Oleh    : Triwardana Mokoagow

And the worldly life is not but amusement and diversion...”
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka...”
(QS Al-An’am (6):32)


Untukku, semua berawal dari suatu pagi yang masih buta. Saat itu, tiba-tiba lampu LED berwarna merah kedap-kedip di handphoneku, tanda bahwa seseorang mungkin sedang mengirim pesan. Kubuka blackberry massenger dan membuka broadcast itu. Sebuah pesan yang menyeretku ke sebuah situs, dengan headline: suara terompet mirip sangkakala bergema di langit Eropa. Semenjak itu pemberitaan terhadap fenomena itu semakin ramai dibicarakan di berbagai media. Respon masyarakat terutama netizen berbagai macam. Yang paling sering kutemukan adalah kegelisahan publik, terutama mereka adalah orang-orang penganut agama puritan. Beberapa teman yang kukenal, bukanlah seorang yang sangat taat beribadah tetapi mendadak berubah sikap menjadi seorang yang alim. Kusadari itu, karena intensitas mereka menyebut nama Tuhan mereka semakin bertambah. Rupanya sedang terjadi fenomena tobbat massal mengikuti pemberitaan gema sangkakala ini.
Rasa penasaran yang begitu mengganggu, membuatku membuka Youtube untuk mencari bukti terekamnya suara tersebut. Dan benar, ketika kudengar suara itu mengiang dari langit, bulu kudukku ikut berdiri. Suara itu seperti memancing rasa ketakutan dan cemas untuk keluar dari sarangnya. Setelah menempuh diskusi maupun perselancara di internet, akupun tau bahwa ikhwal kejadiaannya terjadi pada tahun 2008. Lima tahun kemudian seorang warga Kanada merekam suara yang sama. Barulah pada tahun ini, suara menyeramkan tersebut kembali. Padahal kalau benar cocoklogi yang dibuat netizen, bahwa ini produk dari sangkakalanya malaikat israfil, maka kiamat harusnya sudah hadir 7 tahun silam. Atau jangan-jangan, malaikat Israfil sedang checksound kali ya?
Respon berbeda berdatangan dari kelompok saintis, menelaah fenomena ini secara rasional dan ilmiah. Beberapa teori memang lahir, entah itu teori frequensi, gempa bumi, gesekan pesawat, pergeseran lempeng bumi, semburan atau tekanan tinggi gas, dan masih banyak lagi. Hanya saja satu hal yang pasti, kelompok ini menganggap fenomena Israfil checksound sebatas fenomena alam biasa. Beberapa lagi ada yang lebih absurd, yakni kelompok pemuja teori konspirasi. Mereka menalar fenomena ini sebagai efek dari munculnya UFO, teori Bluebeam, dan lain sebagainya. Pada akhirnya teori tetaplah teori, teori hanyalah suatua interpretasi kita terhadap realitas. Dan jikalau masih belum bisa terkesmperimentasi secara ilmiah, tetap saja bagiku adalah spekulasi.
Poin dari tulisan ini sebenarnya, aku ingin mengarahkan pandangan kita ke bagaimana menganalisis pola pikir publik lewat kejadian belakangan ini. Kita dapat saja mengukur sejauh mana perkembangan pemikiran, level berpikir publik dengan mengukur respon-respon yang muncul. Sang tuhan positivisme, August Comte, mengutarakan fase kehidupan manusia dari fase teologis, metafisika dan positivis. Masa paling awal adalah masa primitif, dimana takhayul memegang kuasa atas kesadaran manusia. Masa paling akhir adalah masa modern, dimana manusia beranjak menjadi manusia ilmiah dan otonom, dalam artian manusia tidak lagi terpasung dengan hukum alam dan takhayul, manusialah yang mencoba menguasai hukum alam. Van Perseun mengutarakan hal yang relatif sama dalam Strategi Kebudayaannya, manusia setidaknya melewati fase primitif, ontologis dan modern. Yang secara garis besar memiliki inti yang sama dengan August Comte. Dengan mengukur respon publik, kita bisa mengkategorisasikan masyarakat Indonesia ke dalam salah satu fase tersebut, silahkan oleh anda.
Barangkali bisa kita ukur respon ini dengan melihat tayangan-tayangan di media massa. Kepada siapakah kemudian masyarkaat kita menyerahkan otoritas untuk menilai dan menimbang kejadian ini? Oh ternyata pada ustadz-ustadz. Memang wajar sebab manusia adalah mahluk yang tidakbisa hidup tanpa kepercayaan sama sekali (homo religius). Manusia membutuhkan pegangan hidup, pemberi jaminan kepastian atas daya lakunya menyikapi dunia dan segala ketidaktahuan. Kecemasan dan kekhawatiran serta ketakutan menandakan ketidaktahuan, upaya manusia menekan ketidaktahuan tersebut adalah dengan mencari Mahkamah yang mengatakan “kamu harus!” berkenaan dengan sesuatu yang mesti dipercaya ataupun tidak. Bagi mereka yang menyerahkan otoritas Mahkamah kepada ilmuwan, mereka telah sampailah kepada fase modernitas/positivisme. Bagi yang menyerahkan otoritas tersebut kepada pihak-pihak dengan penjelasan yang metafisik, mereka rupanya masih terjebak dalam fase primitif/teologi/metafisik atau feodal menurut terminologi Marx.
Masyarakat Indonesia menurutku, mayoritasnya masih berjibaku dengan takhayul dan hal-hal metafisik. Bagiku tidak masalah ketika kita menyikapi hal-hal supranatural/supraempirik/supraeksperensial dengan nalar serta akal sehat. Tetapi jikalau penerimaan terhadap segala sesuatu hanya dengan dasar keyakinan dan kepercayaan, itu yang salah. Kepercayaan yang tidak dilandasari argumentasi filosofis-rasional,  hanya menawarkan ketidakpastian yang lain. Bila aku bertanya pada kalian, apakah kalian yakin di dompetku berisi foto mantan? Tentu saja nilai kebenarannya bisa salah atau bisa benar. Tetapi bila kita telaah secara ilmiah atau rasional, ketidakpastian tersebut bisa dipersempit sehingga hanya menimbulkan jawaban yang pasti.
Mayoritas dari bangsaku tentunya adalah mereka yang masih terikat dengan kebesaran dan sakralitas tradisi. Bangsaku terkenal karena budayanya yang berlimpah ruah. Di beberapa wilayah, bahkan otoritas seorang kepala suku atau adat masih memegang legitimasi penting. Dalam pelajaran hukum, aku mengenal bangsaku terikat oleh nilai-nilai magis yang begitu kental. Beberapa pemikir dari bangsaku sendiri, bahkan dengan berani mengkritik bahwa bangsa kita jauh tertinggal dari apa yang dikataka modern dibandingkan bangsa-bangsa lain.
Seorang ilmuwan sosial dari Italia, Antonio Gramscy, berkata bahwa alat hegemoni paling mujarab selain agen intelektual, pasti adalah agen moral. Agen moral ini ialah mereka yang diyakini sebagi representasi kebaikan, ustadjah, ustad, pendeta, rabbi, mama dedeh dan lain sebagainya. Mereka sering menjual surga dan neraka lewat khotbah-khotbah di TV, ibuku adalah salah satu penggemarnya. Kita cenderung mengiyakan apa yang diungkapkan oleh mereka, itu tandanya kita berhasil di hegemoni, atau pikiran kita berhasil didominasi. Jangan-jangan kalau mamah dedeh membintangi suatu produk iklan shampoo, diakhir iklan beliau berkata “belilah shampo ini, kalau tidak kamu akan masuk neraka”. Pasti shampo itu laku keras di warung-warung terdekat anda.
Problematika ini pernah mewarnai salah satu fase di Eropa. Saat itu para pendeta sedang berselingkuh dengan kekuasaan politik. Otoritas gereja berada di atas otoritas negara. Tidak heran, pra-Aufklarung, Eropa disebut tengah terjebak dalam fase kegelapan (dark age). Dalam fase yang diidentifikasi Marx sebagai zaman Feodalisme itu, gereja memegang kendali penuh atas keberlangsungan masyarakat. Sabda gereja hampir setara dengan sabda Tuhan. Mentalitas masyarkat dijajah dengan doktrin bahwa, kemiskinan dan ketertindasan adalah takdir yang diberikan Tuhan, manusia tidak punya kuasa untuk merubah hal itu. Satu-satunya cara menyikapi takdir dari Tuhan adalah: dengan bersabar, dan diikuti oleh jaminan masuk surga. Masyarakat dengan penuh kepasrahan menerima penindasan kaum borjuasi maupun tuan tanah yang memaksa masyarakat bekerja dengan cara-cara yang non-manusiawi. Dengan memanfaatkan ketaatan masyarakat terhadap hal-hal metafisik nir-telaah rasional, revolusi berhasil dibungkam. Dengan latar belakang itulah Marx bersabda: Agama adalah candu bagi masyarkat (religion is the opium for the people). Nietzche bersabda: Gott is tott (tuhan sudah mati), dan kitalah yang membunuh tuhan. Yang sebenarnya bukanlah kritk terhadap Tuhan serta ajakan untuk menganut atheisme, hanya saja kritik terhadap realitas sosial yang menjerat umat manusia pada waktu itu. Seperti Deja Vu, melihat ada kesamaan dengan kondisi bangsaku hari ini.
Bukan berarti aku mencela atau mengolok-olok bangsaku sendiri, karena secara pribadi aku juga mengetahui bahwa hal-hal supranatural itu eksis. Tetapi yang menjadi masalah bagiku adalah ketika menyikapi hal-hal metafisik tanpa bantuan rasionalitas dan akal sehat.  Sudah saatnya kita terjun ke area modernitas yang dewasa ini seringkali disalahartikan oleh mayoritas teman-temanku. Perlu ada penjernihan istilah perihal modern ini. Kita bisa membaca Cak Nur misalnya, yang memurnikan peristilahan modernisme yang hari ini sering diidentifikasi sebagai westernisme yang seyogyanya berbeda. Modernitas adalah fase dimana kita mulai meninggalkan otoritas takhayul, hingga manusia merangkak dan menyerahkan otoritas perihal kebenaran kepada akal sehat. Sedangkan Westernisme adalah ekspansi budaya dengan memaksa negara lain mengimport budaya-budaya Barat. Edward Said menganalisis, peristiwa westernisasi adalah agenda hegemoni Barat terhadap Timur demi menawarkan produk-produk kapitalisme. Dengan propaganda bahwa Timur itu terkebelakang dan masih primitif, dan siapapun yang berkebiasaan seperti orang-orang Barat, maka dia terlihat kekinian. Contohnya, aku sering melihat ABG labil yang lebih bangga memamerkan barang-barang dengan brand Internasional dibanding produk dalam negeri.
Inti dari modernitas adalalah upaya mencapai peradaban dengan tata kelola hukum alam. Hukum alam atau keharusan universal atau takdir adalah ketentuan yang bisa kita kelola dan pahami lewat ikhtiar. Menyerahkan diri atau pasrah atau terikat terhadap hukum alam tanpa ikhtiar untuk merubahnya (ciri khas masyarakat primitif), mengindikasikan kita sedang membuat tuhan tandingan (tuhan fantasi/berhala psikologis/tuhan sejarah/syirik). Karena kualitas manusia sebagai hamba, hanya bisa dilekatkan dalam hubunga antara manusia dengan Tuhan (habluminallah), tidak dengan manusia (lihat contohnya masyarakat Mesir di era Firaun) atau hubungan manusia dengan alam (hablumin bi’ah).
Beberapa filsuf dan ilmuwan mungkin salah kaprah dalam menafsirkan upaya manusia merespon alam. Francis Bacon misalnya, dia mengatakan bahwa manusia ada untuk menaklukan alam. Ilmuwan-ilmuwan pada era selanjutnya, melanjutkan visi besar Bacon malah dengan membabi buta. Penaklukan dianggap sebagai eksploitasi secara besar-besaran. Kemajuan teknologi dan industrialisasi beriringan denga kerusakan alam. Konsekuensi logis adalah sebagaimana peringatan suku Mentawai, “Jangan salahkan alam bila nanti ia marah!”. Benar, alampun memberikan balasan atas tirani manusia. Bencana demi bencana, gempa, banjir, longsor, badai, global warming, hingga kemarahan-kemarahan lain menimpa umat manusia. Dalam diskursus etika bapak Frans Magnis Suzeno, fenomena ini dilhat sebagai gejala heuristika ketakutan. Teknologi memendam kemungkinan apokaliptik. Jalan keluarnya, lahirlah pemberdayaan teknologi ramah lingkungan. Muncullah konsep tentang green constitution (konstitusi ramah lingkungan) dari Jimly Ashidiqie, teknologi ramah lingkungan, aktivis-aktivis lingkungan hidup (walhi misalnya), dan belakangan kudengar ada juga yang disebut kapitalisme hijau atau kapitalisme ramah lingkungan (green capitalist).
Kembali pada pokok permasalahan. Analisis kasar saya, karena tidak menggunakan data-data kuantitatif, beranjak dari kegelisahan melihat respon publik terhadap dua issue kebelakang. Pertama adalah wacana kiamat versi dunia maya yang pernah mencuat pada 2013, dan wacana Israfil Checksound belakangan ini. Masyarakatku menyerahkan penjelasan terhadap fenomena ini kepada ahli-ahli agama yang kembali menawarkan pada publik kepercayaan atau dogma atau doktrin dibandingkan penjelasan ilmiah maupun filosofis-rasional. Aku masygul, kita masih primitif, kita saja yang tidak terlalu pintar untuk menyadarinya.


Begitu saja, trims.