Oleh: Triwardana
Mokoagow

Herakleitos mengatakan bahwa
satu-satunya yang abadi dalam dunia yang kita tinggali adalah perubahan.
Perubahan senantiasa terjadi. Menggeser model serta gaya hidup. Dinamika ini
kemudian berdampak juga pada alam pemikiran manusia yang tidak bersifat statis.
Konsekuensi dari perubahan alam pemikiran manusia adalah perubahan sosial.
Secara singkat dapat kita nyatakan bahwa perubahan paradigma dalam tiap segi
aspek kehidupan masyarakat dan alam senantiasa terjadi. Dan dinamika tersebut
harus kita maknai sebagai sebuah rahmat yang tidak tertolak.
Perubahan paradigma tersebut juga
terjadi dalam realitas hukum. Hukum yang digunakan berabad-abad yang lalu di
Romawi tentunya berbeda dengan hukum yang sekarang digunakan di tempat yang
sama. Bahkan hukum yang digunakan di negara A berbeda dengan hukum yang dipakai
pada negara B. Perbedaan tersebut senantiasa bergulir. Pada suatu titik
tertentu, ada kemungkinan hukum yang dipakai di negara A diadopsi oleh negara B
dan mungkin sebaliknya akan terjadi. Hukum yang pernah digunakan di Romawi juga
memiliki potensi untuk dipakai kembali pada tempat yang sama meskipun pasti
akan dikemas dengan bungkus yang berbeda. Semua dinamika tersebut tentunya
tidak lain tidak bukan terjadi karena ada perubahan paling mendasar yang
melandasi perubahan-perubahan tadi. Perubahan yang paling mendasar terjadi
dalam alam pemikiran manusia.
Barangkali ada berbagai jenis
teori tentang perubahan tersebut. Teori yang paling sering digunakan mungkin
adalah teori yang ditelurkan oleh seorang ilmuwan evolusionisme bernama Charles
Darwin bahwa perubahan itu terjadi dalam waktu yang lama. Perubahan dalam waktu
yang lama mensyaratkan adanya perubahan cara adaptasi mahluk hidup dari waktu
ke waktu. Dengan begitu manusia dapat mempertahankan kehidupannya. Dalam teori
ini, model gerakan perubahan adalah bersifat linier yaitu yang baru
menggantikan yang lama. Misalnya manusia sebagai spesies yang berkembang dari
kera, tidak bisa membuat manusia nantinya kembali ke wujud kera dalam rantai
evolusinya. Teori ini walaupun memang pada awalnya digunakan pada disiplin ilmu
pengetahuan alam, kemudian diadopsi dan dimodifikasi oleh para filsuf terutama
Karl Marx menjadi teori evolusi sosial. Bahwa manusia sebagai mahluk sosial (zoon politicon) senantiasa beradaptasi
dengan lingkungan sosial lewat pekerjaannya sebagai syarat untuk bertahan
hidup. Meskipun Karl Marx menganut teori evolusi Darwin, tapi model gerakan
perubahan yang digagas oleh Marx sendiri berbeda. Marx mengatakan bahwa tipikal
gerakan perubahan adalah siklus. Yaitu akan kembali pada keadaan awal dimana
perubahan tersebut bergerak. Misalnya pada awalnya corak produksi manusia
adalah corak produksi primitf yaitu dengan melakukan barter sebagai bentuk
transaksi ekonomi, sedangkan hari ini kita menggunakan uang sebagai alat
pertukaran. Pada suatu titik tertentu kita akan kembali lagi pada bentuk
transaksi primitif sebagai konsekuensi logis daripada perubahan siklus.
Di dalam dunia hukum sendiri.
Kita mengenal teori perubahan dari seorang tokoh bernama Thomas Kuhn. Beliau
adalah seorang yang menggagas ide tentang revolusi sains yang kemudian metode
berpikir tersebut diterapkan pada pemikiran hukum. Beliau mengatakan bahwa
model gerakan perubahan bukan linier, dan bukan juga siklus secara seutuhnya
tapi bersifat saling menggeser satu sama lain. Dengan artian, perubahan teori
khususnya dalam konteks ilmu pengetahuan tidak berubah, kemudian yang lama di
hapuskan dengan memakai teori yang baru. Tidak juga dalam artian niscaya akan
kembali pada teori dasar yang melandasi lahirnya teoir yang baru. Perubahan
dalam maksud Thomas Kuhn adalah pergesseran antara satu teori ke teori yang
baru tetapi tidak menghapuskan teori yang lama. Konsekuensinya adalah teori
yang lama tadi bisa jadi nantinya akan digunakan lagi atau sema sekali tidak
akan pernah diterapkan kembali.
Perubahan dalam perspektif Thomas
Kuhn kemudian digunakan pada dunia hukum. Hukum dalam sejarah perkembangannya
senantiasa mengalami dinamika yang tidak bisa dilepaskan dari adanya
teoir-teori baru yang kita kenal pada dewasa ini. Selalu ada teori serta pemahaman
yang baru. Sebab hukum bukanlah suatu skema final yang senantiasa bergerak
mengikuti kehendak manusia yang tidak pernah statis. Dalam tulisan kali ini
kita akan sama-sama membicarakan mahzab pemikiran positivisme hukum yang
merupakan salah satu aliran pemikiran besar yang melandasi perkembangan serta
perubahan hukum serta sejarahnya. Prof Soetindyo Wignjosoebroto mengatakan
dalam salah satu kuliahnya bahwa kita hendaknya membagi periode positivisme ini
menjadi tiga, yaitu periode pra-positivisme, positivisme dan post-positivisme.
Namun untuk mempermudah pembahasan penulis ingin mengarahkan untuk membaca
periode pra-positivisme unutk mempermudah memamahami gerakan perubahan dalam
pemikiran positivisme.
Pada awalnya sebelum manusia
menyadari bahwa epistemologi bukan hanya tentang pandangan dunia Ilahiah yang
berasal dari Tuhan, masyarakat mengalami kemandekan dan dengan mudah dapat
dihegemoni oleh kekuasaan yang dipegang para pemuka agama. Michael Foucault
memberikan istiliah kekuasaan pastoral untuk konteks ini. Akan tetapi makna
kekuasaan pastoral sendiri tidak hanya berkonotasi pada latar belakang agama
tertentu tetapi juga melekat pada agama lain misalnya Islam dengan kekuasaan
kekhalifaan yang setelah masa khalifah
al-rasyidun seringkali menggunakan kekuasaan atas legitimasi agama untuk
memerintah dengan cara diktator. Begitu juga dengan paham Brahmana di India
pada zaman dulu dan Judaisme di Jenewa serta lain sebagainya. Kekuasaan agama
ini bukan ajaran agama itu sendiri. Islam misalnya, berbeda dengan islamisme
menurut Ali Syariati, Kristen berbeda dengan Kristenisme, Buddha berbeda dengan
Buddhiisme dll. Agama pada dasarnya mengajarkan tentang pesan-pesan moral dalam
teks sucinya, hanya saja ketika agama tersebut yang pada awalnya bersifat
universal diideologisasikan maka akan bersifat partikular. Agama pada awalnya
universal, tetapi mahzab-mahzab pemikiran dalam agama tersebut bersifat
partikular. Begitu pula yang terjadi pada masa sebeleum Renaisains di Barat dan
akhir masa keemasan peradaban Islam di Timur. Kemandegan terjadi. Inovasi-inovasi besar dalam kreativitas dan
pemikiran manusia kemudian dihambat oleh kekuatan doktriner agama. Negara yang
ideal pada zaman itu adalah negara yang menganut paham teokrasi.
Paham teokrasi ini sendiri adalah
paham bahwa negara adalah manifestasi kebenaran Tuhan. Raja dari suatu negara
adalah utusan Tuhan dimuka Bumi. Anggapan itu berangkat dari pemikiran tentang
nabi yang diutus dari sekian banyak manusia. Raja pada masa itu juga menyadari
bahwa dari sekian banyak rakyat kenapa hanya saya yang ditunjuk menjadi
penguasa mereka? Raja menganggap bahwa diri mereka adalah nabi yang
menjembatani komunikasi antara rakyat dan manusia. Suara raja adalah suara
Tuhan. Hukum yang diproduksi oleh raja kemudian dianggap sebagai hukum Tuhan (lex naturalis). Thomas Aquino mengatakan
bahwa ada sebuah perintaha suci yang melatarbelakangi hal tersebut yang dia
katakan sebagai supernatural order. Bahwa
Tuhan melalui perantara Raja memberikan perintah untuk membuat suatu hukum
tertentu yang disebut dengan hukum naturalisme.
Kekhawatiran atas pemberontakan
terhadap titah raja sebagai sebuah tertib kodrati yang menempatkan manusia
sebagai mahluk yang memiliki kebebasan kemudian menjadi ancaman bagi para
elitis pada zaman tersebut. Kebebasan dikekang. Maka tidak mengherankan kita
banyak melihat praktek perbudakkan pada masa itu lewat jendela-jendela sejarah.
Thomas Aquino sekali lagi meyatakan bahwa tertib kodrati dapat menyebabkan
manusia jatuh dalam kerajaan Iblis (civitas
diablo). Pada akhirnya manusia harus hidup dalam kerajaan ilusi yang mereka
anggap sebagai surga. Pada akhirnya, karena penyerahan kekuasaan yang begitu
besar kepada raja tersebut dan para pemuka agama, lahirlah ketertindasan yang
mereka anggap sebagai bentuk kepasrahan diri terhadap ketentuan Tuhan.
Asketisme tumbuh subur dalam lahan pemikirannya sendiri, mereka menganggap
penderitaan dan kesengsaraan yang dialami di dunia adalah harga yang harus
dibayar demi mencicipi surga setelah mereka wafat. Golongan agamis sangat
diuntungkan pada posisi ini. Mereka bisa dengan mudah menjual ayat dari kitab
suci dengan menafsirkannya secara bebas hanya untuk mempertahankan legitimasi
mereka terhadap masyarakat.
Zaman feodalisme kemudian besar
karena kepasrahan dan ketundukan buta atas realitas sosial yang terjadi dan
diterima begitu saja oleh masyarakat. Para pemilik tanah menggunakan asetnya
untuk mempekerjakan rakyat agar dia mendapat penghasilan lebih. Dengan catatan,
untk mencapai keamanan dan ketertiban mereka harus menggandeng pemuka agama
sebagai kaum borjuasi. Upeti berangkat dari tangan petani, ke tangan pemilik
tanah, kemudian berlanjut ke tangan borjuis. Kejahatan sosial yang terorganisir
ini kemudian menimbulkan kritik dan serangan dari orang-orang yang telah
tercerahkan oleh sejarah. Marx misalnya, mengatakan bahwa “agama adalah candu”[1].
Nietzche juga mengatakan bahwa ”Tuhan telah mati”. Semua pernyataan tersebut
keluar semata-mata untuk menyerang realitas sosial yang diintimidasi oleh
segelintir orang elit dengan memakai kedok keagamaan. Dalam tubuh agama sendiri
bahkan terjadi perpecahan seperti dalam Kristen kita mengenal pertentangan
antara Kristen Katolik dan Kristen Protestan, dalam tubuh Islam kita mengenal
Mahzab Asy’ariah dan mahzab Mu’tazilah dan lain sebagainya. Asketisme
memberikan masyarakat kita penderitaan yang dinikmati oleh golongan elitis.
Kemudian seorang tokoh yang
bernama St Agustinus merespon gagasan tadi dengan mengatakan bahwa ada dua
kerajaan yang perlu disadarI, yaitu kerajaan Tuhan dan Kerajaan Dunia. Kerajaan
Tuhan adalah kerajaan dimana hukum-hukum Tuhan harus hadir demi menjadlankan
tertib adikodrati yaitu kebebasan yang dijamin oleh supernatural order.
Sedangkan kerajaan dunia adalah hal yang sebaliknya, artinya St Agustinus
mengehendaki adanya kerajaan diluar otoritas Tuhan. Pengaruh pemikiran Timur
juga masuk di dunia Barat. Ibnu Rusyd yang biasa disebut Averos oleh
orang-orang Barat adalah pelaku dari salah satu peletakan dasar dari
sekulerisme tersebut. Mereka menafsirkan pemikirannya bahwa ada dua kebenaran
yang berbeda[2].
Kebenaran yang dimaksud dalam konteks ini adalah kebenaran Tuhan dan kebenaran
menurut manusia. Disanalah kemudian pergeseran dari pandangan dunai Ilahiah
beranjak ke pandangan dunia materialisme, disana pula pemilahan terjadi antara
urusan duniawi dan urusan ukhrawi. Disanalah sekulerisme lahir.
Celah-celah tersebut kemudian
memungkinkan pemikiran lain masuk untuk mendukung pemikiran baru yang nantinya
akan menggeser pemikiran naturalisme tadi. Thomas Hobbes, John Locke dan JJ
Rousseau[3]
kemudian hadir dalam cerita ini. Konsep kontrak sosial merupakan buah pemikiran
mereka bertiga. Meskipun gagasan tentang kontrak sosial tersebut berbeda-beda,
akan tetapi pada dasarnya memiliki satu kesamaan dasar bahwa masyarakat dan
raja bersama-sama membuat suatu kesepakatan yang akan menentukan kekuasaan dan
hukum yang mereka terima bersama. Dengan
adanya konsep tersebut, kemudian secara perlahan-lahan bergeserlah pemahaman
bahwa Tuhan adalah pemberi otoritas kepada negara menjadi pemahaman bahwa
rakyatlah yang memberikan otoritas kepada negara dan rakyatlah penentu hukum
suatu negara.
Lahirnya aliran pemikiran
rasionalisme merupakan klimaks daripada pergeseran paradigma ini. Mahzab
naturalisme secara perlahan diarahkan ke pemikiran rasionalisme. Dari
teosentrisme[4] mulai
bertransformasi ke antroposentrisme[5].
Pada titik ekstrem akibat kejenuhan dominasi naturalisme menyebabkan mereka
berpandangan bahwa satu-satunya kebenaran adalah kebenaran yang berasal dari
rasio manusia. Perubahan ini digagas oleh seorang filsuf yang bernama Rene
Descartes. Paling tidak adagiumnya yang begitu terkenal adalah “Cogito Ergo Sum”, memiliki arti aku
berpikir maka aku ada. Pada masa itu masyarakat mulai menyadari bahwa manusia
juga memiliki kemampuan untuk menalar mana yang benar dan mana yang salah.
Pemberian otoritas kepada raja yang katanya adalah utusan Tuhan dimuka Bumi
memiliki konsekuensi standarisasi yang disandarkan secara penuh kepada penguasa
tentang mana yang benar dan mana yang salah. Manusia sebagai individu kemudian
mulai dengan berani melangkahkan satu kakinya ke arah kebebasan. Mereka mulai
berani mengatkan bahwa mereka dapat menentukan kebebasan serta kebenaran
sendiri tanpa mediasi dari raja. Immanuel Kant ikut menggagas suatu ide bahwa
manusia adalah mahluk yang merdeka yang harus diawali oleh kemerdekaan
berpikir, “Sapare aude!”. Renaisains
kemudian lahir, dan kerajaan Tuhan perlahan-lahan runtuh. Orang-orang mengklaim
bahwa diri mereka adalah aufklarung
(orang yang tercerahkan).
Rasionalisme inilah yang menjadi
cikal-bakal darilahirnya positivisme. Perkembangan pemikiran ini kemudian
diikuti oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat.
Dunia Barat seakan-akan baru saja terbangun dari tidur panjang mereka dan
menyadari ada banyak hal yang bisa dilakukan tanpa adanya pengekangan kebebasan
berpikir. Thomas Kuhn adalah salah satu tokoh penting yang melandasi
perkembangan kemajuan iptek tersebut dan juga nantinya akan memberikan
kontribusi besar bagi perkembangan ilmu sosial khususnya ilmu hukum. Thomas
Kuhn menggagas suatu ide yang disebut dengan revolusi sains. Bila evolusi adalah
perubahan yang terjadi dalam jangka waktu yang begitu lambat, revolusi adalah
perbuahan yang terjadi dalam jangka waktu yang relatif cepat. Perkembangan ini
berangkat dari gagasannya bahwa manusia merupakan mahluk berpikir yang memiliki
potensi untuk membuat suatu yang baru, yang ideal bagi umat manusia itu
sendiri. Dengan produksi teknologi melalui ilmu pengetahuan yang ada,
diharapkan dapat bermanfaat bagi hidup manusia itu sendiri. Sains ada untuk
umat manusia. Relasi antara rasionalisme dan pemikiran scientific kemudian melahirkan paham positivisme nantinya.
Pola pemikiran scientific tersebut kemudian diadopsi
dan dibawa ke dalam alam pemikiran ilmu-ilmu sosial terlebih dalam konteks ini,
ilmu hukum. Revolusi Industri di Perancis adalah klimaks daripada runtuhnya
pemikrian naturalisme. Saat itu kelompok feminisme menuntut kesetaraan,
memberontak terhadap penindasan yang diprakarsai oleh ajaran agama yang
menempatkan posisi mereka di bawah posisi laki-laki setelah sekian lamanya
penantian. Kelompok proletar memberontak atas hegemoni kelas yang dimotori para
borjuasi dan kapitalisme dalam industrialisasi. Para filsuf rasionalisme dengan
bangga mengibarkan bendera positivisme di atas puing-puing aliran naturalisme.
Tuhan memang belum mati, hanya saja manusia ingin mandiri.
Pergeseran paradigma tersebut
menandakan bahwa masyarakat tidak lagi butuh nabi untuk mendampingi hidup
manusia. Ini dibuktikan dengan adanya liberalisme yang masuk ke ranah-ranah
agama. Katakanlah Kristen misalnya yang dengan kebebasan berpikirnya menggagas
amandemen Bible. Islam yang mulai mengembangkan metode ijtihad yaitu metode
penemuan hukum yang tidak didasarkan pada al-Quran maupun al-Hadits. Pada
naturalisme nabi adalah penuntun manusia untuk menentukan mana yang baik dan
mana yang benar. Nabi mengajarkan kebenaran. Konsekuensi dari perubahan adalah,
kita yang pada awalnya menerima ajaran, kemudian perlahan-lahan mampu
melaksanakan ajaran tersebut dan tidak lagi membutuhkan bimbingan dari para
Nabi. Pada akhirnya, akal manusia adalah
nabi batin.
Revolusi yang terjadi di Perancis
saat itu merupakan momentum yang menggeser konsepsi religion-state ke nation-state
(negara bangsa). Konsep negara
bangsa hadir sebagai pahlawan yang mengatur bagaimana masyarakat harus melaksanakan
kehidupan dalam perbedaan agama disana-sini, negara bangsa adalah positivisasi
dalam tiap aspek kehidupan bermasyarakat.
Pada akhirnya otoritas Tuhan dimuka bumi digantikan oleh otoritas
masyarakat melalui contract social.
Masyarakat adalah Tuhan bagi diri mereka. Vox populi vox dei (Suara rakyat
adalah suara Tuhan). Di negara bangsa inilah aliran positivisme tumbuh dengan
subur. Positivisme sendiri berasal dari akar kata “posit” yang artinya timbul.
Secara real dapat diartikan bahwa positivisme adalah hukum yang berasal dari
rasio manusia sehingga semua yang tidak berasal dari rasio manusia tidak
dianggap sebagai hukum. Aliran pemikiran hukum ini kemudian menjelma dalam
sistem hukum Eropa Kontinental.
Secara umum kita mengenal dua
model hukum yaitu ius constituendum (hukum yang dicita-citakan) dan ius
constitution (hukum yang sudah ada). Positivisme menghendaki hukum yang
dicita-citakan, hukum yang dicita-citakan tersebut kemudian dibuat oleh proses
pemikiran para legislator. Maka oleh karena itu hanya di sistem Eropa
Kontinentallah aliran positivisme dapat tumbuh dengan subur. Sebab dalam sistem
Anglo Saxon hukum itu tidak dibuat oleh rasio, tetapi digali dari realitas
sosial masyarakat dan kemudian dibentuk menjadi suatu produk hukum tertentu.
Dalam konteks ini kita harus dengan cermat membedakan antara hukum yang
“dibuat” dan hukum yang “dibentuk”.
Positivisme adalah aliran
pemikiran hukum tentang hukum yang ideal bagi masyarakat. Dalam
perkembangannya, kemudian kita mengenal kendala-kendala yang harus dihadapi.
Karena konsekuensi logis dari suatu pemikiran pasti akan mengalami
pertentangan, itulah dasar pemikiran dialektis terhadap sejarah dan
substansinya. Bila sebelumnya kita mengenal adanya pertentangan antara mahzab
naturalisme dan mahzab positivisme, maka hari ini sepertinya kita sedang
menatap suatu era baru dimana pertentangan pemikiran yang baru akan hadir.
Pertentangan tersebut adalah pertentangan antara mahzab positivisme dan mahzab
sosiologi hukum yang menggunakan metode yang berbeda yaitu deduksi dan induksi
yang juga memungkinkan perbedaan kesimpulan, cara berpikir, cara menganalisis,
sistem hukum dan lain sebagainya. Positivisme seakan-akan sedang mengalami
sakratul maut. Dunia pemikiran kontemporer mengalami babak baru, yaitu post-positivisme
yang akan kita bahas bersama pada kesempatan lain.
Baca juga:
http://www.triwardanamokoagow.blogspot.com/2013/12/komunis-dan-agama.html
http://www.triwardanamokoagow.blogspot.com/2013/11/teori-pengakuan-lahirnya-negara.html
http://www.triwardanamokoagow.blogspot.com/2013/11/atheisme-dan-sekluerisasi-barat.html
XXX
[1]
Pernyataan diatas seringkali dipakai sebagai bukti bahwa Karl Marx menganjurkan
ateisme. Padahal tidaklah demikian sebab Marx sendiri wafat dalam keadaan
beragama yaitu agama Yahudi. Kar Marx hanya menganjurkan agar doktrin agama itu
jangan dijadikan alasan untuk menderita secara sukarela. Marx menganjurkan
untuk meraih kebebasan sosial dengan menalar doktrin agama secara rasional.
[2] Meskipun
begitu, Barat sendiri mengalami kesalahpahaman dalam menafsirkan pemikiran Ibnu
Rusyd. Yang dimaksud oleh Ibnu Rusy sendiri, kebenaran tidak lebih dari sastu
tetapi akan ada situasi dimana tiap orang meyakini kebenaran yang seringkali
bertentangan dengan kebenaran yang diyakini orang lain. Ibnu Rusyd sebenarnya
ingin menyatakan bahwa diantara kebenaran-kebenaran yang berbeda tersebut,
pasti ada satu kebenaran yang mutlak. Konsekuensi daripada salah tafsir
tersebut membuat Barat terjun ke jurang relativisme.
[3]
homas
Hobbes mengatakan bahwa manusia pada hekekatnya adalah penyendiri dan
hanya ingin mengejar kepentingannya sendiri. Berangkat dari hakekat kepribadian
manusia yang seperti inilah kemudian Thomas Hobbes melontarkan pemikirannya
bahwa antara manusia satu dengan manusia lainnya adalah serigala (homo homini
lupus). Mengapa mereka menjadi serigala antara satu sama lainnya? jawabannya
karena demi untuk brebut kepentingan dan memuaskan nafsu mereka antara satu
sama lain.
Nah, ketika manusia satu dengan manusia lainnya
menjadi serigala, maka yang terjadi adalah kelangsungan hidup manusia--secara
individual, terancam. Dan demi mementingkan dirinya sendiri (karena takut mati)
mereka pun berkumpul dan kemudian membentuk NEGARA. Negara dalam hal ini,
menurut Hobbes, diadakan untuk melindungi warga negaranya dari ancaman
kematian. Ancaman kematian inilah yang kemudian dikembangkan sebagai dasar
pembentukan hak-hak asasi manusia.
John Locke mengatakan bahwa walau pun manusia
pada hekekatnya selalu mengejar kepentingan dirinya sendiri, namun manusia
tidak seperti apa yang digambarkan oleh Thomas Hobbes, sebagai homo
hominilupus. Manusia mengejar kepentingan dirinya sendiri dengan tidak
mengorbankan kepentingan orang lain, karena, menurut Locke, manusia hanya
mengambil apa yang dibutuhkannya tidak lebih dan tidak kurang.
Namun kondisi manusia yang hanya mengambil sesuatu
yang hanya dibutuhkannya saja, berubah total ketika manusia mengenal uang.
"Uang telah meracuni manusia, manusia menjadi rakus," kata Locke.
Atas nama uang orang yang satu dengan orang yang lainnya saling mengancam dan
menerkam untuk merebut-merampok hak milik orang lain. "Keadaan seperti ini
tidak boleh dibiarkan..!!!" pekik Locke. Dan, oleh karena itulah manusia
membutuhkan negara untuk melindungi hak milik mereka. Inilah awal-mula
kemunculan NEGARA menurut John Locke.
Untuk menjalankan fungsi-fungsi negara dalam menjamin
hak milik individu, kemudian menusia merumuskan mekanisme kekuasaan negara yang
terdiri dari kekuasaan legislatif dan federatif, yang nanti pada gilirannya
dikembangkan oleh Montesque dalam teori trias politikanya
Bagi Jean-Jacques Rousseau manusia memang
penyendiri dan selalu mengejar kepentingan pribadinya, namun demikian, ada sisi
manusia yang humanis dan memiliki dorongan untuk hidup bersama. Berangkat dari
sinilah kemudian Jean-Jacques Rousseau mengatakan bahwa kemunculan NEGARA
sebenarnya didorong oleh individu-individu yang melakukanpenyaringan mana
kepentingan individu dan mana itu kepentinan bersama? ada semacam perbuatan
menyortir.
[4] Teosentrisme
adalah gagasan bahwa pusat dari alam semesta adalah Tuhan
[5]
Antroposentrisme adalah gagasan bahwa pusat dari alam semesta adalah manusia
0 Komentar