Oleh : Triwardana Mokoagow
Perempuan
merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang di dalam dirinya terkandung harkat dan
martabat sebagai manusia yang memiliki kesetaraan dalam politik, sosial, dan
ekonomi yang sama dengan laki-laki. Dalam drama kosmos yang terkenal, diketahui
bahwa perempuan pertama, yaitu Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hal
ini mengisyaratkan bahwa laki-laki senantiasa harus menjaga wanita seperti dia
menjaga dirinya sendiri. Barangkali merupakan kekeliruan bagi saya apabila ada
yang mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan tidak diciptakan secara
bersamaan. Laki-laki dan perempuan diciptakan secara bersama-sama hanya saja di
tempat yang berbeda.
Berbicara
tentang status ontologis wanita, bila kita melihat ke peristiwa-peristiwa
Sejarah yang terjadi di belakang hari ini, maka akan kita dapati bahwa sejarah
status ontologis wanita didominasi oleh perlakuan serta diskriminasi secara
besar-besaran. Berawal dari zaman Yunani Klasik, Plato menulis “Saya bersyukur
kepada dewa-dewa atas delapan berkat”, salah satu berkat tersebut adalah
terlahir bukan sebagai seorang perempuan. Aristoteles mengatakan bahwa
perempuan adalah lelaki yang tidak sempurna. Beliau mengatakan bahwa kelahiran
seorang perempuan dalam suatu keluarga merupakan citra yang jelek.
Bukan
hanya di Yunani fenomena tersebut
muncul. Begitupula di Mesir, anak perempuan yang lahir apabila tidak digendong
oleh ayahnya seusai lahir maka anak tersebut akan diletakkan di lapangan atau
di tempat-tempat ritual dan ketika dipunggut maka anak tersebut bebas dijadikan
budak oleh yang memunggut. Lain pula di India, meskipun terkenal dengan
pengetahuan dan kebudayaannya, wanita hanya dianggap sebagai bayangan lelaki,
ketika suami dari seorang wanita meninggal maka jasad suaminya ikut dibakar
bersama sang istri meskipun itu artinya sang istri harus dibakar hidup-hidup.
Di Cina kuno, kita mendapati hal yang hampir serupa, wanita hanya dijadikan
budak, ketika wanita menikah dengan seorang laki-laki maka kebbesan wanita
tersebut ditentukan oleh suaminya, bahkan di titik yang paling ekstrem, sang
istri dapat diperjualbelikan menjadi budak. Di zaman Jahiliyah pra-Islam,
dikenal dengan puncak perilaku barbar, bukan suatu dosa bagi mereka apabila
membunuh bayi perempuan yang baru saja lahir dari rahim ibunya sebab perempuan
dianggap sebagai simbol kelemahan dan kehinaan keluarga.
Meskipun
masih banyak bangsa-bangsa terdahulu yang seringkali mengobjektivikasikan
wanita seperti benda mati, barangkali penulis merasa bahwa lima bangsa diatas
cukup untuk mewakili posisi wanita dalam Sejarah bangsa-bangsa yang bahkan
dianggap sebagai bangsa yang memiliki peradaban. Dengan melihat latar belakang
historis tersebut maka kita bisa berasumsi bahwa persoalan gender merupakan
persoalan yang telah mengakar sejak beribu-ribu tahun lamanya.
Fenomena
tersebut kemudian menempatkan wanita pada titik nol. Titik dimana mereka tidak
dipandang sebagai manusia lagi, tetapi sebagai komoditas. Kebebasan serta
kehendak bebas (free will) yang Tuhan
anugerahkan pada mereka dirampas dan dieksploitasi. Jean Paul Sartre, seorang
filsuf eksistensialis dari Perancis merumuskan suatu konsep tentang kebebasan
individual. Selama manusia menjadi bahan objektivikas maka manusia tidak
memiliki kebebasan. Hal demikian terjadi pada perjalanan panjang Sejarah
diskrimansi gender. Wanita dianggap sebagai objek, bukan subjek. Seperti yang
dikatakan oleh Aristoteles bahwa laki-laki adalah pusat alam semesta. Bagaimana
dengan posisi wanita? Dalam konteks yang demikian, ketika wanita
diobjektivikasi, maka tidak akan berbeda lagi posisi wanita dengan komoditas
yang dapat diperjualbelikan.
Memang
teks Sejarah menuliskan mengenai revolusi industri di Perancis pada akhir abad
ke 18 yang didalamnya salah satunya mengenai perubahan paradigma dengan mulai
diakuinya kesetaraan gender. Akan tetapi meskipun diskriminasi secara fisik
secara perlahan-lahan sudah mulai berkurang, diskriminasi serta eksploitasi
berubah wajah pada dunia modern ini dengan kedok rumah prostitusi. Fenomena
prostitusi ini kemudian dijadikan sebagai tempat pelarian wanita. Wanita bukan
sekedar diobjektivikasi, akan tetapi mereka sendirilah yang bersedia untuk
dijadikan objek sebagai komoditas di sebuah pasar yang bernama pasar pelacuran.
Berbagai alasan kemudian dikemukakan oleh mereka sebagai tameng untuk sekedar menjadi
pembenaran atas profesi yang dilakoni. Entah itu alasan ekonomi, sosial,
keluarga, pribadi, bahkan ada yang dengan berani mengakui bahwa mereka rela
terjun ke dunia itu dengan sukarela tanpa didasari motif apapun.Hanya saja,
meskipun mereka menjadikan alasan-alasan tersebut sebagai pembenaran atas apa
yang mereka lakukan, tidak dapat dipungkir bahwa problematika baru lahir,
problematika yang lebih besar dan berbahaya, yakni problematika Moral.
Di
Indonesia sendiri sekarang sedang hangat berita tentang penutupan lokalisasi
gank Dolly. Gank Dolly dikenal dengan salah satu tempat prostitusi yang besar
di Indonesia. Rumah pelacuran yang berada di Kota Surabaya tersebut kemudian
ditutup secara paksa oleh Risma selaku walikota Surabaya. Beragam perspektif kemudian
muncul di tengah-tengah panasnya atmosfer menjelang Pilpres. Ada yang pro, ada
pula yang kontra. Masyarakat yang kontra kemudian berkoar-koar, mengatakan
bahwa penutupan lokalisasi Dolly bukanlah hal yang tepat. Bagi mereka,
pelacuran adalah pekerjaan tertua sepanjang sejarah umat manusia dan tidak bisa
dihentikan. Mereka mengatakan bahwa lokalisasi merupakan jalan keluar atas
problematika ekonomi dan kesenjangan sosial yang tengah melanda masyarakat.
Lokalisasi tempat prostitusi dianggap sebagai jalan alternatif untuk mengurangi
kesenjangan sosial.
Barangkali
ada hal yang dilupakan oleh mereka. Dalam teori ekonomo kita mengenal apa yang
disebut dengan Anglomerasi yaitu teori pemusatan pasar untuk meningkatkan kurva
suply
and demand. Dengan pemusatan pasar, maka tingkat konsumsi dan
produksi cenderung meningkat. Begitupula halnya dengan strategi lokalisasi.
Ketika wanita “malam” dialokasikan ke satu titik, maka tingkat konsumsi
masyarakat cenderung meningkat. Rupanya ada fenomena lain yang luput dari
pandangan mereka yang menolak penutupan rumah prostitusi. Ketika mereka
menganggap lokalisasi merupakan alternatif penyelesaian problematika sosial,
ada problematika baru yang lahir kemudian; PROBLEMATIKA MORAL. Fenomena
prostitusi kemudian melahirkan efek domino bagi masyarakat bahkan sampai
menerobos batas-batas privat. Fenomena laki-laki hidung belang yang mayoritas
sudah berkeluarga kemudian datang menapakan kaki mereka di rumah prostitusi,
permasalahan moral kemudian lahir dengan mengorbankan martabat keluarganya.
Bahkan, diketahui salah satu PSK di Dolly yang sudah tergolong lanjut usia
pernah menuturkan bahwa dia seringkali melayani pelanggan yang ternyata masih
duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
***
Sartre
bertahun-tahun lalu pernah menawarkan suatu konsepsi mengenai masyarakat yang
dia sebut dengan masyarakat pasca-pertaubatan. Masyarakat yang bertaubat bagi
Sartre adalah masyarakat yang memberontak atas objektivikasi orang lain. Bagi
Sartre manusia dibentuk oleh pandangan orang lain. Ketika orang lain menganggap
bahwa kita adalah jelek, kita cenderung beranggapan hal yang sama. Ketika orang
lain menganggap bahwa kita adalah manusia yang memiliki harga diri, kita
cenderung beranggapan hal yang sama. Ketika orang lain menganggap bahwa kita
tidak lebih dari sekedar komoditas, maka kita cenderung akan beranggapan hal
yang sama. Masyarakat yang bertaubat adalah masyarakat yang memberontak atas
tatapan mata orang lain yang menjadikan manusia tersebut menjadi tidak bebas.
Ketika manusia menolak pemahaman bahwa “manusia dibentuk oleh pandangan manusia
lain”, maka pada saat itu dia terbebas dari jeratan objektivikasi sehingga
manusia bukan lagi sebagai objek melainkan subjek. Dengan demikian, masyarkat
pasca-pertaubatan adalah masyarakat dimana manusia sebagai individu saling
memposisikan diri sebagai subjek satu sama lain, bukan sebagai objek. Sartre
meskipun pada awal masa hidupnya memegang tegus prinsip individualistik, akan
tetapi di masa tua dia mulai mendapatkan pencerahan dengan pandangan-pandangan Humanisme
(Akan saya tuliskan pada lain kesempatan).
Berkaitan
dengan fenomena penutupan lokalisasi gank Dolly oleh ibu Risma di Surabaya,
bagi penulis ini adalah langkah berani dan sangat terpuji dalam rangka
mengantarkan masyarakat ke depan pintu pertaubatan Sartre. Upaya menutup gank
Dolly memiliki makna bahwa masyarakat menghendaki kebebasan bagi para wanita
yang dijadikan komoditas di rumah prostitusi. Masyarakat menghendaki upaya
untuk “memanusiakan” manusia. Semoga upaya tersebut menjadi langkah awal, yang
nantinya dapat memberika pencerahan kepada daerah-daerah bahkan negara lain
untuk berinisiasi melakukan hal yang sama. Dengan demikian sejarah panjang
diskrimnasi dan eksploitasi gender dapat berakhir.
“Wanita adalah tiang negara. Apabila baik wanitanya maka baiklah negaranya
dan bila rusak wanitanya maka rusaklah negaranya” (Hadis)
*20 Juni, 2014

0 Komentar