Di Sekolah Tinggi Islam (STI) (kini UII –
Universitas Islam Indonesia), tepatnya di suatu ruangan kelas yang harusnya
saat itu diadakan pemberian kuliah seperti biasanya, berdiri di tengah-tengah penyimak
seorang pria muda yang sedang memberikan sebuah testimoni, mencoba meyakinkan
hampir 30 orang yang terlibat dalam forum sakral itu. Mahasiswa tingkat I itu,
Lafran Pane, dengan lantang mengangkat kata-kata: “Hari ini adalah rapat
pembentukan organisasi mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah
beres. Sikap ini diambil, karena kebutuhan terhadap organisasi ini sudah sangat
mendesak. Yang mau memerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan
yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa
berdiri dan berjalan.” Kelak, hari penting itu akan dirayakan sebagai salah
satu hari yang memiliki kesan penting bagi keberlangsungan bangsa dalam
melintasi perubahan sejarah; 68 tahun sudah HMI berkarya dalam dedikasinya.
Saya kadangkala berimaji, betapa hangat dan puas
jadinya bila Lafran Pane (founding
fathers) masih diberikan kesempatan berupa usia, dan menjadi saksi atas perjalanan
panjang organisasi yang dia cetuskan. Organisasi mahasiswa tertua dan terbesar
di Indonesia, HMI, telah banyak mencetak tulang punggung negara di berbagai
bidang kehidupan yang bersentuhan dengan masyarakat entah secara langsung
maupun tidak langsung. Distribusi kader dan kepiawaian menarik simpati
non-kader di berbagai jenjang yang bersifat hierarkis, entah dalam skala
kota/kabupaten, provinsi, nasional maupun internasional telah memberi modal
yang kuat dalam mengeksekusi gagasan kebangsaan dan keumatan yang telah
dikhayalkan sejak lama. Meskipun bukan tanpa kendala sama sekali, terlampau
banyak angin kencang yang menabrak konsistensi organisasi ini dalam menegakkan
idealismenya sebagai mahasiswa, umat Islam maupun bagian dari sistem sosial.
Terkadang indikasi itu berasal dari luar, dan tidak jarang tumbuh dari dalam
struktur sendiri.
Dalam pemahaman saya setelah belum lama berkecimpung
dalam organisasi ini, terdapat dua jenis kader: pertama, adalah kader yang dibesarkan oleh HMI dan kedua, kader yang membesarkan HMI. Pada
tipe pertama, biasanya adalah mereka yang memendam motif oportunis dan
pragmatis. Mereka menggandeng label HMI sebagai modal pribadi dengan tendensi
mencari manfaat individual entah itu bagi kerja, prestise, kehormatan,
popularitas, ekslusifitas, dompet, relasi dan macam-macam lainnya. Dengan
logika dasar: berlindung di pohon yang besar dan rimbun akan instan memberi
kesejukan dan kecipratan jatuhnya buah dari dahan-dahannya yang kekar,
bercabang banyak, lagi bergizi bagus.
Aku lebih senang dengan tipikal kedua: mereka yang
berkomitmen utama untuk mengedepankan membesarkan marwah organisasi sebagai
prinsip utama kader, menjalankan dan senantiasa menerjemahkan mission sacred HMI dari tataran normatif
ke tataran praksis. Mereka adalah orang yang meminimalisir kebutuhan pribadi
dalam aktivitasnya, dan memberikan porsi energi sebanyak-banyaknya demi manfaat
organisasi entah itu secara struktural, finansial, materiil, moral, ataupun
intelektual. Dan tentu saja, pengabdian dalam bentuk apapun kepada rumah organisasi
– dimanapun kita berproses – memiliki keharusan mutlak, untuk selalu berupaya
agar sekecil apapun itu, semoga bisa memberikan kontribusi atas terciptanya
masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT (Masyarakat Madhani atau Civil Society).
Watak tersebut haruslah menjadi cerminan sebagai
prototype kader ideal (insan Cita). Meskipun ironis, saya dan anda tau, bahwa
begitu sedikit dan jarang tipikal kader itu dibandingkan tipikal pertama.
Kadang saya berpikir, “gampang saja melacak dimana keberadaan kader yang insan
Cita itu, cari saja mereka yang didiskriminasi, diasingkan, dibunuh secara karakter, teralienasi, biasanya adalah
orang-orang yang berkata benar dan membuat mereka yang jahat ketar-ketir ketakutan,
makanya yang baik biasanya dihancurkan dengan begitu terorganisir”. Bukan
berarti aku mendiskreditkan eksistensi HMI, tapi agaknya mekanisme ini berlaku
juga di wadah yang lain entah itu dalam himpunan mahasiswa, politik, komunitas,
dan sebagainya. Jangan heran politik uang (money
politik), propaganda dengan cara stigmatisasi, hegemoni lewat teror dan
ketakutan, merupakan metode yang paling ampuh memenangkan PEMILU. Hal itu
disebabkan karena pemilihan kita yang diukur dari suara mayoritas, sedangkan
mayoritas itu biasanya pragmatis, materistis, berpikiran sempit, ceroboh,
gegabah, susah, suka instan, konsumtif, dan sebagainya. Makanya jangan heran
lebih sedikit orang berpendidikan dibanding orang non-berpendidikan, lebih
banyak orang miskin daripada kaya, lebih banyak orang malas daripada kritis,
lebih banyak orang apatis daripada pro-aktif, lebih banyak pragmatis daripada
idealis.
Tapi diatas pesimisme dan rasa sedih melihat
realitas yang terjadi di tengah pusaran kekuatan yang begitu dinamis ini, selalu
aku menghibur diri melihat titik-titik kecil sebagai modal menaruh optimisme
pada masa depan kita bersama. Bukankah Rasulullah harus siap dilempari kerikil
dan kotoran sebelum memperoleh pengikut-pengikut setia, maka aku percaya Tuhan
selalu berada di tengah-tengah mereka yang benar dan konsisten apalagi mereka
yang serius mendedikasikan diri dalam tugas suci perkaderan. Masih ada harapan
pada HMI, aku yakin itu, dan semoga Kongres nanti bisa mewujud sebagai forum
yang dialektis dan kaya akan diskursus-diskursus yang lebih substansial
daripada ketidakarifan berpolitik, aksi-aksi primitif, libido kekuasaan, serta
arogansi kebinatangan yang marak laiknya kongres 28 silam. Besar harapan, kader
HMI se-Nusantara sudah cukup dewasa setelah instropeksi dari kejadian terakhir.
Besar juga harapan, semakin sedikit sedikit penumpang gelap (dark passenger) kebesaran HMI dan
semakin banyak loyalis ideologis.
KEISTIMEWAAN
KALI INI..
Senang rasanya, apabila orang yang kau cintai
dihargai, dihormati, disayangi, dikasihi, diberikan keistimewaan-keistimewaan
tertentu. Itulah yang aku rasakan, dan semoga kader lain dimanapun kalian
berada merasakan hal yanag sama, sebuah kebanggan bisa mendapatkan kepercayaan
publik atas pelayanan demi pelayanan berikhtiar menjalankan amanah bangsa dan
agama. Setelah bansos yanag begitu luar biasa banyaknya dikucurkan oleh
pemerintah provinsi Riau, baru-baru ini salah satu maskapai terbang besar di
Indonesia siap membantu proses mobilisasi peserta dengan menyediakan pesawat
yang secara ekslusif tertempel logo kongres HMI. Meski tentunya previllege ini jangan sampai membuat
kita kepala besar dan ujung-ujungnya terbawa keangkuhan karena pelan-pelan
telah diakui sebagai kelompok elite dengan berbagai fasilitas mewah. Lebih dari
itu, harusnya membuat kita lebih sering ber-taffakur
dan meningkatkan kinerja baik program maupun visi yang lebih baik lagi bagi
pembangunan bangsa dan negara.
Kata siapa tidak ada masalah dalam proses persiapan
penyelenggaraan kongres ini? Sebagaimana pohon bila kita analogikan, semakin
tinggi maka semakin gampang digoyang angin apalagi kalau akarnya tidak kuat
tertancap. Semakin besar kiprah organisasi, semakin menuai dukungan dan
pengakuan oleh publik, semakin rentan runtuh dan tumbang oleh zaman. Sejarawan
besar yang kukena bernama Arnold Toynbee bertesis: apabila suatu kekuatan
peradaban memuncak, maka gejala keruntuhan (decline)
akan nampak. Bukankah peradaban Islam mundur dan diam di tempat tatkala sudah
merasa angkuh dan besar dibanding peradaban lain? Sebagai organisasi yang
menyadari mekanisme sejarah berlaku, baiknya kita peka atas degenerasi moral
dan intelektual yang agaknya mulai tampak saban hari.
Salah satu ketakutanku adalah, semakin elite HMI,
maka akan semakin berjarak dengan rakyat. Bukankah kita semua sepakat bahwa
alasan kehadiran (raison d’etre)
organisasi ini terderivasikan langsung dari dua variabel utama: keIslaman dan
kebangsaan yang keduanya sama-sama menempatkan rakyat sebagai pusat orientasi
paradigma. Aku takut, semakin ekslusif kita maka akan semakin sempit dan kecil
akses kita dengan rakyat, terutama rakyat yang terbiasa hidup kelaparan dan
lupa caranya berbahagia di negara sendiri.
Memang benar sebagaimana pembacaan Kuntowijoyo dalam
Paradigma Islam, bahwa model
perubahan HMI adalah dari atas ke bawah (up-bottom).
Dimana distribusi kader berfokus pada institusi-institusi yang memegang
otoritas membuat kebijakan-kebijakan strategis entah itu dalam politik, ekonomi
maupun hukum. Barangkali yang paling representatif adalah Rakanda Jusuf Kalla
yang mencapai level Wakil Presiden bahkan dua kali, dan untuk yang terluas
adalah Rakanda Machfud MD yang sempat mencicipi pengabdian pada tiga lembaga
utama: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Paradigma strukturalistik ini telah
tertanam kuat dan teguh dalam alam bawah sadar kader. Pemahaman kader HMI sudah
cukup mantap dalam keahlian mengelola sistem, struktur dan pola-pola komunikasi
strategis dalam membuat rekayasa sosial. Tidak ayal lagi, kita memiliki
kecondongan untuk dekat dengan pusat-pusat kekuasaan.
Akan tetapi kita semua sadar, kekuasaan itu
senantiasa menarik dicolek, dia menawan dan menarik orang-orang untuk
berkompetisi meraihnya. Kekuasaan berlaku bak permata atau berliah yang
mengkilau, akan tetapi tidak semua yang berkilau itu indah. Sepemahamanku,
gara-gara perebutan kekuasaan orang rela menjadi pembunuh, perampok, dan
pengkhianat. Aku lebih banyak melihat orang-orang busuk daripada baik dalam
pusaran kekuasaan dimanapun ia berada. Lord Acton juga begitu, berkata
kekuasaan itu berkecenderungan ke arah tindakan yang korup. Maka harus kita
takutkan, apabila organisasi tercinta kita sudah begitu dekat dengan
lokus-lokus kekuasaan, maka kita harus berani curiga dan waspada supaya jauh
dari jebakan keserakahan akan kuasa apalagi rupiah. Aku juga khawatir,
jangan-jangan karena paradigma strukturalistik yang begitu kuat terpatri, kita
diam-diam mengidolakan kekuasaan dibanding hasrat mengabdi. Bukankah cukup
jelas Cak Nur bernasehat: kekuasaan bukan tujuan, hanya kekuasaan dibutuhkan
untuk mewujudkan tujuan. Hanya saja banyak yang tidak fokus, dan malah berbuat
sebaliknya.
Memahami kondisi psikologis yang tengah bergejala
luas ini, kita kembali dihadapkan pada ujian publik yang lain. Kecaman dan
kecurigaan berdatangan menyikapi bantuan sosial dari pemprov Riau pada
perlehatan Kongres nanti. Bantuan 3 M dianggap terlalu lebay oleh berbagai
pihak yang bahkan datang dari dalam internal HMI sendiri. Beberapa diantaranya
beranggapan bahwa tidak mungkin mahasiswa dapat mempertanggungjawabkan anggaran
sebesar itu, sebagian yang lain mengangkat anggaran terhadap pencegahan
kebakaran hutan dan lahan yang malah lebih sedikit (1,4 M). Dalam pernyataannya,
Gubernur Riau menjawab bahwa kongres ini juga penting sebagai pembelajaran
penting terhadap generasi muda Indonesia dalam pentas nasional. "Kami
melihat acara ini sebagai proses pembelajaran bagi pemuda Riau di tingkat
nasional.”
Hari ini HMI sekali lagi ditantang rupanya, dapatkah
organisasi kita mempertanggungjawabkan anggaran tersebut dan mampu berlaku
akuntabel, transparan dan kreatif dalam melaporkan pengelolaan angaran tersebut
pada publik secara luas dan rinci. Kenapa hal ini sangat sensitif? Mengingat
bencana kabut dan pembantaian hutan yang sempat melanda Riau beberapa waktu
lalu, jangan sampai imej HMI dicap sebagai rakus atau serakah menguras APBD
secara berlebihan di tengah-tengah kesusahan Pemprov menangani bencana ekologis
yang begitu krusial. Saya rasa penyelenggara Kongres punya cukup alasan untuk
menjawab hal demikian, mengingat organisasi ini telah memiliki lebih dari
ribuan komisariat, sekitar 200 cabang, dan 30 lebih badko yang tersebar di
seantero Nusantara. Maka semakin besar eksistensi organisasi, semakin besar pula
kebutuhan finansialnya.
Dalam statement Ketum PB HMI, Arief Rosyid, penyelenggara
kongres siap untuk menanggung beban transportasi dari 1.500 peserta kongres di
berbagai daerah. Maka katakanlah satu tiket seharga 1 juta, sehingga total biaya
keseluruhan adalah 1,5 M hanya untuk mengongkos kedatangan peserta. Belum lagi
biaya konsumsi selama 5 hari (22-26 November). Misalnya, kebutuhan konsumsi
satu orang adalah 50 ribu per hari, ditotal dengan 1.500 peserta selama 5 hari,
maka untuk konsumsi terhitung menghabiskan cost
375 juta rupiah. Dengan demikian, hanya untuk makan dan datang saja, sudah
menguras lebih daripada 1.5 M. Belum lagi dengan estimasi dana yang tidak
terduga, kebutuhan logistik, acara, dan lain sebagainya. Bisa jadi malah, total
biaya anggaran melebihi 3 M. Sebuah tantangan besar bagi Panasko (Panitia
Nasional Kongres) untuk membuktikan bahwa sketsa acara Kongres dan besarnya
kebutuhan anggara sudah proporsional dan terbukti valid dengan melampirkan
laporan pertanggungjawaban secara komprehensif, mendetail dan menyeluruh pada
publik dan masyarakat tentunya. Agar mutual
trust dengan rakyat tidak pernah terputus, dan dukungan demi dukungan dari
berbagai elemen bangsa tidak pupus sia-sia karena ketidakbecusan mengurus
administrasi dan ketidakbijaksanaan memanfaatkan anggaran pemerintah yang
notabene dihisap dari pajak rakyat. Dengan begitu, asumsi bila organisasi ini
ekslusif dan elite namun berjarak dengan rakyat, dapat tertolak mentah-mentah.
Pada kesempatan nanti, Kongres sebagai perjamuan
akbar segenap kader HMI, akan begitu ramai menuang euphoria dan ekspektasi.
Namun jangan sampai kita berhenti dalam opini bahwa, Kongres hanya sekedar
memfasilitasi kompetisi politik dalam memperebutkan tampuk kekuasaan. Siapa sih
yang tidak mau jadi bos di organisasi sebesar ini? Tapi kita semua sebagai
kader yang baik, pastilah selalu menghendaki pemimpin yang baik. Tiada pilihan
lain selain figur ideal untuk memimpin organisasi yang besar. Aku yakin
pemimpin itu tidak lahir dari ruang hampa, dia pasti muncul dalam arena
pertarungan yang sehat dan tidak melupakan pentingnya gagasan, visi, hasrat
perubahan yang tinggi, serta skill menangani dinamika dan aspek-aspek penting
lain.
Aku yakin, kalian, yang tengah membaca teks ini
sampai kata paling akhir, dimanapun kalian berada, etnis apapun kalian, budaya
apapun yang kalian junjung, dan perbedaan lainnya di antara kita memendam satu
persamaan yang kuat: bahwa kita diikat oleh sumpah sebagai kader HMI. Sehingga
bukan tidak mungkin untuk menaruh optimisme dan siapa tahu doa kita semua sama
untuk Kongres ke-29 ini. Setelah napak tilas yang begitu melelahkan, melewati
dinamika-dinamika sejarah yang semakin usang membeku dalam kacamata waktu,
semoga romantisme yang kita habiskan dengan bangsa dan umat tidak pernah
tersendat dan tidak berakhir singkat. Aku mungkin bukan siapa-siapa di HMI,
hanya kader biasa, tidak menempati struktur manapun, begitu kecilnya diriku di
mata HMI, tapi begitu besar HMI di mataku, pikiranku dan hatiku. Begitu berarti
HMI dalam membentukku sebagai pribadi yang berpikir bebas dan memiliki hati
yang semoga tidak terbatas. Begitupun – harusnya – kalian, dan semoga dalam
perbedaan kita, doa kita selalu sama.
0 Komentar