Oleh    :           Triwardana Mokoagow

Laut merupakan sumber kesejahteraan manusia yang tidak pernah habis dari masa ke masa. Laut adalah salah satu anugerah terbesar Tuhan terhadap kelangsungan hidup manusia. Dari perspektif teologis, dengan hitungan-hitungan sederhana, jumlah kata laut di al-Quran berjumlah 32 kali, sedang jumlah kata darat di al-Quran adalah 13 kali dengan artian ketika ketika ditambahkan akan berjumlah 45 kata tentang laut dan darat. Ketika 32 dibagi 45, maka akan ditemukan berjumlah 71% sedangkan 13 dibagi 45 berjumlah 29%. Uniknya setelah dihitung, 71% luas bumi terdiri dari kelautan dan 29% luas tanah terdiri dari daratan. Luas laut yang sesuai dengan penjumlahan dari kitab suci, seakan-akan mengisyaratkan bahwa laut menyimpan potensi kekayaan serta kemakmuran bagi segenap umat manusia. Sebagaimana yang termaktub pada QS An-Nahl ayat 14 yang berbunyi: “Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan dan seafood ) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan (mutiara dan berkah lain) yang kamu gunakan. Kamu (juga) melihat perahu berlayar padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur“.
Indonesia sendiri secara geografis sejak deklarasi kemerdekaannya telah memiliki kodrat maritim. Hal ini dipahami dengan realitas geografis dan geopolitik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar (17.504 pulau) dengan 13.466 pulau telah diberi nama dan didaftarkan ke PBB sedangkan Filipina sendiri sebagai negara kepulauan terbesar kedua hanya memiliki 7.100 pulau. Tercatat juga bahwa Indonesia memiliki 95.181 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada). 75% wilayah berupa laut (5,8 juta km2) termasuk Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Secara geostrategis, Indonesia diapit oleh dua benua dan dua samudera dimana 70% angkutan barang melalui laut dari Eropa, Timur Tengah, dan Asia Selatan ke Pasifik harus lewat perairan Indonesia.
Dilihat dari perspektif historis, lewat berbagai rekontruksi sejarah kita dapat mengetahui bahwa kejayaan kerajaan-kerajaan Indonesia di masa lalu merupakan kejayaan maritim. Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan sejumlah kesultanan Islam sampai kerajaan pesisir yang terdiri dari Tarumanegara, Samudera Pasai, Bantan, Ternate, Tidore dan sebagainya mempunyai kekuatan ekonomi, perdagangan, transportasi dan hankam laut (sea power) makmur dengan wilayah kekuasaan hingga Campa (India), sebagaian Siam (Thailand) dan Tiongkok. Bahkan, dalam kitab Negarakartagama, Majapahit memiliki luas lebih besar dari Indonesia yang kita tinggali sekarang,
Dalam momentum deklarasi Djuanda tahun 1957, Indonesia berupaya mengganti laut bebas di antara negara kepulauan menjadi perairan nasional yang mempersatukan pulau-pulau dan perairan sebagai satu kesatuan. Deklarasi Djuanda kemudian disempurnakan lewat UNCLOS (2nd United Nation Convention ont the Law of the Sea) tahun 1982, lewat forum internasional tersebut Indonesia mendapat pengakuan sebagai negara kepualauan (Archipelago State). Setelah diratifikasi oleh 60 negara, Indonesia mendapat pengakuan dunia dengan tambahan wilayah nasioanal 3,1 juta km2 wilayah perairan dan 100.000 km2 warisan Hinda Belanda ditambah dengan 2,7 juta km2 ZEE. UNCLOS 1982 merupakan terobosan sejarah bagi negara-negara anggota PBB terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga yang notabene rata-rata adalah negara bekas jajahan. Kesepakatan internasional tersebut lahir dengan semangat dekolonialisasi terutama sangat berarti dan berdampak luas terhadap Indonesia dengan realitas maritim yang strategis dan latar belakang sejarah yang menguntungkan.
Hanya saja meskipun ditakdirkan sebagai negara maritim, Indonesia masih terjebak dalam problematika-problematika tersendiri terhadap kodratnya. Barangkali persoalan paling ihwal yang perlu dibicarakan disini adalah, pertama kekacauan berpikir. Tidak dapat dinafikan bahwa Indoenesia merupakan negara maritim dengan nalar berpikir agraris. Pembangunan masih tersentral di darat (land based development), belum terintegrasi dengan pembangunan berbasis kelautan (ocean based development). Indonesia adalah negara dengan kekayaan prospek maritim, tapi masih merasa sebagai negara kontingen. Barangkali fenomena ini diakibatkan proses panjang kolonialisasi di Indonesia yang menyisakan rasa ketergantungan antara rakyat dan tanah dimana tujuan utama penjajahan dan penindasan adalah eksploitasi tanah oleh Portugis, Belanda dan Jepang. Karena kekhawatirkan masyarakat masih terjebak dengan pikiran traumatis dalam bidang pertanahan, kita melupakan satu potensi penting, sumber daya laut. Contoh sederhananya adalah, cobalah minta anak kecil untuk menggambar petani, mereka akan dengan mudah  menggambar sekaligus dengan sawah garapannya. Akan tetapi mintalah anak kecil menggambar nelayan, mereka akan sedikit kebingungan bahkan tidak bisa menggambarkannya dengan jelas.
Kedua, Indonesia harus melakukan percepatan dan pengayaan lebih lanjut dan lebih keras dalam usaha blue economy. Indonesia memiliki potensi ekonomi besar jika potensi kekayaan alam yang masih sering dipandang sebelah mata dari realitas kepasifikan sendiri yang dapat dibuktikan lewat kajian komparatif dengan negara lain. Padahal Indonesia 3.500% lebih panjang lautnya dibanding Korea dan 100% lebih panjang lautnya daripada Cina tapi pendapatan di bidang kelautan di banding kedua negara tersebut masih tergolong kurang. Kontribusi sektor kelautan terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sekitar 20%. Sedangkan negara dengan potensi laut lebih kecil seperti Islandia, Norwegia, Spanyol, Jepang, Korea Selatan, Republik Rakyat Cina, Selandia Baru dan Thailand kontribusinya rata-rata diatas 30%.
Indonesia harus segera membuka mata terhadap harapan ini. Di pesisir terkandung kekayaan alam mulai dari SDA terbarukan (perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut dan bio teknologi), SDA tak terbarukan (minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit dan mineral lain), energi kelautan (pasang-surut gelombang air, angin dan Ocean Thermal Energy Convertion/ OTEC) dan jasa lingkungan kelautan (pariwisata bahari dan transportasi). Dengan kekayaan alam tersebut barangkali terdapat 11 sektor ekonomi kelautan yang potensial: (1) perikanan tangkap (2) perikanan budi daya (3) industri pengolahan hasil perikanan (4) industri bioteknologi (5) pertambangan dan energi (6) pariwisata bahari (7) hutan mangrove (8) perhubungan laut (9) sumber daya pulau-pulau kecil (10) industri dan jasa maritim (11) SDA non-konvensional.
Total pendapatan dari 11 sektor potensial tersebut bisa mencapai USD 1,2 trilyun per tahun yang bisa menyediakan lapangan kerja bagi 40 orang. Dengan demikian maksimalisasi potensi kekayaan alam laut Indonesia bisa menjadi alternatif bagi penyelesaian ramainya konflik agraria dengan mengarahkan alokasi lapangan kerja ke konteks kelautan. Selain itu diperlukan intensitas kampanye kreatif untuk merubah paradigma masyarakat dari kultur konsumtif menjadi kultur produktif.
Berbicara mengenai budaya konsumerisme, sayangnya, definisi sembako saja sesuai keputusan Menperindag sama sekali tidak mencakup ikan, darat ataupun laut. Elemen laut dalam sembaka hanya garam. Sedangkan kebijakan penyediaan sembako seringkali menjadi isu nasional. Salah satu langkah untuk mengarahkan persepsi masyarakat terhadap pentingnya pemanfaatan laut adalah merubah definisi sembako tersebut yang diikuti perubahan kultur dari konsumtif ke produktif. Dari berbagai problematika ekonomi yang mengemuka pada konteks ini, tidak heran para ahli banyak mengatakan bahwa sektor ekonomi kelautan kita bagaikan “raksasa ekonomi yang sedang tertidur lelap”.
Ketiga, dari segi hankam (pertahanan dan keamanan), Indonesia masih belum maksimal memanfaatkan potensi lautnya. Laut merupakan sabuk kedaulatan negara, kita bisa melihat bagaimana Tiongkok dan Rusia menyadari hal tersebut. Tiongkok tidak hanya mengembangkan teknologi perkapalan kelautan saja, juga armada perang laut termasuk produksi kapal selam. Rusia berani menahan embargo Barat hanya untuk mempertahankan pelabuhan kecil di Krimea, Ukraina. Tempat itu adalah pindu masuk dominasi atau bargaining position dalam lalu lintas ekonom, militer dan politik di Timur Tengah, serta dunia pada akhirnya.
Memang benar bahwa Indonesia pada era Bung Karno pernah dikenal sebagai negara dengan angkatan laut terbesar ke empat di dunia meskipun berkat bantuan Rusia dengan kepentingan-kepentingan ideologisnya. Hanya saja pada era ini, tepatnya awal abad 21 telah terbukti bahwa perubahan zaman mensyaratkan perubahan kekuasaan di bidang maritim. Lepasnya pulau Sipadan-Ligitan dan kasus Ambalat merupakan tamparan hebat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia beserta segala kedaulatan yang melekat dalam dirinya. Kita harus terus membangun paradigma hankam sebagai basis kekuatan maritim (sea power) demi kedaulatan agar bisa mempertahankan bargaining di hadapan masyarakat internasional (global village). Dalam konteks kewilayahan, diperlukan ekstentifikasi wilayah hak berdaulat serta optimalisasi belanja APBN dalam prospek hankam di bidang kelautan.
Keempat, mengenai transportasi serta logistik dalam konteks kelautan. Dalam periode 2007-2014, World Bank menempatkan Indonesia sebagai negara yang masih berkutat di problematika logistik. Indeks kinerja logistik (Logistics Performance Index) kita masih belum memuaskan, di kisaran 2,76-3,13 dari skala 5,0. Realitas geografis dan geopolitik yang diapit oleh dua benua dan dua samudera dimana Indoneisa 70% merupakan jalur angkutan barang penting dari berbagai dunia, sayangnya tidak sesuai dengan kesadaran untuk memanfaatkan potensi-potensi yang sekiranya bisa dikembangkan dalam bidang ini. Tidak bisa dinafikan bahwa Indonesia sebagai jalur transportasi maritim dunia dan memiliki akses kelautan yang besar masih jauh dibawah harapan. Biaya logistik Indonesia diketahui sebagai termahal di dunia yang mencapai 26% PDB. Sedangkan negara-negara lain lebih rendah 15% PDBnya. Lebih dari 75% barang ekspor harus melalui pelabuhan Singapura terlebih dahulu karena hampir semua pelabuhan Indonesia belum menjadi hub port yang memenuhi persyaratan internasional.
Kelima, wacana ekologis yang selalu berada di depan persiapan. Salah satu wacana penting yang perlu dibahas dan diaktualisasikan adalah permasalah IUU fishing. Kegiatan IUU fishing di perairan Indonesia perlu diperangi dengan cara-cara inovatif karena hal ini tidak saja menghabiskan sumber pangan tetapi juga menghancurkan lingkungan laut serta membahayakan kehidupan nelayan kecil dan penduduk di pesisr laut. Indonesia perlu mengembangkan kerja sama dengan pasar dunia untuk menolak impor ikan yang berasal dari IUU fishing di perairan Indonesia. Wacana lain yang perlu dibahas adalah mengenai paru-paru dunia yang tidak hanya di hutan tropis, tapi juga di perairan. Laut menyerap 30% karbon dunia. Namun penngkatan pengasaman laut akan menghancurkan terumbu karang Indonesia dengan jumlah 18% terumbu karang di dunia yang nantinya akan berdampak luas bagi ketersediaan pangan dan seafood di Indonesia.
Keenam, permasalahan hukum yang harus progresif dan mengikuti perubahan zaman serta mengikuti kebutuhan pembangunan. Memang pra-reformasi telah banyak sebelumnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pentingnya revitalisasi serta pengayaan laut. Peraturan perundang-undangan tersebut terdiri dari  UU No. 17 tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982, UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, UU Ni, 1 tahun 1973 tentang Landasan Kontinen, UU No. 5 tahun 1983 tentang ZEE Indonesia, dll. Padahal pergantian beberapa periode Presiden telah membuka program-program baru pembangunan dan kondisi serta kebutuhan nasional yang sudah banyak berganti akibat pengaruh globalisasi dan kebutuhan masyarakat. Sehingga terdapat pergeseran paradigma antara pra-reformasi dan pasca-reformasi. Katakanlah misalnya kelahiran UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah mensyaratkan bahwa hukum maritim harus beradaptasi dengan perkembangan hukum di Indonesia.Sebab cara-cara serta regulasi hukum dalam konteks maritim di era sentralisasi dan desentralisasi berbeda adanya.
Meskipun memang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2014 telah dipersiapkan pembahasan tentang RUU tentang Percepatan Pmebangunan Daerah Kepulauan, RUU Konversi Tanah dan Air, RUU Pariwisata Khusus dan RUU tentang Kelautan, akan tetapi perlu dipertimbangkan lagi untuk melakukan revisi atas perundang-udndangan tentang maritim serta laut teritorial yang sudah ada sebelumnya pada era pra-reformasi serta perlu meratifikasi peraturan-peraturan internasional mengenai laut yang sekiranya bisa memberikan keuntungan dan ber-ruh prospek kesejahteraan bagi masa depan rakyat Indonesia. Dengan begitu hukum bisa difungsikan sebagai a tool of social engineering sesuai dengan doktrin hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja.

Dengan demikian, beranjak dari uraian permasalahan serta analisis singkat diatas, maka prospek maritim bagi Indonesia kedepan adalah: (1) perubahan paradigma masyarakat dari negara agraris menjadi negara maritim (2) pemerintah harus mendorong investor untuk menanam modal dengan percepatan infrastruktur dan jaminan kepastian hukum (3) peningkatan optimalisasi belanja APBN (4) pembangunan ke depan harus menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi (rata-rata 7% per tahun), inklusif dan berkualitas  dalam artian mampu membuka lapangan kerja (5) membangun kelautan berbasis inovasi yang inklusif dan ramah lingkungan (6) pendekatan hankam dalam rangka memperkuat sabuk kedaulatan nasional (7) percepatan pembangunan infrastruktur (8) percepatan usaha untuk kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan nelayan khususnya dengan revitalisasi BULOG demi ketahanan pangan nelayan (9) mengembangkan kerjasama dengan masyarakat global (global village) (10) inovasi program dalam kampus  melalui program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan untuk mendorong SDM dan kegiatan penelitian serta pengembangan; dan yang paling penting (11) meletakkan hukum sebagai panglima pembangunan sebagai a tool of social control dan a tool of social engineering dengan tujuan menciptakan keadilan, kepastian serta kemanfaatan sebagaiamana yang dikatakan Jeremy Bentham: “The greatest happiness for greatest numbers”.