Oleh : Triwardana Mokoagow
Pada
bulan Januari, laki-laki bertubuh kering diam dalam pengembaraannya, di dalam
goa kesayangan yang dalam imajinasinya disebut goa Hira. Goa dimana Muhammad
menghabiskan waktunya untuk bertapa, merenung, dan melahirkan pikiran-pikiran
serta melacak intuisi dari kesadaran yang paling dalam. Goa itu disebut Goa
Hira, meskipun sebenarnya hanya sebuah kamar kos yang berantakan dan sudah
terselubungi dengan jaring laba-laba. Setidaknya, kamar tersebut bisa saja
tidak terlihat begitu kelam dan mengerikan, meskipun dalam pikirannya sendiri.
Pada
bulan Januari itu dia menggambar Senja dalam akalnya sembari berdoa “semoga kau
adalah harapan di awal tahun, di awal hari, yang memberikan pagi pada duniawi”.
Pria ini menyadari bahwa manusia hampir tidak mungkin hidup tanpa keyakinannya
sendiri, yang membuat dia mengagumi Karen Armstrong yang telah menghadiahi
pengetahuan tersebut, manusia adalah homo
religius. Meskipun begitu, disisi lain dia menyadari lewat perspektif Cak
Nur bahwa keterjebakan manusia dan bahaya sesungguhnya adalah karena manusia
hidup dengan begitu banyak keyakinan yang menjeratnya. Manusia bisa saja
terperosok dalam syirik secara
spiritual, bisa saja terperosok dalam gejala split personality secara psikologis, dan paling parah manusia bisa
menjadi gila sebagaimana Nietzche menghabiskan waktunya pada tahun 1889-1990
setelah membuat kepercayaan akan Gott is
tott, Zarathustra, Ubermansch, dll.
Dia
seketika menyadari semua itu bagaikan sebuah hidangan yang penuh dengan sifat
paradoksikalitas dimana kebenaran seakan-akan berdiri masing-masing di tempat
yang berbeda dan saling mengolok-olok satu sama lain. Dia menyadari bahwa
keyakinan merupakan potensi paling indah yang dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa
sekaligus kutukan yang dapat saja membinasakan manusia. Dia menyadari secara
seksama, bahwa pasti ada satu hal penting yang bisa mengendalikan keyakinan
tersebut. Dan dia menyadari secara mendalam, bahwa keyakinan tiap orang
bagaikan Anjing. Orang yang hidup dalam kuasa keyakinannya, pastilah lebih
rendah daripada anjing. Tapi bagi orang yang hidup dengan cara menunggangi
keyakinannya, bagaikan majikan bagi Anjing. Dengan kata lain, kita semua bisa
saja menjadi peliharaan Anjing atau kita bisa saja menjadi tuan bagi diri kita
sendiri.
Di
dalam goa itu dia berpikir, berenang dalam alam pikirannya hingga mendekati
dasar Samudera yang mungkin hanya oase. Dia mendekati itu dan tersadar kembal,
bahwa dibalik kesadaran masih ada kesadaran. Akankah artinya, dibalik
kebenaran, masih ada kebenaran? Bahwa dibalik ilusi, masih ada kenyataan. Dan
apabila kebenaran ternyata memang pahit adanya, maka bisa saja manusia dari
zaman dahulu hingga sekarang menciptakan delusi secara senagaja untuk menyelimuti hakikat
kebenaran tersebut. Mungkin saja karena kebenaran ternyat pahit, asam,
menyakitkan, mencemaskan, mengkhawatirkan, memabukkan manusia hingga dia
sekarat hingga lebih merindukan sakratul maut daripada hidup abadi. Kebenaran
sempat membawa Sokrates menjatuhkan pilihannya untuk meneguk racun daripada
hidup dalam ilusi yang penuh kebohongan manis. Kebohongan memberi manusia
penjara ilusi, manusia tidak lagi hidup dalam dunia objektif, tapi hidup dalam
dunia yang dia ciptakan sendiri, di bawah kaki Sang Anjing.
JATUH CINTA
Lelaki
kurus itu menatap dunia. Dia memiliki hobbi mengamati sekelilingnya,
mempelajari tindak tanduk orang dalam tiap situasi. Dia melihat ada ilusi
paling manis dan paling berbahaya yang berputar mengelilingi rutinitas manusia.
Ilusi tersebut bagaikan wujud setengah iblis dan setengah malaikat. Dia tangan
kirinya menwarakan Surga dan tangan kanan menyembunyikan tragedi. Orang-orang
menyebutnya dengan Cinta, sebuah kata yang sepertinya sudah berkonotasi
positif. Tapi bukankah Cinta banyak mengajarkan manusia bagaimana cara menangis,
apa itu perpisahan, rasa sakit, trauma, bahkan lebih parah, bunuh diri. Apakah
artinya cinta itu paradoks? Dia menawarkan segala keindahan dan keanggunan yang
membentang dari Timur sampai Barat, Utara sampai Selatan. Di sisi lain di
menakuti kita dengan kebinasaan dan horror, sebuah mimpi buruk yang hidup dalam
dunia nyata.
Menurut
lelaki itu, jatuh cinta adalah sebuah fenomena pikiran yang menjalar dan
menyelimuti hasrat manusia. Jatuh cinta adalah ilusi yang paling hebat, yang
bahkan tidak bisa diciptakan oleh pesulap manapun. Ketika orang merasa jatuh
cinta, dia menganggap dirinya memiliki sayap, dan hendak terbang membawakan
bunga pada wanita yang dia lirik, ingin mendekap wanita tersebut, meskipun pada
kenyataannya, sayap wanita itu menyimpan pisau dan duri yang siap menyantapnya
dalam pelukan kuat. Dalam Kahlil Gibran, lelaki kurus itu belajar bahwa
datanglah kepada Cinta ketika dia memanggilmu, meskipun jalan yang kau tempuh
terjal dan berliku. Dia belajar, bahwa Cinta membuat manusia menjadi MASOKIS
(suka menyiksa diri sendiri).
Pada
awalnya kita tidak pernah benar-benar mencintai wanita itu secara objektif,
secara apa adanya (das sein). Kita
hanya mencintai wanita itu secara apa yang seharunya (das sollen). Bagaimana mungkin kita bisa megagumi seseorang yang
baru kita kenali? Yang kita tidak tau, dari mana dia berasal, siapa dia, siapa
orang tua dia, kebiasaan buruknya, kejelekannya, apakah dia mengidap AIDS/HIV?
Kita hanya mengagumi seseorang sejauh kita tidak benar-benar mengenalnya secara
mendalam. Kita hanya mencintai apa yang kita imajinasikan tentang dia (das sollen). Kita hanya mencintai bagaimana
sensasi inderawi bekerja ketika bertemu dengan wujud wanita tersebut. Kita
menyukai mekanisme visualisasi wajahnya yang menawan, kita mencintai aroma
parfum mungkin, kita mencintai tekstur kulitnya yang lembut, kita mencintai
suaranya yang merdu, atau mungkin kita mencintai masakannya yang enak. Dimana
letak cinta kita pada wanita itu? Yang kita cintai adalah apa yang kita lihat,
kita rasakan, kita dengar, kita cium, dan kita kecap. Kita ternyata tidak
mencintai Wanita itu secara objektif (das
sein), kita hanya mencitai apa yang melekat pada dia. Kita hanya mencintai
sejauh aroma tubuhnya, kecantikannya yang menawan, masakannya, suaranya,
kelembutan belaiannya, dan lain sebagainya. Tapi apakah aroma tubuhnya adalah
dia? Tidak. Apakah suaranya adalah dia? Tidak. Apakah belaiannya adalah dia?
Tidak. Apakah kecantikannya adalah dia? Tidak. Apakah dia yang terlihat,
terraba, tersentuh, terkecap, terdengar, tercium adalah dia? Tentu saja tidak.
Kita tidak pernah mencintai wanita itu, yang kita cintai adalah apa yang
melekat pada dia.
Sepertinya
pria kurus kerempeng itu tengah melukis kegelapan dalam dunianya yang beku
meski hanya sesaat. Dia meruntuhkan segala konsep serta gagasan yang dia bangun
selama ini. Bagaikan menghancurkan istana intelektual yang dibangun lewat
perantara pemikir-pemikir besar yang pernah dia baca maupun dia ketemui. Dia
teringat dengan Nietzche, yang berkata: “Bersikaplah hormatlah dihadapan kebenaran sebagaimana engkau berhadapan dengan seoarang wanita”. Beliau senantiasa
menggunakan analogi ini untuk menjelaskan kebenaran. Nietzche mengatakan bahwa
kebenaran bagaikan wanita yang senantiasa mengundang anak cucu Adam untuk
menelanjanginya dan menjamah dirinya yang paling dalam. Tapi jangan pernah
coba-coba untuk melakukannya, karena kau tidak tau, ada tragedi kesedihan
kecemasan kekhawatiran ketakutan apa yang disimpan di balik topeng kecantikan
keanggunan keperawanan keindahan yang mengkilau dan melindungi fisik luarnya
yang berkekuatan magis itu. Biarkanlah dia begitu tanpa kau buka, biarkanlah dia
terlihat seperti itu, dan cukuplah bagimu untuk memandangi dia dari kejauhan
seraya berkata “betapa menawannya wanita/kebenaran itu” yang sebenarnya senada
dengan “betapa manisnya kebohongan itu”.
Lelaki
kurus kering yang sibuk berpikir dan berimajinasi itu sudah kelelahan
sepertinya, menahan amuk karena merasa dibodohi oleh dunia dan segala kepalsuan
yang menyelimutinya. Dia tahu ketika ia keluar dari goa yang dikontruksikan
dalam tempurung kepalanya, ia akan kembali menjadi manusia yang palsu. Manusia
yang dipelihara oleh Anjing dalam dirinya sendiri. Dia muak dan ingin menangis
dalam kegelapan di bulan Januari. Dia ingin mengeluh di bawah terik Senja, yang
pada awal paragraf diharap sebagai harapan yang menuntun perahunya menubruk
karang dan mengantar ia ke depan pintu gerbang kebenaran. Kini yang ia lihat,
yang ia pandangi, adalah kebenaran yang dilihat oleh manusia guanya Plato yang
memaksanya untuk kembali lagi ke dalam goa dan melihat dunia dari bayangan,
dari ilusi, dari dasar yang sebenarnya bukan dasar, dia ingin tinggal dalam
dunia seharusnya (das sollen) bukan
dunia yang apa adanya (das sein).
Dia
pikir selama ini dia hidup dengan cara yang paling mengenaskan, hidup dalam
kekecewaan atas harapan. Dia pernah belajar, bahwa harapan menguatkan manusia,
memberikan motifasi atas keberlangsungan hidup umat manusia. Akan tetapi
semakin tinggi dan besar harapan yang dibangun, dan semakin bertentangan dengan
kenyataan maka akan semakin dia berlumuri kekecewaan ganas. Maka dia ingin
memilih untuk tidak berharap sama sekali. Dan ketika dia menoleh keluar
jendela, sebelum dia menyadarinya, dia kehilangan Mentari yang dia pikir masih
menggantung di atas kepala, Mentari itu telah sirna dan siap tenggelam di ufuk
Barat, tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal padanya. Dia tahu bahwa pagi
hanya memberi jaminan sedikit, dan kenyataan sebenarnya adalah Senja yang
senantiasa menawarkan kebenaran pahit, bahwa hidup hanyalah sebuah reproduksi
kebohongan secara terus menerus. Hidup adalah kartun yang hidup. Dan di balik
kerangka dadanya, Sang Anjing bergonggong penuh kemenangan mencibir akal yang
angker itu, “Aku Menang!”
KONTRADIKSI IN TERMINUS; PENYAKIT
INTELEKTUAL
Lalu
bagaimana selanjutnya? Tenang ini bukan cerita sedih yang mengandung hiperbola
secara berlebihan. Silahkan tertawa saja bagi yang terlanjur pesimis. Selalu
ada jalan kata SBY, meskipun mungkin SBY tidak pernah membaca teks ini. Lelaki
kurus tersebut hanyalah sebuah abstraksi dari kecemasan intelektual yang kini
melanda saya. Yang menghantui kekerdilan eksperensial saya secara pribadi.
Sebuah hantu yang lahir dari kekecewaan berat dan ganas serta dahsyat dari
kegilaan seorang paranoid. Paragraf ini adalah sebuah reka kronologis dari teks
terdahulu, mencoba membongkar dan menelanjangi kecemasan sang lelaki kurus di
belakang. Mari kita sama-sama membawa lilin ke dalam guanya yang gelap dan
dipenuhi dengan jaring laba-laba itu, bagi teman-teman yang merasa perlu
membawa Yasin atau mantera pengusir setan, silahkan, mari kita buat ritual
sebab dia telah kesurupan setan pesimisme.
Dalam
tradisi berpikir yang selama ini saya lakoni, meskipun pengalaman ini masih
kerdil dan begitu kecil dibanding orang lain yang mendedikasikan diri lebih
banyak waktunya untuk hal yang sama. Saya menyadari itu, dan meminta kritik
sebesar-besarnya dari apa yang tertulis baik secara sengaja maupun secara tidak
sengaja. Bahwa dari pengamatan secara pribadi, seringkali kita terjebak dalam
suatu kesesatan berpikir dalam berargumen yang marilah kita sebut kontradiksi
in terminus, atau kontradiksi dalam penyusunan kata.
Wittgenstein
pernah mengatakan pada dunia, bahwa problematika dunia filsafat dan ilmiah
hanyalah persoalan kompleksitas bahasa yang sebenarnya rumit. Kita hampir tidak
mungkin untuk menerjemahkan pemikiran kita secara utuh dalam ke dalam kata,
bahasa, kalimat, paragraf, apalagi menjadi teks secara utuh. Mungkin karena
itulah Nietzche memandang verbalisasi sebagai topeng yang menyamarkan maksud
sebenarnya atau Foucault yang memproklamirkan kematian penulis (the dead of author) sebab penulis tidak
punya lagi kuasa atas teks yang ia ciptakan. Kecemasan ini membawa umat manusia
ke dalam ruang diskursus baru, sebuah dialektika tanpa henti, mencoba
membongkar struktur bahasa yang sepertinya sering mengalami kontradiksi satu
sama lain. Bahasa memang sangat terbatas, tapi manusia tidak mungkin hidup
tanpa bahasa. Heidegger berkata, bahasa adalah rumah dari ada (leanguge is the house of being). Makanya
belakangan ini, para pemikir belakangan lebih senang mengutak-atik kata. Bahasa
seperti puzzle, yang menyimpan keindahan, kebenaran dan kebaikan sesuai dengan
pola-pola tertentu.
Kontradiksi
dalam kata adalah fenomena yang seringkali terjadi dalam pergulatan akademis.
Sebagaimana yang seringkali terjadi dalam pikiran seorang pria kurus diatas.
Sebuah wabah intelektual yang sangat sering menjangkiti pemikir. Ketika pria
kurus di atas mengatakan bahwa keyakinan adalah Sang Anjing, bukankah itu
adalah ilusi yang dia ciptakan sendiri? Dan ketika dia mengatakan kita semua
bisa menjadi tuan atas diri kita sendiri, bukankah itu hanyalah kontruksi dari
keyakinannya juga? Dan ketika dia mengatakan bahwa kita semua bisa
mengendalikan keyakinan kita, bukankah dia menawarkan suatu keyakinan saat itu?
Pada
paragraf ketiga, dia mengatakan bahwa kebenaran seolah-olah berdiri di dua
tebing berbeda. Bagaimana mungkin terdapat kebenaran dalam satu konteks yang
sama? Dalam aksioma/prima principa/prinsip
dasar berpikir kita memahami bersama bahwa terdapat aturan yang disebut prinsip
non-kontradiksi dengan dalil “pengingkaran sesuatu tidak sama dengan
pengakuannya”. Dalam proposisi terdapat dua hal yang bertentangan, hanya dua kemungkinan
yang akan muncul, apakah salah satunya benar atau kedua-duanya salah. Dalam
kalimat pertama, marilah kita ambil contoh proposisi “Tyo adalah pria sekaligus
wanita”. Tentunya Tyo adalah salah satu dari kedua hal yang disebut tadi, Tyo
tidak mungkin adalah pria sekaligus wanita. Bahkan seorang waria saja, secara
lahiriah/fitrawi adalah pria. Dorce tetaplah pria. Wanita yang tomboy tetap
saja seorang wanita. Seorang wanita yang melakukan transgender sudah pasti
adalah wanita, seperti kasus di Barat seorang wanita yang operasi kelamin
akhirnya memilih untuk hamil karena wanita yang dia nikahi tidak bisa
membuahkan anak. Akan terlihat lucu, bagaimana seorang yang secara fisik terlihat seperti pria, memiliki jenggot,
jakun, suara yang “jantan”, akan tetapi dia hamil.
Dalam
paragraf ketika pria kurus itu berujar, bahwa kebenaran itu pahit dan
kebohongan itu manis. Mari kita definisikan kebenaran, dan saya akan
menggunakan defisi dari Mundiri bahwa kebenaran adalah kesesuaian ide dan
realita serta tidak ada pertentangan di dalamnya. Ketika kita memiliki gagasan
bahwa Bumi itu datar, dan kenyataannya, setelah melewati berbagai metodologi
ilmiah serta eksperimentasi, maka didapati bahwa bumi itu datar. Saat itu
terjadi ketidaksesuaian ide dan realita, maka disebut tidak benar. Begitupula
jika dalam ide kita menganggap bahwa apel pasti jatuh ke atas, maka terjadi
pertentangan di dalamnya, karena jatuh itu pasti ke bawah bukan ke atas,
sehingga disebut tidak benar. Bagi saya secara pribadi, kebenaran tetaplah
milik kebenaran itu sendiri. Masalah apakah kebenaran itu pahit atau manis atau
asam atau indah atau cantik atau menawan atau menyedihkan dan kata sifat
lainnya, hanyalah masalah selera sesuai dengan latar belakang subjek yang
mencicipi kebenaran tersebut. Bagaikan seorang yang kelaparan dan mencicipi
sebuah sajian restoran, bagi yang jijik dengan ikan lele, dia tidak akan
menyukai ikan tersebut tapi berbeda halnya dengan orang yang tidak peduli kalau
ikan Lele itu hidup di habitat yang kotor dan penuh kotoran, dia menyukai
menyantap lele tersebut tanpa rasa jijik sama sekali. Kebenaran disitu,
terletak pada kenyataan bahwa Lele hidup dalam habitatnya yang kotor, masalah
kita suka atau tidak memakannya, hanyalah masalah selera, masalah lidah. Dalam
proposisi kebenaran itu pahit dan kebohongan itu manis, kita pahami ternyata
pahit dan manis dalam kalimat tersebut hanyalah masalah selera. Bagi orang yang
tidak ingin diselingkuhi istrinya lebih memilih untuk mengetahui kebenaran
bahwa dia diselingkuhi, kebenaran itu manis bagi dia. Bagi seorang wanita yang
tidak ingin kehilangan kekasihnya dia akan tetap berbohong akant tetapi dia
tahu kekasihnya hanya akan hidup dalam kebohongan, dia tahu, kebohongan pahit
bagi kekasihnya.
Dalam
sebah uraian singkat megenai peristiwa jatuh cinta pada pandangan pertama, kita
mengetahui bahwa lelaki diatas merasa skeptis bisa mencintai wanitanya secara
apa adanya. Dia mengatakan bahwa yang kita cintai hanyalah wanita dalam pikiran
kita sendiri, bahwa yang kita cintai sebenarnya hanyalah lekak-lekuk indah,
kecantikan wajah, aroma, tekstur dan persepsi inderawi lain yang mungkin akan
muncul dari pertemuan dengan wujud wanita tersebut. Kecintaan dia terhadap
wanita, hanya eksis dalam pikirannya sendiri, hanya buah pikirannya. Kalo
begitu, saya persilahkan para pembaca untuk mengajak orang di atas
berjalan-jalan ke kebun binatang dan persilahkan dia untuk masuk dalam kandang
singa. Biarkan dia di dalam sana, dan ketika dia hendak berteriak keluarkan aku
dengan ketakutan hebat, katakanlah: “Di depanmu itu bukan singa bro, singa itu
hanya eksis dalam pikiranmu sendiri, kenapa kau harus takut dengan
imajinasimu?”. Begitulah kira-kira yang saya pahami ketika kita bertemu dengan
seorang yang bernalar sophistic. Jika
cinta bisa saya gambarkan sebagai menempatkan kebutuhan orang lain di atas
kebutuhan kita (mohon maaf saya dengan lancang mencoba untuk menjelaskan cinta,
sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dijelaskan dengan bahasa yang sangat
terbatas), maka persoalan cinta bukanlah sesuatu yang bisa ditentukan oleh
persepsi inderawi, tapi lebih ke kebutuhan batin manusia. Kecantikan dan segala
pesona tubuh tidak akan bisa membeli cinta seseorang, paling hanya kekaguman
saja. Cinta adalah sebuah gejala metafisik, bukan gejala fisik. Bagi orang yang
masih menganggap dirinya jatuh cinta karena ketertarikan fisik maupun seksual,
jangan heran cintanya tidak awet ketika dia menyadari wanita tersebut ternyata matre, bodoh, jahat, psikopat, sosiopat,
gila, atau lain sebagainya.
Lalu
bagaimana kita merespon sebuah syair yang begitu menakjubkan dari sang nabi
cinta, Kahlil Gibran? Ketika ia bersabda “Ketika cinta datang padamu, maka
dekaplah ia meski di sela-sela sayapnya tersembunyi pisau. Ketika cinta datang
padamu, maka dekaplah ia meski jalan yang engkau tempuh terjal dan berliku”.
Sekilas, Kahlil Gibran ini sedang menawarkan logika masokisme, kecenderungan
orang untuk suka menyiksa diri sendiri. Cinta mengajarkan rasa sakit yang
mendalam, yang dengan kerelaan diterima secara ikhlas, tanpa bayaran tanpa pungli sama sekali. Mari kita lacak
kontradiksi dalam proposisi ini, ketika lelaki tersebut menarik kesimpulan
bahwa cinta menyeret manusia ke perilaku menyiksa diri sendiri, dan ketika dia
lakukan itu, bukankah dia senang menyiksa dirinya sendiri? Bagaimana mungkin
kata senang dan siksa yang sebenarnya berlawanan, bisa berdampingan dalam satu
proposisi sebagai subjek dan predikat, dengan kata lain: Kontradiksi in
terminus, sebuah kesesatan berpikir. Kalau senang, yah bilang senang, kalau
siksa yah bilang saja siksa. Tidak mungkin satu proposisi mengandung
pengingkaran dan penegasan secara sekaligus.
Hal
yang sama terjadi pada akhir paragraf si lelaki kurus, akibat traumatik serta
pesimisme yang lahir dari kegoncangan hebat, dia mengutuk diri yang diliputi
dengan banyak ekspektasi atau harapan. Sampai ketika dia menginginkan tiada
lagi harapan, sampai disanalah mari kita sekali lagi menggugat. Bukankah ketika
dia mengatakan “aku tidak ingin lagi berharap”, saat itu dia sedang BERHARAP.
Sekali lagi, kontradiksi in terminus. Hal yang senada terjadi misalnya dalam
proposisi “kebenaran itu relatif”, dan ketika orang yang berargumen seperti itu
tetap bersikukuh dengan proposisinya, maka ia telah memutlakkan/mengabsolutkan
kebenaran tersebut, bahwa “kebenaran itu relatif” adalah mutlak. Dalam kasus
lain, kita seringkali melihat para pendeta, ulama, rabbi yang mencoba
mendeskripsikan Tuhan dengan berbagai macam cara, berbagai macam metode, dengan
berbagai bahasa, dan bermacam-macam perspektif. Tuhan yang dibicarakan kemudian
semakin menjauh dari Tuhan yang sebenarnya. Bagaimana bisa manusia membicarakan
Tuhan yang Maha Tidak Terbatas dengan bahasa yang sangat terbatas? Kontradiksi
in terminus!
Maka
sekali lagi, izinkan saya mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap
lelaki yang menyia-nyiakan waktu dan kesempatannya di dalam gua yang gelap dan
kotor itu. Mari kita rangkul dia, dan kasihanilah dia yang termakan pikirannya
sendiri. Mungkin lelaki itu adalah engkau, mungkin juga aku, mungkin juga
siapapun yang sedang tidak bergelut dengan teks ini, adalah lelaki itu sendiri,
atau mungkin saja kita semua yang belum menyadari bahwa kitalah yang tengah
dibicarakan. Pada akhirnya, mari kita kritik judul tulisan ini, ketika tulisan
ini berjudul “Tulisan ini tidak berjudul”, bukankah itu adalah “Judul”? Dengan
demikian, saya memberikan hak kepada pembaca untuk menilai dan memberikan judul
masing-masing terhadap karya kecil yang sederhana ini.
(***)
Pada
akhirnya saya mohon maaf atas segenap kesombongan dan keserakahan serta
kelancangan saya menulis menyadari pikiran ini masih begitu belia untuk
dipamerkan di dunia maya, menyadari segala keterbatasan dan kelemahan yang
senantiasa meliputi penulis. Tapi kekeliruan bukanlah sebuah hantu mengerikan
yang harus kita berikan tatapan sinis padanya, biarkanlah kekeliruan tersebut
lahir dari berbagai perbincangan agar kita senantiasa memiliki keberanian untuk
mengidentifikasi diri dan mengkoreksi kesalahan demi kesalahan yang sangat
mungkin, tidak pernah akan raib dari hidup manusia. Teks ini masih sangat
interpretatif dan menantang teks lain muncul entah itu sebagai kritik maupun
komentar. Adapun upaya saya secara pribadi untuk mengutip pendapat atau
mengomentari tokoh-tokoh di atas sangat tidak terlepas dari kesalahan membaca
pikiran mereka, sehingga mungkin saja saya luput mengungkapkan apa yang
dimaksud oleh tokoh tersebut dalam tulisan ini.
Sebaiknya
kita ucapkan saja dengan rendah hati: “Wallahu
‘alam...”.
“And the
worldly life is not but amusement and diversion...”
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari
main-main dan senda gurau belaka...”
(QS Al-An’am (6):32)
SALAM !
2 Komentar
agama adalah racun
BalasHapusAgama bukan racun, dan racun bukan agama. Prinsip identitas pak (A=A) !
Hapus