dalam pembangunan. Tapi
pada dua tahun terakhir, orientasi mereka bergeser kembali untuk mencari modal
dalam pemilu selanjutnya. Entah tanggapan apa yang ingin saya berikan pada
teman saya tersebut, entah harus saya tanggapi dengan nada bercanda atau dengan
nada serius. Hanya saja bila itu adalah fakta yang benar-benar terjadi, maka
bukanlah sebuah lelucon bagi bagi kita semua. Dengan perenungan yang dalam saya
beranggapan, bilasaja pemilu tidak perlu menggunakan uang dalam prosesnya
terhadap kemenangan calon, kenyataan tersebut dapat dihindari.
Masyarakat kehilangan orientasi
mereka. Meminjam istilah Sartre, masyarakat kita perlu dibimbing ke jalan
pertaubatan. Selama ini, sejak zaman Orba, masyarakat senantiasa di
objektivikasi sebagai barang dalam momentum politik. Hak suara yang melekat
pada masyarakat sipil merupakan komoditi yang diperebutkan oleh para pencari
kekuasaan. Presentasi kemenangan seseorang kemudian diukur dari seberapa kaya
seseorang. Pada akhirnya, uang adalah penentu segalanya, bukan lagi suara
rakyat, sebab suara rakyat dapat dibeli dengan uang. Maka jangan heran mereka
yang nanti akan menduduki kursi legislatif kita semua adalah orang-orang dengan
latar belakang pengusaha. Mungkin inilah akar daripada kemiskinan Indonesia,
disebabkan para pemegang kewenangan adalah mereka yang hanya memiliki otak
dengan oritentasi keuntungan pribadi, tidak mengherankan sumber daya alam kita
lebih banyak dinikmati orang asing dibanding bangsa sendiri. Sehingga masyarakat yang bertaubat dalam
konteks ini adalah masyarakat yang memberontak terhadap objektivikasi para
elitis dan dengan tegas berteriak “Kami bukan barang! Suara kami tidak bisa
kalian beli dengan uang kalian!” Pada ahirnya masyarakat pasca-pertaubatan
adalah masyarakat yang memposisikan diri bukan lagi sebagai obyek politik, tapi
sebagai subyek yang dengan kebebasannya memiliki pemikiran luhur terhadap krisis
yang tengah menimpa Indonesia.
Dengan realitas yang ada ini,
saya sekali lagi kecewa dengan bangsa yang dimana di dalamnya saya hidup dan
berhimpun. Tapi apadaya, suara satu orang ternyata belum mampu mempengaruhi
suara 1000 orang tanpa adanya uang. Padahal ini negara demokrasi, bukan negara
uangkrasi. Demokrasi kita bukanlah demokrasi amplop! Kedaulatan sebagai
kekuasaan tertinggi tidak berada pada tangan orang kaya, tapi harusnya pada
tangan rakyat!
Di ruangan kecil kamar kos-kosan
yang sangat sempit ini, saya menulis. Saya menerawang ke alam imajiner saya,
membayangkan kemakmuran rakyat di masa depan yang tidak lagi tergadaikan oleh
kenikmataan sesaat. Mungkinkan karena masyarakat kita banyak yang miskin jadi
mereka melacurkan hak suara mereka? Politik dan uang seakan-akan menjadi
entitas yang tidak dapat dipisahkan. Kemiskinan, politik uang dan pemilu
menjadi rantai setan yang menyakiti moral bangsa berpuluh-puluh tahun lamanya.
Sehingga berangkat dari kesadaran reflektif ini, perlu kiranya kita bergegas
untuk melakukan aksi-aksi sosial tanpa meninggalkan aksi intelektual demi
membangunkan masyarakat Indonesia yang terbuai dan terlena pada fatamorgana
yang diciptakan oleh politik uang di kemudian hari. Perlu kiranya dengan
seksama kita kesadaran politik yang sesungguhnya, yang nantinya akan membuka
mata masyarakat kita agar bisa melihat dan memilih figur pemimpin yang
sesungguhnya didambakan bangsa ini sejak lama.
0 Komentar