Oleh    : Triwardana Mokoagow
Bismillahiramanirrahim,
Himpunan Mahasiswa Islam (selanjutnya disingkat HMI), adalah organisasi mahasiswa tertua yang berdiri dua tahun setelah Indonesia mendeklarasikan dirinya merdeka. Sehingga HMI dapat disebut sebagai anak kandung Revolusi. Tidak kondusifnya stabilitas keamanan dan politik pada jarak antara tahun 1945 sampai tahun 1949, kemudian menyebabkan HmI yang berdiri di tengah-tengah perjalanan waktu tersebut, mengharuskan diri untuk mau tidak mau terlibat dalam beberapa agresi militer melawan kaum kolonialisme. Barangkali sebagai organisasi tertua, HmI memendam sumbangsih yang tidak sedikit terhadap perjalanan kemandirian Indonesia hingga hari ini.
Setiap episode sejarah, terutama sejarah Indonesia memang memiliki semangat zaman (zeitgeist) di tiap peristiwa besar yang dia kandung. Mahasiswa terutama HmI tentunya senantiasa bergulat dengan tantangan zaman baik secara pemikiran maupun secara tindakan. Mungkin inilah yang menyebabkan budaya perlawanan tumbuh subur di hati para kader-kadernya. Di era Paska-Kolonialisme (1945-1949), kita hadir sebagai prajurit yang mempertahankan gerbang kemerdekaan. Era Demokrasi Liberal (1949-1959) kita hadir demi menegakan kebebasan dan memerdekakan pemikiran. Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966) kita hadir untuk mengembalikan ilusi demokrasi Soekarno. Era Orde Baru (1966-1998) kita hadir untuk meruntuhkan Oligarki serta otoriterianisme para elit penguasa. Maka pada era reformasi (1998 – sekarang) kita sedang mencari jati diri kita, dimana kita harus berdiri dan berada pada tempat yang semestinya untuk selalu melakukan perlawanan.
Tampaknya ada yang salah sejak era Reformasi tercetuskan dalam kitab suci sejarah Indonesia. Ada yang belum rampung untuk dipikirkan dan direncanakan. Transisi pemerintahan serta sistem politik-ekonomi yang berselingkuh dengan lebatnya arus globalisasi mengharuskan pemuda untuk beradaptasi serta senantiasa selalu berinovasi demi menyeimbangi perubahan-perubahan yang begitu pesat terjadi. HmI sebagai organisasi tertua yang hadir dalam perjalanan sejarah Indonesia harus membendung diri dari indikasi-indikasi negatif yang sangat mungkin terjadi dalam agenda besar mewujudkan Masyarakat Adil Makmur yang dirdhoi Allah Swt.
Dalam rangka refleksi tahun baru, dengan merenungi dan berkontemplasi secara mendalam atas kiprah HmI ke belakang. Merupakan kewajiban moral bagi kita semua untuk mengkoreksi demi suatu proyeksi yang baik di masa depan organisasi. Kemajuan dan keberhasilan organisasi dalam merealisasikan misinya tidak akan pernah terjadi apabila kita tidak pernah melakukan intropeksi diri dan merenung secara rasional. Setelah melihat ke belakang dalam beberapa dasawarsa ini, saya selaku pribadi dengan berani berpendapat bahwa terlampau banyak permasalahan yang harus kita benahi dalam agenda besar perkaderan kita.
Pertama, masalah paradigma kader yang menyebabkan terjadinya disorientasi perkaderan. Dalam doktrin ideologi organisasi mengenai konsep keadilan ekonomi dan keadilan sosial, paradigma yang dicoba ditanamkan adalah paradigma bahwa kader HmI harus menggunakan sarana struktural dalam menegakkan keadilan. Bahwa kekuasaan merupakan akses untuk kader menegakkan keadilan dalam realitas sosial-ekonomi.
Saya sepakat dengan Kuntowijoyo dalam bukunya Paradigma Islam. Beliau menulis bahwasanya lebih efektif apabila kita melakukan revolusi dari atas dibanding revolusi dari bawah. Bahwa realitas sosial yang terjadi sebenarnya bersumber dari moral dan efektifitas pelaksanaan sistem oleh penguasa secara struktural. Pendapat beliau diikuti dengan pengakuan bahwa HmI merupakan organisasi yang dimana alumni-alumni mereka sudah demikian banyak tersebar dalam struktur pemerintahan yang selama ini berkembang. Sehingga bukan hal yang salah bagi saya jikalau ada yang mengatakan HmI ini sangat dekat dengan lingkaran kekuasaan. Kekuasaan memang sarana bagi kader untuk mengaktualisasikan misi yang mereka emban. Hanya saja, paradigma yang (sepertinya) tertanam dalam kepala kader adalah bahwa kekuasaan merupakan tujuan. Budaya transaksional yang mengendap dalam tiap konfercab maupun kongres masih sangat kental aromanya. Secara empiris, kita tidak bisa untuk tidak mengakui bersama, bahwa terjadi disorientasi dalam tindakan dan pemikiran kader kita.
Kedua, permasalahan identitas HmI. Apabila melihat eksistensi serta kiprah kita di panggung nasional, dalam pengamatan ini, terlihat beberapa hal yang mengganjal dalam hati saya. Melihat kita lebih peka terhadap permasalahan politik-ekonomi dibandingkan persoalan keumatan seperti kebebasan beragama, inklusifitas, dan toleransi dalam kemajemukan. Misi awal HmI mencakup dua hal besar yakni Keindonesiaan dan Keislaman. Kita memang bukanlah orang Islam yang kebetulan lahir di Indonesia dan harus mengislamkan Indonesia secara simbolik. Hanya saja kenyataan bahwa kita harus mempertahankan keislaman sebagai substansi perkaderan tidak boleh terlupakan. Dimana posisi HmI ketika wacana kebebasan beragama muncul ke permukaan? Problematika-problematika seperti fundamentalisme agama, radikalisme, ekstremisme agama, intolerasi dan lain sebagainya seakan-akan lewat saja dalam ruang diskusi kita. Dengan kenyataan yang demikian, agaknya akan lebih tepat bila kita mengatakan HmI adalah Himpunan Mahasiswa Indonesia dibandingkan Himpunan Mahasiswa Islam.
Ketiga, permasalah globalisasi. Globalisasi ditandai dengan semakin menyempitnya ruang dan menyingkatnya waktu. Dalam waktu yang cepat, tidak menutup kemungkinan sesuatu hal besar yang terjadi di luar negeri dapat memberikan efek di dalam negeri baik itu secara politik, ekonomi maupun kebudayaan. Dunia yang telah mengalami kompleksitas, yang menyebabkan kita hampir kehilangan batas-batas teritorial, mengharuskan kita untuk selalu cepat terlibat dalam memfilterisasi akibat-akibat negatif yang sangat potensial terjadi. HmI tidak bisa untuk tidak ikut terlibat dalam ranah kemajuan IPTEK yang ironisnya sangat sedikit dibicarakan.
Keempat, berkurangnya tradisi intelektual. HmI terbukti telah banyak menelurkan tokoh-tokoh nasional yang hari ini sering kita lihat kiprahnya di panggung intelektual. Baik itu dalam bidang hukum, HAM, ekonomi, politik, sosial, sejarah dan lain sebagainya. Belakangan ini kita kemudian kehilangan tradisi intelektual. Tradisi membaca dan menulis telah berkurang, apalagi karya mengenai ke-HmI-an sendiri. Hegel pernah memberikan isyarat, bahwa Sejarah itu dibentuk oleh rasio. Sejarah adalah dialektika antara gagasan lama dan gagasan baru. Pembaharuan hanya terjadi ketika kita menyadari ada disparitas antara das sein dan das sollen. Sampai kapan kita harus menunggu HmI melahirkan kader sekaliber Nurcholis Madjid yang pernah menyejarah dalam Indoenesia.
Perkaderan Sebagai Beban Sejarah
Melihat terlampau banyaknya problematika tersebut, terlampau besarnya beban yang diwariskan perubahan terhadap HmI, diam bukanlah alasan untuk tidak bersikap dinamis dalam menyikapi tiap lika-liku kehidupan, sehingga diam dapat saja mendekati kafir. HmI sebagai organisasi Islam tertua (sejak 1947), memikul beban moral atas sejarah yang selama ini selalu menghadirkan HmI sebagai salah satu aktor utama atas tiap agenda besar perubahan sosial yang terjadi. Peradaban HmI, masyarakat Cita, Masyarakat Madani, dan lain sebagainya bukan sebuah gagasan utopis. Jikalau komitmen HmI masih ada untuk membangun peradaban ini, kita harus berbenah diri dan menegaskan kemana HMI mengarah. Sehingga saya menawarkan beberapa pokok pemikiran yang semoga bisa menjadi tolak acuan kita dalam perkaderan kedepan.
Pertama, perubahan paradigma dalam orientasi perkaderan. Perubahan sosial atau rekayasa sosial, tidak akan mungkin terjadi sebelum terjadi perubahan paradigma terlebih dahulu. Pembentukan paradigma merupakan suatu keharusan logis di tengah carut-marut perkaderan yang seakan kehilangan khittahnya. Internalisasi nilai-nilai dasar perjuangan harus terjadi dalam setiap lini perkaderan. Sehingga kader tidak terjerumus dalam gerakan-gerakan yang meninggalkan moralitas.
Kedua, menegaskan kembali identitas keislaman organisasi. HmI kedepannya harus lebih sensitif ketika berbicara keumatan. Kita herus memberikan porsi terhadap wacana-wacana keberagamaan dalam ruang diskursus dan dialektika. Bukan berarti menafikan atau meninggalkan wacana-wacana sosial-politik di meja belajar kita yang lama. Hanya dengan begitu, upaya mensinergiskan identitas keindonesiaan dan keislaman kita dapat menemukan titik ekuilibrium.
Ketiga, terlibat aktif dalam perubahan globalisasi yang begitu pesat. Daya jangkau HMI haruslah menyentuh perkembangan IPTEK yang hari ini menjadi tolak ukur kemandirian bangsa dalam percaturan global. HmI harus menjadi pionir dalam gerakan membangun generasi kreatif di tataran internasional. Menyadari bahwa sebentar lagi kita akan menghadapi Masyarkat Ekonomi Asia (MEA) dimana potensi gesekan antar budaya sangat mungkin terjadi.
Keempat, mengembangkan tradisi intelektualitas. Mahasiswa sebagai agen intelektual bukan sekedar jargon. Mengembangkan tradisi intelektual harus menjadi menjadi landasan utama dalam proses perkaderan kita. Sebagaimana menurut Gramscy, hegemoni (dalam artian positif) membutuhkan agen intelektual untuk merekayasa sosial yang dalam konteks ke-HmI-an, adalah model masyarakat yang Adil Makmur. Kita harus menyiapkan tokoh-tokoh intelektual nasional dalam perjalanan perkaderan kedepan.
Memahami kesederhanaan serta keterbatasan saya secara pribadi, tentunya misi luhur yang termaktub secara konstitusional maupun ideologis, tidak mungkin tercipta tanpa adanya kesadaran kolektif dalam diri kita bersama. Pada akhirnya teks hanya sebuah teks. Kalaupun tawaran yang saya berikan harus dibaca kembali suatu hari nanti, semoga terbaca dalam ruang kenyataan yang sesungguhnya, dimana teks telah menjelma menjadi realita. Jikalau HMI memang Untuk Rakyat, maka biarkan kita melakukan proses perkaderan sebagaimana yang seharusnya, dan mari persilahkan Rakyat menilai usaha kita.
Yakinkan dengan Iman, Usahakan dengan Ilmu, Sampaikan dengan Amal.

Yakusa!