Adakah
kebenaran itu pahit? Merupakan sebuah pertanyaan penting bagi mereka yang
bersikeras menggali realitas sedalam-dalamnya, senyata-nyatanya. Telah lama aku
khawatirkan ini, setelah menyaksikan para pemikir terdahulu banyak yang
menorehkan komentar. Seakan-akan mereka adalah para pengembara yang lebih dulu
mengarungi perjalanannya, hingga pada ujung jalan terluar. Aku yang belum
beberapa lama ini melepas langkah, kemudian berpas-pasan dengan mereka di
pertengahan perjalanan, dan dengan bijak dan arif mereka menasehati “jangan
buang-buang waktumu nak, kebenaran terlalu pahit untuk kau cerap”.
Tapi
bagi yang memahami, tentu saja akan maklum. Betapa sia-sia menasehati dua
tipikal orang: yang jatuh cinta dan yang tengah menghasrati kenyataan total
seobjektif-objektifnya. Aku mungkin bisa kau kategorikan sebagai yang kedua.
Betapa miskin hariku bila terlewati tanpa memahami satu hal yang baru. Tiap
hari kurasakan getaran itu, gemetar-gemetar tanganku yang tidak bisa tenang
karena goncangan hebat. Bukan perutku yang lapar, yang membuat aku selalu
menderita dan gelisah termakan siksa. Tapi akal, akalku kelaparan hebat! Dia
harus diberi makan. Maka tatkala nasehat demi nasehat kukumpul hingga menumpuk
setinggi pasak gunung, semakin hebat hasratku berkobar hendak menyaksikan
kebenaran pahit itu dengan pikiranku sendiri.
Aku
akan terus melanjutkan langkahku yang sepi dan sendirian ini. Langkah seorang
pengembara yang menyusuri telaga waktu, semacam lorong sempit yang dihimpit
dunia-dunia palsu, orang-orang penipu diri sendiri, gemerlap dan benderang
konsep yang matang dan tak tertangguhkan. Aku tetap menderap langkah, memacu
kudaku hingga berlari melebihi batas yang dia pahami sejauh ini. Dengan harapan
yang mungkin berbeda, aku ingin mengatakan pada diriku sendiri: biarlah mereka
menyaksikan itu dengan mata mereka sendiri, maka apabila lewat mataku,
pengetahuan tersebut semoga akan sedikit berbeda. Dengan begitu, aku berharap
meski dalam keyakinan yang sangat kecil sekalipun: semoga kita menemukan
kesimpulan yang berbeda.
Entah
itu sebagaimana kaum Stoa yang pasrah dan rela menerima kebenaran bak seorang
pemintal tertusuk jarum dan menerima luka sebagai rasa sakit yang tidak bisa
dielakan. Ataukah aku akan bersikap sewajarnya Nietzche yang tidak getir namun
juga tidak pasrah sebagaimana Stoisisme yang pasif atas haluan kebenaran, tapi
menjadi pemakna setia hidup yang menggentarkan laksana ranting-ranting pohon
gundul sehabis ditempa badai yang menjadikannya indah; sikap amor fati. Lalu akan kusiulkan lagu,
dengan lirik yang kupetik dari lidahnya: “…oh, cintailah hidup meski takdir itu
pahit. Semua yang berani menatap dan menyambut kematian kapanpun dan dimanapun
adalah mereka yang telah siaga berani menjalani kehidupan secara total dalam
perulangan kekal.”
Atau,
mestikah aku menjalani kehidupan sebagaimana umat manusia hari ini? Mereka
menciptakan ilusi, tenggelam dalam kepalsuan yang tragis dan menghibur diri
sendiri di antara kebohongan-kebohongan yang terlanjur manis. Umat manusia
dalam teknologi informasi ini, adalah mereka yang pada mulanya terkurung dalam
goa di alegori Plato, yang lebih memilih menyaksikan dunia lewat bayangan
daripada dunia itu sendiri; semacam hiper-realitas. Mestikah aku menjadi bagian
mereka? Menjadi manusia yang nyaman disuapi dusta secara rutin, digiring
menyaksikan fantasi abadi, dimanipulasi pikiran serta jiwanya lewat dogma simulacrum.
Entah
yang mana yang harus kupilih, apabila itu membuatku menjadi orang yang seberani
filsuf rajawali, ataukah kaum Stoik, atau menjadi manusia secara kebanyakan,
atau menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda dan baru di atas semua tadi. Tapi
yang jelas, keyakinan tersebut kuraih lewat pengamatanku sendiri, bukan lewat
pengamatan orang lain.
0 Komentar