Oleh : Triwardana Mokoagow

Pembahasan mengenai masyarakat merupakan pembahasan yang begitu menarik dikarenakan masyarakat itu sendiri yang bersifat dinamis sehingga secara temporal pembahasan mengenai masyarakat pada hari ini tentunya akan berbeda dengan masyarakat sebagaimana masayarakat di masa silam, begitu pula secara spasial, tentu saja pembahasan mengenai masyarakat di suatu tempat dan masyarakat di tempat lain juga berbeda. Perubahan dalam tubuh tiap masyarakat merupakan keharusan yang tidak dapat dibendung oleh kekuatan manusia manapun kecuali memang kekuatan tersebut diberikan langsung oleh Tuhan. Pola perubahan tersebut bisa saja terjadi dengan pola liner ataupun dengan pola garis lurus dan secara temporal bisa saja terjadi lewat mekanisme evolusi maupun revolusi yang semua itu terjadi secara sengaja maupun tidak disengaja. Perubahan merupakan keniscayaan, sebagaimana ungkapan Herakleitos sang filsuf yang hidup di zaman Pra-Sokrates bahwa satu-satunya yang abadi di dunia ini adalah perubahan.

Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan karakternya yang multikultural, multireligion, serta multietnik. Indonesia merupakan negara bangsa (nation state) yang terlahir dari pertalian nasib bersama para leluhur yang dengan gagah berani memerdekakan nasib dari jeratan kolonialisme. Lewat persamaan nasib tersebutlah kemudian perbedaan-perbedaan yang seakan menjadi sekat persatuan dan kesatuan antar suku dan daerah dapat diatasi. Kemudian api semangat tersebut dikristalisasi ke dalam tubuh Falsafah Dasar bangsa Indonesia, Pancasila. Dengan tujuan dan harapan demi menjadikan bangsa Indonesia tetap satu dalam perbedaan, dalam rangka menanamkan semangat bhineka tunggal ika. Lewat Pancasila, masyarakat Indonesia terikat dengan nilai-nilai dasar yang teologis, humanis, demokratis serta bercita-citakan keadilan sosial. Tentunya dengan mengenyampingkan ego-ego daerahisme dan sukuisme sehingga terciptalah semangat kosmopolitanisme di atas bumi Indonesia.

Pernah dalam satu seminar saya mengikuti diskusi yang pada saat itu dibawakan oleh JJ Rizal sebagai salah satu pembicaranya. Dia mengatakan bahwa Pancasila merupakan kontrak sosial. Saya secara tegas tidak menerima pendapat yang demikian, sebab ketika Pancasila hanya dipandang sebagai kontrak sosial maka posisi Pancasila telah menjadi rendah. Pancasila bukan sekedar kontrak sosial, Pancasila adalah kontrak moral, kontrak politik, kontrak historis dan kontrak budaya. Salah satu founding leaders Indonesia, Soekarno, mengatakan bahwa Pancasila adalah Fundamen dasar negara yang berisi norma-norma dasar bangsa dan negara (world view/ staatfundamentalismnorm/ philosophische grondslag) yang bahkan posisinya berada diatas ideologi, Pancasila merupakan falsafah dasar atau pandangan dunia. Pancasila lahir sebagai hasil perembukan identitas nasional baik itu berupa sosial-politik mapun sosio-historis. Dalam artian, siapapun yang hendak mengganti sila-sila yang tertuang dalam tubuh Pancasila berarti hendak mengganti sejarah Indonesia sebab Sejarah dapat diartikan sebagai semangat zaman yang hidup dalam diri masyarakat (zeitgeist).

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang menganut Pancasila sebagai falsafah dasar negara yang kemudian memiliki keharusan untuk menginternalisasikan nilai-nilai tersebut ke realitas sosial yang dijalani di atas tanah Ibu Pertiwi sebagai konsekuensi logis. Tentunya bangsa Indonesia sebagai bagian dari dunia materi tidak akan pernah terlepas dari perubahan sebagai keharusan universal. Perubahan tersebut datang di tiap waktu dan tiap tempat di seluruh penjuru Indonesia. Salah satu fenomena yang sedang menggejala dalam skala besar di permukaan adalah mengenai transisi dari masyarkat Indonesia yang bersifat agraris menuju masyarakat yang bersifat industrial. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sifat dasar masyarakat Indonesia adalah bersifat agraris. Tanah serta segala kekayaan alam yang terkandung dalam alam Indonesia merupakan harta paling berharga bagi bangsa ini. Hal ini dapat diukur sejak lahirnya UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria yang diikuti oleh peraturan-peraturan yang secara lebih rinci mengatur ketentuan mengenai pertanahan yang kesemua itu merupakan upaya pengimplementasian gagasan land reform (reformasi agraria).

Akan tetapi sebagaimana yang sudah dijabarkan di awal pembahasan bahwa tiap masyarakat tidak dapat luput dari keniscayaan perubahan. Perlahan-lahan sifat masyarakat Indonesia yang agraris tersebut mulai bertransformasi ke dalam bentuk industrial. Hal ini dibuktikan dengan meluasnya wilayah industrialisasi secara besar-besaran dan diikuti dengan berkurangnya lahan pertanahan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan masyarakat sebagai dampak dari tidak dapat dibendungnya lonjakan pertambahan jumlah populasi. Perlahan-lahan tapi pasti masyarakat Indonesia akan beranjak dari stereotip negara agraris menjadi negara industri apalagi Indonesia merupakan salah satu dari 19 negara dalam komunitas G20 sebagai komunitas internasional yang beranggotakan negara-negara dengan kemampuan ekonomi besar, sehingga dapat dikatakan Indonesia tergolong sebagai negara yang berpotensi menjadi negara maju. Perubahan adalah keharusan, dan jikalau perubahan tersebut memberikan banyak manfaat bagi bangsa Indonesia maka kita tidak dapat menghalangi gelombang perubahan tersebut.

Di tengah derasnya arus globalisasi dan meluasnya modernisasi industrialisasi seakan-akan menjadi suatu keharusan yang harus di tanamkan bagi negara-negara agar tidak tergerus di atas panggung persaingan tanpa meninggalkan etika kepedulian bersama dalam pergaulan masyarakat internasional (global village). Akan tetapi perubahan yang dibawa oleh globalisasi memiliki dua wajah yang fundamental, disamping pengaruh positif juga membawa pengaruh negatif di dalam dirinya. Begitupula industrialisasi sebagai realitas objektif yang ditawarkan oleh fenomena globalisasi, industrialisasi membawa dua wajah, satu wajah menampakan pengaruh kemamkmuran bagi masyarakat dan wajah lainnya menampakan pengaruh destruktif terhadap realitas sosial apalagi mengenai sifat dasar manusia. Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia beserta segala dinamikanya, kecakapan serta kemampuan memfilterisasi harus menyeimbangi derasnya gelombang perubahan yang datang menerpa bangsa kita hari ini dan seterusnya. Think globally, but acting localy, mungkin merupakan istilah yang tepat untuk mewakili pemikiran saya, bahwa kita bisa saja berpikiran secara mendunia tetapi bertindaklah sebagai bangsa Indonesia sejati. Identitas kebangsaan itulah yang merupakan alat filterisasi kita untuk membendung arus perubahan globalisasi, dan alat tersebut merupakan Falsafah Dasar bangsa Indonesia, yakni Pancasila.

Problematika kemudian lahir mengiringi fenomena industrialisasi yang terus meluas dalam realitas keIndonesiaan kita. Mulai dari problematika kemanusiaan hingga ekologis. Masalah kemanusiaan merupakan salah satu masalah paling banyak menarik perhatian dalam diksursus mengenai globalisme, di dalam pembahasan mengenai industrialisasipun seperti itu. Kehadiran ILO sebagai salahs satu organisasi Internasional yang giat memperjuangkan nasib buruh merupakan tanda industrialisasi penuh dengan problematika. Tidak jarang kita menjumpai para serikat pekerja turun ke jalanan untuk menuntut hidup layak baik itu dalam aspek upah, jam kerja maupun tunjangan-tunjangan. Dalam fenomena industrialisasi terjadi ketegangan antara hak dan kewajiban yang terjadi diantara buruh dan pengusaha. Disisi lain buruh menuntut hak-hak yang secara konstitusional telah dijabarkan dalam UUD 1945 dan secara operasional sudah ditentukan dalam UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, akan tetapi disisi lain juga pihak pengusaha memiliki permasalahan sendiri dalam mempertahankan haknya. Nilai kemanusiaan kemudian menjadi taruhan yang sangat berharga di tengah ketegangan yang senantiasa terjadi ini. Sehingga konsekuensi daripada Indonesia yang menganut paham kesejahteraan sosial (social welfare) ialah harus senantiasa hadir demi menengahi ketegangan yang terjadi antara buruh dan pengusaha dalam hubungan kerjanya (tripartit).

Dalam rangka menguraikan permasalah kemanusiaan dalam hubungan industrial Pancasila, perlu pertama-tama kita menggali nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat industrial. Sebab dalam tiap masyarkat yang telah terstrukturisasi sedemikian rupa, baik secara sadar maupun tidak sadar, terlepas dari buruk atau baiknya struktur tersebut pasti akan lahir nilai-nilai yang termanifestasikan dari kultur masyarakat tersebut. Cak Nur (sapaan akrab Nurcholis Madjid), dalam bukunya berjudul Islam Kemodernan dan Keindonesiaan menulis bahwa ada dua nilai dasar dalam masyarakat industrial, yaitu nilai formal (public life) dan nilai-nilai bawah tanah (private life). Namun keduanya sebagaimana dinyatakan secara amat sederhana oleh Matza dan Sykes sekalipun berbeda, namun tidak terpisah. Nilai-nilai formal ialah bentuk pengorbanan seseorang melalui kerja yang akan memberikan kelengkapan material yang kemudian akan ia gunakan dalam waktu-waktu senggang dengan nilai-nilainya yang terdiri. Ringkasnya, orang taat kepada nilai-nilainya formal untuk dapat menikmati norma nilai-nilai bawah tanah (sub-terranean values). Justru nilai-nilai bawah tanah itulah yang menjadi tujuan dan tempat yang menemukan dirinya kembali (mengalami humanisasi), sedangkan nilai-nilai formal tersebut bersifat instrumental belaka. Nilai-nilai formal tersebut kemudian menjadi instrumen yang mensyaratkan terpenuhi sebagai kewajiban seseorang untuk meraih kebebasan mereka sebagai manusia.

Jadi proses permasyarakatan termasuk yang dialami oleh setiap orang dari masa kanak-kanak sampai masa dewasa, menyangkut perpindahan dari prinsip kesenangan kepada prinsip kenyataan, dari dunia kebebasan dan kenikmatan kepada dunia yang diliputi keharusan-keharusan. Setiap orang telah mengecap surga permainan pada masa kanak-kanak menumpan dalam hati kecilnya suatu utopian tentang dunia yang di dalamnya keharusan-keharusan ekonomi tidak menjadi beban dan yang di dalamnya dia dapat menyatakan kenginan-keinginannya secara bebas.

Sebagaimana ketika Karl Marx ketika dia mengadaptasi konsep evolusi dari wacana biologis ke wacana sosial, bahwa di dalam realitas industrial manusia beradaptasi atau bertahan hidup dengan bekerja. Tanpa pekerjaan manusia tidak bisa membeli makanan, tanpa makanan manusia tidak bisa bertahan hidup, sehingga dengan silogisme sederhana kita dapat menyimpulan bahwa tanpa pekerjaan manusia tidak bisa bertahan hidup. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengatur serta mengatasi ketegangan antara hak dan kewajiban dalam pekerjaan tersebut. Memang benar bahwa hak lahir ketika kewajiban terpenuhi, membicarakan hak tidak bisa dilepaskan dari kewajiban. Antara pekerja dan pengusaha melekat hubungan yang sangat peting bagaikan hubungan simbiosis mutualisme yang saling mengisi satu sama lainnya. Hak dari pekerja merupakan kewajiban dari pengusaha, begitupula hak dari pengusaha merupakan kewajiban dari pekerja. Sehingga dalam tujuan untuk melengkapi hak dan kewajiban tersebut perlu diadakan win-win solution tanpa mengorbankan salah satu pihak. Yang dalam konteks pembahasan ini, adalah tidak menghilangkan sifat kemanusiaan dalam masyarakat industrial. Pancasila tidak bisa untuk tidak dijadikan sandaran dalam rangka membangun hubungan simbiosis mutalisme ini. Sebagaimana yang ternisbahkan dalam sila ke dua Pancasila, yaitu “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Bahwa Pancasila sebagai alat untuk mengontrol hubungan industrial, perlu hadir dalam rangka mengagungkan kemanusiaan.

Dalam sila kedua tersebut dapat diinterpretasikan bahwa nilai-nilai kemanusiaan terdiri dari keadilan tanpa menghilangkan martabat yang sejatinya merupakan fitrah manusia. Setiap manusia yang lahir di muka bumi ini tentu melekat padanya Hak Asasi Manusia, hak dasar yang tidak dapat dikurangi sama sekali dalam situasi dan kondisi apapun (underogable right). Di tiap diri manusia juga melekat Kewajiban Asasi untuk melindungi serta menyelamatkan Hak Asasi tersebut. Begitupula dalam hubungan industrial, Pancasila mensyaratkan keadilan dan martabat sebagai unsur pembentuk kualitas hubungan tersebut. Konsekuensi logis daripada Pancasila sebagai Falsafah Dasar bangsa Indonesia, adalah menginternalisasikan nilai tersebut ke dalam masyarkat industrial sehingga dapat tercipta masyarakat industrial Pancasila.

Di dalam masyarakat industrial Pancasila, memanusiakan manusia merupakan suatu keharusan universal yang tidak hanya diimplementasikan di realitas sosial Indonesia. Herbert Marcuse, pemikir paham Kiri Baru di Amerika, dia mengatakan bahwa kemanusiaan berintikan kebebasan. Sebagaiamana anugerah yang hanya diberikan kepada manusia bahwasanya manusia memiliki kehendak bebas (free will). Maka hilangnya kebebasan, betatapun hal itu dapat dicarikan pembenaran, adalah menghilangkan kemanusiaan, termasuk juga industrialisasi. Maka dalam rangka menginternalisasikan nilai kemanusiaan Pancasila, pemberian porsi waktu senggang yang cukup merupakan keharusan sehingga masyarakat industrial dapat melaksanakan nilai-nilai bawah tanahnya. Dengan begitu di satu pihak kebebasan manusia dapat dilindungi dan di lain pihak kita dapat menepati kewajiban asasi kita untuk melindungi nilai dasar kemanusiaan itu.


Salam! XXX