Oleh : Triwardana Mokoagow
Lagi-lagi
saya akan bicara tentang manusia. Mahluk multi-dimensi, yang didirinya melekat
berbagai macam teka-teki. Yang telah menarik berbagai disiplin ilmu untuk
menelitinya. Sebagaimana alam semesta yang begitu luas ini, manusia juga tidak
pernah luput dari objektifikasi. Di dalam dirinya terselubung berjuta rahasia
yang menarik simpati pemikir untuk terlibat dalam wacana besar kemanusiaan.
Kita mungkin sering mendengar istilah seperti Hak Asasi Manusia, tapi tidak
pernah mendengar Hak Asasi Anjing misalnya. Kita juga pernah mendengar istilah
“memanusiakan manusia”. Kurang manusia apa coba? Sehingga perlu dimanusiakan
lagi?
Bicara
tentang judul ini, apakah yang disebut dengan Homo Religius? Homo religius bukanlah
orang homo/gay yang suka shalat, puasa, zakat dll. Homo religius adalah sebutan untuk manusia dalam kualitasnya
sebagai mahluk percaya, yang tidak mungkin hidup tanpa meyakini sesuatu sama
sekali. Bisakah kita meniadakan keyakinan? Bahkan ketika manusia menolak untuk
meyakini agama, ideologi, mahzab, dan lain sebagainya, saat itu dia sedang
membuat keyakinan baru. Sehingga menolak untuk percaya sama sekali dapat kita
sebut kontradiksi in terminus (kontradiksi
dalam kata).
Manusia
merupakan mahluk yang tidak bisa hidup dengan ketidakpastian sama sekali. Hal
tersebutlah yang kemudian menjadi motivasi bagi umat manusia untuk
mengembangkan pengetahuan, penelitian dan teknologi. Upaya manusia memahami
alam semesta (makrokosmos dan mikrokosmos) dan menguasai hukum alam adalah
upaya demi menekan ketidaktahuan semaksimal mungkin. Hanya dengan begitu umat
manusia bisa mengetahui mana bahaya dan mana anugerah. Tapi sejauh manapun kita
mengadakan observasi, masih saja akan tertinggal misteri-misteri yang belum
terungkap. Sebagaimana yang tertulis pada nisan Immanuel Kant, bahwa ada dua
rahasia yang luas terbentang yang menggelitik untuk diselidiki: bintang-bintang
di atas kita, dan hati nurani di balik dada kita.
Dalam
buku “Dari Kosmologi ke Dialog”, Karlina Supeli memaparkan bahwa potensi
manusia untuk mengenali alam semesta hanya bisa tercapai sejauh 5% yang dapat
diamati melalui berbagai panjang-gelombang (contohnya adalah bintang, planet,
galaksi, gunung-gunung, lautan, bangunan, mahluk hidup termasuk saya dan anda).
Sedang 95% sisanya hanyalah dark matter, atau
energi gelap yang masih berupa hipotesa dan abstraksi-abstraksi. Dengan melihat
realitas yang ada, bahwa selubung ketidaktahuan senantiasa meliputi umat
manusia. Kegelisahanpun lahir, dan bagi manusia yang pengetahuannya sangat
sedikit, satu-satunya cara mereka menekan kegelisahan tersebut adalah dengan
meyakini suatu agama, ideologi, aliran kepercayaan dan lain sebagainya.
Dengan
meyakini sesuatu, manusia memperoleh angin segar atas ketidaktahuan mereka.
Mereka diberikan kepastian atas hal-hal yang belum pernah mereka alami. Konsep
kebaikan dan keburukan yang ditawarkan berbagai kepercayaan akhirnya menjadi
pegangan entah itu bagi sistem sosial yang ada atau bagi individu itu sendiri.
Manusia membuat sistem reward and
punihment demi menjaga keberlangsungan hidup mereka sehingga terhindar dari
kekacauan (chaos).
Fenomena
ini dijelaskan oleh seorang ahli Psikoanalisa, Sigmund Freud, bahwa gejala
seorang yang beragama identik dengan seorang anak kecil (childhood obsesion). Bagi seorang anak kecil yang sedang merasa
sedih, mereka kemudian mencari patron atau sosok ayah sebagai sandaran agar
mereka mendapat pegangan atau merasa memiliki perlindungan. Hanya dengan begitu
mereka (anak kecil) dapat merasa aman dari belantara dunia. Begitupula bagi
orang-orang yang merasa khawatir, gelisah dan penuh kecemasan. Mereka
senantiasa mencari sandaran atau harapan demi menenangkan diri mereka sendiri.
Demi menjawab pertanyaan tersebut, para pemikir dari berbagai belahan dunia
menciptakan teori-teori tersendiri agar dahaga ketidaktahuan manusia dapat
tersegarkan. Plato membuat sebuah konsep tentang Arketype, Kant membuat konsep tentang Das in Sihc, Hegel menawarkan konsep Roh Absolut, selain itu ada
juga konsep Logos, Metafisika, Teologi,
Kalam dll. Sedangkan sosok yang kemudian hadir sebagai pelipur lara manusia
akhrinya disebut Tuhan yang terinterpretasi dan terkristalisasi kehendaknya
dalam berbagai agama yang secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam agama
bumi dan agama langit/samawi.
Banyaknya
kepercayaan yang melanda umat manusia kemudian melahirkan problematika baru.
Ketegangan kemudian lahir, apalagi di era globalisasi yang mensyaratkan
kaburnya batas-batas teritorial serta menyingkatnya waktu dan menyempitnya
ruang, konsekuensi logis adalah gesekan antar bangsa, budaya serta aliran
kepercayaan terjadi secara intens. Tidak terhitung jumlahnya, betapa banyak
konflik antar kepercayaan terjadi dan telah melatarbelakangi konflik hingga
perang. Tiap kepercayaan menawarkan klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim) masing-masing. Dunia pernah digemparkan hanya
karena dua ideologi besar (Komunisme dan Liberalisme) yang bertarung
memperebutkan legitimasi masyarakat global yang akhirnya memecahkan PD I dan
II. Bahkan agresi militer yang belakangan ini terjadi di wilayah Timur hari ini
disinyalir pekat dengan aroma konflik antar mahzab (perang proxy Arab-Iran).
Kita juga melihat dengan seksama bagaimana perilaku kolonialisme yang berhasil
dipraktekekkan dengan sempurna oleh Israel ternyata dimotivasi oleh semangat
zionisme.
Cak
Nur (sapaan akrab Nurcholis Madjid) memaparkan bahwa kepercayaan yang salah
hanya akan membawa umat manusia ke tata nilai yang salah. Tata nilai yang salah
kemudian akan melahirkan tradisi yang salah. Tradisi yang salah akan membuat
pola pikir serta doktrin yang salah juga. Bagaikan efek domino, kesalahan yang
terjadi pada tataran atas hanya akan melahirkan kesalahan semua tataran
dibawahnya. Dengan demikian, persoalan terbesar umat manusia menurut Cak Nur
adalah bukan tentang apakah seseorang itu beragama atau tidak (atheisme), tapi
adalah tentang banyaknya kepercayaan yang menimpa dan menjerat kehidupan
manusia (politheisme). Keonsekuensi logis ketika ini terjadi adalah kepribadian
terbelah (split personality) secara
psikologis. Kepribadian seseorang akan terbelah dan tereduksi dalam dua
orientasi yang berbeda secara fundamental. Agama yang secara harfiah berarti
tidak kacau, ketika dilakoni lebih dari satu malah hanya akan menimbulkan
kekacauan. Analogi yang tepat atas konsep ini adalah sebuah bandul. Sebuah
bandul yang memiliki satu titik gantung akan teratur ketika diayun. Sedang
bandul yang memiliki lebih dari satu titik gantung akan mengayun secara acak.
Dengan
tesis Cak Nur diatas, dapat kita tarik simpulan bahwa atheisme bukanlah
problematika mendasar ketika berbicara perihal wacana keberagamaan atau
berkeyakinan. Atheisme merupakan suatu kemustahilan. Tuhan sejatinya adalah
objek dari segala keinginan manusia, harapan manusia, yang dicitrakan sebagai
yang tertinggi dan teragung dan mampu menyingkirkan segala kegelisahan manusia.
Ketika ada yang memproklamirkan diri selaku atheist dan menolak Tuhan formal
yang diakui agama-agama dengan argumentasi Sains, maka Sains telah menjadi
Tuhan baru yang membuat kegelisahan dan kekhawatiran mereka musnah. Bahkan
seorang Nietzche yang disinyalir atheist lewat aforisme-aforisme yang beliau
tinggalkan (gott is tot/tuhan telah
mati), diam-diam memuja Diogynes atau dewa topeng dalam liturugi Yunani.
Dalam
persoalan atheisme ini kita mengenal ada yang disebut sebagai atheisme
terselubung yakni orang yang diam-diam (terkadang tanpa disadari) telah
mengakui sosok Tuhan tapi dalam laku kesehariannya terlihat tidak mengakui
eksistensi Tuhan. Cak Nur pernah berpendapat tentang beberapa Komunisme yang
tidak berTuhan (walaupun banyak pengikut Komunisme yang ber-Tuhan seperti Tan
Malaka dan Haji Misbach serta komunisme di Amerika Latin berhasil membuat
konsep tentang Teologi Pembebasan), bahwa ketika seorang penganut Komunisme
mengaku diri atheist saat itu dia telah menuhankan ideologinya. Komunis telah
menjelma jadi pseudo-religion, dan
Marx, Lenin serta Mao Tse-Tsung menjelma jadi pseudo-prophet di mata mereka. Bagi atheistme yang mengagungkan
nilai-nilai kemanusiaan dengan membandingkan korban dari perang Salib/Sabil,
terorisme, perang sekatarian Timur Tengah, hingga mereka menarik asumsi bahwa
agama harus ditinggalkan karena tidak humanis. Bagi mereka yang menolak
kategori-kategori moral yang ditawarkan agama dan meluhurkan konsep HAM, mereka
kemudian menjadikan ideologi Humanisme sebagai Tuhan bagi diri sendiri.
Kepercayaan
sebagai sebuah kebutuhan mendasar pernah dibicarakan Nietzche pada masa lampau.
Nietzche membicarakan konsep ini dalam konteks hubungan dengan kualitas
kehendak seseorang. Konsep tentang kehendak dan kebutuhan untuk percaya ini
pula yang mendasari pemikiran beliau tentang kematian tuhan dan manusia super (ubermansch). Nietzche mengatakan bahwa
kepercayaan yang berkembang akan mengungkapkan kekuatan dan kelemahan sang
subjek. Semakin kebutuhan kepercayaan tinggi, semakin subjek memasuki fenomena
fanatisme (entah itu terhadap ideologi, UFO, agama, ataupun Sains). Dan orang
yang fanatik menurut Nietzche adalah orang-orang bodoh, yakni orang yang tidak
banyak mengetahui.
Kebutuhan
untuk percaya memiliki relevansi dengan kualitas kehendak seseorang dalam
perspektif Nietzchean. Semakin lemah kualitas kehendak seseorang semakin kebutuhan
percaya tinggi. Nietzche menasehati para filsuf, bahwa sebuah sistem
kepercayaan selalu punya doktrin dalam artian punya Mahkamah tersediri yang
menjustifikasi mana yang mesti dan tidak mesti. Sebuah kepercayaan merupakan
kebuthan bagi orang yang kehendaknya cacat hanya mensyaratkan manusia lemah
yang tidak berdaya berhadapan dengan realitas yang kaotik sehingga terjerumus
dalam kondisi fatalistik. Nietzche mengutarakan, semakin orang kehendaknya
lemah, semakin dia harus bertemu orang yang berkata “kamu harus!”. Orang-orang
ini adalah mangsa fanatisme yang hanya melihat segala sesuatu dari satu
perspektif (kacamata kuda).
Nietzche
mengkritik zamannya sebagai zaman yang pesimistik atau mengalami dekadensi
karena dipenuhi oleh orang yang cacat kehendak. Dengan tesis ini, Nietzche
kemudian melahirkan dikotomi kelas yang diklasifikasikan dalam kelas tuan dan
budak. Kelas budak adalah orang-orang dengan kualitas kendak yang cacat
sehingga terjerumus dalam fanatisme. Sedangkan kelas budak adalah orang-orang
dengan kehendak diri yang kuat. Moralitas tuan mensyaratkan bahwa seseorang
memiliki kehendak kuat dan manusia tersebut tidak butuh sesuatu selain diluar
dirinya. Dia menolak sistem kepercayaan yang mengatakan bahwa “kamu harus!”
terhadap segala sesuatu yang mesti dan tidak mesti dilakukan. Hanya dengan
begitu manusia menjadi mahluk yang berdaulat dan saat itu dia kemudian menjadi Ubermasch.
Sedangkan
Erich Fromm memiliki pendapat yang berbeda mengenai kebutuhan untuk percaya
ini. Dalam buku manusia menjadi Tuhan, beliau mengutarakan pendapat-pendapatnya
dalam analisis terhadap sejarah Yahudi. Dalam salah satu fase evolusi Perjanjian
Lama, beliau banyak mengutip pendapat Mainmonides, seorang rabbi dengan gaya
berpikir negatif. Beliau menatakan bahwa segala sesuatu yang memiliki nama,
pastilah bukan Tuhan melainkan berhala. Hal tersebut diinterpretasikan lewat
sebuah ayat yang berbunyi “...Aku telah mengutus-Ku padamu(Eheyeh asher Eheyeh)” (Kel 3:14). Dalam terjemahan bebas dapat
bermakna “... yang tanpa nama telah mengutusmu”. Dengan demikian pengakuan
terhadap eksistensi Tuhan adalah dengan mengakui bahwa tidak ada nama yang
mampu mewakili realitas Tuhan itu sendiri. Sehingga Tuhan dalam agama Yahudi
disebut dengan YHWH, sebuah akronim dari Yahweh.
Logika
yang diterapkan oleh Erich Fromm adalah logika teologi negatif yakni dengan
menegasikan hal-hal positif yang selama ini dilekatkan pada citra Tuhan (imago Dei). Dalam tradisi agama lain
kita mengenal Ibnu Arabi dan St. Agustinus yang berpola pikir sama. Dalam
penjabaran tentang konsep berhala ini, Erich Fromm mengutarakan bahwa
bergulirnya sejarah umat manusia membuat konsep berhala memodifikasi diirnya
sendiri. Kalau dulu kita mengenal patung-patung sebagai berhala tradisional,
maka hari ini kita mengenal ideologi, popularitas, kekayaan, kekuasaan dan lain
sebagainya sebagai berhala modern. Berhala sendiri didefinisikan Fromm sebagai objek
dan pusat dari tujuan manusia. Apa bedanya kepercayaan Aztec zaman dahulu yang
mengorbankan ribuan nyawa sebagai persembahan pada dewa (elan vital) dengan Nasionalisme yang mengorbankan ribuan nyawa demi
kemerdekaan?
Analisis
Erich Fromm kemudian mengerucut, mencoba untuk menjustifikasi kepercayaan yang
bagaimanakah yang benar. Erich Fromm mengatakan bahwa pada dasarnya hanya ada
dua jenis etika dalam konteks ini yakni etika otoriterian dan etika
kemanusiaan. Etika kemanusiaan adalah suara hati (intuisi) yang bicara tentang
baik-buruk sebagai konsekuensi fitrawi. Sedangkan etika otoritarian adalah
segala aturan dari pihak otoriter (raja, kepala suku, presiden, dll) yang
diangap sebagai suara hati. Etika otoriterian ini kemudian mendorong manusia
untuk berkecenderungan pada penyembahan berhala (tradisional maupun
modern). Dan dengan demikian, manusia
telah meyakini kepercayaan yang salah pada saat itu juga.
Dalam
Islam sendiri, Tuhan mengakui bahwa ada satu tuhan yang diam-diam disembah oleh
manusia sebagi pusat dari objek keinginan manusia. “Maka pernahkah kamu melihat
orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya....” (Al-Jasiyah 45 :23)
dan “Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya..” (Al-Furqan 25:43). Dengan demikian Tuhan mengakui bahwa di
dalam eksistensi tiap manusia melekat tuhan-tuhan (dengan “t” kecil) palsu.
Tuhan dalam kalimat-kalimat lanjutan atas ayat tersebut kemudian menerangkan
bahwa mereka yang mengikuti tuhan palsu tersebut adalah orang-orang yang
melenceng dari agama yang telah Dia wahyukan. Dalam artian Tuhan hendak
menyatakan bahwa tuhan palsu tersebut merupakan negasi dari Tuhan yang
sesungguhnya atau dalam terminologi Fromm; berhala/tuhan sejarah.
Dengan
menggunakan analisis ini, maka kita akan kembali pada tesis Nietzche tentang
manusia berdaulat/Ubermansch. Kembali pada ucapan Nietzche, bahwa manusia yang
cacat kehendak akan melahirkan kebutuhan percaya yang tinggi dan tergelincir ke
dalam fanatisme buta (taqlid). Orang
akan semakin butuh kepada kekuatan diluar dirinya yang menawarkan kepastian
dengan satu mantera sederhana: “Kamu harus!” berkenaan dengan sesuatu yang
mesti dan tidak mesti dilakukan. Sehingga orang harus terbebas dari kekuatn di
luar dirinya, saat itulah dia menjelma menjadi Ubermansch. Maka marilah kita pertanyakan tesis tersebut. Ketika
Nietzche berteori tentang kehadiran Ubermansch, bukankah pendambaan atas
kehadiran manusia super tersebut tidak lebih dari hasrat metafisis dari
orang-orang dengan kebutuhan untuk percaya yang tinggi? Bukankah ketika
Nietzche mengatakan bahwa kita harus terlepas dari kekuatan diluar diri kita
saat itu Nietzche tengah berkata “Kamu harus!”. Maka tesis yang diutarakan oleh
Nietzche, adalah kontradiksi in
terminus! Beliau mengatkaan hal yang dia bantah sendiri. Dan dengan
mendambakan kehadiran Ubermansch, maka
Nietzche sedang membuat berhala psikologis baru atau tuhan fantasi lain.
Lantas
dengan berbagai kebingungan ini, bagaimana kemudian kita dapat memverifikasi
mana kepercayana yang benar dan mana yang salah? Dengan mengetahui bahwa
ternyata para pemegang otoritas (raja, kepala suku, presiden dll) ternyata
hanya mengantarkan kita ke gerbang paganisme modern, lantas otoritas apa yang
perlu kita percaya? Mengingat kembali apa yang diutarakan Cak Nur, bahwa
permasalahan terberat manusia ternyata memang bukanlah seseorang atheist atau
theist, akan tetapi problematika mendasar adalah melepas diri dari jerat-jerat
kepercayaan yang terlampau banyak (politheisme). Semangat yang ditawarkan oleh
Cak Nur dengan demikian adalah semangat purifikasi. Sangat menakjubkan,
bagaiamana seorang Cak Nur yang terinspirasi dari pola berpikir Ibnu Tayimiyah
tapi malah tidak terseret ke cara berpikir Wahabisme.
Dengan
begitu banyaknya sistem kepercayaan yang berputar dan mengiringi kehidupan umat
manusia, hanya ada dua kemungkinan: apakah semua kepercayaan itu salah atau
hanya satu yang benar. Tentu saja kebenaran itu hanya satu dan itu bersifat
mutlak. Bahkan ketika seseorang ngotot untuk mengatakan bahwa kebenaran itu
relatif, saat itu dia telah memutlakan kebenaran tersebut dan itu artinya dia
terjebak dalam kesesatan berpikir (fallacy
of logic). Kemudian bagaimana cara kita memverfikasi mana yang benar dan
salah? Apa lagi kalau bukan akal. Yah, tentu kepada akallah kemudian kita harus
memberikan otoritas untuk menilai sesutu itu salah dan benar.
Realitas
ini merupakan sesuatu hal yang urgent mengingat umat manusia hari ini tengah
terpenjara dalam hegemoni dan supremasi teks. Kelompok yang hari ini tengah
mengeksploitasi agama, kita kenal dengan nama kaum skriptualis dengan aksioma
mereka “semakin harfiah kau menafsirkan wahyu, semakin kau mendekati makna
wahyu tersebut”. Padahal wahyu tidak hnaya berada dalam dimensi tekstual,
tetapi juga kontekstual (sosio-politik-historis). Dalam teori interpretasi,
kita mengetahui bahwa ada tiga dimensi yang perlu dilacak demi menyerap makna
yakni dimensi pengujar-teks-pembaca. Karena dunia pengujar yang tidak lain dan
tidak bukan adalah dunia Tuhan (lauh
mahfuz), maka kita hnaya bisa mengecek dengan memahami kondisi historis
atau latar belakang turunnya wahyu tersebut (asbab al-nuzul). Wahyu tidak bisa dipahami tanpa melepas konteks
kenapa ayat tersebut diturunkan. Karena tidak jarang al-Quran menjelaskan
peristiwa khusus yang menjadi motif kehadirannya. Misalnya, permulaan surat
al-Anfal yang menjawab pertanyaan umat Islam perihal pembagian harta rampasan
perang. Juga respon al-Quran yang khusus menyikapi keangkuhan Abu Lahab dan
istrinya.
Dalam
sebuah pengajian,diceritakan bahwa seorang beragama Majuzi datang dan mendebat
seorang ulama. Ketika sang Majuzi bertanya “bagaimana kau mengetahui bahwa
Tuhan eksis?”. “Bukti eksistensi Tuhan adalah karena kitab suci kami mengatakan
begitu, sehingga kami percaya”, jawab si pemuka agama. Pertanyaan kembali
berlanjut, “bagaimana kau tau bahwa kitab sucimu benar?”, sang pemuka agama
menjawab “karena dalam kitab suci kami, kami belajar bahwa Tuhanlah yang
menurunkan kitab suci ini. Sehingga seisi kitab suci ini benar adanya”. Sang
Majuzi berpendapat dengan sangat tajam dan menusuk argumen teistik tersebut:
“Bagaimana kau membuktikan segala kebenaran tadi hanya berdasarkan kitab
sucimu? Sedangkan membuktikan Tuhan ada saja belum bisa. Kalau akhirnya kamu
memperoleh justifikasi atas eksistensi Tuhan itu dari kitab sucimu semata, maka
kau lebih mempercayai kitab suci dibanding Tuhan itu sendiri. Bagaimana kita
bisa mempercayai firman-Nya jikalau sang yang memfirmankan belum bisa kita
buktikan ada?”.
Ketika
ternyata firman Tuhan lebih dipercai dibandingkan Tuhan itu sendiri, maka
harusnya Rukun Iman pertama itu bukanlah kepada Tuhan akan tetapi kepada kitab
suci. Gejala ini kemudian disebut gejala Biblioatri. Ketika kelompok agamawan
yang beraliran skriptualis lebih mengutamakan teks dibandingkan konteks, maka
saat itu dia telah terjerumus dalam fenomena penyembahan berhala, teks kitab
suci sebagai berhala psikologis. Padahal jikalau kita melihat perdebatan antara
dua orang ahli kitab. Ketika mereka berargumentasi dengan mengutip kitab suci
agama A, tentu saja yang beragama B akan menolak dengan dalil bahwa dia tidak
mengimani kitab suci agama A. Dengan demikian harus ada satu otoritas yang
dapat menjadi jawaban bagi semua orang yang beragama dan otoritas tersebut
adalah akal. Dengan menempatkan akal sebagai otoritas utama, maka kita bisa
memverifikasi mana yang benar dan mana yang salah. Akal selalu memberikan
jawaban yang bersifat universal dan bisa diterima. Karena dari zaman dulu
sampai sekarang, kita mengakui bersama bahwa “sebagaian lebih kecil daripada
keseluruhan”, bahwa “segitiga memiliki tiga sisi”, bahwa “satu tambah satu sama
dengan dua”, dll.
Akal
merupakan nabi batin manusia, sebagaimana tugas nabi yang menyampaikan risalah
sehingga manusia bisa tau mana yang benar dan mana yang salah. Kemudian, apakah
itu artinya kita menempatkan akal sebagai objek atas keinginan manusia untuk
mengenal Tuhan? Bukankah saatitu kita telah memberhalakan akal? Lalu kalau
rukun iman pertama bukanlah pada kitab suci, apakah patut diserahkan kepada
akal? Tentu saja tidak, karena akal disini berfungsi sebagai alat atau jalan (tarikh/halakhah). Menyerahkan otoritas
untuk menjustifikasi mana benar-salah kepada akal, tidak serta merta
menyerahkan posisi Tuhan pada akal. Hanya ketika akal mengantarkan manusia
untuk memverifikasi mana kepercayaan yang benar dan salah, saat itu kita bisa
menemukan Tuhan Sejati. Dan jika akal merupakan sumber otoritas primer,
kemudian ketika akal telah memberi jawaban baru kita dapat menyerahkan wahyu
sebagai otoritas sekunder. Sebab akal hanya mampu membawa manusia pada
kepercayaan bahwa Tuhan itu eksis, sedang ciri-ciri serta bats-batas metafisis
mengenai Tuhan dalam artian Dzati diperoleh lewat informasi ktiab suci.
Lalu
bagaimana dengan fenomena orang-orang yang meyakini suatu agama lewat
pengalaman spiritual pribadinya. Fenomena yang disebut juga sebagai loncatan
iman. Beberapa orang mengaku saat dia mendengar suara Adzan, hati dia tergugah
dan seketika masuk Islam. Beberapa juga mengaku ketika dia mengalam disorientasi
dalam hidup dan dia berdoa di dalam gereja, seketika dia masuk Kristen.
Kelompok yang meyakini bahwa pengalaman spiritual personal seseorang dapat
mengantarkan seseorang ke kepercyaan yang benar, disebut sebagai kelompok
fideisme. Hal ini pernah dijelaskan oleh seorang filsuf bernama Kierargard.
Belia mengatakan bahwa iman dan akal tidak harus bertemu dalam agama. Lantas
proposisi atau kesimpulan yang ditelurkan oleh Kierargard diatas, bukankah itu
disimpulkan lewat sebuah deduksi sebagai metode akal dalam menemukan simpulan?
Lantas jikalau seseorang dapat menjustifikasi kepercayaan yang dia anut sebagai
kepercayaan yang benar karena pengalaman empiris pribadi, kenapa seorang ateis
tidak bisa menjustifikasi keyakinannya benar karena dia memperoleh itu dari
pengalaman pribadi? Pada akhirnya, yaa lagi-lagi mari kita berikan otoritas itu
kepada akal.
Sekian
dan terimakasih.
0 Komentar