Oleh      : Triwardana Mokoagow
Seiring bergulirnya sejarah, tahap demi tahap roh sejarah mencari bentuk absolutnya, yang sayangnya luput dari nubuat Hegel sebab Roh itu tidak bertahan lama di Jerman. Konsep demi konsep lahir menggeser paradigma lama dengan yang baru sebagaimana yang dikatakan oleh Thomas Kuhn dalam Scientific Revolution. Fenomena ini terjadi dalam berbagai aspek. Setiap gagasan mengalami pembaharuan dari zaman ke zaman. Hal ini tidak terelakan dari suatu konsep yang dewasa kita kenal dengan sebutan demokrasi.
Demokrasi secara literatur terbagi dari dua kata yaitu demos dan kratein yang diartikan sebagai kekuasaan rakyat. Konsep ini merupakan anti-thesa dari model pemerintahan autoriter yang mencakup otoriterianisme dan totaliterianisme. Dalam suatu diskursus mengenai relasi antara masyarakat sipil (civil society)dan negara (staat), ketika kekuasaan terpusat pada negara maka terjadilah kesewenang-wenangan dari negara. Masyarakat kemudian hanya sekedar objek dan negara merupakan subyek. Louis XIV dikenal sebagai raja yang lalim dengan semboyan L’etat c’estmoi (Negara adalah Aku (raja)).  Masyarakat kemudian tidak mengenal apa itu yang disebut dengan kebebasan.
Sebagai anti-thesa model kekuasaan autoriter, demokrasi menawarkan konsepsi bahwa masyarakatlah harus memiliki keterlibatan aktif dengan negara. Jean Paul Sartre berkata bahwa kebebasan hanya bisa terjadi ketika manusia memberontak terhadap objektivikasi. Masyarakat kemudian bertransformasi dari objek menjadi subyek. Masyarakat haruslah menjadi raja bagi negaranya sendiri. Lahirlah doktrin kedaulatan rakyat yang hari ini termaktub dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 amandemen ke IV. Masyarakat adalah aktor dari rekayasa sosial yang terjadi dalam tubuh mereka sendiri. Pemerintah hanya menjadi eksekutor daripada kehendak rakyat.
Dalam beberapa hari ini, kita telah melewati proses demi proses, tahap demi tahap rangkaian Pemira yang merupakan pesta demokrasi di kampus tercinta ini. Langkah paling ideal dalam rangka agenda revitalisasi kesadaran politik adalah menanamkan kesadaran demokrasi dari lingkungan paling dasar, yaitu rumah dimana para intelektual muda lahir; kampus.
Kedaulatan mahasiswa merupakan implementasi daripada tataran idealitas yang kita dambakan. Hari ini kedaulatan mahasiswa sedang mencari bentuknya. Merupakan kewajiban tiap elemen kampus untuk senantiasa ikut serta mengawal kedaulatan mahasiswa tersebut mencapai bentuk sempurnanya. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kemudian kita mengawal berdirinya mahasiswa yang berdaulat?
Sebagaimana demokrasi dalam definisi secara literatur, kedaulatan mahasiswa mensyaratkan posisi mahasiswa sebagai raja bagi ruang lingkup kelembagaan mahasiswa. Sebagaimana penduduk yang merupakan syarat berdirinya suatu negara (sesuai dengan konvensi Montevideo 1933), begitupula mahasiswa merupakan syarat eksistensi lembaga kemahasiswaan. Saya secara pribadi ketika bersedia untuk tenggelam dalam renungan terdalam, menyadari satu hal; bahwa PEMIMPIN YANG BAIK LAHIR DARI KUALITAS PEMIRA YANG BAIK. Kemudian bagaikan suatu rantai kausalitas (sebab-akibat); KUALITAS PEMIRA YANG BAIK DIBENTUK OLEH KESADARAN AKAN PENTINGNYA KITA MENGGUNAKAN FUNGSI KEDAULATAN MAHASISWA.
 Masa depan dunia kampus, nasib, harapan serta cita-cita segenap mahasiswa bertumpu pada pundak yang satu, pundak yang sanggup memegang amanah dengan teguh dan tegas. Hanya dengan kesadaran futuristik itulah, roh absolut yang mengandung benih-benih moral bisa tumbuh subur dari dalam lingkungan kampus kita yang tercinta, Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung....

*)Selamat memilih, jangan sia-siakan hati nurani kita.