Oleh    : Triwardana Mokoagow

Korupsi secara harfiah atau literatur atau leksikal berasal dari bahasa Latin yakni corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna kotor, rusak, menggoyang, memutarbalikan, menyogok dan lain sebagainya yang hari ini dikonversi dan dilekatkan kepada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para pejabat publik. Dalam pengertian yang paling umum, korupsi adalah upaya penyelewengan dan penyalahgunaan jabatan demi memperoleh keuntungan pribadi. Bentuknya dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, lewat grativikasi, pencucian uang (money laundry), memberi atau menerima hadiah, pemerasan dalam jabatan, penggelapan dalam jabatan, dan tindakan lain sebagainya yang merugikan negara.
Pada dasarnya korupsi juga merupakan pencurian, sebagaimana pencurian biasa. Yang membedakan adalah subjek yang notabene adalah pejabat publik serta konsekuensi yang akan muncul dari pencurian tersebut. Dalam konteks pencurian biasa, yang dirugikan adalah warga negara. Sedangkan dalam konteks korupsi, pencurian dilakukan oleh seseorang yang memiliki jabatan terntentu dan objeknya adalah negara. Sedangkan uang kas negara merupakan akumulasi dari hasil produksi masyarakat yang diberikan lewat mekanisme pajak. Pajak yang berprinsip dialokasikan untuk kepentingan umum (public interest) malah dirampas dan ditujukan untuk dompet pribadi. Ketika masyarakat membayar pajak dengan harapan dan angan-angan kesejahteraan publik, pejabat publik diam-diam tengah melakukan pesta pora perampokan di tataran elitis, memangkas dan menggerogoti hak-hak rakyat secara berjamaah. Sebagaimana sabda Leo Tolstoy, negara tengah melakukan perampokan secara terorganisir, negara dengan demikian, dapat pula kita sebut lintah darat.
Korupsi sendiri punya sejarah panjang yang kelam dalam perjalanan panjang negara Indonesia kita tercinta. Wabah ini melebar dan membesar serta mencapai klimaks pada era Orde Baru. Akibat budaya politik yang cenderung feodal karena lamanya berkuasa (32 tahun), potensi kolusi dan nepotisme tidak terkekang, hingga korupsi menjadi permainan di tataran elit birokrasi pada waktu itu. Hingga pada tahun 1998 dimana era Reformasi tengah merangkak bergejolak, barulah segenap masyarakat Indonesia yang tertekan oleh kegelisahan melemparkan petisi yang terkristalisasi dalam tuntutan-tuntutan dasar. Salah satu tuntutan dasar adalah melengserkan presiden serta antek-anteknya dan membumihanguskan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme yang hari ini kita kenal diformalisasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dengan demikian salah satu spirit dasar Reformasi adalah semangat mencabut korupsi hingga ke akar-akarnya. Sayangnya, karena telah menjadi kebiasaan selama bertahun-tahun, hingga jauh tertanam dalam alam bawah sadar rakyat bahwa korupsi telah menjadi kebiasaan dan paling buruk di mata sebagian orang korupsi telah menjadi budaya.
Dampak perilaku korupsi sangat bersifat destruktif bagi negara. Korupsi menyimpan kekacauan sistemik tiap kali dia terjadi. Karena perilaku ini dilakukan oleh subjek-subjek yang menempati posisi-posisi elit di tataran birokrasi, sehingga dampaknya tidak dirasakan langsung oleh masyarakat. Uang-uang yang dikorupsi itu sendiri harusnya kan dialokasikan untuk kepentingan-kepentingan publik (infrastruktur, pelayanan dan lain sebagainya). Dengan demikian uang korupsi merupakan hak yang harusnya dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk bantuan serta kemajuan. Ketika perilaku korupsi terjadi, maka yang dirugikan adalah publik. Terutama masyarakat dengan kelas ekonomi yang tergolong rendah. Jika kita melihat ada anak-anak kecil yang mengemis di bawah flyover, atau pengamen-pengamen yang menjamur di tiap persimpangan traffic lamp, atau yang blusukan di tempat-tempat makan maupun  warkop, mereka adalah orang-orang malang yang menjadi korban secara tidak langsung akibat keganasan koruptor.
Abraham Samad, ketua KPK, dalam seminar yang pernah diselenggarakan di Universitas Pasundan Bandung berkata, apabila korupsi benar-benar dibumi hanguskan dari alam Indonesia maka tiap satu orang warga negara tiap bulannya akan mendapat minimal lima juta dari negara dalam rangka bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam diskusi saya bersama-sama dengan aktivis TPAK (Tim Penegak Anti Korupsi) di kota Bandung, kami mempelajari bahwa korupsi merupakan permasalahan sistem. Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa perilaku individu itu dibentuk oleh sistem, secara realitas, kita melihat bahwa perilaku para koruptor ternyata juga dibentuk oleh sistem. Lewat analisis behaviouristik, saya memahami bahwa dalam sistem, kita akan lebih sulit untuk tidak korupsi. Yusril berkata, dalam sistem yang baik orang jahat dipaksa menjadi baik, sedangkan dalam sistem yang buruk orang baik terpaksa jadi jahat.
Lewat abstraksi-abstraksi tadi, dapat kita tarik kesimpulan bahwa korupsi sejatinya adalah kejahatan melawan kemanusiaan (crime againt humanity). Baru-baru ini, Menteri Hukum dan Ham, Yasona Laoly, mengeluarkan statemen untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No 99 tahun 2012 sehingga remisi (pengurangan jumlah hukuman) yang awalnya haram bagi pelaku korupsi akan kembali dihapus. Yasona berpendapat bahwa koruptor juga manusia dan memiliki potensi untuk bertobat dan inshaf sebagaiamana narapidana lain sehingga koruptor juga harus punya hak yang sama untuk memperoleh remisi dari negara. Padahal di rezim-rezim sebelumnya, upaya pemberantarasan korupsi bersusah payah digalakan (meski tersendat-sendat dan kadang-kadang setengah hati), salah satunya adalah pengurangan jumlah hukuman apabila pelaku berlaku kooperatif untuk ikut mengungkap kejahatan lain yang berkaitan dengan kasus yang menjeratnya. Peran ini disebut juga justice colaborator/whistle browler.
Korupsi dikategorisasikan sebagai salah satu kejahatan white collar crime (kejahatan kerah putih). Ciri-cirinya adalah, pelaku sulit untuk diidentifikasi. Pelaku memiliki kapasistas kecerdasan yang tinggi dalam mempermainkan sistem. Dalam perjalanan untuk menangani kasus-kasusnya membutuhkan waktu yang lama dan keahlian khusus tertentu. Dengan diskusi bersama teman-teman KPK yang diundang dalam acara LKM oleh BEM FH UNPAS pada tahun 2013 kemarin, saya belajar bahwa penanganan kasus korupsi tidak sekompleks yang diharapkan oleh masyarkat umum. Bahwa ketika seorang presiden korupsi, akan membutuhkan strategi, taktik dan perhitungan-perhitungan politis yang harus dilibatkan dalam prosesnya. Sehingga kadangkala, meskipun seseorang sudah ditargetkan menjadi tersangka, akan membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan bukti penguat seperti pengakuan dari bawahan atau rekan kerjanya. Kadangkala mereka harus menangani kasus korupsi yang dilakukan oleh bawahan terlebih dahulu untuk kemudian dijadikan justice colaborator, yang kemudian dia akan membongkar kasus-kasus yang dilakukan oleh sang atasan (lihat kasus Nazarudin). Dalam perjalanannya, Antasari Azhar akhirnya menjadi korban karena keberanian dan ketangguhan beliau untuk menyingkap tabir korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum dilingkaran kekuasaan pada zamannya. Baru-baru ini bahkan, Ketua KPK dan Wakil Ketuanya terindikasi sedang diperlemah dan dikriminalisasi. Korupsi, tidak salah lagi, telah menjadi virus paling berbahaya di bangsa kita.
Korupsi juga dikategorisasikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) disamping genosida, terorisme dan lain sebagainya. Berbeda dengan tindak pidana lain, yang notabene kejahatan luar biasa (ordinary crime), sehingga penanganannya harus juga dengan cara yang extraordinary. Berbeda dengan tindak pidana lain, penanganan kejahatan harus memberi efek jerah yang efektif untuk dijadikan contoh bagi calon-calon koruptor sehingga mereka takut untuk ikut melakukan kejahatan yang sama. Harusnya hukumannya sama dengan jenis kejahatan luar biasa lain, sebagaimana pelaku genosida ataupun terorisme ataupun pengedar narkoba yang dihukum baru-baru ini. Cara lain bisa juga dengan perampasan aset koruptor sejauh pelaku korupsi tidak bisa membuktikan sumber kekayaan serta harta benda mereka (pembuktian terbalik). Sedangkan menurut saya, pelaku korupsi minimal yah harus disalib dan diarak-arak dulu dilingkungan sosial dia kemudian dikurung di penjara yang gelap untuk menyucikan dosa dia.



Setiap periode zaman senantiasa memendam tantangan serta semangatnya sendiri. Semangat zaman (zeitgeist) kita hari ini di era reformasi, adalah tantangan untuk membunuh korupsi dari muka bumi Indonesia. Roh absolut hari ini tengah mencari bentuknya, mencari bentuk kesempurnaannya. Sebagaimana roh bangsa Indonesia yang tengah mengembara, mencari kesempurnaannya, menunggu diri Ibu Pertiwi (mother nature) untuk terbebaskan dari penyakit yang hari ini tengah meraja rela; korupsi. MENKUMHAM harusnya bercermin dari sejarah, beberapa waktu lalu Indonesia dengan tegas dan gigih mempertahankan prosesi penegakan hukuman mati kepada narapidana yang mengedarkan narkoba di permukaan Indonesia. Sekarang ketika beliau ingin memberikan remisi para koruptor, sangat miskin dan bahkan sesat pikir dalam argumentasi HAM. Ironis, kita ternyata tengah tinggal di Surga Koruptor; Negara Kleptokrasi (negara para pencuri). Korupsi, yang harusnya ditangani secara luar biasa, eh malah mau diberikan remisi oleh negara, kapan koruptor bisa tercerahkan dengan efek jerah? Kasian ya bangsa kita, mau saja dibodoh-bodohi terus..