Oleh: Triwardana Mokoagow
Kira-kira untuk satu bulan ini
umat manusia akan disibukan dengan fenomena global yang biasanya kita jumpai
pada periode empat tahun sekali. Bukan hanya di Indonesia, tapi negara-negara
lain terutama Brazil yang pada kesempatan ini merupakan tuan rumah dari pesta
yang ingin saya bicarakan. Bahkan dengan kalimat-kalimat pembukaan yang
bersifat metaforis yang begitu rumitpun tidak dapat menyembunyikan maksud yang
ingin saya sampaikan pada pembaca teks, bahwa yang saya maksud pada tulisan ini
adalah pesta sepakbola terbesar, Piala Dunia 2014 yang tengah diselenggarakan
sejak jam dua tadi pagi. Akan susah menyangkal lagi bahwa memang sepak bola
merupakan bahasa universal.
Pada satu bulan ini kita semua
akan disibukkan dengan euforia olahraga terbesar sepanjang sejarah umat
manusia. Di tengah-tengah hiruk pikuk permasalahan global seperti problematika
sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum dan moral, suasana global seakan-akan
cair dengan hadirnya fenomena besar empat tahun sekali ini. Permasalahan yang
kemudian seringkali luput dari amatan kita adalah bagaimana kemudian kita
melihat posisi pesta sepak bola dunia ini di tengah konstalasi problematika
globalisasi yang begitu akut ini? Apakah objek yang sedang kita bahas sekarang
berada di dalam problematika global ataukah dia berada diluar?
Fenomena-fenomena yang terlihat
telah membuat fenomena lain seakan-akan tidak tampak. Euforia sepak bola
membuat kita lupa untuk mengintip realitas yang terjadi di belakang panggung
penyelenggaraan piala dunia 2014. Euforia seperti morphin yang membuat manusia
senang dan seketika melupakan penderitaan. Harus kita ketahui bersama bahwa
penyelenggaraan piala dunia di Brazil merupakan penyelenggaraan piala dunia
dengan anggaran yang paling tinggi dari piala dunia sebelumnya. Negarapun
memfokuskan anggaran yang begitu besar untuk suksesnya acara tersebut demi
citra tuan rumah yang baik. Tindakan tersebut melahirkan suatu paradoks. Pesta
sepak bola terbesar kemudian berada diantara euforia dan problematika.
Ketika umat manusia dengan nyaman
tenggelam dalam euforia yang ditawarkan dari penyelenggaraan piala dunia, di
sisi lain ada problematika sosial yang terpinggirkan dari amatan kita. Harus
diketahui bersama, bahwa sejak 84 tahun yang lalu, sejak pertama kali pesta ini
digelar, Brazil pada tahun ini akhirnya memecah angka penyelenggaraan piala
dunia termahal dengan total kurang lebih 200 trilyun. Bila kita bandingkan
dengan Indonesia yang hanya untuk menyelenggarakan Pilpres saja membutuhkan
dana 4 trilyun dalam satu putaran, maka dengan angka 200 trilyun Indonesia
dapat menyelenggarakan pilpres 50 kali. Besarnya alokasi anggaran tersebut
menuai protes dari segala arah, bahkan dari masyarakat sipil Brazil sendiri.
Mereka mengkritik pemerintah yang terlalu memfokuskan anggaran pada pesta sepak
bola tersebut dibandingkan kepada masyarakat sipil setempat dengan kondisi
ekonomi rendah. Barangkali fakta inilah yang menjadi titik acuan oleh
segelintir komunitas sosial untuk menginisiasi aksi-aksi sosial dalam rangka
mengkritisi pemerintahan Brazil.
Piala dunia 2014 menympan
paradoks di dalam dirinya.Antara euforia dan problematika, seperti itulah saya
mengasosiasikan fenomena ini. Bahwa di tengah-tengah euforia umat manusia yang
setelah 4 tahun haus menunggu kehadiran pesta ini, mereka kemudian bersedia
hanyut menutup mata, telinga bahkan hati untuk sekedar melihat realitas sosial
dengan segala problematikanya yang belum sempat diatasi oleh bengkaknya angka
pengeluaran untuk penyelenggaraan pesta ini. Sekarang kita bisa lihat bahwa
agama bukan lagi candu bagi masyarakat. Saya seringkali berangan-angan, jika
Marx bangkit dari kuburnya dan melihat realitas global hari ini barangkali dia
akan berteriak dan mengganti pernyataannya ratusan tahun lalu. “Football is opium of the people”. Barangkali
itulah yang akan dia ucapkan melihat 32 timnas anggota piala dunia 2014
seakan-akan sebagai pseudo-religion.
Pada tulisan ini, bukan berarti
saya menolak terselenggaranya pesta sepakbola dunia ini, hanya saja saya
mengkritisi realitas masyarakat yang tidak melihat fenomena ini secara
holistis. Silahkan kita menenggelamkan diri dalam meriahnya pesta dunia ini,
hanya saja jangan sampai kesadaran kita ikut tenggelam. Kesadaran bahwa ada
kewajiban bersama seluruh umat manusia yang seringkali luput dari pengamatan
kita. Kewajiban sosial, yang apabila kita acuhkan begitu saja nantinya jangan
kaget bahwa problematika moral akan lahir kemudian.
XXX
0 Komentar