Oleh    : Triwardana Mokoagow (tyologi)

Sudah merupakan keharusan untuk kita sebagai manusia menjalankan kodrat untuk berpikir atau bahasa kerennya bermuhassabah. Aku pikir, inilah yang secara tajam membedakan kita dengan anjing, babi, rusa, tikus, kecoa, kura-kura ninja, sapi, unta, burung unta dan semacamnya. Bisakah hewan-hewan itu berpikir dan merenung? Kalau bisa, mungkin sudah dari beberapa ribu tahun yang lalu, rumah burung sudah berevolusi dari tumpukan ranting-ranting hingga menjadi bangunan bertembok bata seperti rumah manusia.
Berangkat dari kesadaran itulah, aku sadar aku harus sering merenung, biar lebih menjadi manusia; lebih manusia dari sebelumnya. Entah kenapa tiba-tiba teringat status BBM yang bukan satu-dua kali dipampang salah seorang wartawan: (kurang lebih, klalau tidak salah seperti ini, atau mungkin kalau salah tolong dikoreksi) “... jangan jauh-jauh kamu dari binatang, agar kamu tidak lupa cara jadi manusia...”. Walaupun belum sempat berkenalan secara pribadi, namun yang berjudul Sigidad itu, beserta dua orang lain yakni: Uwin Mokodongan dan Uphink Dadu aku kenal cukup progresif dan konsisten dalam dunia Teks dan Kata-kata. Barangkali bisa menjadi sahabat hangat nantinya bagi yang punya hobi sama: bercinta dengan aksara. Dari mereka juga, Alhamdulillah aku punya rumah baru untuk dihuni tulisan-tulisanku, yang agar tidak berserakan dan dimakan oleh monster bernama waktu, semoga bisa abadi terdokumentasikan dalam dunia internet: Arusutara.com.
Menyadari bahwa menjadi manusia itu penting, akupun mulai meluangkan beberapa menit, atau – bila kebetulan dalam sehari sedang tidak beraktivitas penting-penting – bisa saja kuhabiskan seharian total untuk merenungkan apapun, apa saja, hingga hal-hal yang sudah dianggap normal dalam peradaban manusia sekalipun! Tidak jarang renungan itu malah menghasilkan pertanyaan baru, sehingga: jawaban atas renunganku, adalah pertanyaan. Hehehe.. Sungguh aneh ya? Barangkali karena inilah banyak pemikir bersabda, “semakin kamu tau, semakin kamu sadar kalau kamu GOBLOK.” Seiring perjalanan waktu, aku malah selalu merasa minder karena tak jarang disebut pintar dari teman-teman sejawat. Minder karena itu semakin memantapkan aku sebagai orang goblok bagi diriku sendiri.
Oke, barangkali cukup basa-basinya. Perenungan itu membawa aku ke sebuah pertanyaan: kenapa sih harus ada nama? Kenapa sih, tiap kali bayi terlahir, sang orangtua harus capek-capek memikirkan apa sebutan anaknya kelak? Hujan pertanyaan datang bertubi-tubi, seakan-akan aku adalah maling yang sedang dikerumuni warga yang asyik berebutan memukuli. Bagaimana ya, kalau dunia tidak membutuhkan nama? Pasti kita akan kebingungan dan pusing tujuh keliling dalam sistem sosial ini.
Imajinasikanlah semua orang punya nama sama. Semua orang, namanya adalah: Cukiman binti Maimunah. Lalu imajinasikanlah kamu berada dalam kondisi, dimana kamu adalah seorang murid TK. Seusai pelajaran belajar-mengajar, kamu dicegat, kamu disuruh oleh Ibu Guru yang bernama Cukiman binti Maimunah untuk bertemu ngobrol hal yang penting. “Cukiman, bisakah kamu ke ruangan ibu sebelum pulang kamu pulang rumah nak?” Ajak ibu guru. Disanalah kamu akan terlibat sebuah percakapan. Sekali lagi, imajinasikanlah kamu berada dalam ruangan guru TK:
Cukiman binti Maimunah: “Ada hal penting apa ibu guru?”
Cukiman binti Maimunah: “Oh begini nak, ibu kan sebagai guru, harus mendidik anak-anak ibu dengan baik dan benar. Jadi ibu, berencana untuk ke rumah temanmu dan mengajari dia pelajaran Geometri, Aritmatika serta Sejarah Filsafat Hellenisme dan Skolastik. Kasian temanmu, dia sering dapat nol di pelajaran itu nak.
Cukiman binti Maimunah: Dengan wajah lugu, kamu menjawab “Ooh seperti itu bu guru (pake logat Syahrini)..”
Cukiman binti Maimunah: “Makanya ibu minta bantuan kamu nak. Kamu kan sekelas sama anak itu. Kalau tidak salah nama anak itu, hm..”
Untuk beberapa lama, sang ibu guru pun sibuk melayangkan tatapan ke langit-langit ruangan. Sembari jidatnya agak mengkerut, sambil memicingkan sedikit mata kirinya. Rupanya ibu guru Cukiman sedang mengingat-ngingat nama murid tersebut. Sedangkan kamu, sudah ingin cepat-cepat pulang karena tidak sabar melahap Lumba-lumba bakar yang dimasak mamahmu, yang bernama Cukiman binti Maimunah.
Cukiman binti Maimunah: “Ooh iah! Kalau tidak salah, nama temanmu itu adalah Cukiman binti Maimunah. Masa kamu tidak kenal sih nak? Itu kan teman sekelasmu?”
Cukiman binti Maimunah: “Ibu guru bagaimana sih, kan temanku yang bernama Cukiman binti Maimunah bukan cuma satu buu. Coba ciri-cirinya seperti apa?”
Cukiman binti Maimunah: “Itu lho nak, yang kulitnya agak hitam. Dan tingginya sekitaran 200 km. Masa kamu tidak tau sich!? Itu kan teman sekelas kamu?”
Cukiman binti Maimunah: “Ibu guru ini bagaimana? Aku kan masih anak TK bu, aku belum bisa mengukur tinggi badan orang”.
...... dan seterusnya. Pembicaraan tersebut berjalan alot dan penuh dialektika. Sang ibu guru, berusaha memberikan ciri-ciri fisik selain nama anak itu kepadamu. Dan kamu terus-terusan tidak dapat mengenali anak yang dimaksud oleh ibu guru sedari tadi. Sedangkan, lumba-lumba goreng yang dimasak mamah di rumah, akan segera dingin dan tidak enak lagi disantap. Malampun semakin larut, dan hingga seribu abad kemudian, kamu belum bisa mengidentifikasi siapakah anak yang dimaksud ibu guru? Jangan-jangan, itu hantu.. hantu..hantu..hantuhan..tuhan..tuhan..
Pesan moral: Pertama, kalau kamu punya ibu guru seperti itu: tempilinglah! Kedua, kalau kamu sudah berkeluarga, dan punya anak seperti itu. Pastikanlah, bahwa masakanmu dihangatkan dulu sampai anakmu pulang rumah. Dan, ketiga, bahwa tidak mungkin kita bisa menjalankan kehidupan sosial dalam kondisi dimana semua orang punya nama yang sama, atau – yang sama halnya dengan tidak mungkin – kita bisa hidup di dunia tanpa nama. Hal ini meneguhkan apa yang dikatakan Heidegger: “bahasa adalah rumah dari manusia[1]”. Bahwa tidak mungkin manusia meninggali dunia tanpa bahasa, simbol dan tanda. Kehidupan seperti itu, tidak lain dari dunia tanpa makna, dunia yang mustahil ada.
Sehingga akupun tertegun dalam renungan panjang itu. Ooh, berarti tidak mungkin manusia hidup tanpa “nama”. Setiap orang, setiap benda, setiap tempat, setiap waktu, setiap hal, senantiasa membutuhkan nama. Supaya kita bisa memahami segala hal tersebut sebagai berbeda, dan memudahkan kita untuk mengidentifikasi perbedaannya. Ilustrasi yang diberikan tadi, telah menjadi cukup bukti konkrit bahwa “nama” atau “sebutan” atau “judul” atau “tema” dan atau atau lainnya, telah memantapkan keyakinan bahwa semua itu harus ada, agar supaya kita bisa hidup dalam saling mengenali satu sama lain, dan saling menghargai serta menghormati satu sama lain. Karena perbedaan adalah keniscayaan. Memahami dan melakoni perbedaan, adalah suatu kebijaksanaan hidup yang luhur. Kita harus mengenali baik, benar, indah, adil, sejahtera dan semacamnya agar kita bisa memahami bagaimana itu buruk, salah, jelek, dzalim dan mampu menghindari hal-hal negatif tersebut.
Perenunganku atas masalah nama ini, kemudian terus berlanjut melahirkan problem-problem baru. Lantas, melihat kondisi yang sedang marak dan ramai dibicarakan di dunia virtual hari ini (baca: dunia maya), bagaimana kemudian kita harus bersikap, ketika dihadapkan dengan kenyataan, Tuhan, telah lahir ke bumi tepatnya di Banyuwangi!!!
Ada risau yang tiba-tiba menyelinap di dalam batinku. Aku tercengang, sungguh-sungguh tercengang, bukan ketika melihat fenomena ini. Ada gelisah di sekujur tubuhku, aku menyadari itu tatkala kecewa dan takut menggerayangi sekujur pikiran. Sekali lagi, bukan karena ada seseorang yang dinamai Tuhan, bukan itu, akan tetapi karena respon publik yang negatif terhadap hal demikian.

TUHAN FANTASI VS TUHAN SEJATI
Mungkin orang itu – yang bernama Tuhan – sedang cengar-cengir tatkala berita yang diunggah oleh seorang netizen, mendadak menimbulkah heboh di ruang publik. “Lumayanlah pikir dia, tidak bisa ngartis lewat sinetron atau FTV, yang penting ngartis lewat nama. Alhamdulillah yah.. (pake logat Syahrini).” Barangkali seperti itu tanggapannya dalam imajinasiku.
Pria 42 tahun ini, tidak bermimpi jadi artis ataupun ngetop seperti pejabat-pejabat korup yang kerap tampil di media massa. Cukuplah jadi tukang kayu, sebagaimana yang dilakoni hingga hari ini. Banyuwangi, tepatnya Dusun Krajan, Desa Kluncing, Kecamatan Licin, Jawa Timur, adalah tempat dia tinggal. Tempat itu mendadak jadi ramai pengunjung dari pelosok Indonesia, merekalah orang-orang yang takjub serta penasaran seperti apa rupa Tuhan itu.
Beberapa orang mungkin akan tidak sepakat, berseberangan dengan respon saya. Lihatlah ribuan tanggapan mengenai fakta ini. Beberapa dari teman-temanku, mengatakan takut untuk mengomentari itu, sebab membicarakan Tuhan, adalah hal tabu. Diam-diam tanpa sepengetahuan mereka, aku berujar dalam hati “lho bukannya Tuhan senang dibicarakan? Makanya dia menyuruh kita berdzikir”. Beberapa lagi berkomentar berupa penolakan. Katanya: “terus kalau si orang Banyuwangi ini bernama Tuhan? Lantas gimana donksz kalau aku berdoa yaa Tuhan.. Nanti disanggah seperti ini, ets, Tuhan yang mana nich? Yang di Banyuwangi atau?”
Fenomena ini rupanya tidak hanya menarik simpati warga negara biasa, MUI pun tidak mau ketinggalan gosip rupanya. Ketua MUI Jatim, KH Abdusshomat Buchori mengecam pria Banyuwangi itu untuk mengganti namanya. Mereka menilai bahwa nama Tuhan terlalu ekstrem dan kurang baik dalam etika agama. Seakan tidak mau ketinggalan tenar, PBNU yang baru saja dinahkodai Said Aqil Siroj, ikut nimbrung mengimbau Tuhan mengganti namanya. Diam-diam tanpa sepengetahuan Said Aqil, aku menjawab “Eits, Tuhan yang mana ni pak? Yang di Arsy atau?”
Yah tapi begitulah ruang publik. Ruang publik adalah ruang dimana opini-opini individu dan masyarakat bergulir begitu cepat. Tak jarang saling beradu, menimbulkan kelompok-kelompok pro maupun kontra. Tapi dalam negara yang demokratis, sudah semestinya kita sepakat bahwa opini dan argumentasi yang paling rasionallah yang patut kita terima. Menurutku secara pribadi, meyakini atau mengimani sesuatu tanpa kita nalar, adalah semacam dosa. Keyakinan dan keimanan yang melekat pada seseorang, tanpa melalui proses pemikiran terlebih dahulu, hanya akan menjadikan diri pribadi yang kolot, kuno, tradisional, barbar, jumud, egois, bodoh, goblok, mudah dibodohi, gampang ditipu, kasar, dan beribu-ribu ekses negatif serupa.
Menyoal kritik dan ketidaksepakatan publik, sepertinya sudah saatnya saya harus angkat bicara, sejak sedari tadi sepengetahuan penulis, sering saya sisipkan bahwa saya menyepakati nama Tuhan oleh warga Banyuwangi itu. Dengan demikian, supaya lebih sistematis dan mudah dibaca, akan saya urai pendapat ini dalam lima pokok:
Pertama, dari segi sejarah. Mohon maaf sebelumnya kepada ketua MUI Jatim dan PBNU, meski saya masih duduk di bangku perkuliahan dan terpaut umur sangat jauh dari kalian, maafkanlah saya yang berani menasehati anda-anda: sudah baca buku sejarah belum? Kalau belum, nanti saya kirim lewat TIKI dech. Perlu kita ketahui teman-teman, nama “tuhan” ini sebetulnya sudah ada jauh-jauh hari sebelum masyarakat Indonesia mengasosiasikan Allah dengan “tuhan”. Penyebutan tuhan, tertulis dalam Kitab Nawanatya, di era Kerajaan Majapahit. Kitab tersebut mengatur soal manajemen birokrasi dan struktur organisasi di kerajaan. Dalam kitab tersebut, bisa dikenal nama tuhan disematkan pada boss perjudian dan pada pengelola tempat pelacuran. Tuhan bila didefinisikan memiliki arti “pengelola atau pelaku”.
Ungkap para sejarahwan dan ahli antropologi, bila ada etnis Using Banyuwangi menggunakan Tuhan sebagai nama, mereka menganggap itu sebagai hal wajar. Dalam sejarahnya, Banyuwangi yang sebelumnya bernama Blambangan pernah menjadi pengikut Majapahit. Masyarakat etnis Usingpun dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Jawa kuno Majapahit. Mereka malah sering menyebuti Tuhan dengan sebutan “Pangeran” atau “Gusti Allah”.
Kedua, dari segi filosofis. Bukankah nama tidak lebih dari simbol duhai teman-temanku sebangsa dan setanah air? “Nama”, secara fungsi, harus ada untuk mewakili “identitas” seseorang agar dia mudah dikenali dalam sistem sosial kita. Tapi apakah “nama” dapat mewakili substansi seseorang itu secara total? Tentu saja tidak. Satu hal yang perlu diketahui, nama Allah dalam penyebutan agama Nasrani dan Islam, itu pada awalnya adalah nama berhala di jazirah Arab, disematkan pada dewa air. Ketika nabi Muhammad datang, barulah penggunaan kata Allah itu diganti penyebutannya dengan ‘Allah. Untuk membedakan penyebutan Tuhan dalam agama Islam dengan penyembah berhala. Selain itu, penyebutan nama agama Kristen, itu bahkan tidak terdapat dalam Bible. Bukalah Perjanjian Lama dan Baru, dapatkah kau temukan pernyataan bahwa agama yang dibawa Yesus Kristus adalah agama Kristen? Adapun lebih cocok disebut Nasrani, sebagaimana sentral Bani Israel saat itu adalah kota Nazareth. Sesuai dengan doa Yesus: “Aku diturunkan pada domba-domba sesat di Israel”.
Lantas sebagai umat Tuhan (Tuhan Allah Yang Maha Esa maksudnya), kenapa harus berpusing-pusing perihal Tuhan di Banyuwangi? Sekali lagi saya tegaskan, Tuhan sebagai nama atau simbol, berbeda dengan Tuhan sebagai substansi! Islam dan Kristen, secara sebutan, itu berbeda dengan Islam dan Kristen secara Nilai (value)! Lantas, apabila kita masih akan mempersoalkan sosok Tuhan di Banyuwangi, maka harus dipertanyakan kembali kredibilitas kita sebagai umat beragama: Apakah selama ini anda menyembah Tuhan sebagai simbol, ataukan Tuhan sebagai Substansi (Dzat)? Apakah selama ini anda beragama secara simbol, ataukah anda beragama denga melakoni Nilai-Nilainya?
Jujurlah pada diri sendiri, dan jawab dua hal penting tadi. Apabil ironisnya anda selama ini menyembah dan beragama secara simbol, maka apa bedanya anda dengan menyembah berhala? Mari kita baca: Laa Illah ha Ilallah, bahwa “Tiada tuhan (dengan “t” kecil) selain Tuhan (Tuhan dalam makna substansi-Nya atau dzat-Nya)”. Bahwa selain Tuhan (sebagai Dzat), pastilah bukan Tuhan (sebagai Dzat). Dan semua yang disembah selain Tuhan (secara Dzati), pastilah Berhala (tuhan simbol, atau tuhan fantasi). Dalam tradisi agama Kristen, lihatlah pemikiran St. Agustinus, seorang pendeta Kristen abad pertengahan berdoa: “Kau yang mantap, tapi tidak terjangkau!” Maksudnya adalah, Tuhan itu tidak mampu dijangkau oleh nama sekalipun. Menyembah Tuhan, artinya menyembah dia yang tidak terjangkau dengan bahasa, nama, ciri-ciri fisik, yang menyerupai-Dia.
Ketiga, Secara humanis. Bahwa tiap manusia yang lahir, melekat padanya hak-hak dasar yang dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa. Kita lebih familiar dengan HAM (Hak Asasi Manusia). Kebebasan berpikir dan berpendapat, merupakan kebebasan yang vital yang jangan dikurangi atau dipaksa untuk diganti. Upaya mendukung Tuhan untuk namanya tidak diganti, merupakan penghormatan dan penghargaan bagi HAM Tuhan. Dan barangsiapa yang dengan kekerasan baik secara fisik maupun psikologis memaksa Tuhan mengganti namanya, maka itulah diskriminasi terhadap manusia. Dan luka bagi satu orang manusia, itu sama dengan luka seluruh umat manusia. Bagi warga negara Indonesia yang baik, silahkan cari atau download UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pelajari dan resapi itu.
Keempat, secara linguistik. Harus kita sadari dan pahami bersama, motif pemberian nama terhadap sesuatu, itu sangat bertalian erat dengan lingkungan sosial dan budaya dimana seseorang itu tinggal. Dalam ilmu ini, kita dapat memahami bahwa penyematan Tuhan sebagai nama warga negara di Banyuwangi, sangat dipengaruhi latar belakang budaya dan sejarah Banyuwangi. Sehingga memendam satu kemungkinan, penamaan Tuhan di daerah itu adalah produk budaya. Sehingga menolak dan memaksa pergantian nama pada si Tuhan Banyuwangi, tidak pelak lagi, mendiskriminasi produk budaya mereka. Dan penggerusan terhadap budaya serta kekayaan sejarah Banyuwangi, tidak lebih dari penggerusan kekayaan Indonesia terhadap multikulturalisme dan pluralisme budaya. Barangkali kita adalah makhluk budaya. Sikap yang lebih berbudaya, tentunya adalah menghormati perbedaan budaya itu. Sikap ini lebih baik, daripada menjadi separatis atau malah makar dalam konteks kebudayaan.
Kelima, fenomena ini memberikan keuntungan baik secara sosiologis dan psikologis bagi bangsa Indonesia. Dalam kacamata pergaulan internasional, sudah bukan rahasia umum Indonesia digolongkan sebagai peradaban yang terkebelakang, pembangunannya lambat, tingkat pendidikan ambruk, celengan kapitalis asing, dan semacamnya. Faktor-faktor memang sangat miris, mengingat kekayaan alam yang berlimpah ruah dan banyaknya jumlah SDM. Salah satu indikator penting yang barangkali harus disadari jauh-jauh hari – tepatnya hari ini – sebelum kehancuran dan runtuhnya peradaban Indonesia kelak, bahwa sistem demokrasi Indonesia belum tertata dengan baik.
Lantas apa hubungannya sistem demokrasi dengan persoalan Tuhan ini? Akan saya paparkan hubungannya, sabar saja dulu. Sistem demokrasi, sejatinya bukan hanya permasalahan hierarki struktur, corak pemerintahan, dan institusi-institusi politik. Hal-hal tersebut, bahkan tidak akan pernah ada tanpa satu poin yang paling dasar. Poin tersebut, adalah, bahwa sistem demokrasi pada hakikatnya dibangun di atas satu budaya demokratis. Budaya demokratis yang dimaksud, merupakan budaya untuk bersikap hormat dan takzim terhadap perbedaan-perbedaan baik itu perbedaan pendapat, sikap, dan karya.
Budaya demokratis demikian, juga dibangun oleh satu hal penting yang sepertinya merupakan permasalahan mendasar di tataran bangsa kita baik secara nasional maupun regional. Satu-satunya cara kita untuk meraih kebudayaan itu, adalah kebiasaan untuk berpikir serta bersikap rasional terhadap apapun yang terjadi. Disamping itu, dituntut juga penerimaan atas hal-hal yang masuk akal. Adapun budaya-budaya magis dan religius sebagai peninggalan nenek moyang, tidak perlu dimusnahkan. Menjaga budaya-budaya nenek moyang yang notabene kebanyakan berasal dari Animisme (penyembah roh-roh), perlu dijaga bukan untuk dipraktekkan, akan tetapi untuk kekayaan khazanah sejarah: bahwa kita adalah sejarah yang beradab, yang membuktikan kita berhasil melalui fase-fase paling primitif dalam perjalanan hidup bersama.
Salah satu cara untuk mencapai kebiasaan berpikir dan bersikap rasional itu, adalah mulai menerima serta menyikapi fenomena Tuhan di Banyuwangi dengan rasional. Argumen-argumen yang sudah saya paparkan, saya ajukan kepada publik untuk menilai sudah cukupkah itu untuk diyakini? Saya harap setelah teks ini dibaca, tidak perlu lagi ada orang yang menyikapi persoalan-persoalan serupa dengan penolakan atau penerimaan tanpa didahului dengan pemikiran yang logis dan ilmiah. Supaya kita lebih sering membiasakan berpikir logis, dan kita bisa berbudaya demokratis, akhirnya, kehancuran bangsa Indonesia bisah dicegah. Kedepannya, kalau harapan saya terpenuhi, semoga Indonesia, BMR terutama, bisa dipandang sebagai bangsa terhormat dan disegani dikemudian waktu. Amin YRA.
Terimakasih telah membaca telaah kurang serius dariku. Semoga kita selalu jadi manusia yang rajin merenung, tapi merenungnya harus logis yah. Bagi yang kurang berkenan, atau merasa ada ganjil dan tidak masuk akal, yang menolak dan ikut-ikutan mengecam saya, tak peduli itu dari Ketua MUI Jatim ataupun ketua PBNU sekalipun, ditunggu saggahannya. Kalau nanti saya ada kekeliruan dalam teks ini –sayapun adalah manusia yang sadar tidak luput dari kekhilafan dan kealpaan – pasti saya tidak akan malu untuk mengklarifikasi dan meminta maaf sedalam-dalamnya.
Akhir kata, mari kita kutip apa yang diucap William Shakespeare dalam Rome & Juliet: “Apalah arti sebuah nama?Meskipun kita menyebut mawar dengan nama lain, wanginya akan tetap harum”. Bertautan dengan konteks ini, aku merevisi: “Apalah arti sebuah nama? Meskipun seorang tukang kayu di Banyuwangi dinamakan Tuhan, tetap saja bukan dia yang kita sembah”. Seperti ituu lho! (dengan logat Syahrini...)
*Catatan : Untuk diskusi dan interaksi lebih intim bisa temukan saya pada:
a. Instagram        : Tyo Mokoagow
b. FB                    : Tyo Mokoagow
c. Twitter             :Tyologi
d. Kompasiana   : Tyo Mokoagow
e. No tlp               : 0812-22-816-009
f. Email                : Hyde7125@gmail.com
g. BBM                : 57765557




[1] Untuk yang saya garis miring, diganti oleh penulis demi kepentingan tulisan ini lebih mudah dipahami. Adapun redaksi yang lengkap dan utuh dari kutipan tersebut: “Bahasa adalah rumah dari Ada” (Leanguage is the House of Being), dari buku Heidegger Being and Time.