Oleh    : Triwardana Mokoagow (tyologi)

Pernahkah kamu merasakan perasaan yang sama denganku saat ini? Jikalau pernah, maka rasakanlah, betapa asap berkabut yang selama ini kau takuti untuk melihat ada apa gerangan yang dia sembunyikan, ternyata tak lebih dari gunung tumpukan mayat-mayat dan bau busuk yang tertutup harum tanam bunga. Tentu saja ini hanyalah metafora. Sebagaimana aforisme Nietzche: “Bersikap hormatlah di hadapan kebenaran, sebagaimana engkau bersikap hormat di hadapan seorang wanita”. Tentu kiasan ini, yakni kenyataan dan kebenaran yang tersembunyi di dalam kabut hitam pekat, tepat di belakang taman bunga yang elok, yang ironisnya memendam teror yang terpendar berabad-abad lamanya. Bila kau pernah merasakan hal yang sama denganku, agaknya kita bisa memahami perasaan mereka yang terpenjara dalam gua Plato (dalam Alegorinya yang terkenal), yang akhirnya kecewa dan takut melihat bagaimana kehidupan bekerja selain lewat bayangan, dan kenyataan yang sebenarnya ternyata lebih pahit dari ilusi.
Sekarang marilah kita menyingkap metafora-metafora tadi. Catherine, seorang putri kecantikan yang menetap di Equador, Venezuela, yang kusebut kebun bunga karena hanya itulah kiasan yang pantas untuk menyandingi keanggunan dan kecantikan yang berlaku bak perhiasan di sekujur sudut tubuhnya. Catherine tidak membutuhkan waktu lebih lama daripada sedetik, untuk membuat lelaki manapun larut dalam imajinasi mereka memiliki wanita berparas cantik itu. Bagi mereka yang rasionalis sekalipun, akan mengakui bahwa sihir itu eksis, tatkala menyaksikan laki-laki dengan ambisi yang menggelora akan siap menghabiskan sisa umurnya mengejar-ngejar cinta Catherine. Agaknya banyak yang dirundung kecewa, tatkala tahu sang ratu kecantikan tersebut harus menghirup nafas terakhirnya di meja operasi, terlihat nahas tatkala operasi sedot lemak yang merupakan hadiah dari kontes kecantikan yang dia menangkan telah telak merenggut kehidupan dari jantungnya. Kita semua tahu seluruh penggemar Catherine akan didera duka. Bukan karena kehilangan Catherine an sich, akan tetapi kehilangan kecantikan yang pergi bersama jasad Catherine, selamanya.
Selalu ada harga yang layak bagi sebuah pengorbanan. Mati sekalipun, adalah sebuah resiko bagi mereka dengan hasrat menggebu-gebu mengejar prestise. Hasrat untuk diakui (thymos) telah sejak lama membuktikan, bahwa manusia rela menanam genangan mayat dalam peperangan demi memuaskan egonya. Alih-alih menjelma sebagai anugerah, kecantikan bersikap bak kutukan. Kecantikan adalah monster yang begitu ganas, mempesona bagai kilatan permata tapi begitu diraih, hanyalah penderitaan dan siksaan yang mesti dijalani. Kecantikan begitu misterius dan berhasil menciptakan ilusi daya tarik sempurna, dia menunggu di ujung sebuah terowongan yang gelap. Bagi mereka yang menghendakinya, harus tertatih-tatih melewati ranjau demi ranjau demi menjemputnya.
Siapapun yang ingin belajar perihal kebijaksanaan, harus mendekam dalam keinsyafan tatkala menjadikan cerita ini sebagai pelajaran paling berharga dalam hidup. Bahwa kecantikan yang disimulasikan oleh ruang publik acapkali menelan korban. Tapi barang siapa yang tetap kalap, mereka akan menganggap peristiwa ini seperti angin lalu. Keesokan harinya, seperti kemarin, mereka beramai-ramai mendambakan ilusi itu yang bernama kecantikan, yang mereka sembah tak ubahnya Latta, Uzza dan Manat (Berhala di zaman Jahiliyah).
Catherine hanyalah satu dari sekian banyak demonstrasi serupa. Di Skotlandia, seorang wanita Australia melakukan ritual breathanisme, yang artinya dia hanya memakan udara dan cahaya matahari sebagai asupan makanan. Seorang mahasiswi kedokteran didiagnosa menderita anoreksia (kelainan makanan) setelah meminum pil yang dia dapat dari internet. Di lain tempat, perempuan asal Inggris berusia 34 tahun tidak ingin terlihat gemuk di hari spesialnya, dia melakukan diet dengan mengkonsumsi makanan rendah kalori (dibawah 500 kalori) yang diproduksi salah satu perusahaan. Bila kita menyimak kisah Catherine, bukan hal yang sulit untuk menebak hasil perjuangan perempuan tadi; mati. Meskipun dengan cara berbeda-beda, tentunya mereka didorong oleh satu motif yang sama yakni memburu kecantikan.
Lantas siapakah mereka yang bertanggung jawab atas tragedi yang menimpa perempuan malang tadi? Siapkah mereka yang tengah berasyik-masyuk menari di atas pemakaman Catherine dan kawan-kawannya? Mereka mendulang kekayaan atas tiap dollar yang terkuras dari saku korban, atas tiap lemak yang tercecer dari tubuh, atas tipu daya dan muslihat yang berhasil terekayasa dengan baik di ruang publik. Siapakah mereka yang dengan tega membuat panggung teatrikal, memerankan adegan palsu di tiap-tiap iklan kecantikan di layar kaca. Wahai pembaca, siapakah para aktor intelektual dalam semarak pembantaian massal yang tak terkendali ini? Siapakah mereka yang meraup profit dan laba di balik meja kerjanya, yang tertawa bahagia tatkala presentasi di ruangan meeting berhasil meloloskan ide dan gagasan produk kecantikan mereka agar terjual?
Bukan hanya orang dengan sifat tamak, merekalah personifikasi keserakahan itu sendiri. Dengan lugas dan profesional melancarkan aksinya secara terstruktur, masif dan sistematis. Tak ayal lagi, inilah yang disebut kejahatan sempurna (the perfect crime) atau kejahatan kerah putih (white collar crime). Di era industrialisasi ini, mereka dengan stelan jas dan dasilah yang menyusun skenario amoral dengan apik dan rapi. Yang bertato dan bertindik rupanya tidak lebih kriminal dari mereka yang berpakaian sopan dan elegan. Kapitalisme bukan hanya penipu ulung, lebih dari itu: pembunuh berdarah dingin yang tega menukar nyawa dengan pundi-pundi dollar. Kita hanya dapat memahami itu ketika menyadarkan diri dari lamunan dan melihat dunia ini dua kali dengan cara yang berbeda; Tatkala menyadari ruang publik adalah area yang pas dimana pemegang modal bersaing menciptakan standarisasi kecantikan mereka sendiri. Kecerdikan pelaku kapital membawa mereka ke kesimpulan yang sama: perempuan adalah makhluk rapuh yang rela meletakan posisi kecantikan setara dengan harga diri, kehormatan, martabat dan semacamnya. Persaingan kapitalisme bermulai dengan menjadikan kecantikan sebagai lokus dari kehidupan perempuan.
Para pelaku kapital kemudian memainkan sebuah permainan dalam ruang publik semu yakni dunia informasi sebagai kampung global modern, dengan mereproduksi produk-produk kosmetik, lotion pemutih badan, tas-tas cewek yang kekinian, sepatu high-heels[1], program peninggi badan, program diet yang sarat dengan kimiawi, propaganda bahwa rambut adalah mahkota wanita, mempertebal alis, membuat bulu mata lentik, lipstik, bedak pemutih wajah, parfum, perhiasan, bikini, g-string, pakaian-pakaian yang mengekspos tubuh wanita secara terbuka, tubuh langsing dan ramping[2], balutan pakaian yang minim yang menampakkan paha serta lekuk-lekuk tubuh wanita tertentu (fetishisme), dan lain semacamnya. Kapitalisme sengaja mereproduksi simbol-simbol tersebut sebagai seakan-akan adalah apa yang didambakan dan dipuja oleh perempuan-perempuan dengan hasrat ingin diakui kecantikannya di mata dunia. Seakan-akan harga diri perempuan itu adalah kecantikannya sendiri. Atau jangan-jangan saking akutnya hasrat akan kecantikan ini, ada wanita yang rela mati – dan Catherine serta kawan-kawannya sudah membuktikan itu semua – bila dia menyadari kenyataan bahwa sepanjang sisa hidupnya dia akan selalu tampil tidak cantik dan bahkan sangat kontradiktif dengan kecantikan yang ideal di mata perempuan kebanyakan.
Salah satu contoh yang paling konkrit dari simulasi ini adalah diciptakannya panggung-panggung serta arena pertunjukan dan kompetisi kecantikan untuk membentuk paradigma wanita bahwa wanita yang ideal pada zamannya, yang dapat menaklukan dunia, yang superior di atas segala-galanya adalah tipikal wanita yang demikian. Kompetisi kecantikan seperti katakanlah pemilihan putri kecantikan, pemilihan putri dunia (miss universe), putri waria, putri sejagad dan lain sebagainya: hanyalah alat bagi kapitalis untuk menciptakan mindset bahwa kemulusan tubuh, tubuh yang sintal seperti gitar Spanyol, pakaian, kharisma, panjang rambut, putih, eksostisme harus dia miliki sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita yang mengikuti kontes-kontes semacam itu. Meskipun harga yang harus dibayar oleh perempuan adalah pengorbanan berupa penyiksaan atas diri sendiri (masokisme) tidak masalah, yang penting penderitaan dan kesengsaraan tersebut akan terbayar lunas oleh kecantikan yang dia peroleh. Tidak jarang perempuan harus menyiksa diri mereka sendiri untuk tidak makan seharian, diet yang ekstrem ini dengan sukarela dipraktekkan demi memuaskan nafsu perempuan dalam mengejar kecantikan sempurna. Tidak jarang wanita harus melatih kaki mereka sakit kram karena menahan dera sakit di tumit akibat siksaan high-heels. Tidak sedikit wanita yang harus menyiksa diri ketika melingkarkan sliming swuit yang super ketat di perut mereka hanya demi terlihat langsing dan cantik. Tak jarang wanita mengorbankan wajah serta kulitnya untuk dieksploitasi oleh bahan-bahan kimiawi yang berbahaya didalam produk-produk kosmetik, padahal efeknya untuk beberapa puluh tahun yang akan datang sangat bersifat destruktif bagi tubuh. Diketahui bahwa bibir wanita yang terlampau sering diolesi lipstik ketika muda, maka akan terlihat pucat dan sangat tidak sehat ketika tua.
Produk-produk kecantikan instant yang digemborkan oleh para kapitalis di ruang publik hanya menjelaskan satu hal, bahwa mereka rela perempuan itu menyiksa diri mereka sendiri karena telah terbius dengan angan-angan kecantikan sempurna yang disuguhkan kapitalis. Dan perlu disadari bersama, ketika perempuan sedang menahan dera dan sakit karena mempercantik diri, diam-diam dompet mereka terkuras, saldo di rekening mereka akan semakin menipis dari hari kehari, akumulasi modal kemudian mengalami akselarasi dan menumpuk pada mereka yang berlaku sebagi aktor simulasi; kapitalisme.
Itulah yang disebut dengan kekerasan simbolik, yakni tindakan kekerasan yang dilakukan dalam ruang publik di realitas artifisial / hyper-realitas, lewat perantara simbol dan manipulasi pardigma massa dan penciptaan kondisi pasar. Kapitalisme berakting bak pesulap yang menipu para penonton sebagai penikmat produk sulap yang dia pamerkan, dan ketika kapitalisme berucap abrakadabra, saat itu produk yang dia tawarkan telah menjelma seorang wanita yang jelek menjadi rupawan, menawan dan anggun. Para penonton memang bertepuk sesudah itu tercengang-cengan serta kagum melihat aksi kapitalisme, tetapi dibalik semua itu, mereka tidak tau betapa besarnya penderitaan serta dampak psikologis yang begitu traumatik yang harus dijalani terlebih dahulu oleh sang wanita, agar dapat dibayar dengan applause itu. Sementara itu, setelah pertunjukan usai, penonton yang telah berhasil ditipu ini, keluar berdesak-desakan ke jalanan sambil memuji-muji takjub pada kemahiran kapitalis yang menciptakan ilusi sempurna itu, sedangkan sang pesulap yang tertinggal sendirian dalam ruang pertunjukan sedang menertawai mereka sambil mengomel-ngomel dalam hati rasain lu kena tipu!! Terimakasih telah membayar kebodohan kalian dengan kekayaanku. Huahahaha..haha..ha..ha..haa..haa..ukhuk..ukhuk...

***

Akan tetapi siapakah kita? Tuhan? Yang dengan mutlak dan berkuasa menyeret mereka yang rakus itu ke Mahkamah Padang Mahsyar sekarang juga tepat setelah kita menyadari realitas objektif yang tengah berlangsung? Tentu tidak, dan sekalipun amarah dan kekesalan kita luapkan dengan jalan hukum, maka pasal manakah yang eksplisit mencantumkan tata cara serta pola kejahatan mereka dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana? Padahal bukankah kecantikan adalah sesuatu yang begitu relatif dan tidak terukur? Seseorang suami akan tetap mencintai istrinya meski dia berhidung pesek, botak, sumbing ataupun buta sekalipun. Bila motif dari memburu kecantikan adalah memperoleh cinta, maka kita mengetahui pola pikir yang demikian telah salah demi logika (kesesatan berpikir/fallacy of logic). Sebab cinta adalah noumena yang bersifat metafisik sedangkan kecantikan versi kapitalisme diukur dengan barometer materialistik. Namun hanya dapat dimengerti, tatkala mereka melakukan itu demi hobi dan pemuasan hawa nafsu saja, yang itu hanya membuktikan satu hal penting: betapa malang dan mengasihankan duhai nasib mereka itu.

foto: Surealisme

Sebagai finishing touch, izinkan saya mengutip penggalan kalimat penutup dalam film Prestige (2006):
Setiap sulap, terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama disebut ‘janji’. Si penyihir menunjukan sesuatu yang biasa...” (saat itu mereka menawarkan produk berupa pil, benda, lotion, lipstik atau semacamnya. Benda-benda yang pada mulanya begitu biasa di mata kita).
“Babak kedua disebut ‘pergantian’. Si penyihir mengambil sesuatu yang biasa, dan merubahnya menjadi sesuatu yang luar biasa....” (mereka akan membawa seorang model sebagai sample, untuk memperagakan keampuhan produk itu).
“Tapi kau tak akan bertepuk tangan karena membuat sesuatu yang hilang. Tidak cukup. Sang penyihir harus membawanya kembali...” (model tersebut telah menjelma dari yang awalnya jelek, menjadi cantik rupawan).
“Sekarang anda sedang mencari rahasianya. Tapi anda tidak akan menemukan itu, tentu saja, karena anda tidak benar-benar melihat. Anda tidak benar-benar ingin menyelesaikannya....” (beberapa orang yang terpikat dengan sihir itu, lalu merogoh sen demi sen hartanya. Sedangkan perempuan itu telah mengetahui nasib Catherine sebelumnya; dia sadar tengah menjejalkan kaki tapak demi tapak ke lembah maut, tempat Izrail, Sang Pencabut Nyawa duduk santai menunggu mangsanya). “......berarti Anda memang ingin ditipu”.  – Christopher Priest, The Prestige.






*Catatan : Untuk diskusi dan interaksi lebih intim bisa temukan saya pada:
a. Instagram        : Tyo Mokoagow
b. FB                    : Tyo Mokoagow
c. Twitter             :Tyologi
d. Kompasiana   : Tyo Mokoagow
e. No tlp               : 0812-22-816-009
f. Email                : Hyde7125@gmail.com



[1] Padahal pada zaman Yunani kuno, wanita-wanita yang menggunakan sepatu hak tinggi hanyalah agar mereka dibedakan dengan wanita-wanita lain sebagai wanita dengan profesi di prostitusi atau dunia pelacuran.
[2] Padahal dulu di zaman Yunani kuno, wanita-wanita dengan pose tubuh yang gendut merupakan dambaan dari tiap pria di zamannya. Wanita gendut adalah simbol dari kesuburan melambangkan dewi-dewi Yunani yang dipuja puji oleh orang-orang pada masa itu. Kita dapat menyadari bahwa sesungguhnya ternyata, kecantikan itu begitu relatif seusai dengan kondisi serta situasi ruang-waktu.