Oleh: Triwardana Mokoagow
Tuhan,
Allah, Yahweh, El, Eli, El-Shadai, Yehovah, God, dan lain sebagainya adalah
beberapa nama yang seringkali diucapkan oleh umat manusia untuk menyebut-Nya
sesuai dengan interpretasi mereka pada masing-masing agama. Meskipun memiliki
nama yang beragam, akan tetapi sesungguhnya nama tersebut menandai satu oknum
yang sama. Hanya saja nama tersebut mewakili karakteristik yang masing-masing
berbeda dan terformalisasikan dalam sebuah agama (religion) sebagai sistem keyakinan atau kepercayaan tertentu.
Akibat
manusia yang terbatasi oleh berbagai sifat pembeda (differentia) sebagai suatu kepastian yang pasti ada dan tidak
mungkin tidak ada, entah itu dikarenakan latar belakang budaya, agama, realitas
sosial, sejarah, tempat, waktu dan lain sebagainya. Sehingga persepsi tiap
orang terhadap segala sesuatu meskipun sesuatu tersebut adalah hal yang sama,
sangat mungkin terjadi berbagai macam interpretasi. Dalam buku yang mengupas
orasi ilmiah Karlina Supeli tentang Kosmologi dan Dialog, beliau mengatakan
bahwa ciri ini disebut dengan watak antropologis ilmu pengetahuan. Bahwa
pengetahuan selalu dicerap dengan cara berbeda dan dengan hasil berbeda pula
sesuai dengan latar belakang tiap orang yang senantiasa berbeda. Dan meskipun
terdapat dua orang yang terlahir dalam keadaan kembar, tetap saja pengalaman
empiris mereka dalam kehidupan sehari-hari pasti berbeda.
Barangkali
hal inilah yang menyebabkan terjadinya persebaran agama yang nyatanya lahir
dari realitas yang sama, dari upaya untuk memahami transedensi Tuhan. Jangankan
dalam memahami transedensi Tuhan secara universal, dalam satu agama saja masih
sering terdapat perbedaan interpretasi atas agama tersebut sehingga menimbulkan
berbagai macam aliran pemikiran (mahzab).
Dalam Islam kita mengenal kelompok Wahabi, Syi’ah, Sunni, Jabariyah, Qadariyah,
Muktazilah, Asy’ariah, Al-Mujassimah, dll. Dalam Kristen, kita mengenal Kristen
Katolik dan Kristen Protestan. Mohammad Arkoun mengatakan, bahwa pluralitas
penafsiran adalah rahmat bagi manusia. Tidak heran, sering terdengar bahwa
nilai yang diwahyukan Tuhan itu pasti Absolut, hanya saja interpretasi atas
nilai tersebut serta aplikasinya yang bersifat relatif dan kontekstual karena
bersifat sosio-historis. Sepakat dengan bapak Komarudin Hidayat, bahwa
permasalahan utama adalah ketika terjadi absolutisasi penafsiran yang memukul
lonceng kematian hermeneutika. Apabila hal demikian terjadi, fenomena
ekstremisme agama, fundamentalisme dan lain sebagainya tidak akan terelakan.
Entah karena mereka berkeyakinan jikalau mati, mungkin surga bagi mereka akan
full AC.
Ciri
antropologis pengetahuan ini menuntut agar dibuat suatu upaya dialog antara
tiap pemeluk keyakinan entah itu dalam perbedaan agama ataupun mahzab. Berbeda
dengan komunikasi yang sekedar bertukar informasi, dialog adalah upaya untuk
memahami perbedaan satu sama lain dan membangun pernghormatan atas perbedaan
tersebut. Di dalam era globalisasi ini, dimana ruang telah mengalami
penyempitan dan waktu telah tersingkatkan akibat bergulirnya arus informasi dan
komunikasi yang mulai membuyarkan batas-batas teritorial antar negara, tidak
pelak lagi bahwa kompleksitas tersebut membawa umat manusia dapat dengan mudah
bersentuhan satu sama lain. Konsekuensi logis dari fenomena global ini adalah,
dikarenakan manusia dapat dengan mudah bersentuhan satu sama lain maka dampak
benturan budaya serta konflik menyimpan potensi besar untuk terjadi. Sebagai
solusi, telah banyak dipersembahkan oleh para pemikir serta tokoh-tokoh dunia
untuk membudayakan toleransi serta dialog dalam pergaulan lintas-bangsa,
lintas-negara, dan lintas-lain-lain.
Perbedaan
dapat dipahami sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Umat manusia harus menghargai dan
menghormati pendapat orang lain tanpa memaksakan perubahan atas keyakinan orang
lain apabila secara rasional dan/atau intuitif tidak dapat diterima oleh
mereka. Perbedaan tersebut dapat terjadi dalam setiap lini kehidupan dan
keyakinan. Salah satu yang menjadi perbedaan besar adalah perbedaan dalam
mempersepsi Tuhan. Pluralitas “wajah” Tuhan senantiasa berbeda sesuai dengan
apa yang dipahami oleh agama dan berbagai mahzab. Bagi agama Yahudi, Tuhan
digambarkan sebagai sosok yang keras dengan aturannya yang tercermin dari 10
perintah Tuhan (ten commandments)
yang diturunkan kepada Musa. Dalam Injil, Tuhan digambarkan sebagai seorang
yang dipenuhi dengan kasih sayang dan kelembutan. Bahkan Erich Fromm menyatakan
bahwa Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tampaknya berbeda. Buddha
mengatakan bahwa bagaimana mungkin kita mengungkapkan Yang Maha Tidak Terbatas
dengan bahasa yang seyogyanya sangat terbatas. Dalam Hindu, Tuhan menjelmakan
dirinya dalam bentuk manusia bernama Krishna. Dalam Islam sendiri, bagi yang concern dalam permasalahan fiqh (hukum Islam) Tuhan menjelma
menjadi hakim dan bagi orang yang concern
terhadap makrifat maka Tuhan
adalah kekasih bagi mereka. Saking beragamnya “wajah” tuhan yang tersebar
dimana-mana, para filsuf menunjukan ekspresi filosofis masing-masing mereka
bahwa itu tuhan tidak lebih dari delusi (Sigmund Freud) atau agama hanyalah
masalah selera (Feurbeach) atau religion
is the opium for the people/agama adalah candu masyarakat (Karl Marx) atau Gott is Tott/Tuhan telah mati (yang mulia Friedrich Nietzche).
Dalam
tulisan kali ini, saya akan menjabarkan Tuhan sebagai seorang legislator yang
melaksanakan tugasnya dalam membuat hukum-hukum yang mengikat alam semesta. Sepertinya
terma-terma yang akan digunakan dalam teks kali ini berkaitan erat dengan terma
yang seringkali digunakan dalam disiplin ilmu hukum terutama dalam
ketatanegaraan dan filsafat hukum. St Agustinus, seorang filsuf moralis pernah
menulis buku tentang Kerajaan Tuhan. Hanya saja dikarenakan konsep kerajaan
atau Monarki tidak mengenal konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam artian modern, mungkin konsep pemisahan
tugas dalam konteks ini bisa kita sebut dengan “Negara Tuhan Yang Demokratis”.
Setelah
sistem Monarki Absolutnya Hobbes dan Monarki Konstitusionalnya Hegel ditolak,
umat manusia berupaya untuk mengeksplorasi pola pemerintahan yang ideal dan
bahkan tidak jarang utopis seperti yang pernah ditawarkan oleh Nazi di Jerman
dan Komunis tentang masyarakat tanpa kelas. Hingga abad ke 20, masyarakat
global (global citizen) berhasil
mengalami trauma besar atas kedigdayaan sistem pemerintahan yang
otoriterianisme serta totaliter yang telah menunjukan wajah serta perilaku
tiranik terhadap warganya. Pemusatan kekuasaan (sentralization) berhasil menunjukan wajah mengerikan dan horror
yang terekam oleh sejarah sebagai fakta yang tak terbantahkan lewat peristiwa
Genosida, Nuklir, perang, Holocaust, kudeta, pemusnahan massal dan lain
sebagainya. Barangkali kita tidak bisa untuk tidak sepakat atas suatu adagium
dari Lord Acton, bahwa: “absolute power
will corrupt absolutely”.
Sejarah
sebagai sebuah fenomena yang bergerak atas dasar rasio manusia, mulai mencari
bentuknya dengan dialektika dan diskursus dalam ruang publik. Umat manusia
menaruh harapan besar terhadap solusi yang sekiranya terberi dari proses
sejarah ini. Berbagai pemikir dari berbagai negara dan disiplin ilmu dengan
sengaja melibatkan diri mereka untuk ikut memikirkan formulasi-formulasi yang
pas demi menjawab tantangan zaman (zeitgeist)
dengan harapan dapat diterima sebagai bagian dari jiwa masyarkat (volkgeist).
Wacana
yang berkembang di permukaan adalah wacana tentang teori pemisahan kekuasaan (separation of power). Berbagai pemikir
memiliki versi mereka masing-masing. Hanya saja yang paling banyak diterima
dalam arti modern dalam arti yang paling demokratis adalah pemikiran
Montesquieu yakni tentang pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif,
legislatif dan Yudikatif. Lembaga Yudikatif adalah lembaga yang menjustifikasi
warga negara sesuai dengan norma hukum yang ada sehingga diharapkan bisa
menciptakan ketertiban, kedamaian, keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Lembaga
eksekutif merupakan eksekutor dari tujuan negara yang turun langsung untuk
membuat program-program yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat
entah itu di bidang infrastruktur, pendidikan, budaya, sosial, politik dan lain
sebagainya. Sedangkan lembaga Legislatif adalah lembaga yang menciptakan
norma-norma hukum disamping memiliki fungsi pengawasan dan budgeting.
Dalam
perjalanannya, teori ini baru terealisasikan secara sungguh-sungguh pada abad
20 yang merupakan abad pengetahuan (aged
of knowledge) dan abad revolusi (aged
of revolution). Meskipun, secara tersirat, praktek pemisahan kekuasaan atau
pemisahan tugas dan fungsi ini sudah dilaksanakan dari awal sejak sebelum
penciptaan manusia oleh Tuhan dan para malaikat dari Arsy-Nya yang seringkali
digambarkan dalam beberapa kitab suci dan agama-agama terutama agama samawi atau agama langit atau agama
wahyu. Kitab-kitab suci mengilustrasikan para malaikat sebagai agen yang
mengeksekusi norma-norma yang diciptakan Tuhan. Beberapa dari para pejabat
eksekutif ini ialah Malaikat Jibril/Gabriel bertugas sebagai mediator antara
manusia terutama nabi dalam hal berkomunikasi dengan Tuhan. Malaikat
Mikail/Michael bertugas untuk mengatur lalu lintas alam semesta berupa
fenomena-fenomena cuaca, panas, hujan, dingin dan lain sebagainya. Malaikat
Izrail bertugas sebagai supir yang menjemput manusia agar pulang kepada Tuhan.
Malaikat Izrafil bertugas membunyikan terompet sangkakala dalam rangka
merayakan hari mudik sejagad raya.
Sedangkan
Tuhan di atas Singgasana-Nya yang disebut Arsy, tengah membuat suatu ketetapan
yang merupakan keharusan universal dan takdir sebagai risalah bagi umat
manusia. Hukum yang diciptakan oleh Tuhan terdiri dari dua, ada hukum yang
bersifat mutlak-universal yang berlaku dan tidak dapat dirubah sama sekali
tanpa persetujuan-Nya dan ada hukum yang berlaku temporal-partikular yang dapat
berubah sewaktu-waktu tergantung dari fleksibilitasnya sendiri. Hukum yang
berlaku mutlak tersebut kita kenal dengan (salah satunya) istilah prima principa (prinsip dasar) yaitu
tentang prinsip identitas, prinsip non-kontradiksi, dll. Apel yang copot dari
dahan pohon pasti akan jatuh ke bawah sebagai konsekuensi gravitasi. Pelampung
yang mengapung di permukaan air diakibatkan karena massa jenis air lebih besar
dibanding pelampung tersebut. Berbagai macam gaya dan berbagai macam energi
serta daya yang terkonkritisasi dan terabtraksikan lewat rumus-rumus Fisika
yang ada, adalah kreasi dari sang Maestro Langit; Tuhan.
Setelah
alam semesta sudah siap, setelah 6 juta tahun lamanya manusia goa telah berevolusi
dari zaman batu, besi hingga perunggu, dan sekitar (kurang lebih) 200.000 tahun
yang lalu manusia modern (homo saphiens)
akan segera untuk siap diterbitkan, maka dari sanalah Tuhan berlaku bak
legislator. Tuhan mewahyukan kehendaknya, sebagai patokan moral atas baik-buruk
dan benar-salah. Atas laku etis dan laku moralis. Risalah tersebut ditunkan
kepada manajer-manajer Tuhan di muka Bumi (meminjam istilah dalam film
P.K.(wajib ditonton)). yang kita kenal dengan sebutan nabi. Diperkirakan
sekitar 124.000 nabi dan kurang lebih 600 Rasul diutus serta sekurang-kurangnya
104 Kitab suci sebagai kitab Undang-Undang yang sudah dikodifikasi dalam
berbagai rupa telah rampung yang ditujukan sebagai pedoman. Setelah umat
manusia mencerap budaya oral dan tulis yang pertama kali diperkenalkan oleh
masyarakat Mesir pada tahun 3200 SM dengan hiroglifnya, tahun 2000 SM Cina dan
Jepang muncul dengan Logografnya, hingga orang-orang Sumeria menciptakan sistem
tulisan segi (cuneiform) yang menjadi
cikal bakal alfabet. Akhirnya berbagai macam kitab suci yang berintikan
hukum-hukum Tuhan tentang norma Universal maupun Partikular bertebaran ke
mana-mana sampai ke berbagai pelosok dunia lewat perantara teks.

Tuhan
adalah Zat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demikian pula, Dia, adalah
Zat yang Maha Bijaksana dan Maha Memberi Keadilan. Sehingga setiap konsekuensi
yang terlapor, haruslah dilucuti satu persatu dalam ruang penilaian. Apakah
Tuhan harus memberikan reward ataukah
punishment dalam pemaparan LPJ
(Laporan Pertanggungjawaban) manusia di Padang Mashyar, arena terakhir, sidang
pleno terakhir dari setiap rapat. Ketukan palu yang diketoknya berbunyi mutlak
dengan irama: “Kun...” dalam
imajinasi Keadilan Ilahi di ruangan Eskatologis/Maad/Final Judgements/Kiamat.
Tuhan
adalah seorang legislator yang handal. Akan tetapi sebagai seorang legislator,
apakah mahzab Tuhan? Sosiologische
Jurisprudence-kah? Atau Positvisme? Atau Naturalisme? Atau diluar dan lain
dari itu semua-kah? Tuhan menciptakan norma-norma yuridis dengan ketus dan
tegas penuh wibawa dalam rangka membebaskan budak, yang awalnya merupakan
manusia segudang kewajiban akan tetapi nir-hak, menjadi tuan bagi dirinya
sendiri. Tuhan-pun menciptakan norma-norma yang super variatif entah itu dalam
pengaturan ekonomi (tentang hukum waris dan zakat), mengatur tentang realitas
sosial seperti (salah satunya dan paling penting) melindungi kelompok musthad’afin (tertindas) dalam relasi
masyarakat (hablumminannass). Tuhan
juga memberlakukan aturan atau hukum sebagai prinsip dalam medan peperangan
seperti Hukum Humaniter Islam. Tuhan juga membuat suatu norma yang berlaku
secara individual dan bersifat imperatif (memaksa) seperti jangan korupsi,
jangan mencuri, jangan.. jangan... jangan...
Dalam
konteks ini kita patut mempredikatkan pada Tuhan, bahwa Tuhan adalah seorang
legislator sejati yang tiada bandingnya di jagad raya ini. Dalam konteks ini
pula kita memahami, bahwasanya Tuhan menerapkan Hukum Ilahi sebagai social engineering (hukum sebagai alat
rekayasa sosial) agar umat manusia
tidak mengalami yang namanya kacau balau (chaos).
Jikalau ada yang bercita-cita untuk menjadi seorang legislator, belajarlah,
percayalah, yakinlah, tanamkanlah dalam hati mereka citra Tuhan sebagai patron
atas harapan yang kelak menyelaraskan laku dan ucapan mereka dalam duduk dan
berdiri, berjalan maupun berlari, agar supaya mereka termotivasi dengan Tuhan.
Akan tetapi jangan terperosok dalam kesesatan tafsir bahwa kita harus
mengkudeta Tuhan, oh tidak, bukan itu poinnya.
Perdebatan
mahzab hukum yang awalnya antara paham naturalisme versus positivisme, telah
mengalami pergeseran bagaikan isyarat Thomas Kuhn yang lekas terjadi menjadi
perseturuan intelektual antara mahzab sosiologisme versus positivisme. Dalam
problema yang menghadang kedua aliran yang berseberangan argumen tadi, terjadi
persilangan gagasan antara hukum sebagai alat rekayasa sosial ataukah realitas
sosial yang mempengaruhi pola perubahan hukum? Antara logika deduktif dan
logika induktif? Antara rasionalisme dan empirisme? Sayangnya jawaban ideal
atas pertanyaan itu bukan berarti kita harus meniru Tuhan yang dalam
praktek-Nya bermahzab positvisme. Prof. Romly Atsasmita pernah mengatakan,
sebelum kita melakukan social
engineering, terlebih dahulu adalah mari kita melakukan beuracratic engineering (reformasi
birokrasi) dengan harapan merubah pola serta hubungan dan laku moral dari para
birokrat. Tuhan beserta jajaran-Nya tentu saja sudah tuntas tanpa perlu
dipertanyakan lagi, pasti melaksanakan hal-hal demikian.
Dalam
tulisan ini, pertama, saya hanya
ingin menampilkan fakta bahwasanya memang pada awalnya praktek pemisahan
kekuasaan (separation of power) sudah
dipraktekan sejak sebelum manusia dalam arti modern diciptakan. Kedua, bukan berarti kita secara radikal
berpikir dan saking termotifasinya sehingga ingin melebihi Tuhan, itu sombong
namanya. Ketiga, saya tidak tau ini genrenya apa, jikalau bisa disebut
teologi, ilmu kalam, mistisme,
sufisme, makrifatullah, filsafat, hukum ataupun absurd, saya persilahkan pembaca menggunakan haknya untuk menilai
sendiri. Keempat, dikarenakan Tuhan
yang diilustrasikan disini dipersepsikan sebagai seorang legislator, bukan
berarti Dia adalah legislator dalam arti yang sesungguhnya, penulis hanya ingin
membeberkan informasi yang imajinatif agar mudah ditulis dan dipahami. Kelima, karena Tuhan dan Teks sebagai
hukum Ilahi yang telah terobjektifikasi disini seringkali bertautan dan
disebutkan, bukan berarti tulisan ini mengarahkan pembaca untuk menganut paham
skriptualisme atau biblioatri yang lebih menyembah teks secara harfiah/leksikal
daripada esensi transendenitas yang terkadung dalam teks tersebut sebagai
meta-teks. Ketujuh, penulis tidak
menghendaki teks ini suatu saat nanti akan disinyalir membawa aroma ideologi
tertentu baik di alam pemikiran hukum maupun agama, tidak ada tendensi ke sana,
penulis hanya ingin menerjemahkan akal penulis secara jujur dan sederhana serta
apa adanya.
Pada
akhir paragraf ini, marilah kita sepakati bersama proposisi Sachiko Murata:
Tuhan yang dibicarakan, bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Bahwa dalam teologi
negatif (teologi salbiyah) kita
mengenal bahwa meskipun seribu nama dilekatkan pada-Nya, dia Ada jauh sebelum
sistem simbol, tanda dan nama itu sudah ada, dan bahkan Tuhan tidak membutuhkan
nama maupun gelar tapi bukan berarti pula kita dilarang membicarakan Tuhan.
Tuhan yang dibicarakan bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin
Tuhan Yang Maha Tidak Terbatas bisa dipahami oleh kerangka berpikir akal sehat
manusia yang sangat-sangat terbatas sifatnya. Bagaimana mungkin Tuhan yang Maha
Agung bisa dikonsepsikan, sedangkan konsepsi bertujuan untuk membatasi sesuatu
agar tidak terlalu sempit dan/atau tidak terlalu luas supaya bisa dipahami,
sedangkan Tuhan itu Maha Tidak Terbatas? Sehingga Tuhan yang kita bicarakan,
Tuhan yang diyakini, Tuhan yang dipikirkan, Tuhan yang dikonsepsikan, Tuhan
yang tertuliskan, pastilah bukan Tuhan yang sesungguhnya!
Sebaiknya
kita ucapkan saja dengan rendah hati: “Wallahu
‘alam...”.
0 Komentar