Oleh:
Triwardana Mokoagow
Manusia
adalah mahluk yang paling rumit dan unik dari segenap spesies yang ada di
semesta kita. Keunikan tersebut melahirkan berbagai macam interprestasi yang
lahir dari pergulatan pemikiran dalam ruang-ruang diskursus dan dialektika.
Sepertinya ada semacam misteri yang terpendam di dalam dirinya sendiri, lebih
dalam daripada kata “manusia” itu sendiri. Kitalah satu-satunya mahluk yang
bisa menyadari eksistensi kita sendiri. Sebagai manusia kita menyadari diri
kita adalah manusia, tapi sebagai anjing, mampukah anjing menyadari bahwa
dirinya anjing?
Peliknya
permasalahan ini telah mengundang para pemikir besar untuk mencoba menuangkan
gagasan dan pikiran mereka untuk melibatkan diri dalam arus wacana yang
senantiasa menempa sejarah umat manusia. Lahirlah berbagai macam istilah dari
tiap persepsi sebagai konsekuensi mutlak atas sifat antropologis ilmu
pengetahuan; bahwa pluralitas perspektif terhadap satu hal yang sama tidak
dapat dihindari. Manusia dianggap sebagai khalifah
fil ‘ardh, homo homini lupus, homo religius, homo saphiens, homo semioticus,
homo mechanicus, homo homini socius, zoon politicon, thinker animal, dan
homo-homo lainnya. Bahkan saya sempat tergelitik dengan sebuah istilah:
“memanusiakan manusia”. Entah apa yang kurang dari manusia sehingga dia perlu
dimanusiakan? Pernakah kita mendengan istilah “menganjingkan anjing”?
Dalam
teks kali ini, izinkanlah saya untuk ikut ribut dalam ruang wacana yang
terdahulu diutarakan. Dalam perjalanan panjang ilmu pengetahuan, wacana “manusia”
senantiasa menarik minat para pemikir dari berbagai mahzab dan masa untuk
membongkar teka-teki yang selama ini melekat dalam diri kita semua. Saya ingin
melihat ini dari persepsi Plato yang saya coba tafsirkan lewat berbagai
literatur yang beliau tinggalkan. Plato mengutarakan bahwa jiwa manusia terdiri
dari nafsu, akal dan thymos (hasrat).
Nafsu adalah sifat kebinatangan yang melekat pada manusia yakni
kebiasaan-kebiasaan sama sebagaimana dimiliki binatang seperti nafsu untuk
makan, minum, tidur, seks dan lain sebagainya. Akal merupakan penyeimbang
daripada dorongan nafsu ini. Dengan akal, manusia akhirnya memiliki sifat
pembeda (differentia) dengan jenis
binatang lain. Manusia akhirnya bisa menciptakan sesuatu hal baru atau mengolah
informasi yang mereka terima. Sedangkan thymos merupakan hasrat yang mendorong
manusia mencari kehormatan, martabat, harga diri, kepercayaan diri, gengsi dan
lain sebagainya.
Mari
kita persempit diskusi ini sekarang, bahwa diantara ketiga unsur tadi terdapat
hal paling menarik yang selama ini telah mengontrol jalannya sejarah universal
umat manusia melebihi daya dorong nafsu dan akal, kita menyebutnya thymos,
hasrat terluhur sekaligus terkeji yang meninggali dada manusia. Sepanjang
perjalanan pemikiran dalam garis direksionalitas sejarah, permasalahan thymos
ini telah dikembangkan sedemikian rupa oleh tokoh-tokoh besar yang alam
gagasannya berhasil didokumentasikan lewat sejarah baik secara tertulis maupun
lisan. Barangkali Hobbes sebagai salah satu yang sempat menyumbangkan
pemikirannya, mengatakan bahwa manusia merupakan serigala bagi manusia lain.
Eksistensi manusia selalu mengganggu eksistensi yang lain. Karena ketergangguan
tersebutlah hingga manusia harus terjebak dalam satu opsi, antara diganggu atau
mengganggu. Dorongan instinktual sebagaimana yang dimiliki oleh hewan untuk
beradaptasi dari hukum alam, telah melahirkan hasrat mendalam untuk menjadi
superior dibandingkan mahluk lain. Manusia seperti ini menjelma menjadi
serigala bagi manusia lain.
Nietzche,
seorang pemikir termahsyur dalam peradaban yang menandai post-modernisme dan
filsafat nihilitstik, mengatakan bahwa manusia seperti ini disebut “binatang
berpipi merah”. Apa yang beliau utarakan tentang moralitas budak serta
hubungannya dengan tuan masih berada dalam alur yang sama di pembahasan thymos
kita. Doktrin “kehendak untuk berkuasa” (will
of power) merupakan hasrat alami dalam jiwa manuisa. Hasrat menguasai
kemudian mendorong akal dan nafsu untuk merampas hak manusia lain demi menjadi
budak bagi dirinya sendiri, sang tuan yang aristokratis. Dalam stratifikasi
sosial versi Nietzche ini, hanya ada dua kelas yang pasti ada pada berbagai
jenis formasi sosial, yakni kelas budak dan kelas tuan. Keterjebakan manusia
adalah, ketika dia harus memilih menjadi tuan atau budak.
Thymos
dalam berbagai literatur yang dikumpulkan, kemudian dimaknai sebagai “hasrat
untuk diakui”. Hasrat untuk diakui sebagai tuan, sebagai yang terkuat, yang
terhormat, yang berkuasa dan lain seabagainya selama masih bisa memuaskan
keinginan manusia. Dalam perjalanannya, kita belajar bahwa hasrat untuk diakui
ini memiliki dualisme tergantung terhadap konteks dan zaman masing-masing.
Terkadang ia bersifat destruktif tapi di waktu yang lain dia bisa saja bersifat
konstruktif. Meminjam terma Yunani, yang destruktif akan kita sebut sebagai
karakter megalothymia, yakni hasrat
pengakuan bahwa dia lebih superior dibandingkan yang lain. Sifat destruktif ini
telah mendorong terjadinya pertumpahan darah dalam PD I, PD II, Perang Dingin,
Perang Salib/Perang Sabil dan tentunya semua perang yang pernah melibatkan umat
manusia. Budaya inilah yang dipelihara oleh rezim totaliterianisme Stalin,
Lenin, Hitler, Mussolini dan lain sebagainya. Perang yang awalnya dilandasi
dengan motif: perang demi gengsi. Gengsi atas superioritas ras Aryan atau
superioritas Ideologi dan merajut sebuah cerita horor dalam teks sejarah:
genosida, terorisme, perang, nuklir, holocaust, senjata pemusnah masal, dan
lain sebagainya yang berimplikasi pada pesimisme abad 20.
Padahal
jauh sebelumnya, semangat 1776 telah membuka tirai baru terhadap penghapusan
tiranik di atas bumi manusia. Manusia telah mencapai era besar dimana telah
tertumpah ide tentang persamaan dan persaudaraan yang menandai meletusnya
Revolusi Industri Perancis di akhir abad 18. Sekali lagi, meminjam terma
Yunani, inilah yang disebut dengan hasrat untuk diakui dengan sifat yang
kontruktif yang disebut isothymia. Hasrat
yang mendorong manusia untuk dapat secara konstitusional dan filosofis menuntut
haknya dipenuhi. Merupakan sintesis dari moralitas tuan dan moralitas budak
versi Nietzche. Merupakan sebuah contract
social atas kebuasan manusia memangsa sesamanya versi Hobbes. Disinilah
budak dianugerahkan kesadaran reflektif bahwa dia adalah tuan, paling tidak
bagi dirinya sendiri. Manusia bukan lagi budak yang memiliki segudang
kewajiban, nir-hak. Manusia merindukan kebebasan atas dirinya sendiri, dan
demikian melahirkan sebuah mekanisme hasrat untuk mendambakan homogensi
dibanding heterogensi.
BERKOMPROMI
DENGAN HASRAT
Sedangkan
mekanisme hasrat masih terus berputar dalam era globalisasi dimana terjadi
penyingkatan waktu dan penyempitan ruang. Dalam wacana hypersemiotica, mari kita sebut dunia yang ditinggali sekarang
adalah “dunia yang dilipat” sebagaimana diutarakan Yasraf. Kompleksitas yang
terus berlanjut hanya mengaburkan batas-batas teritorial antar negara sehingga
sesuatu yang terjadi di Jerman akan sangat mungkin berdampak pada Indonesia
dalam waktu yang teramat singkat entah itu permasalahan politik, ekonomi,
sosial, budaya dan lain sebagainya. Sehingga sekarang kita tinggal di sebuah
perkampungan raksasa yang marilah kita namai desa global (global village). Semua ini terjadi akibat kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK) demi memuaskan thymotic manusia. Logika sains yang
pertama kali dicetuskan oleh Bacon, bahwa manusia ada untuk menaklukan alam.
Meskipun memang pendapat ini banyak mendapat serangan dari kelompok
Enviromentalisme (kelompok lingkungan hidup), hanya saja dikarenakan atmosfer
demokrasi yang kondusif, logika sains ini dapat beradaptasi menjadi apa yang
kita sebut dengan teknologi ramah lingkungan; logika sains modern.
Logika
sains modern mendorong manusia untuk berlaku konsumtif secara ekonomi yang
kemudian mendorong lahirnya kapitalisme. Jikalau dulu perang terjadi dalam
medan pertempuran diatas tumpukan mayat dan lumpur darah, perang hari ini
terjadi dalam pasar dunia; perang finansial. Logika sains modern telah
mendorong kemajuan industrialisasi yang memaksa setiap negara untuk tidak bisa
tidak ikut terlibat di dalamnya. Sebagaimana yang tercermin dari musuh
bebuyutan AS; negara-negara Blok Timur. Pasar bebas versus pasar berorientasi
otoriterianisme; antara Kapitalisme dan ekonomi Sosialisme; antara legitimasi
pasar dan legitimasi negara, menuju satu hal yang pasti, yakni imperialisme
yang diperhalus dengan bahasa tatanan dunia baru (new wold order).
Mekanisme hasrat masih
akan terus berputar seiring dengan berjalannya roda sains modern. Pada akhir
abad kegelapan (dark age), telah diketahui
bersama bahwa logika sains mengantarkan umat manusia pada era pencerahan (renaisains) melahirkan Revolusi
Industri, meruntuhkan Monarki, menghancurkan Feodalisme, membebaskan tawanan
Teokrasi dan lain sebagainya. Di abad 20 yang dikenal dengan abad pengetahuan (age of knowledge) dan abad revolusi (aged of revolution), logika sains modern
mendorong bargaining militer,
melenyapkan kedigdayaan Totaliterianisme, mendeklarasikan DUHAM (Deklarai
Universal Hak Asasi Manusia), meletuskan era Industrialisasi, merangsang
Globalisme, dan lain sebagainya. Pada abad ke 21 ini, mekanisme hasrat masih
akan terus berputar dan menyeret umat manusia ke dalam babak-babak selanjutnya,
yang dilandasi dengan motif yang sama seperti abad-abad sebelumnya; hasrat
untuk memperoleh pengakuan. Terlepas itu berupa megalithymia ataupun isothymia.
Mekanisme hasrat akan terus berjalan didampingi logika sains modern sebagai
budak yang senantiasa memuaskan hasrat thymotic manusia. Dalam buku The End of
History, Fukuyama memberi isyarat, bila ingin tahu akhir Sejarah Universal
0 Komentar