Oleh      :               Triwardana Mokoagow

foto: Salvador Deli




Tuhan, God, Yahweh, Bapa, El-Shadai, Allah dan lain sebagainya. Nama yang sejauh saya ketahui masih begitu tabu untuk dibicarakan terutama di tengah masyarakat kita di Indonesia. Sebab di negeri ini saja kesalehan seseorang hanya (seringkali) diukur dari seberapa bagus baju kokoh yang digunakan dan seberapa panjang jenggot seseorang. Keimanan kita hanya diuji seberapa pintar kita bisa berbahasa Arab dan seberapa gampang kita menjustifikasi seseorang zindik. Sehingga untuk membicarakan Tuhan saja kita harus ketakutan. Kemudian saya ingin bertanya pada orang-orang tersebut: seperti apakah kalian memandang Tuhan? Sebagai terorkah, atau sebagai kekasih?
Saya menyadari hal demikian, bahwa masih merupakan resiko yang besar di negeri ini untuk membicarakan Tuhan. Tapi dengan resiko tersebut yah saya rasa sah-sah saja untuk sedikit berpikir out of the box dengan mendobrak hal-hal tabu di kalangan masyarakat kita. Tidak heran Ali Harb mengatakan bahwa Nietzche sang pembunuh Tuhan itu adalah manusia paling religius yang dia kenal. Jadi izinkan saya berbicara tentang Tuhan dalam teks sederhana ini dengan sedikit pengetahuan yang saya ketahui, yang sama juga dengan anda, bahwa memang sedikitlah pengetahuan yang Dia berikan pada kita. Yang dengan sedikit pengetahuan tersebut telah membuat Einstein begitu gelisah dengan penasarannya hingga dia menciptkan M Theory dengan harapan bisa membaca pikiran Tuhan ketika menciptakan alam semesta ini.
Tuhan merupakan realitas tertinggi yang berada diluar kemampuan inderawi dan rasio manusia. Tidak heran kenapa hingga hari ini teman-teman Empirisme dan Rasionalisme masih berada dalam kesusahan untuk mengenal Dia. Jangankan mengenal Dia, mengakui Dia ada atau tidak saja mereka masih kebingungan. Tapi tentu saja Tuhan tidak ingin kita diciptakan sia-sia, Tuhan ingin kita melakukan apa yang Dia inginkan. Maka oleh karena itu, karena salah satu prinsip komunikasi adalah menggunakan bahasa yang sama agar dapat dimengerti, Tuhan kemudian mengutus wakil-Nya dimuka bumi sebagai handphone yang menghubungkan antara pemahaman manusia dan keinginan Tuhan. Dan sampai hari ini, dikarenakan (mungkin) manusia sudah memiliki kondisi mental dan pengetahuan yang cukup tentang Tuhan, dia memberhentikan distribusi kader-kader-Nya di muka bumi agar tetapi tetap saja dengan pegangan kitab suci yang hari ini sudah di kodifikasi oleh kadernya kader Tuhan.
Lewat kitab suci tersebutlah Tuhan memberikan semacam kisi-kisi; Trik dan tips untuk mengenal serta menyatu dengan Dia. Dengan sedikit upaya pribadi saya untuk memahami bahasa agama yang ternyata dipenuhi dengan kata-kata kiasan serta perumpamaan (mustasyabihat), yang seringkali dalam proses pembacaannya saya merasa sedang membaca prosa yang luar biasa indahnya, saya mencoba-coba menggunakan berbagai metode hermeunetika untuk memahami ruang antara Pengujar (Tuhan) dan pembaca (manusia) yang masih sangat terbuka untuk dilakukan interpretasi dengan harapan,  makna sebenarnya yang ingin disampaikan Sang Penulis bisa kita temukan.
Dan ternyata benar juga secara tekstual, saya menemukan ayat-ayat dimana Penulis menyatakan kehadiran tuhan lain selain diri-Nya: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya....” (Al-Jasiyah 45 :23) dan “Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya..” (Al-Furqan 25:43). Dengan demikian Tuhan mengakui bahwa di dalam eksistensi tiap manusia melekat tuhan-tuhan (dengan “t” kecil) palsu. Tuhan dalam kalimat-kalimat lanjutan atas ayat tersebut kemudian menerangkan bahwa mereka yang mengikuti tuhan palsu tersebut adalah orang-orang yang melenceng dari agama yang telah Dia wahyukan. Dalam artian Tuhan hendak menyatakan bahwa tuhan palsu tersebut merupakan negasi dari Tuhan yang sesungguhnya.
Saya menemukan, bahwa ternyata ada Tuhan sejati dan tuhan fantasi. Tuhan fantasi adalah hawa nafsu saya dan kalian, yang senantiasa menurutkan keinginan-keinginan duniawi yang melekat pada kemanusiaan. Aristoteles, seorang filsuf Yunani itu mendefiniskan manusia sebagai binatang yang berpikir. Bahwa disisi lain, selain manusia sebagai homo religius dan homo saphiens, melekat sifat kebinatangan dalam dirinya yang mensyaratkan kecenderungan untuk mengikuti hawa nafsu seperti makan, minum, seks dan kenikmatan duniawi lainnya secara berlebihan. Maka dikarenakan Tuhan sejati adalah negasi daripada tuhan fantasi atau tuhan palsu tersebut, maka sebagaimana fitrah manusia yang hanif (cenderung mengikuti kebenaran dan kebaikan), untuk mendekatinya kitapun harus menegasikan sifat-sifat kebinatangan yang melekat pada diri kita dengan menegasikan makan, minum, seks dan kenikmatan duniawi secara berlebihan tentunya dengan cara puasa, zakat, sabar, menahan diri, serta menempuh kenikmatan supra-duniawi. Begitulah logika teologi negatif diimplementasikan dalam konteks ini.
Pada akhirnya di tulisan saya hanya ingin mengatakan dengan jujur sejujur-jujurnya, bahwasanya sesuai dengan pengetahuan saya yang sedikit ini sayapun menyadari, jikalau Tuhan telah menerangkan kehadiran tuhan-tuhan yang sudah seringkali merebut posisi-Nya di dalam hati dan pikiran tiap manusia, bahwa tiada dosa yang lebih besar selain menyelingkuhi Tuhan sejati, maka izinkan saya menyatakan bahwa masih ada satu nama yang kurang dari asmaul husna; “Tuhan Maha Pencemburu”.

(***)

Teks ini tidak terlepas dari kekeliruan, karena bagaimana mungkin kita bisa memahami dengan sempurna hakikat Tuhan dengan kerangka logika manusia, bagaimana mungkin kita mengenal Kebenaran Mutlak dengan menggunakan kerangka logika manusia yang bisa benar dan bisa salah. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu’, barang siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya. Barang siapa menemukan tuhan fantasi di dalam dirinya dan menegasikannya, maka dia mengenal Tuhan Sejati (walau perkenalan tersebut masih terbatasi oleh lemahnya rasio). Akhirul kata, Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa apa yang engkau bicarakan tentang Tuhan, bukan Tuhan. Kita hanya membicarakan konsep kita tentang Tuhan, bukan membicarakan Tuhan. Sebab, bagaimana mungkin materi membicarakan yang immateri. Bagaimana mungkin mengungkapakan Dia yang tidak terungkapkan. Bagaiamana mungkin menjelaskan Dia yang tak terjelaskan. Bagaiamana mungkin memikirkan Dia yang tak terpikirkan. Apa yang selama ini diyakini sebagai Tuhan, atau Tuhan yang diyakini, atau Tuhan dalam keyakinan, atau keyakinan terhadap Tuhan.. BUKANLAH TUHAN YANG SESUNGGUHNYA.

Salam!