Oleh : Triwardana Mokoagow (tyologi)
Sudah
merupakan keharusan universal, bahwasanya suatu negara tidak bisa
mempertahankan eksistensinya tanpa hubungan dengan negara lain. Ikhtiar suatu
negara untuk membuka akses terhadap hubungan diplomatik baik secara bilateral
maupun multilateral telah membawa dunia global pada suatu kemestian yang tak
terbantahkan: kompleksitas hubungan antar kepentingan negara telah membuat efek
berantai dimana kondisi suatu negara akan sangat mungkin mempengaruhi negara
lain. Meskipun begitu, teks ini tidak dimaksudkan untuk berlabuh pada teori
tentang hegemoni negara berkembang oleh negara maju, teori independensi maupun
teori keterbelakangan.
Fenomena
akselarasi informasi dan transportasi telah meretas semacam gerak liar yang
disebut globalisasi. Juggernaut, begitulah
Anthony Giddens menyebutnya. Globalisasi bagaikan sebuah bola liar yang siap
menerkam siapa saja dihadapannya. Fenomena yang ditandai dengan menyingkatnya
gerak waktu dan menyempitnya dimensi ruang telah membiaskan batas-batas
teritorial antar negara. Segala sesuatu yang terjadi di Yunani memendam
kemungkinan yang tidak kecil, berimbas pada Indonesia. Apalagi dengan realitas
yang terjadi di Timur Tengah hari ini, tentu saja akan merembet dengan cepat
mempengaruhi kondisi Indonesia yang kita ketahui sangat dekat jaraknya.
Tentu
saja yang saya maksudkan disini adalah konflik yang tengah terjadi di Timur
Tengah. Hari ini hangat dikepala kita, bagaimana akhirnya Yaman sebagai sebuah
negara kecil dan miskin telah dijadikan boneka dalam adu jotos dan perebutan
pengaruh antara Arab-Iran. Yang sesungguhnya apabila kita tarik ulur ke
belakang sejarah, sebenarnya hanya buntut sementara dari sebuah perseturuan
panjang; perseturuan sekte dan golongan.
Sebagaimana
yang kita mahfum bersama bahwa Iran merupakan representasi dari golongan Syiah
dan Arab merupakan representasi dari Sunni. Keduanya merupakan lokus dan sumber
pengaruh bagi kedua mahzab besar yang dibicarakan tadi yang kerapkali
meledakkan percekcokan dalam belantara sejarah. Konfrontasi militer selama
berabad-abad lamanya telah menanamkan sumber kekuatan besar yang mengakar pada
alam bawah sadar masing-masing peradaban tersebut. Hal ini sangat urgent dan
krusial, dan patut kiranya kita pertimbangkan bersama kelangsungannya. Mengingat
Timur Tengah yang merupakan sumber peradaban Islam, ternyata lebih menyenangi
menggulati konflik di rumah sendiri daripada menengok ekspansi budaya yang
digencarkan peradaban Barat.
Rupanya
wacana Islamic States, War on Terorism,
Arab Spring, dan semacamnya tidak cukup kuat untuk mengalihkan perhatian
umat muslim agar merintis integrasi dan kerjasama dalam satu kepentingan
mendasar, menjaga umat dari ektremisme, fanatisme buta, takfiri, dan eksploitasi serta diskriminasi manusia. Alih-alih
membendung efek destruktif tadi, malah umat muslim sendirilah yang menjadi
pelaku kebiadaban ini, dan tidak terlepas pula kedua negara yang kita bicarakan
dalam teks ini.
Hal
ini hanya menandakan satu hal, bahwa umat muslim rupanya belum terlepas dari
sekat-sekat kesukuan yang sejatinya telah ditumpas Rasulullah saw 14 abad
silam. Padahal sejarah umat manusia telah gamblang mengakui prestasi Muhammad
tatkala menyusun Piagam Madinnah sebagai konstitusi modern pertama yang telah
meretas pagar-pagar pembatas perbedaan, dan menyatukan diferensiasi suku dalam
satu kepentingan ummat yang sama. Yang tidak hanya berlaku bagi suku-suku dalam
Islam sendiri, tapi juga agama lain.
Lewat
kacamata sejarah kita pelajari, barangkali ada dua fase besar yang menandai
meletusnya konflik dan mencerai beraikan Islam ke dalam dua sekte besar
Syiah-Sunni. Pertama, adalah tragedi Sakifah,
dimana umat muslim terlibat polemik siapa yang harus meneruskan kekhalifaan
Rasulullah paska beliau wafat. Konflik membuat jenazah sang nabi tergeletak
kaku tanpa dikuburkan selama tiga hari lamanya. Kedua, adalah perang Jamal dan perang Shiffin yang memakan banyak nyawa, mati sia-sia hanya karena
perbedaan pendapat antara golongan Ali dan oposisi, Muawiyah.
Bayang-bayang
masa lalu tersebut rupanya terkristalisasi dalam alam bawah sadar umat muslim (episteme-Foucault) sehingga tibalah kita
pada apa yang ditesiskan oleh Hasan Hanafi sebagai oposisi paska tradisi.
Beliau memaparkan bahwa suatu konfrontasi antara dua paradigma yang
bertentangan akan melahirkan dua kubu yang berlawanan yakni paradigma hegemonik
sebagai yang menguasai tradisi dan paradigma oposisi sebagai pihak yang kalah.
Mereka yang memenangkan perebutan kuasa atas tradisi memiliki legitimasi atas
mau dibawa kemana arah kebijakan dan kewenangan suatu tradisi. Keberhasilan
Muawiyah dalam mengkudeta kepemimpinan Ali pada masa silam telah meneguhkan
satu hal, bahwasanya tradisi telah menjadikan kelompok Syiah sebagai oposisi
hingga hari ini.
Ada
satu hal penting yang patut kita ambil dari kedua fase besar yang
melatarbelakangi ketegangan golongan di Timur Tengah ini. Pertentangan yang
seyogyanya terjadi bukanlah sekedar pertentangan mahzab, interpretasi fiqih, syariat
dan semacamnya, akan tetapi adalah pertentangan padangan politik kedua golongan
tadi. Dengan demikian problematika yang terjadi seputar Timur Tengah sejatinya
bukan polemik teologis akan tetapi tidak lebih dari problem politik, libido
kekuasaan dan perampasan pengaruh di kawasan.
Dapat
kita tarik kesimpulan bersama, bahwa konfrontasi militer yang mewarnai dunia
Islam sejatinya berangkat dari ego sektarianisme antara dua kubu besar ini.
Peradaban Iran yang memimpin semangat Syiah setelah kesuksesan propaganda
Ayatullah Imam Khomeni beberapa puluh tahun lalu telah memberi garis besar
perjuangan mereka. Di sisi lain Paradgima Sunni sebagai paradigma hegemonik di
dunia Islam merupakan basis perjuangan Arab Saudi yang berkecenderungan monarki
itu. Rasa percaya diri Iran atas revolusi 1979 yang berbuntut suatu agenda
internasionalisasi telah membuat Saudi paranoid. Atmosfer konflik mulai
tersulut, harga diri dan kehormatan Sunni-Syiah mengembang di permukaan,
pertaruangan ideologi dan politik(bukannya kepentingan fiqih)pun tak
terhindarkan Permasalahan ini kemudian harus dibaca secara seksama, melihat
Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim yang besar, pasti tidak akan
luput dari pengaruh konflik ini.
Nilai Kebangsaan
Sebagai Proteksi Indonesia
Gus
Dur berkata, Islam datang bukan untuk merubah aku menjadi ana’ dan kamu menjadi ente. Islam
datang bukan untuk merubah toyota menjadi Unta dan kekayaan alam Indonesia
menjadi Jazirah yang tandus. Islam datang untuk merubah tatanan nilai yang
salah sebagai basis keyakinan umat manusia. Nurcholis Madjid beberapa dekade
silam telah mengingatkan kita lewat perjuangan intelektualnya, gerakan
penyadaran yang mencoba meyakinkan umat Muslim Indonesia bahwa kita bisa
ber-Islam tanpa harus menerima produk budaya Arab (begitupun tanpa harus
menerima budaya Iran yang berakar dari Persia). Gagasan sekularisasi inilah
yang ditawarkan beliau, yakni memurnikan nilai esoterisme dari yang eksoteris,
yang transedental dari yang imanen, yang spiritual dari yang sosial. Namun alangkah
malangnya, konsep ini dipreteli dan diasosiasikan sebagai gerakan sekularisme.
Menteri Pendidikan kita, Anies Baswedan menyangkal hal tersebut dalam pembukaan
buku Islam Keindonesiaan dan Kemodernan, bahwa sekularisme berbeda dengan
sekularisasi. Sekularisme adalah konsep yang memisahkan urusan negara (daulah) dan agama (dien) sedangkan sekularisasi adalah gerakan penyadaran dan
pemurnian (purification).
Sekularisasi memberikan kita kacamata sebagai pisau analisis demi membedah,
mana yang disebut Islamisasi (internalisasi
nilai-nilai Islam) dan mana itu Arabisasi (internalisasi kearifan lokal Arab Saudi).
Indonesia
kita adalah negara yang sejarahnya panjangnya telah banyak dihiasi oleh
perjuangan Islam. Dengan membaca masa lalu bangsa kita mampu memahami betapa
pentingnya peran Islam dalam perjalanan kemerdekaan. Pada era Kolonial, Snouck
Hourgronje telah menyadari satu kekuatan besar yang diam-diam mengancam status quo penjajah. Agaknya kesadaran
itulah yang membawa beliau melancong ke Mekkah dan berpura-pura sebagai muslim
untuk mempelajari apa itu Islam. Pihak kolonial juga membuka semacam kantor di
tanah suci untuk memantau orang-orang Indonesia yang berangkat pergi naik haji.
Perlu kita ketahui bersama bahwa hanya di Indonesia disematkan gelar Haji di
depan nama orang-orang yang telah menunaikan ritual wajib tersebut. Hal ini
menandakan bahwa jauh hari sebelumnya, pihak kolonial telah memprediksikan
bahwa kekuatan Islam memendam potensi besar untuk menggagalkan agenda
eksploitasi mereka.
Hingga
kemunculan Syarikat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam,
rupanya kolonial semakin terpojok dengan kemunculan poros kekuatan baru ini.
Tjokro, yang merupakan tokoh organisasi ini melaksanakan gerakan sosialisme
Islam. Di bawah asuhannya, terbukti lahirlah tiga kekuatan besar yang mewarnai
pertentangan ideologis di kemudian hari. Potensi besar dari kekuatan Islam juga
telah membuat Soeharto ketakutan dan berujung pada pelemahan Masjumi sebagai
sentral gerakan Islam yang kokoh pada Orde Baru.
Tidak
ayal lagi, genealogi bangsa kita telah banyak diturutkan oleh kekuatan Islam
sebagai pemacu perjuangan dan penentu arah perubahan sosial. Momentum
kemerdekaan bangsa telah memberikan kita jawaban serta bentuk, bagaimana
seharusnya Indonesia ber-Islam. Perubahan fundamental itu dilakukan lewat upaya
konvergensi nasional yang termaktub dalam falsafah dasar bangsa, Pancasila.
Telah dipelajari bersama bagaimana keberhasilan Islam meredam ego mereka untuk
memiliki Indonesia sendirian setelah direvisinya poin tentang “menjalankan
syariat Islam” dalam Piagam Jakarta dan merubahnya dengan norma “Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Hal ini menandakan bahwa Indonesia bukan milik satu agama, melainkan
Indonesia adalah negara yang plural dan majemuk, yang memiliki solidaritas
normatif dan filosofis dalam satu misi yang sama, persatuan dalam menegakkan
keadilan sosial.
Namun
demikian, derasnya arus globalisasi sangat kencang menggempur alam Indonesia.
Realitas konflik Timur Tengah yang telah mendikotomikan kutub Arab dan Iran
memaksa Indonesia sekali lagi mengambil sikap. Sebagai negara dengan mayoritas
Sunni, Arab begitu percaya diri bahwa Indonesia akan tetap setia dan teguh pada
mereka. Namun mungkin sedikit kekhawatiran sempat terbesit di negara dimana
Muhammad SAW lahir tersebut. Dibuktikan dengan dipancungnya dua WNI disana yang
mengindikasikan adanya teguran bagi Indonesia agar memberikan dukungan kepada
negara Arab. Untungnya Indonesia hingga hari ini belum bersikap. Alih-alih
mendukung salah satu kutub, malah sempat memberi kecaman tegas tatkala kantor
kedutaan Besar Indonesia untuk Yaman hancur lebur oleh agresi militer.
Sesungguhnya,
proxy war masih terus terjadi. Yaman
hanyalah boneka yang sedang menjadi sorot perhatian global untuk sekarang.
Diam-diam Indonesia merupakan salah satu arena kontes perebutan pengaruh
Arab-Iran. Sayangnya lemahnya nalar publik untuk memfilterisasi realitas
konflik Timur Tengah sebagai konflik politik dan ideologi telah memberikan
Arab-Iran modal dasar untuk menancapkan cakar hegemoninya. Pertarungan
ideologi-politik telah tereduksi menjadi pertarungan teologi dan Fiqih di Indonesia. Alam bawah sadar
masyarakat Indonesia yang berakar dari animisme yang kuat, telah menjadikan
mitologisasi serta takhayul sebagai pra-asumsi dalam menerjemahkan segala sesuatu.
Inilah kelemahan Indonesia. Apabila gerakan penyadaran dan intelektual kalah
kuat mengimbangi pengaruh konflik Timur-Tengah ini, maka tidak ayal lagi
sektarianisme akan semakin menguat dan menghancurkan Indonesia dari dalam.
Sebuah Harapan
Tujuan
Indonesia secara gamblang termaktub di dalam preambule UUD 1945 yang tidak pernah berubah sepanjang perubahan
dan amandemen konstitusi: “...mewujudkan
perdamaian dunia..” Indonesia telah berhasil membuktikan bahwa roh bangsa
ini bukanlah omong kosong dengan digagasnya Konferensi Asia Afrika di Bandung
(1955), KTT Non-Blok di Yugoslavia (1961), forum ZOPFAN (Zona Peace, Freedom
and Neutrality), SEANWFZ (Southeast Nuclear Weapon Free Zone), AFR (Asean
Regional Forum) dan lain sebagainya sebagai bentuk konkritisasi dari kebijakan
internasional bebas-aktif dan konsistensi Indonesia sebagai negara muslim
terbesar dan kesempatan bagi dunia untuk melihat Indonesia merupakan
representasi dari Islam Rahmatan lil
‘Alamin yang sesungguhnya; sebagai agama yang mencintai perdamaian.
Indonesia
telah menjadi rujukan bagi negara semacam Afganistan untuk model negara Muslim
yang berhasil melalui transisi demokrasi tanpa goyangan konflik yang cukup
deras menghantam kemajemukan dan pluralitas kepercayaan. Apabila Indonesia
serius dan tetap konsisten untuk menjadi negara penginisiasi perdamaian maka bukan hal mustahil Indonesia kelak menjadi
referensi alternatif dari model negara Islam ideal. Ini merupakan hal urgent tatkala kita membaca efek
destruktif yang akan mungkin terjadi paska gejolak Houthi di Yaman, yang akan
merambah konflik baru dengan motif berbeda di kemudian hari, di tempat berbeda.
Akan menjadi harapan besar bagi negara-negara muslim dan OKI terutama dalam
pencarian anti-thesa demi melampaui kutub Arab dan kutub Iran di Timur Tengah.
*Catatan
: Untuk diskusi dan interaksi lebih intim bisa temukan saya pada:
a.
Instagram : Tyo Mokoagow
b.
FB : Tyo Mokoagow
c.
Twitter :Tyologi
d.
Kompasiana : Tyo Mokoagow
e.
No tlp : 0812-22-816-009
f.
Email : Hyde7125@gmail.com
0 Komentar