Oleh : Triwardana Mokoagow
Tadi
pagi, sekitar jam 4 subuh ada suara bising yang menghalangiku menuju tidur.
Kukira itu suara biasa yang tidak usah dihiraukan dan tidak perlu mengganggu
kenyamanan tidurku. Semakin lama, berisiknya semakin mengusik. Apalagi nyeri di
gigi kiriku membuat aku lebih sensitif dan mudah kesal dengan hal-hal yang
sederhana sekalipun. Rasa penasaranku meledak, kuputuskan untuk mencari tahu
suara apa itu. Setelah menengok di pinggiran kasur, barulah ketahuan bahwa
suara itu berasal dari seekor kupu-kupu yang hingap ke kamar kostku.
Rupanya
upu-kupu ini terjebak. Dia mengepakkan sayapnya begitu cepat dan berisik tapi
tidak bisa terbang. Mungkin sayapnya sedikit terluka menurutku, sehingga dia
kehilangan kemampuannya terbang. Kudekati kupu-kupu malang itu, dan diapun
terdiam terpaku sepertinya menyadari keberadaanku. Setelah dia berhenti
mengepakkan sayap dan terdiam begitu saja, aku tersadar kagum bahwa sayap
kupu-kupu ini menyerupai daun pohon berwarna cokelat kering. Rupanya ini adalah
kupu-kupu ini tergolong hewan yang mampu berkamuflase dengan merubah warna
tubuh sesuai dengan warna lingkungannya. Setelah semakin lama kuperhatikan,
warna kupu-kupu berubah menjadi pucat serupa dengan abu-abu menyerupai karpet
kamarku.
Hanya
saja inti dari pertemuanku dnegan kupu-kupu ini adalah tentang sebuah pesan
yang secara tiba-tiba menghantam kepalaku. Kedatangan kupu-kupu ke rumah kata
kebanyakan orang menandakan sesuatu hal akan terjadi pada kita. Konsekuensi
yang kita peroleh juga bervariasi tergantung dari tempat dimana kupu-kupu
tersebut hinggap. Katanya bila dia menempel di pintu, maka akan ada orang dari
jauh yang akan datang (bertamu). Bila datang pada malam hari, maka sang pemilik
rumah akan mendapat rezeki. Bila kedatangan kupu-kupu tersebut diikuti oleh
kematiannya, maka sang tuang rumah akan ditimpa musibah.
Memang
tidak semua orang sepakat dengan hal tersebut. Bebrapa orang memilih untuk
bersikap rasional mengikuti trend modernisasi yang mulai meluluhlantakkan
pemikiran primitif manusia. Bagi yang masih terikat dengan hukm-hukum adat dan
tradisi nenek moyang, sistem kepercayaan terhadap hal-hal yang mistis masih
begitu kuat dan kental. Mereka adalah orang-orang yang masih mengami
keterjebakan dalam fase mistis yang harusnya sudah ditinggalkan umat manusia
beratus-ratus tahun yang lalu di belakang sejarah.
Dalam
buku strategi kebudayaan karya ilmuwan budaya, Van Parseun, diketahui bahwa
budaya sebagai proses belajar dan evaluasi telah berhasil memetakan perjalanan
umat manusia di atas panggung sejarah ke dalam tiga fase:
mistis-ontologis-fungsioniil. Fase pertama sebagai bahan dasar analisis teks
ini adalah dunia mitis, dimana manusia pada saat itu masih berada dalam
keterjebakan ditaklukan oleh daya-daya kekuatan diluarnya. Manusia sebagai
subjek, berada dalam lingkaran alam semesta, dan menganggap bahwa diri mereka
dipengaruhi secara mutlak oleh daya-daya alam baik yang nampak (empirik) maupun
tidak nampak (metafisika).
Fase
mitis tersebut adalah fase dimana manusia masih diselubungi ketidaktahuan yang
besar. Kekuasaan alam belumlah terungkap sebagai pengetahuan yang ilmiah. Dalam
konteks ini, ketidaktahuan manusia terhadap kekuatan alam memancing manusia
untuk menafsirkan kekuatan alam yang mengelilinginya. Upaya penafsiran merupakan
suatu keharusan yang tidak terbendung sebagai fitrahnya. Makanya manusia
dijuluki sebagai mahluk simbol (anymal
symbolicum/homo semioticus/sygnification actors).
Sebagai
mahluk yang tidak bisa hidup sama sekali tanpa simbol, manusia pun mulai
menciptakan simbol sebagai representasi realitas. Barulah sistem tanda tercipta
dan dengan begitu komunikasi bisa terjalin. Sistem tanda tersebut bisa berupa
bahasa, kode morse, kode pramuka, intonasi, bahasa tubuh, verbal maupun
non-verbal yang menjadi medium manusia berkomunikasi. Manusia kemudian dapat
mengugkapkan pikirannya ke dalam simbolisasi agar isipikirannya dapat dipahami
oleh orang lain.
Begitupula
yang terjadi tatakala kita dihadapkan dengan fenomena yang begitu asing dan
baru bagi kita. Ketidaktahuan membuat kebingungan, dan merangsang diri untuk
menafsirkan agar supaya manusia dapat memperoleh pengetahuan yang baru. Karena
manusia pada fase primitif ini tidak menafsirkan sesuatu dengan landasan scientific, maka manusia menggunakan
simbol sebagai medium makna agar tercipta suatu pemahaman. Dalam ungkapan
Nietzche, ketidaktahuan kemudian mendorong manusia untuk membuat suatu
kepercayaan demi meredam kekhawatiran mereka. Manusia kemudian membuat
simbolisasi yang dia percayai sebagi representasi terhadap realitas yang
terjadi. Dan kemudian lewat tahap tersebut, terciptalah mitologi-mitologi.
Mitos
sebagai produk pemikiran primitif merupakan tafsir terhadap realitas yang
bersifat spekulatif. Pada zaman batu mungkin, seringkali digambarkan bagiamana
petir yang menyambar pohon dan seketika menghasilkan kobaran api yang lalu
disembah oleh manusia, sebab api tersebut dianggap memiliki kekuatan yang luar
bias hebat dan mempengaruhi manusia. Ciri khas dari fase primitif ini adalah
anggapan bahwa benda mati memiliki roh sebagaimana manusia, kecenderungan ini
disebut dengan totemisme. Sekitar
4000 tahun yang lalu, di daratan Afrika timbul kepercayaan bahwa roh-roh
menguasai dataran Afrika. Di zaman Yunani dahulu kala, ketika seseorang
tersandung di batu dan menyebabkan kematian bagi seseorang, maka batu tersebut
akan dibawa ke pengadilan dan di hukum penjara sebagaimana manusia biasa. Di
pedalaman Kalimantan, terdapat sebuah suku yang secara khusus menciptakan
semacam tari-tarian untuk menghormati hutan karena hutan dianggap memiliki roh
dan kuasa atas keberlangsungan manusia.
Masih
banyak kasus-kasus lain yang menandakan bahwa manusia pada era paling primtif
telah menciptakan mitologisasi yang berakr dari tafsir spekulatif atas
ketidaktahuan mereka pada sesuatu. Kuasa alam merupakan kekuatan yang superior
dan mempengaruhi manusia secara mutlak. Sistem kepercayaan yang dibangun oleh
masyarakat primitif kemudian memunculkan kekuatan normatif (mengikat).
Sebagaimana ungkapan Cicero: semakin sering kau melakukan sesuatu, semakin
sesuatu itu menjadi hukum. Maka ketaatan terhadap hukum-hukum alam yang
beraroma mistis mengikat manusia secara sempurna, memancing ke arah fanatisme,
dan terjadilah sakralisasi. Pada tahap akhir yang bisa kukatakan ekstrem ini,
kepercayaan terhadap kekuatan alam mengarah kepada penyembahan. Mungkin inilah
asal-usul kelahiran agama penyembah api (Majuzi) di Persia maupun penyembah
matahari (Shinto) di Jepang.
Barulah
kemudian ketika manusia mulai muak dengan kekuatan alam di sekitarnya dan
menyiapi kekuatan tersebut dengan cara berbeda, yakni mempertanyakan hal-hal
tersebut secara mendalam, perlahan-lahan langkah umat manusia terseret ke fase
baru, fase ontologis: cikal bakal modernisasi. Manusia mulai mempertanyakan
keabsahan dewa-dewa yang merka ciptakan sendiri. Di era Pra-Sokrates, para
filsuf menggagas sebuah ide tentang asal mula alam semesta. Di era Sokrates,
terjadi penghujatan besar-besaran terhadap berhala yang dianggapnya Cuma
sekedar reproduksi budaya. Eksistensi dewa-dewa mulai dipertanyakan.
Drama-drama Yunani mulai berani memasukkan dewa-dewa sebagai tokoh pentasnya,
dan diakhiri tragedi dimana manusia berhasil mengalahkan kuasa dewa hingga
akhirnya memperoleh kemerdekaan sejati (kehendak bebas).
Nah,
sebelum pembahasan melangkah lebih jauh, mari kita pertanyakan apa relevansinya
dengan mitos kunjungan kupu-kupu? Dengan dasar yang panjang lebar tadi, maksud
yang ingin aku sampaikan adalah bahwa anggapan kehadiran tamu ketika seeor
kupu-kupu berkunjung hanyalah sisa-sisa puing pemikiran manusia primitif yang
masih melekat dalam alam bawah sadar masyarakat. Entah apa hubungannya antara
kupu-kupu dan kedatangan tamu, hingga tadi pagi, kedua hal yang susah
diketemukan kaitannya secara ilmiah tersebut begitu mengusik pikiranku. Tidak
dapat dinukil lagi, pola berpikir mitologis masih menghegemoni paradigma
masyarakat.
Dalam
kontes ini, saya ingin menggunakan pemikiran Kang Jalal (sapaan akrab Jalaludin
Rakhmat) sebagai pisau bedah dalam menganalisis hal ini. Dalam rekayasa sosial
(social engineering), beliau
mengutarakan bahwa untuk merubah masyarakat maka yang pertama-pertama perlu
dilakukan adalahmerubah pola berpikirnya dan memurnikan pikiran dari kesesatan
serta kekeliruan (fallacy of logic).
Perubahan paradigma merupakan suatu keharusan dalam perubahan sosial maupun
perubahan fase dari mitis ke ontologis hingga ke fungsioniil menurut literatur
Van Parseun. Dalam amatan saya terhadap masyarakat kota Kotamobagu, fasitas
berupa taman tematik yang harusnya menjadi ruang publik dimana masyarakat berkumpul
dan berbagi pikiran maupun perasaan malah dijadikan tempat nongkrong bagi
pemabuk, penjudi, maupun pelacur. Rupanya itikad baik dari pemkot Kotamobagu
tidak dapat ditangkap rakyat sebagai proses pembangunan menuju ke arah yang
lebih baik. Bukan pemkot yang salah, dan bukan SatPol-PP yang kurang intens
menggrebek kenakalan di taman-taman. Akan tetapi masyarakat kita yang belum
siap untuk maju dan berubah ke arah yang lebih baik. Permasalahan tersebut bila
menggnakan perspektif Kang Jalal, tidak ayal lagi adalah berkat kekeliruan berpikir
dan pola pikir yang masih terkebelakang.
Sekali
lagi, sebelum kembali lebih jauh, mari kita turutkan kaitan antara mitos
kunjungan kupu-kupu dan kekeliruan berpikir ini. Pertama, menurutku kedatangan
kupu-kupu tidak ujug-ujug menandakan datangnya pesan ghaib dari alam
supranatural yang mengabarkan kedatangan seorang tamu dari kejauhan. Bukankah
kupu-kupu banyak kita temukan di lingungan yang penuh pohon maupun penuh bunga?
Bisa jadi lingkungan kita dipenuhi dengan spesies tumbuhan terkait. Dan
ternyata benar, lingkungan tempat
kostsanku tinggal rupanya dikeliingi oleh pohon-pohon lebat dan bunga-bunga
yang tumbuh di teras. Bsa jadi kedatangan kupukupu ini adalah akibat
tersesatnya dia dan sialnya, menjadi korban fitnah umat manusia hingga
kupu-kupu malang harus bertanggungjawab atas rezeki dan musibah yang dikaitkan
kepada kehadirannya.
Kedua,
mungkin pada zaman baheula ada seseorang yang memiliki pengalaman kedatangan
tamu tidak lama setelah kedatangan kupu-kupu. Bagi orang-orang zaman dahulu
yang kehidupannya dekat dengan alam dan percaya alam mampu berkomunikasi dengan
manusia, kemudian menafsirkan hal tersebut sebagai suatu pertanda
(mitologisasi). Pengalaman individual tersebut kemudian dijadikan preseden bagi
orang-orang yang ditemui pengalaman sama. Padahal beberapa kali juga aku
dikunjungi kupu-kupu yang ternyata tidak diikuti kehadiran tamu dari jauh,
temanku juga banyak mengalami hal yang sama.
Dalam
kajian logika, aku menemukan bahwa terdapat salah satu jenis kesesatan berpikir
yang bernama Post Hoc Ergo Propter Hoc yang
disebut juga penyebab palsu, korelasi kebetulan atau korelasi tidak
sebab-akibat. Dengan dalil/aksioma sederhana: “A terjadi lalu B terjadi:
maka, A merupakan sebab dari B”. Contohnya adalah: sehabis saya
pulang dari goa Jepang di Dago, Bandung, saya lalu jatuh sakit. Teman-temanku
menganggap itu disebabkan kedatanganku ke goa Jepang. Tetapi bukankah
kedatanganku pada malam hari? Dan memang saat itu sedang musim hujan? Maka
kemungkinan lebih besar dari sakit yang menimpaku adalah karena jeleknya kualitas
cuaca. Begitu pula dengan kunjungan kupu-kupu tadi, hanya karena seekor
kupu-kupu datang kemudian diikuti dengan hadirnya tamu dari jauh, bukan berarti
ujug-ujug kedatangan kupu-kupu tersebut adalah sebab dari datangnya tamu dari
jauh. Buktinya hal yang sama tidak terjadi padaku, dan beberapa temanku. Dengan
demikian, mitos kedatangan kupu-kupu dan hubungannya dengan kedatangan tamu,
tidak lebih dari kesesatan berpikir Post
Hoc Ergo Propter Hoc.
Terimakasih
0 Komentar