Oleh: Triwardana Mokoagow

Ada hantu yang senantiasa mengintai umat manusia. Dia melintasi dunia lewat perantara prasangka. Meloncat dari satu pikiran ke pikiran lain. Sebab imajinasi manusia adalah lahan yang subur bagi tumbuh berkembangnya hantu tersebut. Dia hanya hidup selama manusia, sang binatang rasional berdelusi-ria menatap dan menyandarkan diri terhadap realitas eksternal yang dianggap paling agung, paling luhur diatas segala sesuatu yang ada. Dia adalah apa yang disebut oleh Freud sebagai alasan daripada fenomena obsesi anak kecil (childhood obsesions) dimana seorang anak kecil selalu mencari patron untuk dia menyandarkan diri atas segala kelemahan serta keterbetasan yang meliputinya. Kita selalu dan tetap akan begitu, mencari-cari pegangan hidup sebagai konsekuensi lahiriah/fitrawi manusia, homo religius, mahluk yang tidak mungkin hidup tanpa kepercayaan sama sekali. Hantu ini saya namai; tuhan fantasi.
Hantu itu berkeliaran di seantero jagad raya. Menjual teror yang ternyata malah dibeli dengan harga murah. Pada beberapa konteks, hantu tersebut menyusup di antara pilar-pilar negara dan bangsa, negara yang kesurupan hantu ini kemudian menjelma sebagaimana diutarakn Gus Dur: “Negara adalah teroris agama”. Kita bisa melihat itu dari fenomena ISIS, Taliban, Al-Qaeda, dll. Lewat kebrutalan dan kesadisan mereka, Islam dianugerahi cap orang-orang yang gila perang, haus darah, praktik “mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa (vendetta)”... Padahal kalau semua mata diganti mata maka dunia akan buta. Entah ada motifasi apa dibalik tiap gerakan itu. Apakah mungkin dalam imajinasi mereka berkembang subur jaminan akan adanya surga yang full-AC, layanan pijet plus-plus dari bidadari surga, atau apapun itu. Dengan menggendong AK-47 mereka berbondong-bondong ke kota dan menghancurkan penduduk hingga lebur berkeping-keping. Mereka berteriak: zindik! Kafir! Dan ironisnya diikuti dengan takbir Allahu Akbar, satu-satunya takbir dengan lafadz Allah di depan kalimatnya. Di sebuah blog saya membaca, ada orang non-Islam yang bertanya: apakah makna Allahu Akbar itu kanda? Apakah artinya Mampus Elu!?
Di era paska wafatnya nabi Muhammad, kepada siapa lagi kita berpegang teguh ketika sosok beliau tiada? Sedangkan sepeninggal beliau terjadi perdebatan dan perpecahan umat dalam episode Sakifah. Bukan hanya agama yang memiliki klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim), bahkan tiap mahzab fiqh dalam satu agama saling mengkafirkan dan mengabsolutisasikan tafsir keberagamaan mereka. Ironis! Saya masygul, melihat Islam yang mengandung makna kepasrahan serta kedamaian malah ternyata menjadi komoditas dalam transaksi ketakutan, teror, kekhawatiran, kecemasan, kegalauan, keresahan, dan berbagai sifat negatif lain. Islam yang dulu dipraktikan secara humanis bertransmis menjadi agama paling binal dan kejam, mencerabut rasionalitas dari tempurung kepala dan memusnahkan hati nurani yang luhur dan agung itu. Ketika Rasulullah Muhammad bersabda istafti qalbak wa in aftauka, wa aftaua, wa aftauka (mintalah fatwa pada hati nuranimu, hati nuranimu, hati nuranimu), maka bagi orang-orang yang menyebarkan teror atas nama Tuhan, dimanakan hati nuranimu diletakkan? Carilah dan tanya dia, perihal kebenaran tindakanmu.
Di rezim teks ini, otoritas akal sehat dan hati nurani terkudeta oleh teks. Teks kitab suci telah menjadi Tuhan fantasi. Dalam wacana besar kematian penulis (dead of author), pada kesempatan ini pada era paska-modernisme, orang-orang mencoba untuk menduduki singgasana Tuhan yang merka pikir kosong. Makna teks bukan lagi dianggap milik penulis, makna Quran, Injil, dan Taurat bukan lagi dianggap milik Tuhan. Para ulama, pendeta, rabbi dan apapun sebutannya merebut otoritas Tuhan dalam menafsirkan teks secara membabibuta dan membenarkan tafsir tersebut di atas tafsir kelompok lain. Orang-orang berlomba-lomba menjadi nabi, mencoba meraih kuasa atas yang lain dengan melewati segala pertimbangan rasio dan moral. Membuat kategori-kategori sikap sesuai dengan selera mereka sendiri. Mereproduksi kembali tuhan, sekali lagi tuhan fantasi. Umat manusia berbondong-bondong menyembah tuhan yang mereka ciptakan sendiri. Melihat fenomena ini, senada dengan Sachiko Murata, saya berpendapat: “Tuhan yang dipahami, bukanlah Tuhan yang sesungguhnya”.
Wajah Tuhan itu beraneka ragam sesuai dengan ruang lingkup khazanah pemikiran manusia. Citra Tuhan (imago Dei) sudah terkontaminasi oleh indikasi-indikasi sosial, historis, kultural dan bahkan politis. Dalam tradisi agama Yahudi, Tuhan dikenal sebagai sosok yang keras dengan aturan-aturannya yang tercermin dari 10 perintah-Nya (ten commandments). Dalam Injil, Tuhan dicerminkan sebagai sosok yang penuh dengan cinta kasih yang tulus lewat sosok Yesus yang menebus dosa seluruh umatnya di tiang salib. Bahkan menurut Erich Fromm, Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Tuhan dalam Perjanjian Baru berbeda adanya. Dalam Islam, Tuhan disimbolkan sebagai hakim yang adil bagi yang fokus terhadap problematika syariat dan disisi lain Tuhan diletakkan sebagai kekasih bagi yang fokus terhadap bidang makrifat. Lucunya, ada seorang penulis yang mendedikasikan bukunya untuk berjudul “Sejarah Tuhan”, sebuah buku filsafat yang barangkali sudah tidak asing terdengar di telinga para pembaca. Dalam buku tersebut Tuhan seakan-akan dianggap sebagai gagasan semata, dan sejarah Tuhan hanyalah akumulasi serta dialektika antara perkembangan gagasan-gagasan tentang Tuhan. Dalam buku tersebut, Tuhan yang muncul hanyalah anti-thesa dari wujud Tuhan sebelumnya. Saya memang menyepakati bahwa ada tuhan bisa diabstraksikan menjadi gagasan-gagasan atau konsep tertentu, hanya saja tidak kemudian kita menafikan eksistensi Tuhan yang sebenarnya, Tuhan Sejati, yang dapat dibuktikan secara rasional adanya.
Nah, kembali lagi ke topik permasalahan. Judul tulisan ini saya beri nama Islam (bukan) agama genosida. Latar belakangnya adalah kondisi realitas umat yang mengalami disintegrasi secara internal. Serangan paling dahsyat terhadap agama tercinta kita ini adalah serangan dari dalam, serangan dari umatnya sendiri. Bahkan fenomena seperti ini sudah ada sejak zaman dulu. Paska nabi meninggal, beberapa khulafa al-rasyidin dibunuh oleh pengikutnya sendiri. Kita mengetahui sendiri, bagaimana kepala Ali dipenggal dalam keadaan beliau sedang melaksanakan shalat dalam rangka mendirikan pilar-pilar agama. Kita menyadari dalam sejarah kelam agama kita, bagaimana Hasan sang cucu Baginda Muhammad Saw diracuni hingga wafat, dan kepala Husein dipenggal dan ditusuk seperti sate, oleh umat kakeknya sendiri. Dari sana kita harus belajar bersama, bahwa sejarah umat Islam dan sejarah Islam merupakan dua hal yang berbeda. Sejarah Islam adalah sejarah ketika Nabi Muhammad pertama kali mendapatkan wahyu hingga beliau wafat. Sedangkan sejarah umat Islam adalah sejarah paska nabi wafat hingga hari ini, sejarah kelam yang diwarnai dengan pengkhianatan, dendam, amarah, tribalisme akut, kehendak untuk berkuasa dll.
Citra Islam sebagai agama genosida berhasil direpresentasikan dengan baik oleh kelompok-kelompok garis keras yang mengatasnamakan jihad dalam berbagai pembantaian serta pembunuhan dengan cara yang keji. Dalam sebuah link saya pernah membaca postingan bahwa barang siapa wanita yang bersedia menjadi budak seks seorang jihaders di Irak dan Syria maka akan diangkat derajatnya menjadi bidadari di Surga. Semoga saja berita tersebut hanya hoax belaka atau provokasi atau propaganda supaya masyarakat memusuhi kelompok muslim garis keras tersebut, akan tetapi kalo berita yang tersebar itu bukanlah hoax, maka sungguh bejat mereka yang bahkan melegalkan prostitusi serta praktek perbudakan seks dengan mengatasnamakan Tuhan.
Setelah ditelusuri dengan seksama, ternyata tuhan yang mereka konsepsikan telah menjelma menjadi Teroris. Ayat yang paling sering dicopot sebagai tameng mereka adalah “bunuh kafir dimanapun kau menemukannya” (al-Baqarah (2):191), dan “Perangi mereka sampai tidak ada lagi...” (al-Baqarah (2):193). Memang dasar logika kaum skriptualis, mereka kemudian menyerap potongan-potongan ayat tersebut secara cuma-cuma tanpa difilterisasi dengan pertimbangan moral dan rasio dan meninggalkan dimensi kontekstual. Padahal tiap ayat memiliki latar belakang konteks sosial-historis masing-masing akan tetapi pengikut skriptualis menolak hal tersebut dan berkata, semakin harfiah kau memaknai wahyu, semakin kau mendekati hakikat wahyu tersebut. Pengikut skriptualisme menolak melihat kontekstualisasi turunnya ayat. Padahal teks hanyalah representasi dari realitas. Seperti tulisan “pulpen” hanya mewakili realitas pulpen yang sebenarnya. Begitu pula, teks kitab suci, hanya mewakili realitas yang dia bicarakan. Sehingga hampir tidak mungkin teks bisa dipahami tanpa melihat konteks sosial-historis umat. Karena tidak jarang al-Quran menjelaskan peristiwa khusus yang menjadi motif kehadirannya. Misalnya, permulaan surat al-Anfal yang menjawab pertanyaan umat Islam perihal pembagian harta rampasan perang. Juga respon al-Quran yang khusus menyikapi keangkuhan Abu Lahab dan istrinya.
Bagi orang yang berpikiran terbuka dan senantiasa melacak asbab al-nuzul dari ayat-ayat diatas, barangkali akan cepat menyadari bahwa diam-diam ada upaya penyelewengan makna. Kenapa ayat 191 dan 193 dikutip tanpa diikuti dengan ayat-ayat sebelumnya? Keseluruhan ayat itu berbunyi: “Dan perangila di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka dimana saja kau menjumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka mengusir kamu (Mekkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al-Baqarah (2):190-192). Dengan kutipan yang lebih komprehensif barulah kita menyadari secara seksama, bahwa ternyata ada rambu-rambu atau batas-batas serta pengecualian tertentu atas dalil membunuh orang kafir. Pengecualian tersebut ialah selama peperangan itu merupakan upaya pertahanan diri dan sepanjang tidak melampaui batas. Betapa luar biasanya agama kita, membunuh saja harus pakai etika. Dan pada ayat terakhir, Allah berfirman bahwa dia masih berada di depan pintu kasih sayang serta pengampunan yang terbuka lebar bagi mereka yang ingin berhenti dari peperangan mereka. Dalam ayat lain, saya mengutip “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan (suatu) alasan yang benar” (QS Al-Isra’ 17:33).

Lewat penyembelihan teks yang dipotong sedemikian rupa hingga mendistorsi makna teks, alhasil kekeliruan menerima atau menyerap apa yang ingin dibicarakan teks merupakan hal yang sangat lumrah terjadi. Kehendak para skriptualisme adalah kita terperosok di jurang tersebut, jurang kesalahpahaman. Ketika kita salah memahami agama Tuhan yang sebenarnya humanis dan sangat kental aroma cinta kasihnya ini. Hal ini sebagaimana termaktub dalam kitab-Nya: “...barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS Al-Maidah (5):32). Saking humanisnya agama ini, nyawa satu manusia diperumpamakan sebanding dengan nyawa seluruh umat manusia.