Oleh : Triwardana Mokoagow (tyologi)
Sudah
merupakan keharusan untuk kita sebagai manusia menjalankan kodrat untuk
berpikir atau bahasa kerennya bermuhassabah.
Aku pikir, inilah yang secara tajam membedakan kita dengan anjing, babi,
rusa, tikus, kecoa, kura-kura ninja, sapi, unta, burung unta dan
semacamnya. Bisakah hewan-hewan itu berpikir dan merenung? Kalau bisa, mungkin
sudah dari beberapa ribu tahun yang lalu, rumah burung sudah berevolusi dari
tumpukan ranting-ranting hingga menjadi bangunan bertembok bata seperti rumah
manusia.
Berangkat
dari kesadaran itulah, aku sadar aku harus sering merenung, biar lebih menjadi manusia; lebih manusia dari sebelumnya. Entah kenapa tiba-tiba teringat status BBM
yang bukan satu-dua kali dipampang salah seorang wartawan: (kurang lebih,
klalau tidak salah seperti ini, atau mungkin kalau salah tolong dikoreksi) “... jangan jauh-jauh kamu dari binatang,
agar kamu tidak lupa cara jadi manusia...”. Walaupun belum sempat
berkenalan secara pribadi, namun yang berjudul Sigidad itu, beserta dua orang
lain yakni: Uwin Mokodongan dan Uphink Dadu aku kenal cukup progresif dan
konsisten dalam dunia Teks dan Kata-kata. Barangkali bisa menjadi sahabat
hangat nantinya bagi yang punya hobi sama: bercinta dengan aksara. Dari mereka
juga, Alhamdulillah aku punya rumah
baru untuk dihuni tulisan-tulisanku, yang agar tidak berserakan dan dimakan
oleh monster bernama waktu, semoga bisa abadi terdokumentasikan dalam dunia
internet: Arusutara.com.
Menyadari
bahwa menjadi manusia itu penting, akupun mulai meluangkan beberapa menit, atau
– bila kebetulan dalam sehari sedang tidak beraktivitas penting-penting – bisa
saja kuhabiskan seharian total untuk merenungkan apapun, apa saja, hingga
hal-hal yang sudah dianggap normal dalam peradaban manusia sekalipun! Tidak
jarang renungan itu malah menghasilkan pertanyaan baru, sehingga: jawaban atas
renunganku, adalah pertanyaan. Hehehe.. Sungguh aneh ya? Barangkali karena
inilah banyak pemikir bersabda, “semakin kamu tau, semakin kamu sadar kalau
kamu GOBLOK.” Seiring perjalanan
waktu, aku malah selalu merasa minder karena tak jarang disebut pintar dari
teman-teman sejawat. Minder karena itu semakin memantapkan aku sebagai orang goblok bagi diriku sendiri.
Oke,
barangkali cukup basa-basinya. Perenungan itu membawa aku ke sebuah pertanyaan:
kenapa sih harus ada nama? Kenapa
sih, tiap kali bayi terlahir, sang orangtua harus capek-capek memikirkan apa
sebutan anaknya kelak? Hujan pertanyaan datang bertubi-tubi, seakan-akan aku
adalah maling yang sedang dikerumuni warga yang asyik berebutan memukuli. Bagaimana ya, kalau dunia tidak membutuhkan
nama? Pasti kita akan kebingungan dan pusing tujuh keliling dalam
sistem sosial ini.
Imajinasikanlah
semua orang punya nama sama. Semua orang, namanya adalah: Cukiman binti Maimunah. Lalu imajinasikanlah kamu berada dalam
kondisi, dimana kamu adalah seorang murid TK. Seusai pelajaran
belajar-mengajar, kamu dicegat, kamu disuruh oleh Ibu Guru yang bernama Cukiman
binti Maimunah untuk bertemu ngobrol hal yang penting. “Cukiman, bisakah kamu
ke ruangan ibu sebelum pulang kamu pulang rumah nak?” Ajak ibu guru. Disanalah
kamu akan terlibat sebuah percakapan. Sekali lagi, imajinasikanlah kamu berada
dalam ruangan guru TK:
Cukiman binti Maimunah:
“Ada hal penting apa ibu guru?”
Cukiman binti Maimunah:
“Oh begini nak, ibu kan sebagai guru, harus mendidik anak-anak ibu dengan baik
dan benar. Jadi ibu, berencana untuk ke rumah temanmu dan mengajari dia
pelajaran Geometri, Aritmatika serta Sejarah Filsafat Hellenisme dan Skolastik.
Kasian temanmu, dia sering dapat nol di pelajaran itu nak.
Cukiman binti Maimunah:
Dengan wajah lugu, kamu menjawab “Ooh seperti itu bu guru (pake logat
Syahrini)..”
Cukiman binti Maimunah:
“Makanya ibu minta bantuan kamu nak. Kamu kan sekelas sama anak itu. Kalau
tidak salah nama anak itu, hm..”
Untuk
beberapa lama, sang ibu guru pun sibuk melayangkan tatapan ke langit-langit
ruangan. Sembari jidatnya agak mengkerut, sambil memicingkan sedikit mata
kirinya. Rupanya ibu guru Cukiman sedang mengingat-ngingat nama murid tersebut.
Sedangkan kamu, sudah ingin cepat-cepat pulang karena tidak sabar melahap
Lumba-lumba bakar yang dimasak mamahmu, yang bernama Cukiman binti Maimunah.
Cukiman binti Maimunah:
“Ooh iah! Kalau tidak salah, nama temanmu itu adalah Cukiman binti Maimunah. Masa kamu tidak kenal sih nak? Itu kan
teman sekelasmu?”
Cukiman binti Maimunah:
“Ibu guru bagaimana sih, kan temanku yang bernama Cukiman binti Maimunah bukan cuma satu buu. Coba ciri-cirinya
seperti apa?”
Cukiman binti Maimunah:
“Itu lho nak, yang kulitnya agak hitam. Dan tingginya sekitaran 200 km. Masa
kamu tidak tau sich!? Itu kan teman sekelas kamu?”
Cukiman binti Maimunah:
“Ibu guru ini bagaimana? Aku kan masih anak TK bu, aku belum bisa mengukur
tinggi badan orang”.
......
dan seterusnya. Pembicaraan tersebut berjalan alot dan penuh dialektika. Sang
ibu guru, berusaha memberikan ciri-ciri fisik selain nama anak itu kepadamu.
Dan kamu terus-terusan tidak dapat mengenali anak yang dimaksud oleh ibu guru
sedari tadi. Sedangkan, lumba-lumba goreng yang dimasak mamah di rumah, akan
segera dingin dan tidak enak lagi disantap. Malampun semakin larut, dan hingga
seribu abad kemudian, kamu belum bisa mengidentifikasi siapakah anak yang
dimaksud ibu guru? Jangan-jangan, itu hantu.. hantu..hantu..hantuhan..tuhan..tuhan..
Pesan
moral: Pertama, kalau kamu punya ibu
guru seperti itu: tempilinglah! Kedua, kalau
kamu sudah berkeluarga, dan punya anak seperti itu. Pastikanlah, bahwa
masakanmu dihangatkan dulu sampai anakmu pulang rumah. Dan, ketiga, bahwa tidak mungkin kita bisa
menjalankan kehidupan sosial dalam kondisi dimana semua orang punya nama yang
sama, atau – yang sama halnya dengan tidak mungkin – kita bisa hidup di dunia
tanpa nama. Hal ini meneguhkan apa yang dikatakan Heidegger: “bahasa adalah rumah
dari manusia[1]”.
Bahwa tidak mungkin manusia meninggali dunia tanpa bahasa, simbol dan tanda.
Kehidupan seperti itu, tidak lain dari dunia tanpa makna, dunia yang mustahil
ada.
Sehingga
akupun tertegun dalam renungan panjang itu. Ooh, berarti tidak mungkin manusia
hidup tanpa “nama”. Setiap orang, setiap benda, setiap tempat, setiap waktu,
setiap hal, senantiasa membutuhkan nama. Supaya kita bisa memahami segala hal
tersebut sebagai berbeda, dan memudahkan kita untuk mengidentifikasi
perbedaannya. Ilustrasi yang diberikan tadi, telah menjadi cukup bukti konkrit
bahwa “nama” atau “sebutan” atau “judul” atau “tema” dan atau atau lainnya,
telah memantapkan keyakinan bahwa semua itu harus ada, agar supaya kita bisa
hidup dalam saling mengenali satu sama lain, dan saling menghargai serta
menghormati satu sama lain. Karena perbedaan adalah keniscayaan. Memahami dan
melakoni perbedaan, adalah suatu kebijaksanaan hidup yang luhur. Kita harus
mengenali baik, benar, indah, adil, sejahtera dan semacamnya agar kita bisa
memahami bagaimana itu buruk, salah, jelek, dzalim
dan mampu menghindari hal-hal negatif tersebut.
Perenunganku
atas masalah nama ini, kemudian terus berlanjut melahirkan problem-problem
baru. Lantas, melihat kondisi yang sedang marak dan ramai dibicarakan di dunia
virtual hari ini (baca: dunia maya), bagaimana kemudian kita harus bersikap,
ketika dihadapkan dengan kenyataan, Tuhan, telah lahir ke bumi tepatnya di
Banyuwangi!!!
Ada
risau yang tiba-tiba menyelinap di dalam batinku. Aku tercengang, sungguh-sungguh
tercengang, bukan ketika melihat fenomena ini. Ada gelisah di sekujur tubuhku,
aku menyadari itu tatkala kecewa dan takut menggerayangi sekujur pikiran.
Sekali lagi, bukan karena ada seseorang yang dinamai Tuhan, bukan itu, akan
tetapi karena respon publik yang negatif terhadap hal demikian.
TUHAN FANTASI VS TUHAN
SEJATI
Mungkin
orang itu – yang bernama Tuhan – sedang cengar-cengir tatkala berita yang
diunggah oleh seorang netizen,
mendadak menimbulkah heboh di ruang publik. “Lumayanlah pikir dia, tidak bisa
ngartis lewat sinetron atau FTV, yang penting ngartis lewat nama. Alhamdulillah yah.. (pake logat
Syahrini).” Barangkali seperti itu tanggapannya dalam imajinasiku.
Pria
42 tahun ini, tidak bermimpi jadi artis ataupun ngetop seperti pejabat-pejabat
korup yang kerap tampil di media massa. Cukuplah jadi tukang kayu, sebagaimana
yang dilakoni hingga hari ini. Banyuwangi, tepatnya Dusun Krajan, Desa
Kluncing, Kecamatan Licin, Jawa Timur, adalah tempat dia tinggal. Tempat itu
mendadak jadi ramai pengunjung dari pelosok Indonesia, merekalah orang-orang
yang takjub serta penasaran seperti apa rupa Tuhan itu.
Beberapa
orang mungkin akan tidak sepakat, berseberangan dengan respon saya. Lihatlah
ribuan tanggapan mengenai fakta ini. Beberapa dari teman-temanku, mengatakan
takut untuk mengomentari itu, sebab membicarakan Tuhan, adalah hal tabu.
Diam-diam tanpa sepengetahuan mereka, aku berujar dalam hati “lho bukannya
Tuhan senang dibicarakan? Makanya dia menyuruh kita berdzikir”. Beberapa lagi berkomentar berupa penolakan. Katanya:
“terus kalau si orang Banyuwangi ini bernama Tuhan? Lantas gimana donksz kalau
aku berdoa yaa Tuhan.. Nanti
disanggah seperti ini, ets, Tuhan yang mana nich? Yang di Banyuwangi atau?”
Fenomena
ini rupanya tidak hanya menarik simpati warga negara biasa, MUI pun tidak mau
ketinggalan gosip rupanya. Ketua MUI Jatim, KH Abdusshomat Buchori mengecam
pria Banyuwangi itu untuk mengganti namanya. Mereka menilai bahwa nama Tuhan
terlalu ekstrem dan kurang baik dalam etika agama. Seakan tidak mau ketinggalan
tenar, PBNU yang baru saja dinahkodai Said Aqil Siroj, ikut nimbrung mengimbau
Tuhan mengganti namanya. Diam-diam tanpa sepengetahuan Said Aqil, aku menjawab
“Eits, Tuhan yang mana ni pak? Yang di Arsy atau?”
Yah
tapi begitulah ruang publik. Ruang publik adalah ruang dimana opini-opini
individu dan masyarakat bergulir begitu cepat. Tak jarang saling beradu,
menimbulkan kelompok-kelompok pro maupun kontra. Tapi dalam negara yang
demokratis, sudah semestinya kita sepakat bahwa opini dan argumentasi yang
paling rasionallah yang patut kita terima. Menurutku secara pribadi, meyakini
atau mengimani sesuatu tanpa kita nalar, adalah semacam dosa. Keyakinan dan
keimanan yang melekat pada seseorang, tanpa melalui proses pemikiran terlebih
dahulu, hanya akan menjadikan diri pribadi yang kolot, kuno, tradisional,
barbar, jumud, egois, bodoh, goblok,
mudah dibodohi, gampang ditipu, kasar, dan beribu-ribu ekses negatif serupa.
Menyoal
kritik dan ketidaksepakatan publik, sepertinya sudah saatnya saya harus angkat
bicara, sejak sedari tadi sepengetahuan penulis, sering saya sisipkan bahwa
saya menyepakati nama Tuhan oleh warga Banyuwangi itu. Dengan demikian, supaya
lebih sistematis dan mudah dibaca, akan saya urai pendapat ini dalam lima
pokok:
Pertama, dari
segi sejarah. Mohon maaf sebelumnya kepada ketua MUI Jatim dan PBNU, meski saya
masih duduk di bangku perkuliahan dan terpaut umur sangat jauh dari kalian,
maafkanlah saya yang berani menasehati anda-anda: sudah baca buku sejarah
belum? Kalau belum, nanti saya kirim lewat TIKI dech. Perlu kita ketahui
teman-teman, nama “tuhan” ini sebetulnya sudah ada jauh-jauh hari sebelum
masyarakat Indonesia mengasosiasikan Allah dengan “tuhan”. Penyebutan tuhan,
tertulis dalam Kitab Nawanatya, di era Kerajaan Majapahit. Kitab tersebut
mengatur soal manajemen birokrasi dan struktur organisasi di kerajaan. Dalam
kitab tersebut, bisa dikenal nama tuhan disematkan pada boss perjudian dan pada
pengelola tempat pelacuran. Tuhan bila didefinisikan memiliki arti “pengelola
atau pelaku”.
Ungkap
para sejarahwan dan ahli antropologi, bila ada etnis Using Banyuwangi
menggunakan Tuhan sebagai nama, mereka menganggap itu sebagai hal wajar. Dalam
sejarahnya, Banyuwangi yang sebelumnya bernama Blambangan pernah menjadi
pengikut Majapahit. Masyarakat etnis Usingpun dianggap sebagai sisa-sisa
masyarakat Jawa kuno Majapahit. Mereka malah sering menyebuti Tuhan dengan
sebutan “Pangeran” atau “Gusti Allah”.
Kedua, dari
segi filosofis. Bukankah nama tidak lebih dari simbol duhai teman-temanku
sebangsa dan setanah air? “Nama”, secara fungsi, harus ada untuk mewakili
“identitas” seseorang agar dia mudah dikenali dalam sistem sosial kita. Tapi
apakah “nama” dapat mewakili substansi seseorang itu secara total? Tentu saja
tidak. Satu hal yang perlu diketahui, nama Allah dalam penyebutan agama Nasrani
dan Islam, itu pada awalnya adalah nama berhala di jazirah Arab, disematkan
pada dewa air. Ketika nabi Muhammad datang, barulah penggunaan kata Allah itu
diganti penyebutannya dengan ‘Allah. Untuk membedakan penyebutan Tuhan dalam
agama Islam dengan penyembah berhala. Selain itu, penyebutan nama agama
Kristen, itu bahkan tidak terdapat dalam Bible. Bukalah Perjanjian Lama dan
Baru, dapatkah kau temukan pernyataan bahwa agama yang dibawa Yesus Kristus
adalah agama Kristen? Adapun lebih cocok disebut Nasrani, sebagaimana sentral
Bani Israel saat itu adalah kota Nazareth. Sesuai dengan doa Yesus: “Aku
diturunkan pada domba-domba sesat di Israel”.
Lantas
sebagai umat Tuhan (Tuhan Allah Yang Maha Esa maksudnya), kenapa harus
berpusing-pusing perihal Tuhan di Banyuwangi? Sekali lagi saya tegaskan, Tuhan sebagai nama atau simbol, berbeda
dengan Tuhan sebagai substansi! Islam
dan Kristen, secara sebutan, itu berbeda dengan Islam dan Kristen secara Nilai
(value)! Lantas, apabila kita
masih akan mempersoalkan sosok Tuhan di Banyuwangi, maka harus dipertanyakan
kembali kredibilitas kita sebagai umat beragama: Apakah selama ini anda menyembah Tuhan sebagai simbol, ataukan Tuhan
sebagai Substansi (Dzat)? Apakah selama ini anda beragama secara simbol,
ataukah anda beragama denga melakoni Nilai-Nilainya?
Jujurlah
pada diri sendiri, dan jawab dua hal penting tadi. Apabil ironisnya anda selama
ini menyembah dan beragama secara simbol, maka apa bedanya anda dengan
menyembah berhala? Mari kita baca: Laa Illah ha Ilallah, bahwa “Tiada tuhan (dengan “t” kecil) selain Tuhan
(Tuhan dalam makna substansi-Nya atau dzat-Nya)”. Bahwa selain Tuhan (sebagai Dzat), pastilah bukan
Tuhan (sebagai Dzat). Dan semua yang
disembah selain Tuhan (secara Dzati), pastilah Berhala (tuhan simbol, atau
tuhan fantasi). Dalam tradisi agama Kristen, lihatlah pemikiran St.
Agustinus, seorang pendeta Kristen abad pertengahan berdoa: “Kau yang mantap,
tapi tidak terjangkau!” Maksudnya adalah, Tuhan itu tidak mampu dijangkau oleh
nama sekalipun. Menyembah Tuhan, artinya menyembah dia yang tidak terjangkau
dengan bahasa, nama, ciri-ciri fisik, yang menyerupai-Dia.
Ketiga, Secara
humanis. Bahwa tiap manusia yang lahir, melekat padanya hak-hak dasar yang
dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa. Kita lebih familiar dengan HAM (Hak Asasi
Manusia). Kebebasan berpikir dan berpendapat, merupakan kebebasan yang vital
yang jangan dikurangi atau dipaksa untuk diganti. Upaya mendukung Tuhan untuk
namanya tidak diganti, merupakan penghormatan dan penghargaan bagi HAM Tuhan.
Dan barangsiapa yang dengan kekerasan baik secara fisik maupun psikologis
memaksa Tuhan mengganti namanya, maka itulah diskriminasi terhadap manusia. Dan
luka bagi satu orang manusia, itu sama dengan luka seluruh umat manusia. Bagi
warga negara Indonesia yang baik, silahkan cari atau download UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM, pelajari dan resapi itu.
Keempat, secara
linguistik. Harus kita sadari dan pahami bersama, motif pemberian nama terhadap
sesuatu, itu sangat bertalian erat dengan lingkungan sosial dan budaya dimana
seseorang itu tinggal. Dalam ilmu ini, kita dapat memahami bahwa penyematan
Tuhan sebagai nama warga negara di Banyuwangi, sangat dipengaruhi latar
belakang budaya dan sejarah Banyuwangi. Sehingga memendam satu kemungkinan,
penamaan Tuhan di daerah itu adalah produk budaya. Sehingga menolak dan memaksa
pergantian nama pada si Tuhan Banyuwangi, tidak pelak lagi, mendiskriminasi produk
budaya mereka. Dan penggerusan terhadap budaya serta kekayaan sejarah
Banyuwangi, tidak lebih dari penggerusan kekayaan Indonesia terhadap
multikulturalisme dan pluralisme budaya. Barangkali kita adalah makhluk budaya.
Sikap yang lebih berbudaya, tentunya adalah menghormati perbedaan budaya itu.
Sikap ini lebih baik, daripada menjadi separatis atau malah makar dalam konteks
kebudayaan.
Kelima, fenomena
ini memberikan keuntungan baik secara sosiologis dan psikologis bagi bangsa
Indonesia. Dalam kacamata pergaulan internasional, sudah bukan rahasia umum
Indonesia digolongkan sebagai peradaban yang terkebelakang, pembangunannya
lambat, tingkat pendidikan ambruk, celengan kapitalis asing, dan semacamnya.
Faktor-faktor memang sangat miris, mengingat kekayaan alam yang berlimpah ruah
dan banyaknya jumlah SDM. Salah satu indikator penting yang barangkali harus
disadari jauh-jauh hari – tepatnya hari ini – sebelum kehancuran dan runtuhnya
peradaban Indonesia kelak, bahwa sistem demokrasi Indonesia belum tertata dengan
baik.
Lantas
apa hubungannya sistem demokrasi dengan persoalan Tuhan ini? Akan saya paparkan
hubungannya, sabar saja dulu. Sistem demokrasi, sejatinya bukan hanya
permasalahan hierarki struktur, corak pemerintahan, dan institusi-institusi
politik. Hal-hal tersebut, bahkan tidak akan pernah ada tanpa satu poin yang
paling dasar. Poin tersebut, adalah, bahwa sistem demokrasi pada hakikatnya
dibangun di atas satu budaya demokratis. Budaya demokratis yang dimaksud,
merupakan budaya untuk bersikap hormat dan takzim terhadap perbedaan-perbedaan
baik itu perbedaan pendapat, sikap, dan karya.
Budaya
demokratis demikian, juga dibangun oleh satu hal penting yang sepertinya
merupakan permasalahan mendasar di tataran bangsa kita baik secara nasional
maupun regional. Satu-satunya cara kita untuk meraih kebudayaan itu, adalah
kebiasaan untuk berpikir serta bersikap rasional terhadap apapun yang terjadi.
Disamping itu, dituntut juga penerimaan atas hal-hal yang masuk akal. Adapun
budaya-budaya magis dan religius sebagai peninggalan nenek moyang, tidak perlu
dimusnahkan. Menjaga budaya-budaya nenek moyang yang notabene kebanyakan
berasal dari Animisme (penyembah roh-roh), perlu dijaga bukan untuk
dipraktekkan, akan tetapi untuk kekayaan khazanah sejarah: bahwa kita adalah
sejarah yang beradab, yang membuktikan kita berhasil melalui fase-fase paling
primitif dalam perjalanan hidup bersama.
Salah
satu cara untuk mencapai kebiasaan berpikir dan bersikap rasional itu, adalah
mulai menerima serta menyikapi fenomena Tuhan di Banyuwangi dengan rasional.
Argumen-argumen yang sudah saya paparkan, saya ajukan kepada publik untuk
menilai sudah cukupkah itu untuk diyakini? Saya harap setelah teks ini dibaca,
tidak perlu lagi ada orang yang menyikapi persoalan-persoalan serupa dengan
penolakan atau penerimaan tanpa didahului dengan pemikiran yang logis dan
ilmiah. Supaya kita lebih sering membiasakan berpikir logis, dan kita bisa
berbudaya demokratis, akhirnya, kehancuran bangsa Indonesia bisah dicegah.
Kedepannya, kalau harapan saya terpenuhi, semoga Indonesia, BMR terutama, bisa
dipandang sebagai bangsa terhormat dan disegani dikemudian waktu. Amin YRA.
Terimakasih
telah membaca telaah kurang serius dariku. Semoga kita selalu jadi manusia yang
rajin merenung, tapi merenungnya harus logis yah. Bagi yang kurang berkenan,
atau merasa ada ganjil dan tidak masuk akal, yang menolak dan ikut-ikutan
mengecam saya, tak peduli itu dari Ketua MUI Jatim ataupun ketua PBNU
sekalipun, ditunggu saggahannya. Kalau nanti saya ada kekeliruan dalam teks ini
–sayapun adalah manusia yang sadar tidak luput dari kekhilafan dan kealpaan –
pasti saya tidak akan malu untuk mengklarifikasi dan meminta maaf
sedalam-dalamnya.
Akhir
kata, mari kita kutip apa yang diucap William Shakespeare dalam Rome &
Juliet: “Apalah arti sebuah nama?Meskipun
kita menyebut mawar dengan nama lain, wanginya akan tetap harum”. Bertautan
dengan konteks ini, aku merevisi: “Apalah
arti sebuah nama? Meskipun seorang tukang kayu di Banyuwangi dinamakan Tuhan,
tetap saja bukan dia yang kita sembah”. Seperti ituu lho! (dengan logat
Syahrini...)
*Catatan
: Untuk diskusi dan interaksi lebih intim bisa temukan saya pada:
a.
Instagram : Tyo Mokoagow
b.
FB : Tyo Mokoagow
c.
Twitter :Tyologi
d.
Kompasiana : Tyo Mokoagow
e.
No tlp : 0812-22-816-009
[1] Untuk
yang saya garis miring, diganti oleh penulis demi kepentingan tulisan ini lebih
mudah dipahami. Adapun redaksi yang lengkap dan utuh dari kutipan tersebut:
“Bahasa adalah rumah dari Ada” (Leanguage
is the House of Being), dari buku Heidegger Being and Time.
0 Komentar