Oleh : Triwardana Mokoagow (tyologi)
Sungguh
membingungkan, aku bingung apa gerangan yang membuat teman-temanku menggemari
Nietzche yang berkumis tebal itu. Padahal dia biasa-biasa saja. Yang mengagumi
Nietzche biasanya adalah mereka yang sedang puber berfilsafat. Tatkala mereka
pertama kali menatap bagaimana filsafat yang piawai dalam melatari permainan
berpikir bagaikan puzzle atau kubik yang susun-menyusun dengan indah nan rumit.
Seketika, kubik tersebut menggelinding dan kebetulan berhenti di bawah kaki seorang Jerman yang berjas
hitam. Lelaki itu, yang kemarin baru-baru saja ia kagumi, Nietzche, yang
kemarin di pasar meneriaki kata-kata yang kalau tidak salah seperti ini: Tuhan telah mati! Kita, kita yang
membunuhnya!
Dalam
atmosfer berpikir hari ini, menabrak hal-hal yang tabu sebagai sesuatu yang tak
usah dipertanyakan, merupakan hal yang beresiko. Kenyataan yang memilukan
adalah, bahwa masyarakat kita zaman ini hampir semirip manusia-manusia primitif
terdahulu. Perbedaannya hanyalah kalau dulunya goa adalah rumah maka hari ini
telah bermetamorfosis menjadi gedung-gedung pencakar langit di tengah
perkotaan. Persamaannya begitu sederhana, jelas saja: bahwa kita sama-sama
lahir sebagai makhluk yang munafik, suka menyangkal realitas supaya bisa
menciptakn ilusi kebahagiaan: kita memiliki kecondongan untuk memegang erat
tabu dan mensakralisasi ajaran nenek moyang. Mau salah atau buruk, harus kita
jaga warisan nenek moyang ini!
Keajegan
dalam berpikir dan menggagas telah menyiratkan satu kejenuhan masyarakat.
Mereka mengetahui kebenaran, tetapi menyatakan dan memperlihatkannya adalah
musibah sebab siapapun yang melakukan itu akan dilaknat oleh otoritas gereja
atau kekuasaan monarki. Mereka yang melakukan gerakan penolakan, yang
bertentangan dengan apa yang diterima masyarakat, dipandang sebagai orang-orang
yang berani. Mereka adalah orang-orang yang hidup jauh dari kenistaan meskipun
wajah penuh lumpur dan badan dijejali kusta. Mereka dianggap pemberani, sang
pahlawan, dikagumi sebagai seorang yang mahsyur dan melegenda.
Nietzche
melakukan itu, tatkala Jerman sedang asyiknya digombali oleh metafisika Hegel
dan Kantian. Dia menelusuri terowongan yang gelap dan temaram, menentang arah
dimana mayoritas mengarah. Dia membuat sebuah sikap etis yang tidak
ternampakkan pada diri Schopenhauer. Tatkala orang-orang sedang berbicara
tentang Roh Absolut, kebebasan, Logos, -
dan semacamnya. Sedangkan Nietzche, telah merampungkan kebebasannya sendiri di goa tempat
persemayamannya. Dia menemukan jalan keluar yang bernama Zarathustra. Sang Nabi
yang meriwayatkan kematian Tuhan.
Nietzche
begitu sederhana, terlalu sederhana untuk dibicarakan. Aku kasihan melihat
orang-orang yang berbondong-bondong menyukai dan mengagumi Nietzche, yang
bahkan membuat komunitas dan menamai diri mereka Nietzchean. Mereka adalah orang-orang yang harus mengembarai sepi,
mencari eksistensi diri sebelum bebas. Mereka harus merasakan deranya
kegelisahan, ributnya kepanikan, kejamnya kekhawatiran dan ironisnya
perjalanan. Orang-orang malang itu, harus kalang kabut tatkala menyusuri derap
demi derap langkah Nietzche, hingga sang filsuf menggila pada tahun 1888. Habis
sudah nyawanya, terbanglah pemikirannya yang cemerlang sebebas sayap burung
kolibri. Sementara pengikutnya tampak cengar-cengir mengagumi sosok tokoh ini,
dari kumisnya, hanya dari kumisnya saja.
*Catatan
: Untuk diskusi dan interaksi lebih intim bisa temukan saya pada:
a.
Instagram : Tyo Mokoagow
b.
FB : Tyo Mokoagow
c.
Twitter :Tyologi
d.
Kompasiana : Tyo Mokoagow
e.
No tlp : 0812-22-816-009
f.
Email : Hyde7125@gmail.com

0 Komentar