Oleh : Triwardana Mokoagow
Bolaang Mongondow adalah daerah yang terletak di dataran provinsi Sulawesi Utara dengan luas lebih
dari setengah Sulawesi Utara. Setelah pemekaran daerah, terbagilah Bolaang
Mongondow ke beberapa wilayah administratif baru sebagai daerah yang tergolong
Daerah Otonomi Baru (DOB). Pemekaran wilayah ini kemudian melahirkan empat
kabupaten dan satu kota yang terdiri
dari Bolaang Mongondow Induk, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Timur,
Bolaang Mongondow Selatan dan Kota Kotamobagu. Sebagaimana daerah lainnya,
Bolaang Mongondow sebagai salah satu daerah di negara Indonesia yang terkenal
dengan dengan multikulturalnya, Bolaang Mongondow menyimpan Sejarah tersendiri
yang melatarbelakangi perkembangan sosial, budaya dan politik.
Sebagai daerah dengan tingkat
kepedulian daerah yang masih begitu tinggi, Bolaang Mongondow terkenal dengan
sejarah yang membentuk struktur masyarakatnya sendiri. Karena disadari atau
tidak, terlepas dari nilai moralnya, norma-norma yang menjelma dari kebiasaan
masyarakat Bolaang Mongondow dengan sendirinya akan terlembagakan. Seorang
filsuf Romawi mengatakan, sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang akan
menimbulkan kekuatan normatif. Sehingga budaya, atau kebiasaan dikategorikan
sebagai salah satu sumber hukum nasional. Di masa lalu, ketika konsep tentang
kepala daerah belum terkonkritisasi secara administratif dan yuridis,
masyarakat Bolaang Mongondow masih menyandarkan nasib daerah mereka kepada para
raja. Raja dianggap sebagai simbol daerah, dalam artian raja merupakan
representasi daripada kondisi sosial, politik, budaya dan ekonomi masyarakat.
Setelah sedikit menggambarkan Bolaang
Mongondow, variabel selanjutnya dari tulisan ini adalah tentang stratifikasi
sosial. Bila didefinisikan secara literatur atau secara akar bahasa, maka akan
didapati dua suku kata yaitu “stratum”
yang artinya lapisan dan “socius”
yang artinya masyarakat sehingga stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai
lapisan masyarakat. Sedangkan di kalangan para ahli, soerjono Soekanto
mengatakan, stratifikasi sosial adalah pembedaan posisi seseorang atau kelompok
dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal. Biasanya stratifikasi
sdidasarkan pada kedudukan yang diperoleh melalui usaha tertentu. Sedangkan
menurut Max Weber, stratifikasi sebagai penggolong orang-orang yang termasuk
dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan hirarkis menurut dimensi
kekuasaan, privilese dan prestise.
Pada era kekuasaan Raja Tadohe
sebagai salah satu raja yang membawa perubahan besar dalam hukum adat Bolaang
Mongondow, tercipta susunan lapisan kelas sosial yang dibuat setelah musyawarah
mufakat yang diadakan di atas bukit Toedoe
In Bakid (puncak gunung musyawarah) yang terletak di sebalh Utara desa
Pontodon. Disana kemudian dengan kesepakatan bersama, mereka mengesahkan
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan lembaga-lembaga yang sejak itu
berlaku bagi seluruh wilayah Bolaang Mongondow. Semenjak perjanjian itu, salah
satu aturan penting yang lahir adalah tentang pembagian strata sosial yang
terdiri dari: kelas raja, kelas kohongian, kelas simpal, kelas nonow, kelas
tahid dan kelas yobuat. Kelas raja merupakan kelas dengan kedudukan sosial
paling tinggi dan kelas yobuat adalah kelas dengan kedudukan sosial paling
rendah.
Latar belakang historis daripada
lahirnya kelas-kelas tersebut memang dimulai sejak usainya perjanjian dan pengesahan melalui
mekanisme musyawarah mufakad di bukit Toedoe In Bakid. Raja dan para Bogani
pada waktu itu kemudian mengangkat seorang penyampai pesan yang menghubungkan
komunikasi antara rakyat dan raja serta para bogani. Penyampai pesan tersebut
kemudian diberi gelar Sadaha Tompunuon.
Pada suatu hari, raja Tadohe
mengintruksikan kepada para bogani untuk segera merencanakan pembuatan komalig (istana raja). Intruksi tersebut
disertai dengan ramuan yang harus dibawa. Para bogani kemudian menyampaikan
rencana pembuatan komalig tersebut ke para bawahannya yang kemudian membuat
rombongan mereka masing-masing. Para pemimpin masing-masing rombongan kemudian
membaut ramuan mereka dan dibawa ke istana. Raja kemudian memerintahkan kepada
Sadaha untuk mengecek apakah ramuan yang dibawa adalah kayu nonow atau bukan (Nonow adalah kayu yang
keras). Kemudian setelah dilaporkan, diketahui bahwa ramuan yang dibawa oleh
Kolopita semuanya adalah Nonow. Maka raja memberitahukan kepada Kolopita bahwa
mulai hari itu dan seterusnya keturunan Kolopita adalah termasuk dalam bangsa
Nonow. Kemudian setelah itu secara berturut-turut orang-orang lain membawa
nonow yaitu Ubudia, Lonownya dan Beken. Sebagaimana yang diberitahukan kepada
Kolopita, maka keturunan dari ketiga orang tersebut ditetapkan sebagai kelas
nonow.
Setelah ramuan terkumpul dan
komalig sudah didirikan, raja kemudian memerintahkan untuk melakukan upacara rimbang (pengobatan yang dilakukan
kepada Mokodoludut). Setelah itu, para bogani menyerukan ke masyarakat Bolaang
Mongondow untuk mengantarkan makanan ke komalig. Namun sebelum keluarga dari
masyarakat datang untuk mengantarkan makanan, raja memberitahukan kepada Sadaha,
“Barangsiapa yang mengantarkan makanan ke istana, maka jangan tentukan tempat
duduknya. Biarkan dia sendiri yang mencari tempat duduknya”. Yang mula-mula
datang bersama keluarganya adalah Punu Modeong. Setelah disambut oleh Sadaha,
tanpa memberitahukan dimana Modeong bisa duduk, Modeong kemudian mencari tempat
duduknya sendiri. Punu Modeong kemudian duduk di balai-balai kecil sebelah
kanan tempat duduk raja. Melihat Punu Modeong duduk disebelah kanan raja, dia
berkata “Karena Punu Modeong duduk disebelah kananku, maka keturunan Punu
Modeong disebut bangsa Simpal”.
Pada zaman itu, masyarakat
Bolaang Mongondow belum memiliki lampu sebagai alat penerang rumah. Baik di komalig (istana raja) maupun di rumah
penduduk hanya memakai monuntul (lampu
obor). Sadaha kemudia memuatkan jadwal bagi masyarakat agar secara bergantian
mengantarkan monuntul di komalig. Pada suatu hari raja Tadohe mengamanatkan
kepada Sadaha untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat agar berkumpul di
komalig. Ketika sebagian masyarakat yang ditunjuk telah terkumpul, bogani
kemudian menunjuk siapa yang akan membawa udang, ikan, air nira (saguer) dll.
Raja kemudian bertitah pada Sadaha, “Barangsiapa yang membawa obor maka cucunya
bertugas sebagai Tahid (yang membersihkan lampu obor) sedangkan siapa yang
membawa ikan atau makanan seperti udang, babi, saguer dan sebagainya maka
cucunya turun temurun tergolong bangsa Yobuat (pembawa makanan raja)”.
Setelah ditentukannya empat kelas
sosial oleh Raja Tadohe yaitu kelas Simpal, Nonow, Tahid dan Yobuat. Keempat
kelas sosial tersebut tersebar ke seluruh pelosok wilayah Bolaang Mongondow. Kemudian
semenjak Raja Salomon (Salmon) Manoppo dilantik dengan kontrak tertanggal 15
Januari 1735, maka kemudian lahirlah dua kelas baru yaitu kelas Raja dan kelas
Kohongian. Kelas Kohongian ini sendiri merupakan kelas sosial yang diduduki
oleh para bangsawan. Dalam artian, kelas Kohongian merupakan rakyat yang secara
ekonomi tergolong berada di posisi menengah keatas. Sesuai dengan kultur
kelas-kelas lainnya, keturunan daripada kelas Kohongian akan mewarisi posisi
kelas orang tuanya kecuali dalam keadaan-kadaan tertentu. Sedangkan bagi kelas
raja, yang akan mewarisi posisi Raja hanyalah salah satu dari keturunan raja
tersebut.
Dari deskripsi historis yang
diambil dari berbagai literatur tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara
horiontal, apabila kita urutkan dari kelas yang paling tinggi ke kelas paling
rendah maka akan didapati: Kelas Raja -
Kohongoan - Simpal – Nonow – Tahid – Yobuat. Konsekuensi dari perbedaan
kelas tersebut menyebabkan tiap kelas sosial dilekati oleh hak dan kewajiban
yang berbeda-berbeda sebagai masayrakat adat. Yobuat memiliki kewajiban sebagai
pengantar makanan, Tahid berkewajiban sebagai pembersih monuntul, Nonow
berkewajiban sebagai pembuat komalig, Simpal berkewajiban berada di samping
tempat raja duduk, dan raja berkewajiban sebagai simbol pemerintahan daerah.
Dalam hierarki sosial tersebut, dikarenakan raja menduduki kedudukan sosial
paling tinggi maka raja memiliki hak yang paling besar dibandingkan kelas-kelas
dibawahnya.
Akan tetapi bukan berarti ketika
seseorang berada dalam kelas tertentu dia kemudian tidak bisa berpindah ke
kelas lain. Di dalam teori stratifikasi sosial dikenal tiga jenis sistem
stratifikasi yaitu sistem terbuka, sistem tertutup dan sistem campuran.
Stratifikasi teruka adalah sistem yang memungkinkan masyarakat bisa bepindah
kelas, akan tetapi dalam stratifikasi tertutup masyarkat tidak dapat berpindah
kelas dan pernikahan hanya bisa terjadi dengan seseorang yang berada di kasta
yang sama. Sedangkan stratifikasi campuran merupakan kombinasi dari dua jenis
stratifikasi tersebut, pada sisi budaya mereka memang tidak bisa berpindah
kelas akan tetapi dari aspek ekonomi dan politik mereka bisa berpindah ke kelas
yang lebih tinggi.
Bagi masyarakat Bolaang Mongondow
di era kerajaan sendiri, terdapat dua jalan untuk berpindah kelas. Pertama
adalah melalui hukuman, ketika seseorang di kelas Kohongian atau Simpal atau
Nonow melakukan pelanggaran atas hukum adat, maka bisa saja raja memeberikan
mereka ganjaran dengan menurunkan status sosial menjadi Tahid. Sedangkan jalan
kedua adalah melalui perkawinan. Dikarenankan Bolaang Mongondow memiliki budaya
patrilinear yaitu garis keturunan yang ditentukan oleh orangtua laki-laki, maka
ketika seorang laki-laki di kelas tertentu menikah dengan seorang wanita di
kelas berbeda maka keturunan mereka wajib mengikuti kelas ayahnya. Contohnya
ketika laki-laki dari Kohongian menikah dengan wanita dari simpal, maka
keturunannya menjadi kelas Kohongian. Sebaliknya, ketika laki-laki dari simpal
menikahi wanita dari Kohongian maka keturunannya menjadi kelas Simpal. Begitu
pula yang terjadi pada kelas-kelas lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa
sistem stratifikasi yang digunakan pada masa itu adalah sistem stratifikasi
terbuka.
Kemudian pada tahun 1945 ketika
Indonesia secara deklaratif berdiri sebagai negara bangsa (Nation-staat). Konstitusi kemudian dibentuk dan disusun
landasan-landasan hukum dalam upaya rekayasa sosial di tengah-tengah konflik
yang masih belum selesai semenjak Jepang menyerah tanpa syarat. Ideologisasi
kemudian mulai marak terjadi, salah satu konsep besar yang kemudian masuk
merasuki alam pemikiran bangsa Indonesia adalah konsep tentang demokrasi. Pada
tahun 1949 ketika wacana tentang Negara Indonesia Timur mulai membesar di
permukaan akibat dari penerapan model negara federal sebagai implementasi
daripada UUD Republik Indonesia Serikat, terjadi pergolakan hebat di wilayaha
Indonesia Timur. Salah satunya terjadi di tanah Bolaang Mongondow. Kepercayaan
terhadap demokrasi sebagai konsep yang ideal kemudian meruntuhkan sistem
Kerajaan yang memaksa para raja dari empat swapraja menyerahkan kekuasaan
mereka kepada kepala daerah Bolaang Mongondow yang pertama, yaitu Anton
Cornelis Manoppo dengan masa jabatan sejak tahun 1954 sampai 1955. Dengan
pelimpahan kekuasaan tersebut, menandai hilangnya secara perlahan-lahan para pemegang
kepercayaan lapisan sosial diatas. Sebab konsekuensi logis ketika demokrasi
dijalankan, adalah penerimaan terhadap hak yang sama bagi setiap manusia untuk
menempati posisi sosial yang dia inginkan.
Salam!
Sumber tulisan:
Sejarah
Daerah Bolaang Mongondow, disusun oleh Drs A.J. Paransa, A. Majaan, dan N.D.
Manoppo. Tahun 1983
Mengenal
Raja-raja Bolaang Mongondow. Terjemahan dari tulisan W. Dunnebier tentang “over
de vorsten van Bolaang Mongondow” dari Bahasa Belanda dilengkapi dengan
ungkapan dan tanggapan oleh R. Mokoginta. Mei 1984
0 Komentar