Arah
perkembangan teknologi dan komunikasi semakin pesat melaju, menembus bats-batas
antar pulau dan bahkan antar negara. Urgensi terhadap pengaturan dan penentuan
hukum demi tercapainya keamanan dan ketentraman yang terutama dalam konteks ini
adalah ketentraman dalam hubungan internasional, maka dibuatlah hukum-hukum
yang memberikan batasan terhadap kedaulatan tiap negara. Aturan inipun di
padatkan dalam norma dasar pergaulan internasional yang disebut ius coggen.
Barangkali
yang selalu menjadi pertikaian antar negara adalah perebutan wilayah
teritorial, pengaturan terhadap yuridksi internasional, dan
kepentingan-kepentingan politik lainnya yang tidak bisa terelakkan. Sehingga
penulis sendiri berpendapat bahwa norma dasar yang tertuang dalam ius coggen yang sangat fundamental
mempengaruhi hukum-hukum internasional adalah asas souveregnity atau asas kedaulatan negara. Dimana tiap negara
memiliki legitimasinya terhadap wilayahnya sendiri dan tidak menghendaki adanya
intervensi apapun terhadap kedaulatan yang dimilikinya. Sifat memiliki inilah
yang seringkali bentrok dengan negara-negara yang berseberangan dengannya,
pengklaiman teritorialpun tak terhindarai, seperti dalam kasus sengketa antara
Irak dan Iran.
Sengketa
internasional seringkali berujung pada mahkamah internasional, walaupun tidak
jarang berujung pada peperangan. Dalam tatanan masyarakat internasional,
peperangan hanya terjadi ketika berbagai mediasi dan diplomasi tidak dapat
diterima oleh para pihak yang bersengketa, perang hanyalah sebuah jalan akhir.
Menyadari bahwa peperangan adalah sesuatu yang pasti akan terjadi, belum lagi
ketakutan terhadap masa lalu yang begitu kelam dalam buku-buku sejarah seputar
perang dunia pertama dan kedua serta perang dingin masih menyisakan
kekhawatiran terhadap nasib umat manusia, maka masyarakat internasionalpun
membuat suatu konsesi yang mengatur tentang tata cara melaksanakan perang yang
kita kenal dengan nama Hukum Humaniter Internasional.
Hukum
humaniter internasional adalah hukum yang memuat asas-asas dan kaidah-kaidah
tentang apa yang diperbolehkan serta dilarang saat terjadi perang yang
melintasi batas-batas teritorial antar negara. Hukum humaniter internaisonal
menjadi aturan bagi peperangan, sedangkan PBB bertindak sebagai wasit. Alasan-alasan yang sah sehingga negara dapat
menyuarakan perang adalah ketika motif peperangan adalah dalam rangka membela
diri (mempertahankan kedaulatan negara) dan dalam rangka melaksanakan misi
pasukan multinasional PBB dalam rangka menjaga perdamaian internasional.
Hukum
humaniter internasional ini disebut juga asas ius in Bellum. Prinsip-prinsip hukum humaniter internasionalpun
terpadatkan dalam asas tersebut. Untuk diketahui, hukum internasional secara
umu terdiri dari prinsip pembedaan, prinsip keterpaksaan, prinsip proporsional,
prinsip kemanusiaan serta prinsip perlindungan.
Perang
haruslah terjadi sebagai jalan akhir, sebab peperangan sangat mempengaruhi
nasib umat manusia secara universal. Perang dunia pertama, kedua serta perang
dingin masih mewariskan teror yang bisa pecah kapan saja dia mau . Mungkin
secara biologis kita tidak berada di tengah peperangan tersebut, akan tetapi
sebagai seorang manusia kita pasti dapat merasakan atmosfer pembantaian,
pembunuhan, genosida dan tindakan dimana
nyawa manusia tidak lagi memberikan arti dihadapan peluru. Barangkali
inilah yang menjadi landasan sehingga dimasukanlah prinsip yang menyeimbangi
serta membatasi kekejaman perang terutama dalam masalah kemanusiaan. Salah satu
organisasi internasional yang berperan penting dalam hal ini adalah Palang
Merah Internasional.
Hukum Humaniter Islam
Jauh
sebelum hukum humaniter internasional dipadatkan dan diterima secara luas oleh
kalangan masyarakat internasional, pada abad ke 7 Masehi atau 13 abad sebelum
hukum humaniter internasional lahir, telah ada suatu hukum perang yang telah
mapan terlebih dahulu dalam pengaturannya terhadap hal-hal yang dilarang untuk
dilakukan dalam perang, kita bisa menyebutnya hukum humaniter Islam.
Mungkin
landasan hukum yang memberikan legitimasi untuk umat Islam melakukan perang
adalah surah Al-Baqarah (2) ayat 190 yang artiya : “Dan perangilah di jalan Allah orangorang yang memerangi kalian, tetapi
jangan melampui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yangmelampui
batas.” Bila diinterpretasikan, perang hanya dapat dilakukan ketika pihak
lain memulai peperangan terhadap kita. Artinya peperangan bukanlah didasarkan
atas kehendak sendiri. Juga, tidak boleh melampui batas atau aturan perang.
Aturan
perang dalam Islam yang dimaksud disini adalah pesan Rasulullah saw kepada tentara
Usamah ibnu Zaid ketika akan bertolak ke Syria: ”Sebentar! Aku ingin berpesan kepada kalian sepuluh hal. Berperanglah
dengan nama Allah dan dijalan Allah. Jangan berkhianat, melanggar janji dan
memotong-motong tubuh mayat. Jangan membunuh anak kecil, perempuan dan orang
yang lanjut usia. Jangan menebang pohon,serta merusak dan membakar
pohon kurma. Jangan menembelih kibas atau unta kecuali untuk dimakan. Kalian
akan melewati satu kaum yang menyepi di biara-biara, biarkan mereka. Perangilah
orang yang memerangi kalian dan berdamailah dengan orang yang berdamai dengan
kalian. Jangan melampui batas karena Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampui batas.”
Sehingga
bila kita uraikan garis besarnya, prinsip hukum humaniter Islam adalah:
1. Melindungi
anak-anak, wanita dan orang yang sudah lanjut usia
2. Menghargai
manusia bahkan mayatnya sekalipun
3. Melarang
berbuat kerusakan terhadap lingkungan sebab lingkungan merupakan mahluk hidup
(makrokosmos) yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
4. Menjunjung
tinggi perjanjian. Artinya ketika musuh telah mengibarkan tanda menyerah maka
saat itu peperangan harus dihentikan.
5. Menawarkan
keamanan. Yaitu tidak merusak atau mengganggu peribadatan serta rumah
peribadatan yang dijumpai pada peperangan seperti sinagog, gereja, masjid,
kuil-kuil dan sebagainya.
Hukum Humaniter Internasional vs
Hukum Humaniter Islam
Ada
beberapa poin yang menurut penulis yang mempunyai relevansi yang kuat antara
kedua prinsip diatas yaitu tentang kemanusiaan dan perlindungan. Dalam hukum
humaniter Islam, harga diri manusia yang bahkan ketika dia telah jadi mayat pun
harus dijaga. Ini berdasarkan pada penolakan terhadap sikap kaum jahiliyah yang
sebelumnya seringkali memotong bagian-bagian tertentu dari tubuh mayat ketika
mereka menang. Bahkan para tentara perang tidak diperbolehkan untuk pulang dari
medang perang sebelum mensholatkan mayat-mayat korban peperangan.
Mengenai
prinsip perlindungan sendiri, hukum humaniter Islam sangat menjunjung tinggi
kesepakatan bila musuh telah menyerah dan meminta untuk menawarkan keamanan
bagi pihak yang kalah. Dalam hukum humaniter internasional, seperti yang
diterangkan sebelumnya, juga terdapat prinsip proporsionalitas dan prinsip
pertolongan. Karena perang juga terikat dengan hukum-hukum kemanusiaan, maka
pihak militer berkewajiban menjaga hak-hak masyarakat sipil maupun militer yang
telah mengalami kekalahan dalam perang, hak yang paling penting adalah hak
untuk hidup.
Beberapa
prinsip yang terkandung pada kedua aturan perang tersebut memang ada yang
memiliki relevansi, namun tidak dapat dipungkiri ada juga yang memuat
kontradiksi. Prinsip keterpaksaan dalam hukum humaniter Internasional adalah
prinsip yang dimaksud. Prinsip ini bertentangan dengan prinsip kemanusiaan,
prinsip tidak merusak lingkungan serta prinsip menawarkan keamanan yang termuat
dalam hukum humaniter islam maupun hukum humaniter intrnasional.
Prinsip
keterpaksaan adalah dasar penggunaan senjata pemusnah massal atau penggunaan
senjata nuklir. Contohnya adalah pada saat Perang Dunia II saat sekutu telah
banyak mengalami kekalahan oleh Jepang dan Jerman, AS kemudian mengeluarkan
senjata pemusnah massal yang disebut “little
boy” di Hiroshima dan “Fat man”
di Nagasaki.
Hukum humaniter internasional sungguh
begitu paradoks! Disatu sisi hukum itu mengatur tentang kemanusiaan,
proporsionalitas dan pertolongan akan tetapi disisi lain mereka menghalalkan
genosida, baik terhadap manusia maupun lingkungan. Bagaimana bisa pengeboman
yang telah menelan beratus-ratus juta nyawa manusia tanpa peduli mereka ikut
andil dalam peperangan atau tidak, bagaimana bisa tindakan seperti ini
dihalalkan?
Efek
yang nantinya penulis khawatirkan terhadap masa depan umat manusia apabila
nantinya ketika perang dunia ketiga pecah adalah efek yang akan ditimbulkan
oleh senjata nuklir ini. Pertama, dalam
peperangan, tidak semua bangsa Jerman ataupun Jepang yang bahkan sependapat
dengan kehendak negara untuk melaksanakan perang. Tidak boleh kita tersesat
dengan menafsirkan bahwa karena negara Jerman atau Jepang memusuhi AS, maka
seluruh warga Jerman dan Jepang adalah memusuhi AS. Dalam logika, kesesatan
berpikir ini disebut fallacy of hazty
generalitation atau kesesatan berpikir karena mengumumkan hal-hal yang
khusus.Sehingga dengan dilakukannya pengeboman terhadap Jepang, maka kematian
massal terjadi tanpa memperdulikan apakah orang-orang yang mati tersebut adalah
pihak yang sepakat atau tidak bersepakat dengan peperangan serta tindakan
negara Jepang.
Kedua, efek
senjata pemusnah massal bukan hanya menyebabkan kematian manusia pada saat
senjata tersebut digunakan. Efek samping nuklir juga berlanjut hingga
berpuluh=puluh tahun setelah ledakan tersebut. Pada level yang cukup tinggi,
bahkan orang-orang yang terkena radiasi dari nuklir bisa mengidap kanker,
penuaan dini, sindrom ketakutan yang akut, kelainan genetika serta gangguan
sistem saraf dan reproduksi. Bahaya yang ditimbulkan oleh nuklir bahkan bisa
menjangkau orang-orang yang berada beberapa kilometer dari ledakan nuklir
tersebut.
Ketiga, prinsip
keterpaksaan yang menghalalkan pemusnahan ini juga berdampak pada lingkungan.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip menjaga lingkungan ketika
berperang. Kita mengenal satu istilah dalam peperangan, yaitu “membumi
hanguskan” dengan kata lain memusnahkan segala sesuatu yang berada di atas bumi
tempat nuklir itu diledakkan tanpa terkecuali. Bukan hanya nyawa manusia yang
kemudian terenggut, tetapi juga nyawa lingkungan.
Keempat, dengan
tindakan ”membumi hanguskan” ini, tanpa terkecuali berarti seluruh
bangunan-banugnan yang melekat pada tanah tempat nuklir ini meledak juga ikut
musnah. Bertentangan dengan prinsip menawarkan keamanan dalam hukum humaniter
internasional dimana kita harusnya dapat menawarkan keamanan terutama bagi
orang yang beribadat serta menjaga rumah-rumah peribadatan tiap pemeluk agama.
Penulis
menilai bahwa prinsip keterpaksaan ini merupakan agenda politik yang sengaja
dimasukkan oleh AS untuk menjaga superioritasnya terhadap negara lain bila
nantinya terjadi peperangan. AS merupakan negara penyumbang terbanyak kepada
PBB yaitu hampir mencapai satu perempat anggaran dasar PBB. Ketergantungan PBB
terhadap AS inilah yang kemudian menerima prinsip keterpaksaan sebagai salah
satu prinsip hukum humaniter interasional.
Sangat
terlihat ketakutan yang dihinggapi oleh AS terhadap adanya senjata pemusnah
massal di negara lain. Seperti ketika AS menuduh Irak merancang sebuah sebuah
senjata nuklir, atau ketika AS ketakutan mengetahui Iran sedang melakukan
pengayaan uranium. Penulis menilai perbuatan AS ini tidak adil sebab AS memiliki senjata
nuklir yang walaupun tidak lagi tidak lagi operasional, tetapi 50 buah masih
disimpan sebagai bagian dari Enduring
Stockpile.
Solusi yang ditawarkan penulis adalah
penghapusan prinsip keterpaksaan dalam hukum humaniter internasional dan
kembali pada hukum humaniter Islam yang lebih mengakomodasi kepentingan
kemanusiaan dan mahluk hidup selain mansuia dalam rangka mempertahankan
eksistensi mereka terutama dalam hubungannya dengan Tuhan. Senjata nuklir
adalah sebuah simbol yang paling jelas menunjukan kemerosotan moral yang
diakibatkal oleh laju ilmu pengetahuan yang bahkan tidak dapat diseimbangkan
dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang berdiri disampingnya.
0 Komentar