Oleh      : Triwardana Mokoagow

Pada bulan Januari, laki-laki bertubuh kering diam dalam pengembaraannya, di dalam goa kesayangan yang dalam imajinasinya disebut goa Hira. Goa dimana Muhammad menghabiskan waktunya untuk bertapa, merenung, dan melahirkan pikiran-pikiran serta melacak intuisi dari kesadaran yang paling dalam. Goa itu disebut Goa Hira, meskipun sebenarnya hanya sebuah kamar kos yang berantakan dan sudah terselubungi dengan jaring laba-laba. Setidaknya, kamar tersebut bisa saja tidak terlihat begitu kelam dan mengerikan, meskipun dalam pikirannya sendiri.
Pada bulan Januari itu dia menggambar Senja dalam akalnya sembari berdoa “semoga kau adalah harapan di awal tahun, di awal hari, yang memberikan pagi pada duniawi”. Pria ini menyadari bahwa manusia hampir tidak mungkin hidup tanpa keyakinannya sendiri, yang membuat dia mengagumi Karen Armstrong yang telah menghadiahi pengetahuan tersebut, manusia adalah homo religius. Meskipun begitu, disisi lain dia menyadari lewat perspektif Cak Nur bahwa keterjebakan manusia dan bahaya sesungguhnya adalah karena manusia hidup dengan begitu banyak keyakinan yang menjeratnya. Manusia bisa saja terperosok dalam syirik secara spiritual, bisa saja terperosok dalam gejala split personality secara psikologis, dan paling parah manusia bisa menjadi gila sebagaimana Nietzche menghabiskan waktunya pada tahun 1889-1990 setelah membuat kepercayaan akan Gott is tott, Zarathustra, Ubermansch, dll.
Dia seketika menyadari semua itu bagaikan sebuah hidangan yang penuh dengan sifat paradoksikalitas dimana kebenaran seakan-akan berdiri masing-masing di tempat yang berbeda dan saling mengolok-olok satu sama lain. Dia menyadari bahwa keyakinan merupakan potensi paling indah yang dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa sekaligus kutukan yang dapat saja membinasakan manusia. Dia menyadari secara seksama, bahwa pasti ada satu hal penting yang bisa mengendalikan keyakinan tersebut. Dan dia menyadari secara mendalam, bahwa keyakinan tiap orang bagaikan Anjing. Orang yang hidup dalam kuasa keyakinannya, pastilah lebih rendah daripada anjing. Tapi bagi orang yang hidup dengan cara menunggangi keyakinannya, bagaikan majikan bagi Anjing. Dengan kata lain, kita semua bisa saja menjadi peliharaan Anjing atau kita bisa saja menjadi tuan bagi diri kita sendiri.
Di dalam goa itu dia berpikir, berenang dalam alam pikirannya hingga mendekati dasar Samudera yang mungkin hanya oase. Dia mendekati itu dan tersadar kembal, bahwa dibalik kesadaran masih ada kesadaran. Akankah artinya, dibalik kebenaran, masih ada kebenaran? Bahwa dibalik ilusi, masih ada kenyataan. Dan apabila kebenaran ternyata memang pahit adanya, maka bisa saja manusia dari zaman dahulu hingga sekarang menciptakan delusi  secara senagaja untuk menyelimuti hakikat kebenaran tersebut. Mungkin saja karena kebenaran ternyat pahit, asam, menyakitkan, mencemaskan, mengkhawatirkan, memabukkan manusia hingga dia sekarat hingga lebih merindukan sakratul maut daripada hidup abadi. Kebenaran sempat membawa Sokrates menjatuhkan pilihannya untuk meneguk racun daripada hidup dalam ilusi yang penuh kebohongan manis. Kebohongan memberi manusia penjara ilusi, manusia tidak lagi hidup dalam dunia objektif, tapi hidup dalam dunia yang dia ciptakan sendiri, di bawah kaki Sang Anjing.

JATUH CINTA

Lelaki kurus itu menatap dunia. Dia memiliki hobbi mengamati sekelilingnya, mempelajari tindak tanduk orang dalam tiap situasi. Dia melihat ada ilusi paling manis dan paling berbahaya yang berputar mengelilingi rutinitas manusia. Ilusi tersebut bagaikan wujud setengah iblis dan setengah malaikat. Dia tangan kirinya menwarakan Surga dan tangan kanan menyembunyikan tragedi. Orang-orang menyebutnya dengan Cinta, sebuah kata yang sepertinya sudah berkonotasi positif. Tapi bukankah Cinta banyak mengajarkan manusia bagaimana cara menangis, apa itu perpisahan, rasa sakit, trauma, bahkan lebih parah, bunuh diri. Apakah artinya cinta itu paradoks? Dia menawarkan segala keindahan dan keanggunan yang membentang dari Timur sampai Barat, Utara sampai Selatan. Di sisi lain di menakuti kita dengan kebinasaan dan horror, sebuah mimpi buruk yang hidup dalam dunia nyata.
Menurut lelaki itu, jatuh cinta adalah sebuah fenomena pikiran yang menjalar dan menyelimuti hasrat manusia. Jatuh cinta adalah ilusi yang paling hebat, yang bahkan tidak bisa diciptakan oleh pesulap manapun. Ketika orang merasa jatuh cinta, dia menganggap dirinya memiliki sayap, dan hendak terbang membawakan bunga pada wanita yang dia lirik, ingin mendekap wanita tersebut, meskipun pada kenyataannya, sayap wanita itu menyimpan pisau dan duri yang siap menyantapnya dalam pelukan kuat. Dalam Kahlil Gibran, lelaki kurus itu belajar bahwa datanglah kepada Cinta ketika dia memanggilmu, meskipun jalan yang kau tempuh terjal dan berliku. Dia belajar, bahwa Cinta membuat manusia menjadi MASOKIS (suka menyiksa diri sendiri).
Pada awalnya kita tidak pernah benar-benar mencintai wanita itu secara objektif, secara apa adanya (das sein). Kita hanya mencintai wanita itu secara apa yang seharunya (das sollen). Bagaimana mungkin kita bisa megagumi seseorang yang baru kita kenali? Yang kita tidak tau, dari mana dia berasal, siapa dia, siapa orang tua dia, kebiasaan buruknya, kejelekannya, apakah dia mengidap AIDS/HIV? Kita hanya mengagumi seseorang sejauh kita tidak benar-benar mengenalnya secara mendalam. Kita hanya mencintai apa yang kita imajinasikan tentang dia (das sollen). Kita hanya mencintai bagaimana sensasi inderawi bekerja ketika bertemu dengan wujud wanita tersebut. Kita menyukai mekanisme visualisasi wajahnya yang menawan, kita mencintai aroma parfum mungkin, kita mencintai tekstur kulitnya yang lembut, kita mencintai suaranya yang merdu, atau mungkin kita mencintai masakannya yang enak. Dimana letak cinta kita pada wanita itu? Yang kita cintai adalah apa yang kita lihat, kita rasakan, kita dengar, kita cium, dan kita kecap. Kita ternyata tidak mencintai Wanita itu secara objektif (das sein), kita hanya mencitai apa yang melekat pada dia. Kita hanya mencintai sejauh aroma tubuhnya, kecantikannya yang menawan, masakannya, suaranya, kelembutan belaiannya, dan lain sebagainya. Tapi apakah aroma tubuhnya adalah dia? Tidak. Apakah suaranya adalah dia? Tidak. Apakah belaiannya adalah dia? Tidak. Apakah kecantikannya adalah dia? Tidak. Apakah dia yang terlihat, terraba, tersentuh, terkecap, terdengar, tercium adalah dia? Tentu saja tidak. Kita tidak pernah mencintai wanita itu, yang kita cintai adalah apa yang melekat pada dia.
Sepertinya pria kurus kerempeng itu tengah melukis kegelapan dalam dunianya yang beku meski hanya sesaat. Dia meruntuhkan segala konsep serta gagasan yang dia bangun selama ini. Bagaikan menghancurkan istana intelektual yang dibangun lewat perantara pemikir-pemikir besar yang pernah dia baca maupun dia ketemui. Dia teringat dengan Nietzche, yang berkata: “Bersikaplah hormatlah dihadapan kebenaran sebagaimana engkau berhadapan dengan seoarang wanita”. Beliau senantiasa menggunakan analogi ini untuk menjelaskan kebenaran. Nietzche mengatakan bahwa kebenaran bagaikan wanita yang senantiasa mengundang anak cucu Adam untuk menelanjanginya dan menjamah dirinya yang paling dalam. Tapi jangan pernah coba-coba untuk melakukannya, karena kau tidak tau, ada tragedi kesedihan kecemasan kekhawatiran ketakutan apa yang disimpan di balik topeng kecantikan keanggunan keperawanan keindahan yang mengkilau dan melindungi fisik luarnya yang berkekuatan magis itu. Biarkanlah dia begitu tanpa kau buka, biarkanlah dia terlihat seperti itu, dan cukuplah bagimu untuk memandangi dia dari kejauhan seraya berkata “betapa menawannya wanita/kebenaran itu” yang sebenarnya senada dengan “betapa manisnya kebohongan itu”.
Lelaki kurus kering yang sibuk berpikir dan berimajinasi itu sudah kelelahan sepertinya, menahan amuk karena merasa dibodohi oleh dunia dan segala kepalsuan yang menyelimutinya. Dia tahu ketika ia keluar dari goa yang dikontruksikan dalam tempurung kepalanya, ia akan kembali menjadi manusia yang palsu. Manusia yang dipelihara oleh Anjing dalam dirinya sendiri. Dia muak dan ingin menangis dalam kegelapan di bulan Januari. Dia ingin mengeluh di bawah terik Senja, yang pada awal paragraf diharap sebagai harapan yang menuntun perahunya menubruk karang dan mengantar ia ke depan pintu gerbang kebenaran. Kini yang ia lihat, yang ia pandangi, adalah kebenaran yang dilihat oleh manusia guanya Plato yang memaksanya untuk kembali lagi ke dalam goa dan melihat dunia dari bayangan, dari ilusi, dari dasar yang sebenarnya bukan dasar, dia ingin tinggal dalam dunia seharusnya (das sollen) bukan dunia yang apa adanya (das sein).
Dia pikir selama ini dia hidup dengan cara yang paling mengenaskan, hidup dalam kekecewaan atas harapan. Dia pernah belajar, bahwa harapan menguatkan manusia, memberikan motifasi atas keberlangsungan hidup umat manusia. Akan tetapi semakin tinggi dan besar harapan yang dibangun, dan semakin bertentangan dengan kenyataan maka akan semakin dia berlumuri kekecewaan ganas. Maka dia ingin memilih untuk tidak berharap sama sekali. Dan ketika dia menoleh keluar jendela, sebelum dia menyadarinya, dia kehilangan Mentari yang dia pikir masih menggantung di atas kepala, Mentari itu telah sirna dan siap tenggelam di ufuk Barat, tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal padanya. Dia tahu bahwa pagi hanya memberi jaminan sedikit, dan kenyataan sebenarnya adalah Senja yang senantiasa menawarkan kebenaran pahit, bahwa hidup hanyalah sebuah reproduksi kebohongan secara terus menerus. Hidup adalah kartun yang hidup. Dan di balik kerangka dadanya, Sang Anjing bergonggong penuh kemenangan mencibir akal yang angker itu, “Aku Menang!”


KONTRADIKSI IN TERMINUS; PENYAKIT INTELEKTUAL

Lalu bagaimana selanjutnya? Tenang ini bukan cerita sedih yang mengandung hiperbola secara berlebihan. Silahkan tertawa saja bagi yang terlanjur pesimis. Selalu ada jalan kata SBY, meskipun mungkin SBY tidak pernah membaca teks ini. Lelaki kurus tersebut hanyalah sebuah abstraksi dari kecemasan intelektual yang kini melanda saya. Yang menghantui kekerdilan eksperensial saya secara pribadi. Sebuah hantu yang lahir dari kekecewaan berat dan ganas serta dahsyat dari kegilaan seorang paranoid. Paragraf ini adalah sebuah reka kronologis dari teks terdahulu, mencoba membongkar dan menelanjangi kecemasan sang lelaki kurus di belakang. Mari kita sama-sama membawa lilin ke dalam guanya yang gelap dan dipenuhi dengan jaring laba-laba itu, bagi teman-teman yang merasa perlu membawa Yasin atau mantera pengusir setan, silahkan, mari kita buat ritual sebab dia telah kesurupan setan pesimisme.
Dalam tradisi berpikir yang selama ini saya lakoni, meskipun pengalaman ini masih kerdil dan begitu kecil dibanding orang lain yang mendedikasikan diri lebih banyak waktunya untuk hal yang sama. Saya menyadari itu, dan meminta kritik sebesar-besarnya dari apa yang tertulis baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja. Bahwa dari pengamatan secara pribadi, seringkali kita terjebak dalam suatu kesesatan berpikir dalam berargumen yang marilah kita sebut kontradiksi in terminus, atau kontradiksi dalam penyusunan kata.
Wittgenstein pernah mengatakan pada dunia, bahwa problematika dunia filsafat dan ilmiah hanyalah persoalan kompleksitas bahasa yang sebenarnya rumit. Kita hampir tidak mungkin untuk menerjemahkan pemikiran kita secara utuh dalam ke dalam kata, bahasa, kalimat, paragraf, apalagi menjadi teks secara utuh. Mungkin karena itulah Nietzche memandang verbalisasi sebagai topeng yang menyamarkan maksud sebenarnya atau Foucault yang memproklamirkan kematian penulis (the dead of author) sebab penulis tidak punya lagi kuasa atas teks yang ia ciptakan. Kecemasan ini membawa umat manusia ke dalam ruang diskursus baru, sebuah dialektika tanpa henti, mencoba membongkar struktur bahasa yang sepertinya sering mengalami kontradiksi satu sama lain. Bahasa memang sangat terbatas, tapi manusia tidak mungkin hidup tanpa bahasa. Heidegger berkata, bahasa adalah rumah dari ada (leanguge is the house of being). Makanya belakangan ini, para pemikir belakangan lebih senang mengutak-atik kata. Bahasa seperti puzzle, yang menyimpan keindahan, kebenaran dan kebaikan sesuai dengan pola-pola tertentu.
Kontradiksi dalam kata adalah fenomena yang seringkali terjadi dalam pergulatan akademis. Sebagaimana yang seringkali terjadi dalam pikiran seorang pria kurus diatas. Sebuah wabah intelektual yang sangat sering menjangkiti pemikir. Ketika pria kurus di atas mengatakan bahwa keyakinan adalah Sang Anjing, bukankah itu adalah ilusi yang dia ciptakan sendiri? Dan ketika dia mengatakan kita semua bisa menjadi tuan atas diri kita sendiri, bukankah itu hanyalah kontruksi dari keyakinannya juga? Dan ketika dia mengatakan bahwa kita semua bisa mengendalikan keyakinan kita, bukankah dia menawarkan suatu keyakinan saat itu?
Pada paragraf ketiga, dia mengatakan bahwa kebenaran seolah-olah berdiri di dua tebing berbeda. Bagaimana mungkin terdapat kebenaran dalam satu konteks yang sama? Dalam aksioma/prima principa/prinsip dasar berpikir kita memahami bersama bahwa terdapat aturan yang disebut prinsip non-kontradiksi dengan dalil “pengingkaran sesuatu tidak sama dengan pengakuannya”. Dalam proposisi terdapat dua hal yang bertentangan, hanya dua kemungkinan yang akan muncul, apakah salah satunya benar atau kedua-duanya salah. Dalam kalimat pertama, marilah kita ambil contoh proposisi “Tyo adalah pria sekaligus wanita”. Tentunya Tyo adalah salah satu dari kedua hal yang disebut tadi, Tyo tidak mungkin adalah pria sekaligus wanita. Bahkan seorang waria saja, secara lahiriah/fitrawi adalah pria. Dorce tetaplah pria. Wanita yang tomboy tetap saja seorang wanita. Seorang wanita yang melakukan transgender sudah pasti adalah wanita, seperti kasus di Barat seorang wanita yang operasi kelamin akhirnya memilih untuk hamil karena wanita yang dia nikahi tidak bisa membuahkan anak. Akan terlihat lucu, bagaimana seorang yang secara fisik  terlihat seperti pria, memiliki jenggot, jakun, suara yang “jantan”, akan tetapi dia hamil.
Dalam paragraf ketika pria kurus itu berujar, bahwa kebenaran itu pahit dan kebohongan itu manis. Mari kita definisikan kebenaran, dan saya akan menggunakan defisi dari Mundiri bahwa kebenaran adalah kesesuaian ide dan realita serta tidak ada pertentangan di dalamnya. Ketika kita memiliki gagasan bahwa Bumi itu datar, dan kenyataannya, setelah melewati berbagai metodologi ilmiah serta eksperimentasi, maka didapati bahwa bumi itu datar. Saat itu terjadi ketidaksesuaian ide dan realita, maka disebut tidak benar. Begitupula jika dalam ide kita menganggap bahwa apel pasti jatuh ke atas, maka terjadi pertentangan di dalamnya, karena jatuh itu pasti ke bawah bukan ke atas, sehingga disebut tidak benar. Bagi saya secara pribadi, kebenaran tetaplah milik kebenaran itu sendiri. Masalah apakah kebenaran itu pahit atau manis atau asam atau indah atau cantik atau menawan atau menyedihkan dan kata sifat lainnya, hanyalah masalah selera sesuai dengan latar belakang subjek yang mencicipi kebenaran tersebut. Bagaikan seorang yang kelaparan dan mencicipi sebuah sajian restoran, bagi yang jijik dengan ikan lele, dia tidak akan menyukai ikan tersebut tapi berbeda halnya dengan orang yang tidak peduli kalau ikan Lele itu hidup di habitat yang kotor dan penuh kotoran, dia menyukai menyantap lele tersebut tanpa rasa jijik sama sekali. Kebenaran disitu, terletak pada kenyataan bahwa Lele hidup dalam habitatnya yang kotor, masalah kita suka atau tidak memakannya, hanyalah masalah selera, masalah lidah. Dalam proposisi kebenaran itu pahit dan kebohongan itu manis, kita pahami ternyata pahit dan manis dalam kalimat tersebut hanyalah masalah selera. Bagi orang yang tidak ingin diselingkuhi istrinya lebih memilih untuk mengetahui kebenaran bahwa dia diselingkuhi, kebenaran itu manis bagi dia. Bagi seorang wanita yang tidak ingin kehilangan kekasihnya dia akan tetap berbohong akant tetapi dia tahu kekasihnya hanya akan hidup dalam kebohongan, dia tahu, kebohongan pahit bagi kekasihnya.
Dalam sebah uraian singkat megenai peristiwa jatuh cinta pada pandangan pertama, kita mengetahui bahwa lelaki diatas merasa skeptis bisa mencintai wanitanya secara apa adanya. Dia mengatakan bahwa yang kita cintai hanyalah wanita dalam pikiran kita sendiri, bahwa yang kita cintai sebenarnya hanyalah lekak-lekuk indah, kecantikan wajah, aroma, tekstur dan persepsi inderawi lain yang mungkin akan muncul dari pertemuan dengan wujud wanita tersebut. Kecintaan dia terhadap wanita, hanya eksis dalam pikirannya sendiri, hanya buah pikirannya. Kalo begitu, saya persilahkan para pembaca untuk mengajak orang di atas berjalan-jalan ke kebun binatang dan persilahkan dia untuk masuk dalam kandang singa. Biarkan dia di dalam sana, dan ketika dia hendak berteriak keluarkan aku dengan ketakutan hebat, katakanlah: “Di depanmu itu bukan singa bro, singa itu hanya eksis dalam pikiranmu sendiri, kenapa kau harus takut dengan imajinasimu?”. Begitulah kira-kira yang saya pahami ketika kita bertemu dengan seorang yang bernalar sophistic. Jika cinta bisa saya gambarkan sebagai menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan kita (mohon maaf saya dengan lancang mencoba untuk menjelaskan cinta, sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dijelaskan dengan bahasa yang sangat terbatas), maka persoalan cinta bukanlah sesuatu yang bisa ditentukan oleh persepsi inderawi, tapi lebih ke kebutuhan batin manusia. Kecantikan dan segala pesona tubuh tidak akan bisa membeli cinta seseorang, paling hanya kekaguman saja. Cinta adalah sebuah gejala metafisik, bukan gejala fisik. Bagi orang yang masih menganggap dirinya jatuh cinta karena ketertarikan fisik maupun seksual, jangan heran cintanya tidak awet ketika dia menyadari wanita tersebut ternyata matre, bodoh, jahat, psikopat, sosiopat, gila, atau lain sebagainya.
Lalu bagaimana kita merespon sebuah syair yang begitu menakjubkan dari sang nabi cinta, Kahlil Gibran? Ketika ia bersabda “Ketika cinta datang padamu, maka dekaplah ia meski di sela-sela sayapnya tersembunyi pisau. Ketika cinta datang padamu, maka dekaplah ia meski jalan yang engkau tempuh terjal dan berliku”. Sekilas, Kahlil Gibran ini sedang menawarkan logika masokisme, kecenderungan orang untuk suka menyiksa diri sendiri. Cinta mengajarkan rasa sakit yang mendalam, yang dengan kerelaan diterima secara ikhlas, tanpa bayaran tanpa pungli sama sekali. Mari kita lacak kontradiksi dalam proposisi ini, ketika lelaki tersebut menarik kesimpulan bahwa cinta menyeret manusia ke perilaku menyiksa diri sendiri, dan ketika dia lakukan itu, bukankah dia senang menyiksa dirinya sendiri? Bagaimana mungkin kata senang dan siksa yang sebenarnya berlawanan, bisa berdampingan dalam satu proposisi sebagai subjek dan predikat, dengan kata lain: Kontradiksi in terminus, sebuah kesesatan berpikir. Kalau senang, yah bilang senang, kalau siksa yah bilang saja siksa. Tidak mungkin satu proposisi mengandung pengingkaran dan penegasan secara sekaligus.
Hal yang sama terjadi pada akhir paragraf si lelaki kurus, akibat traumatik serta pesimisme yang lahir dari kegoncangan hebat, dia mengutuk diri yang diliputi dengan banyak ekspektasi atau harapan. Sampai ketika dia menginginkan tiada lagi harapan, sampai disanalah mari kita sekali lagi menggugat. Bukankah ketika dia mengatakan “aku tidak ingin lagi berharap”, saat itu dia sedang BERHARAP. Sekali lagi, kontradiksi in terminus. Hal yang senada terjadi misalnya dalam proposisi “kebenaran itu relatif”, dan ketika orang yang berargumen seperti itu tetap bersikukuh dengan proposisinya, maka ia telah memutlakkan/mengabsolutkan kebenaran tersebut, bahwa “kebenaran itu relatif” adalah mutlak. Dalam kasus lain, kita seringkali melihat para pendeta, ulama, rabbi yang mencoba mendeskripsikan Tuhan dengan berbagai macam cara, berbagai macam metode, dengan berbagai bahasa, dan bermacam-macam perspektif. Tuhan yang dibicarakan kemudian semakin menjauh dari Tuhan yang sebenarnya. Bagaimana bisa manusia membicarakan Tuhan yang Maha Tidak Terbatas dengan bahasa yang sangat terbatas? Kontradiksi in terminus!
Maka sekali lagi, izinkan saya mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap lelaki yang menyia-nyiakan waktu dan kesempatannya di dalam gua yang gelap dan kotor itu. Mari kita rangkul dia, dan kasihanilah dia yang termakan pikirannya sendiri. Mungkin lelaki itu adalah engkau, mungkin juga aku, mungkin juga siapapun yang sedang tidak bergelut dengan teks ini, adalah lelaki itu sendiri, atau mungkin saja kita semua yang belum menyadari bahwa kitalah yang tengah dibicarakan. Pada akhirnya, mari kita kritik judul tulisan ini, ketika tulisan ini berjudul “Tulisan ini tidak berjudul”, bukankah itu adalah “Judul”? Dengan demikian, saya memberikan hak kepada pembaca untuk menilai dan memberikan judul masing-masing terhadap karya kecil yang sederhana ini.

(***)

Pada akhirnya saya mohon maaf atas segenap kesombongan dan keserakahan serta kelancangan saya menulis menyadari pikiran ini masih begitu belia untuk dipamerkan di dunia maya, menyadari segala keterbatasan dan kelemahan yang senantiasa meliputi penulis. Tapi kekeliruan bukanlah sebuah hantu mengerikan yang harus kita berikan tatapan sinis padanya, biarkanlah kekeliruan tersebut lahir dari berbagai perbincangan agar kita senantiasa memiliki keberanian untuk mengidentifikasi diri dan mengkoreksi kesalahan demi kesalahan yang sangat mungkin, tidak pernah akan raib dari hidup manusia. Teks ini masih sangat interpretatif dan menantang teks lain muncul entah itu sebagai kritik maupun komentar. Adapun upaya saya secara pribadi untuk mengutip pendapat atau mengomentari tokoh-tokoh di atas sangat tidak terlepas dari kesalahan membaca pikiran mereka, sehingga mungkin saja saya luput mengungkapkan apa yang dimaksud oleh tokoh tersebut dalam tulisan ini.
Sebaiknya kita ucapkan saja dengan rendah hati: “Wallahu ‘alam...”.

And the worldly life is not but amusement and diversion...”
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka...”
(QS Al-An’am (6):32)


SALAM !