Oleh: Triwardana Mokoagow
Jean
Paul Sartre adalah filsuf dari Perancis yang dikenal sebagai pemangku paham
eksistensialisme. Pernah bekerja menjadi seorang guru SMA, Sartre begitu
dikenang oleh murid-muridnya. Salah satu pengakuan muridnya, beliau ketika
masuk ke dalam ruangan kelas dengan ciri khasnya yaitu menghisap pipa sembari
menggertak-gertakan gigi. Begitu ia duduk, Sartre langsung mengatakan pada
anak-anak untuk mempersilahkan mereka merokok di dalam kelas. Sartre mengatakan
kepada murid-muridnya, “Jangan bawa buku filsafat ke sekolah, bawalah otak
terbuka kalian.”
Keterkaitan
masa tua Sartre begitu dipengaruhi oleh kehidupannya di masa muda. Dalam teori
psikoanalisis, kesadaran (consciunes), dibentuk
oleh relasi antara masa kecil seseorang. Dasar-dasar filsafat eksistensialisme
Sartre kemudian dibangun oleh pemikiran-pemikiran refleksifnya terhadap
pengalaman masa kecil Sartre.
Pada
tahun 1904, Jean-Baptiste Sartre, seorang marinir yang sudah sakit-sakitan baru
saja kembali dari Indocina bersama demam yang dia bawa. Pertemuannya dengan
Anne Marie Schweitzer, seorang wanita kesepian membuat suatu kesepakatan dimana
mereka berdua dibawa ke jenjang pernikahan. Dalam sebuah malam yang gelap,
dengan cepat seorang anak diciptakan dari rahim wanita tersebut. Sartre adalah
anak dari kedua orang tadi. Sayangnya, belum sempat menginjak umur setahun,
Sartre harus kehilangan ayah kandungnya. Sejak itulah dia tinggal dan
dibesarkan di lingkungan keluarga sebelah ibunya oleh kakek dan nenek tercinta.
Dalam
berbagai literatur, pengalaman tinggal bersama kakek dan nenek Sartre merupakan
peristiwa kejatuhan pertama dalam hidupnya. Pada awalnya Sartre merupakan anak
dengan rambut pirang panjang yang pada saat itu sedang menjadi trend bagi anak
seumurannya. Kepercayaan diri Sartre menempatkan dirinya pada tingkat postifi
di mata keluarganya. Sampai pada suatu hari, sang kakek membawa Sartre ke
tempat tukang cukur. Saat itulah peristiwa kejatuhan pertama Sartre terjadi,
ketika rambut yang dicintainya dipotong, dia merasa dirinya tampak jelek di
mata keluarganya. Atas refleksifitas itulah Sartre mengatakan bahwa manusia
ditentukan oleh pandangan orang lain.
Kejatuhan
kedua merupakan puncak kejatuhan Sartre dan juga menjadi memori buruk bagi
kebrutalan masa mudanya. Setelah 10 tahun lamanya sang ibu menjanda, akhirnya
ibunda Sartre menikahi seorang lelaki yang begitu kasar meskipun juga ia adalah
seorang ahli dalam bidangnya, yaitu fisika. Sartre di bawah asuhan ayah tirinya
mengalami tekanan-tekanan mental berat, ketika Sartre tidak mampu memenuhi
tuntutan sang ayah tiri untuk menyelesaikan tugas-tugas geometri, tidak
ditahan-tahan ayahnya meneriaki Sartre sebagai anak yang bodoh. Pengalaman
kelam dibawah asuhan sang ayah tiri ternyata menyisakan lobang hitam yang lebar
di dalam hatinya, dia mengumpat bahwa pada suatu hari nanti dia akan
membalaskan dendamnya kepada ayah tirinya.
Kedua
penggalan cerita Sartre tersebut menggambarkan gagasan-gagasan dasar Sartre
bahwa citra diri atau konsep diri seseorang dipengaruhi oleh bagaimana cara
manusia lain memandang diri kita. Pada kejatuhan pertama, Sartre awalnya merasa
bahwa dia adalah anak kecil yang ganteng dan begitu disukai karena rambutnya
yang panjang, tapi ketika kakeknya membawa dia ke tukang cukur, semua citra
positif terhadap dirinya seketika musnah. Begitu pula dalam kejatuhan kedua,
Sartre mengalami tekanan mental yang begitu pekat akibat asuhan ayah tiri yang
jauh berbeda dengan cara asuhan kakek dan neneknya yang lebih memberikan Sartre
sebuah zona nyaman (comfort zone) untuk
diduduki. Sartre kemudian memberikan dua opsi atas objektivikasi tersebut, yang
pertama adalah menerima secara pasif atas pandangan subjektif seseorang atas
diri kita. Yang kedua adalah menolak serta memberontak atas citra diri yang
dibentuk oleh objektifikasi tersebut.
Dari
kedua opsi yang ditawarkan tersebut, Sartre kemudian memilih opsi kedua yaitu
untuk memberontak terhadap justifikasi subjektif orang lain terhadap citra diri
sendiri. Berangkat dari gagasan awal Sartre bahwa manusia ditentukan oleh
pandangan orang lain, maka kebebasan bagi Sartre adalah ketika kita meniadakan
pandangan orang lain atau objektivikasi terhadap konsep diri kita sendiri.
Sehingga, dapat dikatakan sebaliknya pada opsi pertama, bahwa penerimaan pasif
terhadap objektivikasi tersebut adalah penerimaan atas belenggu yang menjerat
kebebasan eksistensial manusia. Bila disederhanakan, dapat diambil kesimpulan
bahwa Sartre memprokalimirkan manusia untuk memilih antara kebebasan dan tidak
adanya kebebasan.
Karena
Sartre memandang bahwa objektivikasi manusia lain merupakan wabah bagi
kebebasan manusia, disebabkan kebebasan suatu individu ditentukan oleh orang
lain. Maka pada saat yang sama Sartre dengan berani mengatakan bahwa “orang
lain selain kita adalah neraka”. Bahwa neraka yang sesungguhnya bagi Sartre
adalah ketika kita terjerat dengan objektifikasi tadi. Sayangnya pada akhir
hidup beliau, terlihat ambiguitas dan paradoksikalitas dalam cara dia berpikir.
Hal itu dapat dilihat ketika setahun sebelum dia wafat yaitu pada tahun 1979,
dia meneriakkan kebebasan bagi manusia-manusia perahu di Vietnam dengan
mengatasnamakan humanisme. Disini terjadi pergeseran ideologi di dalam diri
Sartre, yaitu dari paham kebebasan individualisme menuju kebebasan sosial.
Inkonsistensi ini bagi beberapa orang adalah mengecewakan karena terlanjur
terpikatnya pada diri Sartre sebelumnya. Akan tetapi bagi beberapa orang lain
(terutama saya), perubahan paradigma Sartre merupakan kesadaran tertinggi yang
terlambat dia capai. Bahwa pada dasarnya, kebebasan individual harus direduksi
oleh kebebasan sosial.
09 April 2014, Bandung
0 Komentar