Oleh:     Triwardana Mokoagow

Problem sosial dalam konteks kultural-historis senantiasa mewarnai perjalanan kelompok-kelompok Islam yang mengharuskan diri menghadapi berbagai tantangan zaman. Karena tiap periode Sejarah selalu menyimpan problematika serta tantangan bagi dirinya sendiri, maka tiap periode Sejarah juga menawarkan semangat zaman (Zeitgeist) dalam rangka menghalau rintangan-rintangan tersebut. Kelompok muslim sebagai salah satu kelompok besar yang bersarang di berbagai wilayah dunia tidak terlepas dari tantangan-tantangan tersebut.
Kelompok muslim yang notabene beridentitaskan predikat religus kemudian harus beradaptasi dengan realitas sosial serta gesekan-gesekan kultural yang dibangun oleh kekuatan historis secara demografis maupun secara temporal. Di Indonesia misalnya, ekspansi penyebaran agama diketahui mengalami puncaknya lewat perdagangan. Walaupun lewat analisis arkeologis diketahui bahwa muslim telah hadir sejak abad ke 11 Masehi tepatnya dengan ditemukan makam yang nisannya bertuliskan nama dengan tradisi Arab yang diperkirakan dibuat pada tahun 1082, akan tetapi puncak penyebaran agama Islam mencapai puncaknya pada abad ke 14 lewat jalur perdagangan yang berhasil didominasi di Demak. Hanya saja pada tahun-tahun selanjutnya mulai masuk paham Merkantilisme Eropa yang berusaha merebut jalur perdagangan laut, sedangkan jalur perdagangan darat sendiri direbut oleh kaum pribumi dengan semangat etnisitas yang kemudian menyingkirkan kelompok-kelompok muslim yang datang ke alam Indonesia. Pada saat itu terjadi marginalisasi terhadap kelompok-kelompok muslim, mereka yang baru saja mendapati diri merasa nyaman di wilayah tersebut kemudian mengalami alienasi. Barangkali inilah awal dari pergulatan panjang kelompok muslim untuk merebut kembali posisi menghegemoni kondisi sosial, politik dan ekonomi di Indonesia.
Kelompok muslim kemudian mendapati diri mengalami semacam langkah awal untuk merebut kembali hegemoni mereka lewat sebuah organisasi yang bernama Sarekat Islam yang diketuai oleh HOS Cokroaminoto dalam percaturan politik dan ekonimi secara ideologis tanpa meninggalkan prinsip-prinsip Islam di tengah-tengah derasnya intervensi kolonialisme. Pada masa pra-kemerdekaan, kelompok-kelompok muslim tersebut berjibaku dengan teror serta penindasan yang dilakukan oleh para kolonialis dalam rangka mempertahankan status quo. Barulah pasca-kemerdekaan, lewat desakan seluruh elemen gerakan yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia akhirnya bangsa Indonesia berhasil mengantarkan diri mereka sendiri di depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Dan sejarah tidak dapat mendustai, bahwa kelompok muslim merupakan salah satu unsur terpenting yang mendesak kelahiran kemerdekaan tersebut. Hal ini bahkan dibuktikan dengan kemenangan awal ketika terjadi konsolidasi dalam rangka merekontruksi falsafah negara Indonesia, dimana tertuang dalam sila pertama Pancasila (saat itu bernama piagam Jakarta) yang berisikan tentang menjalankan syariat Islam bagi penganutnya. Walaupun akhirnya sila pertama tersebut dirubah karena desakan wilayah Timur yang mayoritas terdiri dari mayoritas non-Islam yang mengancam akan mendirikan negara baru jika sila tersebut tidak diganti. Alhasil, lahirlah sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kemerdekaan yang diraih oleh bangsa-bangsa yang tergabung dalam komunitas ASEAN kemudian mengalami tantangan baru. Bagi negara-negara yang hampir semuanya merupakan negara bekas jajahan (kecuali Thailand), terdapat tantangan baru sebagai konsekuensi daripada praktik koloniaisme di tanah air masing-masing, yaitu lahirnya konsep negara bangsa (nation state). Tentu saja konsep tersebut merupakan tantangan tersendiri bagi kelompok Muslim ASEAN yang harus menghadapi kenyataan bahwa pada abad 20 merupakan abad modernisasi serta merasuknya pemahaman sekularistik ke paradigma masyarakat. Hanya saja berbeda dengan Malaysia dan Filipina yang ketegangan terhadap tantangan tersebut berada pada tataran etnis, Singapura yang mengalami konflik pada tataran kultural, Indonesia sendiri berkonflik dalam konteks birokrasi serta kaitannya dengan umat. Semenjak para penjajah melangkahkan kakinya keluar dari negeri Indonesia, terjadi pergolakan hebat di tataran kelompok elitis (kelompok muslim salah satunya) untuk mengadakan konsolidasi dalam rangka merebut legitimasi kekuasaan masing-masing kelompok. Berdirinya negara baru merupakan momentum tepat untuk meletakan dasar negara. Setidaknya meskipun dengan motif kekuasaan, konflik tersebut masih bersifat ideologis. Hal ini dibuktikan dengan upaya makar oleh PKI pada tahun 1947, dan adanya fenomena NII/DII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo pada tahun 1949.
Dalam realitas sosio-historis Indonesia sejak awal kemerdekaan, terjadi konflik serta perselisihan dalam skala besar baik di tataran elit pemimpin kelompok ideologis maupun di tataran populis yaitu masyarakat yang mengikuti suatu kelompok ideologis tertentu. Konsolidasi kelompok-kelompok muslim menunjukan taringnya yang dibuktikan dengan perolehan 50 % jumlah suara dalam pemilihan umum pada tahun 1955 oleh kelompok muslim. Pada era tersebut, atmosfer pemilu masih kental warna ideologisnya. Karena jelaslah sudah, bagi kelompok Komunis akan memilih PKI, bagi kelompok nasionalis akan memilih PNI dan bagi kelompok muslim akan memilih Masyumi sebagai primadona mereka. Kesadaran atas realitas tersebutlah yang mendasari Soekarno mewacanakan peleburan ketiga kutub tersebut dalam konsep NASAKOM (Nasionalis, Agamis dan Komunis) dalam rangka merangkul kelompok-kelompok politik besar dan berpengaruh di Indonesia.
Konflik terhadap PKI yang mencapi klimaks pada tahun 1965 juga tidak bisa dilepaskan dari peran besar kelompok muslim. Pada konflik tersebut, diketahui lewat literatur sejarah bahwa kaum santri dan abangan yang sebelumnya mengalami ketegangan hebat secara ideologis maupun secara kultural berhasil menghimpun diri ketika dihadapkan dengan ideologi komunis sebagai musuh bersama. Di era Orde Baru sendiri, pemerintah memiliki ambivalensi dalam bersikap dan bertindak secara politik.Walaupun disisi lain pemerintah Orde Baru patut untuk menghaturkan rasa terimakasih sebesar-besarnya atas bantuan kelompok muslim yang telah membantu membumi hanguskan eksistensi komunis di Indonesia, tapi disisi lain pemerintah berusaha untuk melumpuhkan pengaktifan kembali Masyumi yang ditakutkan berpotensi mengancam status quo. Upaya untuk meredam legitimasi politik Masyumi kemudian dibuktikan dalam ajang pemilu yang menunjukan bahwa pada pemilu tahun 1971, 1977 dan 1982 jumlah pemilih partai Islam yang sebelumnya pada tahun mencapi 50% kemudian menurun menjadi 30%. Upaya mengkebiri hegemoni partai Islam kemudian dilancarkan dengan slogan Islam Yes, Partai Islam No!.
Sekali lagi kelompok muslim yang terutama duduk pada kursi-kursi kelompok elitis teralienasi dari realitas politik dan ekonomi. Apalagi pada tahun 1970, terdapat tantangan baru lagi yang harus dihadapi agar tetap bisa mempertahankan eksistensi mereka. Tantangan tersebut adalah dengan merasuknya paradigma modernisasi yang mensyaratkan adanya kecenderungan menuju model sekularistik. Pada tahun-tahun tersebut pemerintah juga mengharuskan semua partai untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Menunjukan bahwa pemerintah yang pada saat itu ingin mempertahan status quo mencoba menggali benih-benih yang cenderung mengarah ke sekularistik dengan perlahan-lahan memadamkan api ideologis partai Islam.
Pada realitas politik hari ini, pasca Orde Baru, setelah agenda reformasi berada dalam tahap perampungan secara terus menerus. Terjadi degradasi dalam pemilihan umum. Jikalau pemilu pada Orde Lama adalah pemilu ideologis dan pemilu pada Orde Baru adalah pemilu yang daya tariknya pada partai, maka pemilu di era Reformasi daya tariknya adalah pada figur. Tidak heran wacana mengenai kehadiran seorang Ratu Adil atau yang dikenal dengan sebutan Satrio Pininggit di negeri ini selalu mencuat di setiap momentum menjelang pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Kelompok muslim sendiri sebagai kelompok yang secara historis memiliki kekuatan besar dan melatarbelakangi lahirnya kemerdekaan Indonesia kemudian mulai tergerus ideologinya beralih ke paradigma pragmatisme. Hal ini dibuktikan dengan seringkalinya terjadi koalisi antara partai Islam dan partai Kristen di Pemilu pada wilayah tertentu. Belum lagi sering terjadi kasus-kasus korupsi yang menimpa partai Islam, entah itu korupsi sapi, dana haji maupun korupsi dana al-Quran. Jikalau pada Orde Lama jumlah suara partai Islam adalah 50% , pada Orde Baru 30 %, maka pada era reformasi lewat data dari pemilihan umum tahun 2014 jumlah suara gabungan partai Islam hanya mencapai tidak lebih dari 20%. Dengan demikian terbongkarlah mitos bahwa demokrasi yang dilaksanakan pada negara dengan mayoritas warga negara muslim dapat membuat instabilitas demokrasi di negara tersebut.

Hal ini menunjukan bahwa kelompok-kelompok Islam yang terhimpun dalam organisasi maupun partai politik perlu melakukan kontemplasi panjang dalam rangka merekontruksi kembali landasan ideologis sehingga bisa kembali merebut kepercayaan masyarakat. Jikalau tidak, maka eksistensi partai Islam harus merima diri tergusur dari realitas politik serta sosial yang semakin hari semakin mendambakan negara sekuler seutuhnya akibat kekecewaan terhadap predikat Islam yang begitu sering dipolitisasi. Selain itu patut untuk direnungkan secara mendalam kritik Nurcholis Madjid yang menggembar-gemborkan slogan Islam Yes! Partai Islam, No! Karena Nurcholis Madjid melihat bahwa telah terjadi disparitas antara nilai-nilai yang dicita-citakan dalam Islam dan realitas objektif yang terjadi, atau sederhananya, terjadi ketimpangan antara das sein dan das sollen.