Oleh : Triwardana Mokoagow


Tiap arsitektur menyimpan keindahan tersendiri pada fascadenya. Tiap arsitektur memiliki wajah, yang secara tidak langsung mengekspresikan keindahan jiwanya, esensi adalah penampakan dari eksistensinya. Begitu pula dirimu kasih, kau adalah arsitektur Tuhan terindah. Kaulah fascade ku menuju Tuhan. Lewat dirimulah Tuhan bertajjali/epifani. Di dalam dirimulah cintakasih Tuhan termanifestasikan. Lewat wajahmulah Dia menyapaku.


Wajahmu adalah ekspresi dari Sang Maha-Indah, Maha-Suci, Maha-Pengasih. Wajahmu menyandera segenap duniaku. Aku tenggelam dalam obsesi akut ketika seluruh perhatian dan pandanganku tersedot di dalam dirimu. Aku terasing dari diriku sendiri, ketika kau datang di taman itu, kau tiba-tiba menjadi satu-satunya objek yang meniadakan bunga-bunga di taman itu, kau mengalahkan keindahan dan kecantikan yang sebelumnya ada di taman tersebut.


Pertemuan mensyaratkan tatap muka, yang terjadi selanjutnya adalah sapaan. Kau menyapaku, dengan senyum yang mengalahkan manisnya anggur. Sapaan itu menembus segala ego dan mengasingkan ku atas diriku. Aku pun tergradasi dari “aku” menjadi “diri”. Aku mencintaimu, bahkan sebelum aku menyadari bahwa aku mencintaimu, rasa cinta itu sudah ada terlebih dahulu. Cinta itu mendahului pemikiran rasional dan pertimbangan moral, mendahului semua kategori sikap yang ada. Cinta itu sekali lagi membuatku terasing, karna aku tidak punya lagi kuasa atas kesadaranku sendiri. Wajah mu, dan ketika kau menyapa dengan ekspresi itu, aku kehilangan kuasa atas dunia kecilku, aku menjelma sebagai objek-mu.


Cinta adalah jelmaan dari tanggungjawab primodial yang mendahului segala sesuatu yang bisa ku kuasai atas diriku dan untuk dirimu. Cinta adalah merampas posisimu, dengan tanggungjawab total dan teraniaya. Aku teraniaya atas obsesiku padamu, karena aku sadar eksistensiku tersandera pada wajahmu, yang kutangkap sedang memberikan himbauan mutlak; “jangan bunuh aku”. Bahkan untuk membunuhmu, meniadakanmu, aku harus membunuh diriku sendiri terlebih dahulu.  Cinta dalam tataran aksiologisnya, adala subtitusi. Merampas posisimu demi keteraniayaan diriku. Dipertemukan denganmu hanya mengandung makna bahwa “saya adalah penebus dosamu, saya adalah sumber kebaikanmu”. Dan itu adalah kebaikan dasariah sekaligus cinta dasariah. Yang mutlak, yang tak menuntut syarat apapun..


Ijinkan aku mencintaimu dengan cara serumit ini.