Oleh: Triwardana Mokoagow
 

Herakleitos mengatakan bahwa satu-satunya yang abadi dalam dunia yang kita tinggali adalah perubahan. Perubahan senantiasa terjadi. Menggeser model serta gaya hidup. Dinamika ini kemudian berdampak juga pada alam pemikiran manusia yang tidak bersifat statis. Konsekuensi dari perubahan alam pemikiran manusia adalah perubahan sosial. Secara singkat dapat kita nyatakan bahwa perubahan paradigma dalam tiap segi aspek kehidupan masyarakat dan alam senantiasa terjadi. Dan dinamika tersebut harus kita maknai sebagai sebuah rahmat yang tidak tertolak.

Perubahan paradigma tersebut juga terjadi dalam realitas hukum. Hukum yang digunakan berabad-abad yang lalu di Romawi tentunya berbeda dengan hukum yang sekarang digunakan di tempat yang sama. Bahkan hukum yang digunakan di negara A berbeda dengan hukum yang dipakai pada negara B. Perbedaan tersebut senantiasa bergulir. Pada suatu titik tertentu, ada kemungkinan hukum yang dipakai di negara A diadopsi oleh negara B dan mungkin sebaliknya akan terjadi. Hukum yang pernah digunakan di Romawi juga memiliki potensi untuk dipakai kembali pada tempat yang sama meskipun pasti akan dikemas dengan bungkus yang berbeda. Semua dinamika tersebut tentunya tidak lain tidak bukan terjadi karena ada perubahan paling mendasar yang melandasi perubahan-perubahan tadi. Perubahan yang paling mendasar terjadi dalam alam pemikiran manusia.

Barangkali ada berbagai jenis teori tentang perubahan tersebut. Teori yang paling sering digunakan mungkin adalah teori yang ditelurkan oleh seorang ilmuwan evolusionisme bernama Charles Darwin bahwa perubahan itu terjadi dalam waktu yang lama. Perubahan dalam waktu yang lama mensyaratkan adanya perubahan cara adaptasi mahluk hidup dari waktu ke waktu. Dengan begitu manusia dapat mempertahankan kehidupannya. Dalam teori ini, model gerakan perubahan adalah bersifat linier yaitu yang baru menggantikan yang lama. Misalnya manusia sebagai spesies yang berkembang dari kera, tidak bisa membuat manusia nantinya kembali ke wujud kera dalam rantai evolusinya. Teori ini walaupun memang pada awalnya digunakan pada disiplin ilmu pengetahuan alam, kemudian diadopsi dan dimodifikasi oleh para filsuf terutama Karl Marx menjadi teori evolusi sosial. Bahwa manusia sebagai mahluk sosial (zoon politicon) senantiasa beradaptasi dengan lingkungan sosial lewat pekerjaannya sebagai syarat untuk bertahan hidup. Meskipun Karl Marx menganut teori evolusi Darwin, tapi model gerakan perubahan yang digagas oleh Marx sendiri berbeda. Marx mengatakan bahwa tipikal gerakan perubahan adalah siklus. Yaitu akan kembali pada keadaan awal dimana perubahan tersebut bergerak. Misalnya pada awalnya corak produksi manusia adalah corak produksi primitf yaitu dengan melakukan barter sebagai bentuk transaksi ekonomi, sedangkan hari ini kita menggunakan uang sebagai alat pertukaran. Pada suatu titik tertentu kita akan kembali lagi pada bentuk transaksi primitif sebagai konsekuensi logis daripada perubahan siklus.

Di dalam dunia hukum sendiri. Kita mengenal teori perubahan dari seorang tokoh bernama Thomas Kuhn. Beliau adalah seorang yang menggagas ide tentang revolusi sains yang kemudian metode berpikir tersebut diterapkan pada pemikiran hukum. Beliau mengatakan bahwa model gerakan perubahan bukan linier, dan bukan juga siklus secara seutuhnya tapi bersifat saling menggeser satu sama lain. Dengan artian, perubahan teori khususnya dalam konteks ilmu pengetahuan tidak berubah, kemudian yang lama di hapuskan dengan memakai teori yang baru. Tidak juga dalam artian niscaya akan kembali pada teori dasar yang melandasi lahirnya teoir yang baru. Perubahan dalam maksud Thomas Kuhn adalah pergesseran antara satu teori ke teori yang baru tetapi tidak menghapuskan teori yang lama. Konsekuensinya adalah teori yang lama tadi bisa jadi nantinya akan digunakan lagi atau sema sekali tidak akan pernah diterapkan kembali.

Perubahan dalam perspektif Thomas Kuhn kemudian digunakan pada dunia hukum. Hukum dalam sejarah perkembangannya senantiasa mengalami dinamika yang tidak bisa dilepaskan dari adanya teoir-teori baru yang kita kenal pada dewasa ini. Selalu ada teori serta pemahaman yang baru. Sebab hukum bukanlah suatu skema final yang senantiasa bergerak mengikuti kehendak manusia yang tidak pernah statis. Dalam tulisan kali ini kita akan sama-sama membicarakan mahzab pemikiran positivisme hukum yang merupakan salah satu aliran pemikiran besar yang melandasi perkembangan serta perubahan hukum serta sejarahnya. Prof Soetindyo Wignjosoebroto mengatakan dalam salah satu kuliahnya bahwa kita hendaknya membagi periode positivisme ini menjadi tiga, yaitu periode pra-positivisme, positivisme dan post-positivisme. Namun untuk mempermudah pembahasan penulis ingin mengarahkan untuk membaca periode pra-positivisme unutk mempermudah memamahami gerakan perubahan dalam pemikiran positivisme.

Pada awalnya sebelum manusia menyadari bahwa epistemologi bukan hanya tentang pandangan dunia Ilahiah yang berasal dari Tuhan, masyarakat mengalami kemandekan dan dengan mudah dapat dihegemoni oleh kekuasaan yang dipegang para pemuka agama. Michael Foucault memberikan istiliah kekuasaan pastoral untuk konteks ini. Akan tetapi makna kekuasaan pastoral sendiri tidak hanya berkonotasi pada latar belakang agama tertentu tetapi juga melekat pada agama lain misalnya Islam dengan kekuasaan kekhalifaan yang setelah masa khalifah al-rasyidun seringkali menggunakan kekuasaan atas legitimasi agama untuk memerintah dengan cara diktator. Begitu juga dengan paham Brahmana di India pada zaman dulu dan Judaisme di Jenewa serta lain sebagainya. Kekuasaan agama ini bukan ajaran agama itu sendiri. Islam misalnya, berbeda dengan islamisme menurut Ali Syariati, Kristen berbeda dengan Kristenisme, Buddha berbeda dengan Buddhiisme dll. Agama pada dasarnya mengajarkan tentang pesan-pesan moral dalam teks sucinya, hanya saja ketika agama tersebut yang pada awalnya bersifat universal diideologisasikan maka akan bersifat partikular. Agama pada awalnya universal, tetapi mahzab-mahzab pemikiran dalam agama tersebut bersifat partikular. Begitu pula yang terjadi pada masa sebeleum Renaisains di Barat dan akhir masa keemasan peradaban Islam di Timur. Kemandegan terjadi.  Inovasi-inovasi besar dalam kreativitas dan pemikiran manusia kemudian dihambat oleh kekuatan doktriner agama. Negara yang ideal pada zaman itu adalah negara yang menganut paham teokrasi.

Paham teokrasi ini sendiri adalah paham bahwa negara adalah manifestasi kebenaran Tuhan. Raja dari suatu negara adalah utusan Tuhan dimuka Bumi. Anggapan itu berangkat dari pemikiran tentang nabi yang diutus dari sekian banyak manusia. Raja pada masa itu juga menyadari bahwa dari sekian banyak rakyat kenapa hanya saya yang ditunjuk menjadi penguasa mereka? Raja menganggap bahwa diri mereka adalah nabi yang menjembatani komunikasi antara rakyat dan manusia. Suara raja adalah suara Tuhan. Hukum yang diproduksi oleh raja kemudian dianggap sebagai hukum Tuhan (lex naturalis). Thomas Aquino mengatakan bahwa ada sebuah perintaha suci yang melatarbelakangi hal tersebut yang dia katakan sebagai supernatural order. Bahwa Tuhan melalui perantara Raja memberikan perintah untuk membuat suatu hukum tertentu yang disebut dengan hukum naturalisme.

Kekhawatiran atas pemberontakan terhadap titah raja sebagai sebuah tertib kodrati yang menempatkan manusia sebagai mahluk yang memiliki kebebasan kemudian menjadi ancaman bagi para elitis pada zaman tersebut. Kebebasan dikekang. Maka tidak mengherankan kita banyak melihat praktek perbudakkan pada masa itu lewat jendela-jendela sejarah. Thomas Aquino sekali lagi meyatakan bahwa tertib kodrati dapat menyebabkan manusia jatuh dalam kerajaan Iblis (civitas diablo). Pada akhirnya manusia harus hidup dalam kerajaan ilusi yang mereka anggap sebagai surga. Pada akhirnya, karena penyerahan kekuasaan yang begitu besar kepada raja tersebut dan para pemuka agama, lahirlah ketertindasan yang mereka anggap sebagai bentuk kepasrahan diri terhadap ketentuan Tuhan. Asketisme tumbuh subur dalam lahan pemikirannya sendiri, mereka menganggap penderitaan dan kesengsaraan yang dialami di dunia adalah harga yang harus dibayar demi mencicipi surga setelah mereka wafat. Golongan agamis sangat diuntungkan pada posisi ini. Mereka bisa dengan mudah menjual ayat dari kitab suci dengan menafsirkannya secara bebas hanya untuk mempertahankan legitimasi mereka terhadap masyarakat.

Zaman feodalisme kemudian besar karena kepasrahan dan ketundukan buta atas realitas sosial yang terjadi dan diterima begitu saja oleh masyarakat. Para pemilik tanah menggunakan asetnya untuk mempekerjakan rakyat agar dia mendapat penghasilan lebih. Dengan catatan, untk mencapai keamanan dan ketertiban mereka harus menggandeng pemuka agama sebagai kaum borjuasi. Upeti berangkat dari tangan petani, ke tangan pemilik tanah, kemudian berlanjut ke tangan borjuis. Kejahatan sosial yang terorganisir ini kemudian menimbulkan kritik dan serangan dari orang-orang yang telah tercerahkan oleh sejarah. Marx misalnya, mengatakan bahwa “agama adalah candu”[1]. Nietzche juga mengatakan bahwa ”Tuhan telah mati”. Semua pernyataan tersebut keluar semata-mata untuk menyerang realitas sosial yang diintimidasi oleh segelintir orang elit dengan memakai kedok keagamaan. Dalam tubuh agama sendiri bahkan terjadi perpecahan seperti dalam Kristen kita mengenal pertentangan antara Kristen Katolik dan Kristen Protestan, dalam tubuh Islam kita mengenal Mahzab Asy’ariah dan mahzab Mu’tazilah dan lain sebagainya. Asketisme memberikan masyarakat kita penderitaan yang dinikmati oleh golongan elitis.

Kemudian seorang tokoh yang bernama St Agustinus merespon gagasan tadi dengan mengatakan bahwa ada dua kerajaan yang perlu disadarI, yaitu kerajaan Tuhan dan Kerajaan Dunia. Kerajaan Tuhan adalah kerajaan dimana hukum-hukum Tuhan harus hadir demi menjadlankan tertib adikodrati yaitu kebebasan yang dijamin oleh supernatural order. Sedangkan kerajaan dunia adalah hal yang sebaliknya, artinya St Agustinus mengehendaki adanya kerajaan diluar otoritas Tuhan. Pengaruh pemikiran Timur juga masuk di dunia Barat. Ibnu Rusyd yang biasa disebut Averos oleh orang-orang Barat adalah pelaku dari salah satu peletakan dasar dari sekulerisme tersebut. Mereka menafsirkan pemikirannya bahwa ada dua kebenaran yang berbeda[2]. Kebenaran yang dimaksud dalam konteks ini adalah kebenaran Tuhan dan kebenaran menurut manusia. Disanalah kemudian pergeseran dari pandangan dunai Ilahiah beranjak ke pandangan dunia materialisme, disana pula pemilahan terjadi antara urusan duniawi dan urusan ukhrawi. Disanalah sekulerisme lahir.

Celah-celah tersebut kemudian memungkinkan pemikiran lain masuk untuk mendukung pemikiran baru yang nantinya akan menggeser pemikiran naturalisme tadi. Thomas Hobbes, John Locke dan JJ Rousseau[3] kemudian hadir dalam cerita ini. Konsep kontrak sosial merupakan buah pemikiran mereka bertiga. Meskipun gagasan tentang kontrak sosial tersebut berbeda-beda, akan tetapi pada dasarnya memiliki satu kesamaan dasar bahwa masyarakat dan raja bersama-sama membuat suatu kesepakatan yang akan menentukan kekuasaan dan hukum yang mereka terima bersama.  Dengan adanya konsep tersebut, kemudian secara perlahan-lahan bergeserlah pemahaman bahwa Tuhan adalah pemberi otoritas kepada negara menjadi pemahaman bahwa rakyatlah yang memberikan otoritas kepada negara dan rakyatlah penentu hukum suatu negara.

Lahirnya aliran pemikiran rasionalisme merupakan klimaks daripada pergeseran paradigma ini. Mahzab naturalisme secara perlahan diarahkan ke pemikiran rasionalisme. Dari teosentrisme[4] mulai bertransformasi ke antroposentrisme[5]. Pada titik ekstrem akibat kejenuhan dominasi naturalisme menyebabkan mereka berpandangan bahwa satu-satunya kebenaran adalah kebenaran yang berasal dari rasio manusia. Perubahan ini digagas oleh seorang filsuf yang bernama Rene Descartes. Paling tidak adagiumnya yang begitu terkenal adalah “Cogito Ergo Sum”, memiliki arti aku berpikir maka aku ada. Pada masa itu masyarakat mulai menyadari bahwa manusia juga memiliki kemampuan untuk menalar mana yang benar dan mana yang salah. Pemberian otoritas kepada raja yang katanya adalah utusan Tuhan dimuka Bumi memiliki konsekuensi standarisasi yang disandarkan secara penuh kepada penguasa tentang mana yang benar dan mana yang salah. Manusia sebagai individu kemudian mulai dengan berani melangkahkan satu kakinya ke arah kebebasan. Mereka mulai berani mengatkan bahwa mereka dapat menentukan kebebasan serta kebenaran sendiri tanpa mediasi dari raja. Immanuel Kant ikut menggagas suatu ide bahwa manusia adalah mahluk yang merdeka yang harus diawali oleh kemerdekaan berpikir, “Sapare aude!”. Renaisains kemudian lahir, dan kerajaan Tuhan perlahan-lahan runtuh. Orang-orang mengklaim bahwa diri mereka adalah aufklarung (orang yang tercerahkan).

Rasionalisme inilah yang menjadi cikal-bakal darilahirnya positivisme. Perkembangan pemikiran ini kemudian diikuti oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat. Dunia Barat seakan-akan baru saja terbangun dari tidur panjang mereka dan menyadari ada banyak hal yang bisa dilakukan tanpa adanya pengekangan kebebasan berpikir. Thomas Kuhn adalah salah satu tokoh penting yang melandasi perkembangan kemajuan iptek tersebut dan juga nantinya akan memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ilmu sosial khususnya ilmu hukum. Thomas Kuhn menggagas suatu ide yang disebut dengan revolusi sains. Bila evolusi adalah perubahan yang terjadi dalam jangka waktu yang begitu lambat, revolusi adalah perbuahan yang terjadi dalam jangka waktu yang relatif cepat. Perkembangan ini berangkat dari gagasannya bahwa manusia merupakan mahluk berpikir yang memiliki potensi untuk membuat suatu yang baru, yang ideal bagi umat manusia itu sendiri. Dengan produksi teknologi melalui ilmu pengetahuan yang ada, diharapkan dapat bermanfaat bagi hidup manusia itu sendiri. Sains ada untuk umat manusia. Relasi antara rasionalisme dan pemikiran scientific kemudian melahirkan paham positivisme nantinya.

Pola pemikiran scientific tersebut kemudian diadopsi dan dibawa ke dalam alam pemikiran ilmu-ilmu sosial terlebih dalam konteks ini, ilmu hukum. Revolusi Industri di Perancis adalah klimaks daripada runtuhnya pemikrian naturalisme. Saat itu kelompok feminisme menuntut kesetaraan, memberontak terhadap penindasan yang diprakarsai oleh ajaran agama yang menempatkan posisi mereka di bawah posisi laki-laki setelah sekian lamanya penantian. Kelompok proletar memberontak atas hegemoni kelas yang dimotori para borjuasi dan kapitalisme dalam industrialisasi. Para filsuf rasionalisme dengan bangga mengibarkan bendera positivisme di atas puing-puing aliran naturalisme. Tuhan memang belum mati, hanya saja manusia ingin mandiri.

Pergeseran paradigma tersebut menandakan bahwa masyarakat tidak lagi butuh nabi untuk mendampingi hidup manusia. Ini dibuktikan dengan adanya liberalisme yang masuk ke ranah-ranah agama. Katakanlah Kristen misalnya yang dengan kebebasan berpikirnya menggagas amandemen Bible. Islam yang mulai mengembangkan metode ijtihad yaitu metode penemuan hukum yang tidak didasarkan pada al-Quran maupun al-Hadits. Pada naturalisme nabi adalah penuntun manusia untuk menentukan mana yang baik dan mana yang benar. Nabi mengajarkan kebenaran. Konsekuensi dari perubahan adalah, kita yang pada awalnya menerima ajaran, kemudian perlahan-lahan mampu melaksanakan ajaran tersebut dan tidak lagi membutuhkan bimbingan dari para Nabi.  Pada akhirnya, akal manusia adalah nabi batin.

Revolusi yang terjadi di Perancis saat itu merupakan momentum yang menggeser konsepsi religion-state ke nation-state (negara bangsa). Konsep negara bangsa hadir sebagai pahlawan yang mengatur bagaimana masyarakat harus melaksanakan kehidupan dalam perbedaan agama disana-sini, negara bangsa adalah positivisasi dalam tiap aspek kehidupan bermasyarakat. Pada akhirnya otoritas Tuhan dimuka bumi digantikan oleh otoritas masyarakat melalui contract social. Masyarakat adalah Tuhan bagi diri mereka. Vox populi vox dei (Suara rakyat adalah suara Tuhan). Di negara bangsa inilah aliran positivisme tumbuh dengan subur. Positivisme sendiri berasal dari akar kata “posit” yang artinya timbul. Secara real dapat diartikan bahwa positivisme adalah hukum yang berasal dari rasio manusia sehingga semua yang tidak berasal dari rasio manusia tidak dianggap sebagai hukum. Aliran pemikiran hukum ini kemudian menjelma dalam sistem hukum Eropa Kontinental.

Secara umum kita mengenal dua model hukum yaitu ius constituendum (hukum yang dicita-citakan) dan ius constitution (hukum yang sudah ada). Positivisme menghendaki hukum yang dicita-citakan, hukum yang dicita-citakan tersebut kemudian dibuat oleh proses pemikiran para legislator. Maka oleh karena itu hanya di sistem Eropa Kontinentallah aliran positivisme dapat tumbuh dengan subur. Sebab dalam sistem Anglo Saxon hukum itu tidak dibuat oleh rasio, tetapi digali dari realitas sosial masyarakat dan kemudian dibentuk menjadi suatu produk hukum tertentu. Dalam konteks ini kita harus dengan cermat membedakan antara hukum yang “dibuat” dan hukum yang “dibentuk”.

Positivisme adalah aliran pemikiran hukum tentang hukum yang ideal bagi masyarakat. Dalam perkembangannya, kemudian kita mengenal kendala-kendala yang harus dihadapi. Karena konsekuensi logis dari suatu pemikiran pasti akan mengalami pertentangan, itulah dasar pemikiran dialektis terhadap sejarah dan substansinya. Bila sebelumnya kita mengenal adanya pertentangan antara mahzab naturalisme dan mahzab positivisme, maka hari ini sepertinya kita sedang menatap suatu era baru dimana pertentangan pemikiran yang baru akan hadir. Pertentangan tersebut adalah pertentangan antara mahzab positivisme dan mahzab sosiologi hukum yang menggunakan metode yang berbeda yaitu deduksi dan induksi yang juga memungkinkan perbedaan kesimpulan, cara berpikir, cara menganalisis, sistem hukum dan lain sebagainya. Positivisme seakan-akan sedang mengalami sakratul maut. Dunia pemikiran kontemporer mengalami babak baru, yaitu post-positivisme yang akan kita bahas bersama pada kesempatan lain.

XXX




[1] Pernyataan diatas seringkali dipakai sebagai bukti bahwa Karl Marx menganjurkan ateisme. Padahal tidaklah demikian sebab Marx sendiri wafat dalam keadaan beragama yaitu agama Yahudi. Kar Marx hanya menganjurkan agar doktrin agama itu jangan dijadikan alasan untuk menderita secara sukarela. Marx menganjurkan untuk meraih kebebasan sosial dengan menalar doktrin agama secara rasional.
[2] Meskipun begitu, Barat sendiri mengalami kesalahpahaman dalam menafsirkan pemikiran Ibnu Rusyd. Yang dimaksud oleh Ibnu Rusy sendiri, kebenaran tidak lebih dari sastu tetapi akan ada situasi dimana tiap orang meyakini kebenaran yang seringkali bertentangan dengan kebenaran yang diyakini orang lain. Ibnu Rusyd sebenarnya ingin menyatakan bahwa diantara kebenaran-kebenaran yang berbeda tersebut, pasti ada satu kebenaran yang mutlak. Konsekuensi daripada salah tafsir tersebut membuat Barat terjun ke jurang relativisme.
[3] homas Hobbes mengatakan bahwa manusia pada hekekatnya adalah penyendiri dan hanya ingin mengejar kepentingannya sendiri. Berangkat dari hakekat kepribadian manusia yang seperti inilah kemudian Thomas Hobbes melontarkan pemikirannya bahwa antara manusia satu dengan manusia lainnya adalah serigala (homo homini lupus). Mengapa mereka menjadi serigala antara satu sama lainnya? jawabannya karena demi untuk brebut kepentingan dan memuaskan nafsu mereka antara satu sama lain.
Nah, ketika manusia satu dengan manusia lainnya menjadi serigala, maka yang terjadi adalah kelangsungan hidup manusia--secara individual, terancam. Dan demi mementingkan dirinya sendiri (karena takut mati) mereka pun berkumpul dan kemudian membentuk NEGARA. Negara dalam hal ini, menurut Hobbes, diadakan untuk melindungi warga negaranya dari ancaman kematian. Ancaman kematian inilah yang kemudian dikembangkan sebagai dasar pembentukan hak-hak asasi manusia.
John Locke mengatakan bahwa walau pun manusia pada hekekatnya selalu mengejar kepentingan dirinya sendiri, namun manusia tidak seperti apa yang digambarkan oleh Thomas Hobbes, sebagai homo hominilupus. Manusia mengejar kepentingan dirinya sendiri dengan tidak mengorbankan kepentingan orang lain, karena, menurut Locke, manusia hanya mengambil apa yang dibutuhkannya tidak lebih dan tidak kurang.
Namun kondisi manusia yang hanya mengambil sesuatu yang hanya dibutuhkannya saja, berubah total ketika manusia mengenal uang. "Uang telah meracuni manusia, manusia menjadi rakus," kata Locke. Atas nama uang orang yang satu dengan orang yang lainnya saling mengancam dan menerkam untuk merebut-merampok hak milik orang lain. "Keadaan seperti ini tidak boleh dibiarkan..!!!" pekik Locke. Dan, oleh karena itulah manusia membutuhkan negara untuk melindungi hak milik mereka. Inilah awal-mula kemunculan NEGARA menurut John Locke.
Untuk menjalankan fungsi-fungsi negara dalam menjamin hak milik individu, kemudian menusia merumuskan mekanisme kekuasaan negara yang terdiri dari kekuasaan legislatif dan federatif, yang nanti pada gilirannya dikembangkan oleh Montesque dalam teori trias politikanya
Bagi Jean-Jacques Rousseau manusia memang penyendiri dan selalu mengejar kepentingan pribadinya, namun demikian, ada sisi manusia yang humanis dan memiliki dorongan untuk hidup bersama. Berangkat dari sinilah kemudian Jean-Jacques Rousseau mengatakan bahwa kemunculan NEGARA sebenarnya didorong oleh individu-individu yang melakukanpenyaringan mana kepentingan individu dan mana itu kepentinan bersama? ada semacam perbuatan menyortir.
[4] Teosentrisme adalah gagasan bahwa pusat dari alam semesta adalah Tuhan
[5] Antroposentrisme adalah gagasan bahwa pusat dari alam semesta adalah manusia