Sebutir peluru melesat, memecahkan ketentraman malam Perancis yang romantis itu. Senapan jenis Kalashnikov (AK) tersebut, sukses menjalankan perintah tuannya. Dengan bangga diri dia mempersembahkan suatu pemandangan yang teramat jauh dari kesan elok dan indah – sebuah ruangan restoran, Le Belle, terlihat mengerikan dan menyakitkan: telah terbujur kaku jasad kedua puluh orang yang diketahui sudah tidak lagi bernyawa. Orang-orang tersebut yang pada beberapa kesempatan sebelum peristiwa itu terjadi, masih sempat berbagi tawa dengan kekasih-kekasih mereka; masih sempat memikirkan anak-anak serta ayah ibu yang belum mencicipi kebanggan dari mereka; masih menikmati lilin-lilin harapan dalam relung hatinya, berniat dihampiri kebenaran sebelum pulang pada Tuhan.
Malam itu begitu nahas, sebelum tugas sebagai manusia tuntas, mereka terpaksa harus cepat pulang ke Tuhan... Mati, adalah keadaan yang mereka lalui setelahnya.

Secara ilustratif, sebagaimana yang saya representasikan diatas semoga bisa membangkitkan daya imajinasi dan penghayatan pembaca supaya berada pada level yang sama dimana saya merasa haru dan risau untuk sekali lagi, meratapi realitas pahit yang terjadi di muka bumi. Kenapa anak-anak Adam dan Hawa harus bertikai satu sama lain, hingga begitu kejam dan tidak teganya melakukan penyiksaan, kebrutalan kejam, pembunuhan, perampasan nyawa yang hidupnya dianggap berharga oleh seseorang lain.
Hati siapa yang tidak tergetar tatkala orang yang dia cintai, dia sayangi, yang dia kasihi, yang demi mereka dia rela melaksanakan pengorbanan tertinggi, yakni sikap altruisme dimana mereka rela menanggung sakit dan derita orang supaya yang lain tidak merasakan hal yang sama. Lalu jikalau kau bersepakat dengan argumenku ini, maka betapa agung engkau sadari sikap Yesus yang rela menanggung dosa manusia yang bahkan belum sempat terlahir di dunia; atau sikap Buddha yang membujuk umat manusia agar menjauh dari sumber derita sebagaimana yang ia saksikan diluar singgasana kerajaan sang ayah; atau sikap Muhammad yang sempat mengajukan kompensasi pada Tuhan tatkala menyaksikan betapa pedihnya luka-luka dunia yang dengan tangis yang terisak meminta Tuhan mengurangi rasa sakit yang ditanggung umatnya. Begitu halnya dengan agama-agama lain. Aku percaya dan meyakini, tiada agama yang simbol utamanya, nabinya, Tuhan-nya, ajarannya, kitab sucinya: MENYURUH MEMBUNUH, MEMERKOSA, MERAMPOK, MENYIKSA, MEMBANTAI dan semacamnya.
Maka kalau kau penganut Buddha, Islam, Kristen, Kong Hu Cu, Hindu, dan agama lain yang selama masih memegang konsistensi bahwa agama merupakan jalan untuk kedamaian dan mewujudkan sifat kemanusiaan yang penyayang dan pengasih: maka pahamilah bagaimana jika masing-masing dari kalian dihadapkan di hadapan pemimpin ajaran kalian yang paling awal: ulama akhirnya dipertemukan dengan Rasulullah Muhammad di Padang Mahsyar; Para pendetta dan orang Kristen yang taat akhirnya dipertemukan dengan Yesus Kristus di perjamuan Taman Surga; Bhikku/Bhikkuni akhirnya dapat berjumpa dengan sang Buddha, Sidharta Gautama dalam Nirwana; dan hal sama terjadi pada yang lain. Jika kalian masing-masing sudah berhadapan, prediksikanlah, intropeksi diri masing-masing, “sudah pantaskah laku dan pikiranku untuk kau sebut sebagai muridmu?”
Dalam filsafat Perenialisme, semua agama itu pada hakikatnya itu satu padu. Bahwa agama terdiri dari dua dimensi yakni Esoterisme dan Ekso terisme; transedental dan imanen; spiritual dan fisikal; dan semacamnya. Memang tata cara ritual tiap agama berbeda, simbol yang mereka gunakan juga bermacam-macam, tata cara serta metode mereka untuk mencapai Elan Vital atau Realitas Tertinggi atau yang lebih akrab dengan kita yakni istilah konsep Tuhan, tentu saja berbeda-beda. Tetapi pada dasarnya semua agama berusaha untuk menafsirkan satu hal yang sama bukan? Yang berbeda hanyalah tafsir dan perspektif, karena perbedaan ruang dan waktu (spasio-temporal) menyebabkan perbedaan sosio-historis-budaya yang berbeda-beda, dan mempengaruhi sistem keyakinan dan corak ritual beragama yang masing-masing selalu mengalami pluralitas.
Pada intinya adalah, semua agama mendambakan apa itu kebenaran, keadilan, keindahan, kebaikan, keluhuran, keagungan, dan semacamnya. Akan tetapi, ekspresi serta cara untuk mencapai nilai-nilai (value) tersebut ditempuh dan dilakoni dengan cara yang berbeda-beda.

Nilai Dasar Kemanusiaan
Apakah yang disebut manusia? Apakah sekedar tumpukan daging dan tulang belulang? Apakah kumpulan dari sel-sel organisme makhluk hidup yang membentuk struktur biologis dan mampu mengatur kehendaknya sendiri? Apakah yang disebut manusia? Apakah hanya sekedar jasad yang dilapisi kulit?
Persoalan ini sudah terlampau sering saya diskusikan dan bagi bersama kerabat-kerabat yang telah lama akrab. Mau diawali dari manapun pertanyaan dan pembicaraan mengenai kemanusiaan, pada akhirnya akan berujung pada satu kesepakatan yang pasti: puncak kemanusiaan adalah sikap hidup yang berkebebasan dalam melakoni kasih sayang dan cinta dalam hubungan dengan makhluk lain. Intisari manusia adalah sikap altruisme.
Kita bisa saja bersepakat dengan Darwin perihal survival of the fittest – origin the species, bahwa hukum utama makhluk hidup dalam berkehidupan adalah mencoba bertahan hidup dengan beradaptasi. Karena demikianlah kita mahfum bahwa seekor binatang pasti akan lari tatkala mereka manganilisis lawan mereka lebih kuat daripada mereka sendiri. Tapi manusia, dalam beberapa hal mereka mengerti lawan mereka jauh lebih lebih kuat darinya, tapi mereka tidak kunjung juga melarikan diri. Pernahkah kita melihat anjing, kucing, kecoak, kelinci, tikus dan hewan lain bunuh diri? Tapi akan marak kita ketemukan kasus ini dalam kehidupan manusia, Durkheim berhasil menyingkap sebuah fakta yang menarik berkaitan dengan altruisme ini: hanya spesies yang bernama manusia, yang rela membunuh dirinya sendiri. Bunuh diri (suicide), merupakan sikap altruistik dalam suatu konteks yang sangat spesifik. Kalau kita bersepakat dengan Darwin, bahwa hukum kehidupan mengatur tentang mutlaknya makhluk untuk selalu bergantung pada kondisi dimana mereka harus mempertahankan kehidupannya, maka bagaimana dengan manusia yang tidak sedikit rela hidup menderita, menolak kenikmatan, rela bunuh diri, pasrah hidup tersiksa demi menanggung derita orang lain (the others/liyan)?
Intisari manusia adalah kebebasan melakoni kasih sayang dan cinta terhadap makhluk lain. Menyadari hal demikian, maka akan terang bagi kita kenapa posisi seorang ibu begitu ditinggikan oleh ajaran agama. Misalnya, Muhammad pernah berkata: “...ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu”. Kata ibu diprioritaskan dan diulang-ulang, menandakan bahwa ada sesuatu yang istimewa dan spesial dari sosok sifat “ibu” tersebut. Maknanya bahwa ibu merupakan sosok yang paling dekat dengan ciri kemanusiaan, karena mereka dikaruniakan kecerdasan menanggung penderitaan mental, psikis, biologis, fisik, batin hanya demi menanggung beban anaknya. Tidak heran banyak mengasosiasikan perempuan sebagai makhluk yang melankolis, perasa, yang kecerdasan emosionalnya cenderung lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Karena di dalam setiap perempuan, terdapat sifat dasariah: sifat “ke-ibu-an”.
Sebelum melenceng terlalu jauh, mari kita luruskan bersama, bahwa puncak kemanusiaan adalah sikap altruisme. Sikap dimana manusia rela menanggung beban yang lain tanpa pamrih dan balas budi. Bagiku, keistimewaan ini yang mengangkat derajat manusia selaku spesies terunggul dibanding makhluk lain.
Berbeda dengan tumbuhan yang bergerak karena ada dorongan angin. Berbeda dengan hewan yang aktivitasnya didorong oleh naluri atau insting biologis. Manusia mampu bertindak dan berkehendak dari dorongan irasional yang disebut moralitas, sebuah hasrat mendambakan kebaikan ideal, cinta yang luhur, kedamaian tertinggi. Sebuah proposisi yang diutarakan Leibniz, membuat aku terpesona: “Kenapa manusia adalah makhluk yang paling dicintai Tuhan? Sebab manusia punya kebebasan untuk berbuat baik atau buruk, tapi mereka memiliki potensi untuk berkecenderungan pada sesuatu yang baik daripada buruk atas dasar kesadaran berkehendaknya sendiri (free will/kehendak bebas), antara lain, bukan hasil dari paksaan atau bukan dalam kondisi keterpaksaan”.
Sudahkah kau pahami itu? Kalau sudah, maka rasakanlah hal yang sama denganku saat ini. Semoga kau bisa menyaksikan hal yang aku saksikan hari ini: tatkala menatap dunia yang telah berjalan jauh kedepan, telah merangkum sejarah dan peradaban besar umat manusia dalam satu kompleksitas hidup yang sejatinya sederhana, masygul aku melihat begitu banyak manusia, akan tetapi, hanya sedikit aku mampu menyaksikan hadirnya kemanusiaan.
Dalam konteks ini, marilah kita telaah perihal terorisme yang untuk sementara sedang menjadi bahan diskursus dalam ruang publik.

Terorisme; Sebuah Penjernihan Istilah

Pablo Picasso: Guernica (1937)

Hari ini, kita saksikan bahwa keyakinan ternyata telah mendahului kesadaran akan fakta dan kebenaran. Kita akan lebih mudah dan tidak butuh energi banyak-banyak untuk menaruh curiga, dan berpandangan negatif akan sesuatu dibandingkan kita menghabiskan energi dengan susah payah untuk menggali kebenaran atau yang paling mendekati kebenaran. Contohnya adalah: tatkala menerima berita tentang golongan A merupakan golongan yang sesat dan menyimpang dari berbagai macam media massa yang ada (TV, internet, media sosial, Broadcast, Instagram, Twitter, FB dll), maka kita akan berkecenderungan menganggap bahwa apa yang diberitakan di dalam informasi tersebut pasti telah lolos dalam pertimbangan nalar publik dan kita akan dengan mudah menerima kebenaran versi media massa tersebut.
Dikarenakan keterbatasan ruang dan waktu, maka akan kesulitan dan butuh waktu, energi, tenaga, semangat yang sangat tidak sedikit untuk berusaha susah payah melacak suatu kebenaran. Misalnya kita ingin menginvestigasi kasus bom bunuh diri di Perancis, tapi bukankah bila kita sungguh-sungguh, maka kita harus punya cukup banyak uang untuk membeli tiket pesawat, butuh waktu bertemu satu persatu dengan para saksi, butuh beberapa alat penunjang seperti kamera, HP, catatan, buku tulis, tim pencari kebenaran, perlu memanage dan mengorganisir sehimpun pengetahuan serta informasi dan semacamnya.
Karena kesulitan tersebut, kita terpaksa hanya menerima kebenaran dan informasi secara instan lewat perantara media massa dan kecanggihan teknologi informasi. Begitu pesatnya perkembangan informasi dan cepatnya dinamika perubahan yang terjadi dalam tiap lini kehidupan manusia yang begitu besar ini, akan sangat kesulitan bila kita mendalami semua fakta yang ada di dalam peristiwa yang sejatinya saling bertautan satu sama lain. Sehingga kecenderungan masyarakat pada umumnya, adalah menerima informasi secara membabi buta, dan supaya gampang dan tidak biking pusing, menelan semua informasi dan mengklaim informasi tersebut sebagai fakta atau kebenaran yang terjadi.
Kesadaran akan fenomena ini, pastilah dikarenakan akses globalisasi sebagai hukum sosial yang bersifat pasti, telah menjadi mekanisme tersendiri yang memiliki semacam prinsip-prinsip general yang mengatur unsur-unsur di dalamnya. Para pemimpin yang menyadari mekanisme globalisasi ini, kemudian melakukan semacam upaya rekayasa sosial, atau upaya hegemoni dalam rangka mencapai obsesi mereka atau keyakinan besar mereka.
Mereka menyadari, bahwa umat manusia yang begitu banyak di bumi ini, pasti membutuhkan informasi. Dan watak masyarakat di era canggihnya teknologi informasi, adalah melahap informasi secara instan dan langsung mengelolanya sebagai kebenaran yang dianggap nyata (padahal belum diverifikasi secara ilmiah ataupun rasional). Makanya kita akan lebih gampang menemukan orang yang menjadi korban doktrinisasi, dogmatisme, fanatisme buta, fundamentalisme, ekstrimisme, takfiri, dan yang serupa mereka dalam realitas berkehidupan.
Mereka kemudian melaksanakan agenda setting; upaya memanipulasi kesadaran publik dengan propaganda-propaganda, membuat pemahaman baru, penggiringan opini, dan rekayasa paradigma. Dengan suatu tujuan, agar supaya persepsi publik sesuai dengan kehendak sang aktor yang membuat skenario perubahan.
Nah barangkali dari sini, kita sudah cukup untuk menyimpulkan, bahwa terminologi terorisme, tidak lain dan tidak bukan hanyalah konsep atau abstraksi mental, yang dipahami oleh sekelompok elit tertentu yang mengalami suatu kondisi diteror/didiskriminasi/dijahati yang kemudian mereka salurkan lewat media-media informasi raksasa supaya dapat dipahami oleh masyarakat di ruang publik.
Lantas bagaimana kita membacac makna Terorisme sebenarnya? Perlu dipahami bersama, bahwa istilah terorisme hari ini perlahan-lahan mulai diasosiasikan kepada simbol agama tertentu. Katakanlah, kemunculan ISIS, tribalisme akut di Timur Tengah, bom bunuh diri dengan dalil melaksanakan jihad. Saya secara pribadi, menangkap ada upaya menggiring nalar publik supaya melakukan stigmatisasi (mencap suatu kelompok dengan kesan yang negatif) terhadap simbol yang terkait.
Barangkali lewat peristiwa sejarah yang lebih konkret dan gamblang, marilah kita buka-bukaan bahwa penyelewengan makna ini berawal dari merebaknya wacana War on Terorism yang digemborkan oleh George Walker Bush dan didokumentasikan dalam ingatan sejarah sebagai peristiwa 11 September 2001. Yakni tatkala WTC runtuh oleh Pentagon yang diindikasikan merupakan aksi subversif dari kelompok agama tertentu.
Yang menurut saya, hanyalah klimaks dari bola panas dari ketegangan antara dua peradaban besar yang mendominasi dunia: Barat dan Timur; Rasionalis dan Mistis; Negara Maju dan Negara Mulia; Orientalisme dan Oksidentalisme; dan semacamnya. Bukankah diangkatnya episode Terorisme yang asosiatif dengan simbol agama tertentu hanyalah salah satu fase dalam pergulatan panjang sentimen atas perbedaan keyakinan yang berkecamuk dari sentimen Perang Salib/Perang Sabil, peristiwa pengusiran bangsa Yahudi Semitik, gerakan transmigrasi global dalam rangka ekspansi populasi, penyebaran umat manusia dalam kegiatan mempertahan hidup dan lain semacamnya. Yang sebenarnya sudah terbaca dengan ringkas dan jelas oleh Samuel Huntington sebagai peristiwa Benturan Peradaban. Bahw
Hingga akhirnya ingatan tersebut dibangkitkan kembali lewat peristiwa Bom Bunuh diri dan pembantaian membabi buta di Bataclan, kota Paris, Perancis. Peristiwa kematian yang kejam dan mengerikan yang sebenarnya sudah merupakan hal biasa di Syria dan Irak, dimana nyawa manusia seharga dengan nyawa nyamuk. Kengerian yang luar biasa itu menyergap hati dan simpati umat manusia, sehingga membangkitkan memori kemanusiaan, jiwa altruisme, membangkitkan emosi dan rasa ingin bersama-sama menanggung beban dan duka.
Disana ada sesuatu problematika yang memendam tendensi akan meletus; amarah, rasa benci, balas dendam, nafsu membalas kepedihan yang serupa – merupakan suatu kemungkinan yang tidak mustahil akan merenggut kendali manusia atas diri mereka sendiri. Jangan heran orang rela membunuh demi cinta, jangan heran orang rela bunuh diri juga demi cinta, kemanusiaan itu merupakan hal yang sangat rumit, yang dengan segenap kompleksitasnya malah menciptakan rantai setan balas dendam. Kalau mata dibalas dengan mata, tidak heran tidak lama lagi dunia akan buta; kalau nyawa mutlak dibalas dengan nyawa, tidak heran tidak lama lagi spesies manusia akan punah.
Salah satu hal paling pelik apabila cinta manusia direnggut, adalah tatkala emosi amarah dan benci menguasai hati mereka. Balas dendam bahkan sanggup dihalalkan, bom bunuh diri bahkan sanggup benarkan, membunuh, memerkosa, menyiksa, mendiskriminasi, mencuri, dan kegiatan keji lainnya mampu dibenarkan. Lantas masihkah kita disebut manusia pada saat seperti itu? Ketika seseorang ditimpa musibah atau bencana, secara psikologis mereka akan mencari objek untuk melampiaskan kekesalan dan kekalutan yang mereka alami dengan kayakinan apabila hal tersebut telah dilakukan maka dapat mengatasi “perasaan tidak enak” yang menjejali batin mereka yang tersiksa karena belum siap menerima kenyataan sebagaimana mestinya.
Contohnya ketika kecil, kaki kita tersandung oleh meja dan membuat luka. Kita kemudian menangis kesakitan, seorang anak kecil itu sejatinya menginginkan supaya penderitaan itu cepat berakhir, lukanya cepat sembuh bahkan dia berharap tidak pernah sebelumnya tersandung pada benda itu. Seorang ayah kemudian datang, dan mencoba menghibur dengan cara menjadikan meja tersebut sebagai objek dan mengajarkan bahwa cara melampiaskan rasa sakit anak itu yakni dengan keyakinan, bahwa kalau kita membalas perbuatan yang dilakukan oleh meja tersebut, lalu meja tersebut menanggung beban penderitaan yang sama dengan kita, maka keyakinan bahwa meja dan anak kecil itu merasakan hal sama merupakan suatu keadilan. Dan ketika keadilan tersebut tercapai, maka anak tersebut menganggap masalah sudah selesai.
Sifat kekanak-kanakan ini kemudian muncul dalam alam bawah sadar peradaban Barat. Konsekuensi logis dari mereka yang menanggung beban penderitaan karena kehilangan nyawa penduduknya yang mereka cintai, telah meyuburkan rasa benci dan dendam yang berlebihan terhadap pelaku kejahatan tersebut, sehingga mereka mencari objek yang pantas menerima perasaan yang sama dengan penderitaan yang mereka alami dengan keyakinan supaya tragedi tersebut sudah tidak akan terjadi lagi di masa yang akan datang dan beban masa lalu mereka dianggap seakan-akan telah teratasi.
Kemudian dilakukanlah manipulasi-manipulasi informasi, dikooptasi kesadaran publik dengan media massa, penyelewengan fakta, sehingga membuat konstruksi konsep atau opini di dalam alam bawah sadar masyarakat umum di ruang publik: bahwa objek yang harus disalahkan dalam kejahatan besar ini yang kita sebut terorisme adalah segala sesuatu yang seakan-akan terasosiasikan dengan simbol-simbol agama tertentu.
Kemudian karena publik sudah menyepakati tawaran dari sang pembuat propaganda ini, publik kemudian menyepakati bahwa “aksi terorisme yang dilakukan oleh sekolompok ajaran agama tertentu, legal dan sah-sah saja dibalas dengan aksi terorisme yang sama”. Akhirnya hukum Vendetta yang sempat dipraktekan oleh Masyarakat Arab Jahiliyah Pra-Muhammad kembali dihidupkan, rantai balas dendam dimulai, bola panas konflik raksasa antar peradaban mulai menabuh lagu perang. Sekali lagi, kita tinggal menunggu dunia menjadi buta dan umat manusia punah.
Mari kita kerucutkan, dengan demikian ada dua kesimpulan yang perlu kita sadari disini: Pertama, ada suatu gejala dalam mekanisme globalisasi lewat bantuan teknologi-teknologi informasi, dimana sebuah pihak menggiring opini publik supaya menjustifikasi simbol agama tertentu sebagai pelaku yang wajib bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi. Yang perlu kita antisipasi bersama adalah jangan sampai kita mengalami kesesatan berpikir, bahwa hanya apabila satu orang dari agama Islam melakukan perbuatan bom bunuh diri, kita tidak boleh menjustifikasi semua orang Islam adalah pelaku terorisme (fallacy of hazty generalitation). Maka kita harus memberishkan tuduhan pelaku terorisme ini dari upaya mengarahkan opini publik untuk menjadikan golongan keyakinan tertentu sebagai objek yang patut bertanggungjawab. Bahkan negara-negara dengan mayoritas Islam, telah berstatemen mereka menolak mendukung aksi terorisme. Upaya menggiring opini publik untuk menyalahkan kelompok agama tertentu, hanyalah sebuah buntut dari sentimen sejarah yang berkembang lewat sentimen perbedaan budaya dan peradaban yang telah terjadi selama berabad-abad. Pada dasarnya, konflik terorisme bukan persoalan yang berakar dari agama, akan tetapi kepentingan politik dan hasrat serta kehendak irasional untuk memiliki kuasa mutlak, untuk membuktikan bahwa merekalah yang paling unggul.
Kedua, bahwa tidak pelak lagi, terorisme telak merupakan tindakan yang menentang nilai dasar kemanusiaan yakni: cinta kasih dan perdamaian. Terorisme membangkitkan rasa takut dan kegelisahan hebat atas peristiwa-peristiwa yang terjadi, manusia kemudian terjebak dan terperangkap dibalik jeruri kekacauan (chaos), kekalutan, ketidakpastian yang membuat mereka menderita secara batin dan psikis. Secara langsung terorisme mengakibatkan kematian dan kehancuran fisik, secara tidak langsung terorisme menyebabkan kegusaran dan kerugian psikologis. Lantas siapa yang tidak bersepakat lagi, bahwa terorisme bukanlah ajaran (-isme) yang berakar dari keyakinan moral tertentu, agama, klaim kemanusiaan, perdamaian dan sebagainya. Terorisme merupakan kegiatan yang nir-kemanusiaan, dan pelaku terorisme baik dia merupakan aktor secara langsung ataupun aktor intelektual (intelectual daader), mereka pasti tidak pantas mengaku diri selaiknya manusia!



Bersambung ~