Oleh : Triwardana Mokoagow
Dari
kejauhan aku memandang lautan umat manusia. Sedikit-sedikit terdengar isak
tangis dari tengah sana. Sedikit-sedikit terdengar teriakan takbir.
Sedikit-sedikit terdengar bunyi tembakan pistol yang kuyakin tidak mungkin tidak
merenggut jantung seseorang. Aku kebingungan Tuhan, mereka memanggil-manggilmu
dari reriuhan di jauh sana, sembari meneriakan namamu. Apakah tiap kali namamu
diteriakan, maka selalu ada satu nyawa yang harus dilayangkan?
Dari
teks-teks sejarah, aku belajar, bahwa Engkau setia menemani perdebatan dan
pergulatan sejarah. Dalam perang Salib atau perang Sabil, Kau diperebutkan
lewat konfrontasi militer. Aku belajar bagaimana Salahudin Al-Ayyubi
dipuja-puja berkat keberhasilannya menyebarluaskan agama dengan cara merampas
rumah orang lain. Tapi sekarang kita malah mengutuk Israel yang mau merampas
kembali tanah kelahirannya, yang katanya dijanjikan Tuhan. Ekspansi militer
Israel membuat aku belajar, bahwa tuhan sepertinya mencintai penjajahan, tuhan
zionisme adalah kolonialisme.
Di
TV, aku melihat, bahwa namamu diteriakan dalam sebuah peristiwa penggebrekan
tempat penjualan miras, perjudian, tempat prostitusi dan lain sebagainya.
Mereka menggunakan sorban dan baju kokoh, persis seperti pakaian segerombolan orang
yang hendak berangkat ke masjid. Mereka mengangkat tangan kiri mereka, sembari
menggenggam batu. Dengan lantang aku mendengar suara itu, namamu disebutkan
Tuhan, Allahu Akbar. Takbir pertama,
menandakan pecahnya kepala seorang anak kecil akibat batu nyasar. Takbir kedua,
menandakan penyerbuan dan perusakan secara membabi buta. Yang tersisa adalah
darah, air mata, dan belasan mayat yang menggenang di atas tanah.
Dari
koran dan media sosial, aku membaca. Bahwa terdapat ketegangan hebat di dalam
internal agamaku. Tiap mahzab senantiasa berlomba-lomba mengklaim kebenaran
hanya milik mereka sendiri. Mereka saling mencibir dan mencela satu sama lain,
saling sesat menyesatkan. Tuhan, Engkau adalah idola yang diperebutkan, tapi
kapankah kau mau menengok untuk meredam konflik di antara kami? Mahzab A
mendatangi tempat pengajian dan memecahkan khusyuk dengan suara gaduh penuh
kebencian. Mahzab B mendatangi sebuah masjid dan meruntuhkan tiang-tiangnya,
sembari berteriak.. Halal darahnya! Polisi
hanya diam terpaku melihat seoran pria
separuh baya dipukuli dengan kayu oleh empat orang algojo bersorban dan berbaju
putih bersih.
Nama-Mu
selalu disebutkan dalam perdebatan yang tak jarang diakhiri perang. “Tuhan
adalah milikku!”, ucap kelompok agama tertentu. “Bukan, Dia milikku!”. Mereka
berebut klaim, dengan keyakinan hanya kelompok mereka yang akan masuk surga dan
yang lain kelak kekal abadi dalam api neraka. Sejenak aku tersenyum merasa ada
yang lucu, sepertinya perdebatan itu agak mirip dengan perdebatan dalam ruang
sidang kasus hukum perdata. Para pihak di dalamnya saling berebut klaim tentang
hak milik.
Memiliki
artinya menguasai. Aku memiliki sebatang rokok, artinya aku memiliki hak untuk
menguasai rokok itu. Mau diapakan itu terserah diriku sendiri. Entah aku akan
membakarnya, atau akan kubuang. Begitulah tuhan yang mereka miliki, itu milik
mereka sendiri. Mau mereka apakan itu terserah mereka. Mungkin begitu isi otak
orang-orang itu menurutku. Tuhan telah menjelma dan direduksi dari sesuatu yang
luhur dan agung serta lepas dari semua kuasa mahluk, menjadi sebatas objek yang
bisa dimiliki dan dikuasai oleh subjek. Tiba-tiba aku berpikir, “tuhan yang
bisa dikuasai, pasti bukan Tuhan”.
Pada
akhirnya aku akan mengambil kesimpulan seperti biasa. Bahwa tuhan yang kita miliki,
pasti bukan Tuhan yang sesungguhnya. Bahwa tiap orang punya wujud ideal perihal
tuhan mereka sendiri, itu benar adanya. Bagi seorang Yahudi, Tuhan adalah sosok
yang keras. Bagi seorang Nasrani, Tuhan sosok yang lemah lembut dengan kasih
cinta-Nya. Bagi yang concern di bidang fiqh,
Tuhan menjelma menjadi hakim. Bagi yang tertarik di bidang makrifat, Tuhan
adalah seorang kekasih. Bagi zionisme, Tuhan adalah penjajah. Bagi ISIS, tuhan
adalah teroris.
Bukankah
kita mengakui bersama bahwa Tuhan adalah satu-satunya wujud yang mutlak dan
tidak terbatas (non-materi)? Lalu kenapa kita harus mengkonsepsikan Tuhan Yang
Maha Tidak Terbatas, dengan konsep serta bahasa manusia yang sangat terbatas?
Mengkonsepsikan berarti membatasi sesuatu sehingga tidak terlalu sempit dan
tidak terlalu luas agar dapat dipahami. Sehingga mengkonsepsikan Tuhan artiya
membatasi Tuhan. Dan Tuhan yang terbatas, pasti bukan Tuhanku. Apalagi Tuhan
yang dimiliki?
2 Komentar
Ijin copas
BalasHapuskeren... bahasa orang filosofi memang selalu membuat kita penasaran dan berfikir. sulit di pahami,jadi rawan salah paham.
BalasHapus