Dalam keheningan, tatkala pikiranmu sudah cukup tenang dari kekacauan dunia atas hiruk pikuk yang senantiasa menuntut teratasi: beranikah kau untuk bertanya pada suara hati paling jujurmu? “Sudahkah aku beragama?”

Vincent Van Gogh: Starry Night (1889)

Pada tiap tindakan yang kau awali dengan menyebut nama Tuhanmu; pada tiap kesalahan kecil yang kau sesali dengan memohon maaf pada Tuhanmu; atas tiap doa yang kau panjatkan kepada sang Mahakuasa:  sudahkah kau pastikan dengan keyakinan paling dalam dan tepat, bahwa kau sedang beragama?
Kapankah seseorang disebut beragama? Kapankah seseorang disebut tidak beragama? Apa itu agama? Dalam kondisi apa sesuatu dapat disebut sebagai agama? Dapatkah kita beragama? Dan semacamnya...
Pertanyaan-pertanyaan demikian mungin sepintas terkesan mudah terjawab. Tapi melihat realitas yang hari ini terkuak di media massa, di lingkungan terdekat kita, di negara-negara dimana agama lahir dan bercokol membangun peradaban besar umat manusia. Tidakkah kalian merasa ada yang ganjil? Hampir 100 persen pelaku bom bunuh diri, terorisme, diskriminasi rasial, pembunuhan, pembantaian, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pengkhianatan, permusahan dan pencemaran lingkungan notabene adalah orang-orang yang mengaku hidup sebagai penganut agama. Lihatlah KTP mereka, atau tengoklah orang tua mereka, tidak mungkin mereka sama sekali tidak tersentuh oleh paham atau ajaran agama sama sekali. Akan tetapi, kenapa hampir 100 persen aktor yang melakukan tumpah darah di atas bumi adalah mereka yang menganut agama?
Masihkah para aktor perusak ketentraman dan keseimbangan dunia itu disebut “beragama” pada saat yang demikian? Mari kita kritisi, kita ulas, kita dekonstruksi hingga ke pondasi yang paling radikal. Dalam hal ini, berfilsafat tiada bukan merupakan keharusan yang tidak terkekang, dalam rangka merenungi dan menimbang kembali sejauh mana kita bisa mengklaim diri tengah beragama atau sedang tidak beragama. Maka pertanyaan paling mendasar dan patut untuk diutarakan dalam berbagai hal dan penting disini ialah: “Apa itu agama?”
Secara harfiah atau leksikal, agama berakar dari dia suku kata: “a” dan “gama”. “a” artinya “tidak” dan “gama” artinya “kacau”. Maka agama, dapat dipahami sebagai semacam seperangkat sistem kepercayaan dan sikap hidup yang menjaga dunia agar tidak mengalami kekacauan. Lantas bagaimana bila kita sandingkan konsep atas pemahaman definisi ini terhadap realitas yang nyatanya terjadi (das sein)? Bukankah hari ini kekacauan terlampau banyak muncul oleh klaim agama? Dalam aksi terorisme, sang pelaku meneriakkan nama Tuhan dan ajarannya sebelum memencet bom bunuh diri; bagaiman dengan beberapa kelompok yang mengaku sebagai pengikut Buddha ternyata adalah otak dari diskriminasi atas etnis Rohingnya di Rakhie Myanmar; bagaimana dengan aksi kolonialisme dan okupasi yang dijalankan oleh Israel atas Palestina secara agresif dan banal atas nama tanah Kanaan yang dijanjikan Yehovah (YHWH); lantas bukankah sejarah telah mencatat pengalaman kelam para santo dan uskup atas konspirasi dan praktek korupsi sistematik dalam otoritas Gereja di abad-abad pertengahan?
Semua dari mereka mengaku beragama, akan tetapi tidak ditemukan makna agama sebagai keyakinan dan sikap hidup yang membendung kekacauan, malah kontradiktif jadinya, agama dijadikan perisai dan benteng sebagai legitimasi untuk melakukan kekacauan, atau serba-serbi kegiatan yang mencerminkan amoralitas.
Aku heran, bagaimanakah citra Tuhan dalam benak mereka? Apakah Tuhan telah menjelma dan direduksi oleh mereka hingga menjadi sosok yang Garang, Pengutuk, Pencaci, Pengumpat, yang amat menyukai Kemurkaan, yang begitu Mudah Cemberut. Pernahkah sesekali mereka itu, melakukan kontemplasi dan perenungan dengan pikiran yang bebas dan hati yang tidak terbatas: “sudahkah benar caraku beragama?” Pernahkah mereka luangkan sedikit saja waktunya, untuk bertanya dan menjawab dengan keikhlasan yang paling jujur dan ikhlas, untuk berani mendengar “suara hati/nurani” yang katanya tidak pernah salah itu? Sudahkah mereka meluangkan waktu, untuk sedikit saja, membaca pikiran Tuhan atau memprediksi sikap Tuhan tatkala menanggapi cara mereka berpikir dan berlaku.
Mungkinkah wajah Tuhan telah bertransmisi dan menjelma sebagai sosok yang kejam dan keras bak ibu tiri (hanya majas=bukan berarti semua ibu tiri begitu). Maka agama telah mengalami dekadensi sehingga nilai moral terperosok hingga ke jurang yang disebut dengan titik nol. Melihat realitas ini, aku sungguh yakin: kebanyakan orang yang mengaku beragama, pasti tidak tau bagaimana cara beragama.
Agama bukan sekedar kau dilahirkan oleh seorang muslim, atau nasrani, atau biksu, dll. Tidak kemudian menyebabkan kau otomatis beragama sesuai dengan ajaran agama bapak ibumu. Agama bukan sekedar status administratif yang tercetak gamblang di papan KTP-mu. Agama bukan sekedar status yang kau gunakan supaya diakui dan tidak diasingkan oleh mekanisme sosial dan kekerabatan keluarga. Kau disebut beragama, bukan sekedar ketika kau dapat menjelaskan eksistensi Tuhan secara argumentatif, rasional, ilmiah, intuitif, manusiawi bahkan matematis. Lebih dari itu, agama adalah sikap hidup yang benar, yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Agama adalah sistem laku hidup dan seperangkat norma yang membentuk sikap dan etika (ethic’s) dalam menanggapi hubungannya dengan diri sendiri dan makhluk lain (the other’s / liyan).
Makanya bukan hal yang mengherankan bagiku, tatkala melihat perlahan-lahan timbul kecurigaan hingga serangan dan kecaman tegas dalam persoalan menyikapi kembali pentingnya agama. Melihat hampir 100 persen pelaku kejahatan adalah pemeluk agama atau aliran kepercayaan tertentu yang menurut masing-masing mereka sebagai dunia yang ideal (archetype/ideologi). Orang-orang muncul, mereka menabrak dan menghujat eksistensi agama. Beberapa dari mereka dengan watak yang berani dan bersungguh-sungguh mengaku diri atheist. Mereka mengamini pemikiran tokoh-tokoh besar terdahulu, yang mengamini teori evolusi Darwin, menyepakati ekses agama selaku ilusi dogma, mengiakan sabda Marx (religion is the opium for the people’s), menghormati aksioma Nietzche (gott is tott/God is dead/ Tuhan telah mati, dan kita yang telah membunuhnya). Maka wajar bagiku bila Karen Armstrong yang terkenal itu menulis pada bukunya tatkala meramal Masa Depan Tuhan: rumah-rumah Tuhan akan semakin sepi dan kosong, sebab orang-orang saban hari makin skeptis dan gamang melihat perilaku mereka yang mengklaim sebagai pengikut setia-Nya (=terjemahan bebas hehe..).
Hari ini, ingin aku mengkritik kalian. Tentu saja, kritik yang akan bertahan secara konstan dan konsisten selama sikap binal dan permusuhan senantiasa berkobar-kobar atas nama Tuhan. Selama ajaran yang disebut suci, dicuci dengan darah dan nanah serta air mata manusia-manusia yang tidak berdosa, yang masih punya kesempatan waktu dan kesehatan untuk menuangkan rasa cintanya pada dunia telah direnggut oleh nuklir, bom, dinamit, pedang, pistol, perang, pengkhianatan, rajam dan siksa-siksa lain. Aku mengkritik kalian, sembari senantiasa berdoa semoga saja cepat-cepat kalian sadar bahwa: “membunuh demi agama, tidak akan membuat mereka mengikuti agama kita; membunuh demi nama Tuhanmu, tidak ujug-ujug mempengaruhi mereka supaya mengikuti Tuhan versimu; menghancurkan tempat tinggal dan anggota keluarga seseorang, tidak ujug-ujug membuatmu diberikan tempat tinggal di surga ataupun diangkat sebagai keluarga para nabi atau pemimpin agamamu”. Aku percaya itu, apabila Yesus Kristus, Muhammad SAW, Sidharta Guatama, Confucius, Musa (Messiah), dan tokoh-tokoh suci lain bangkit dari kubur mereka dan menyaksikan tragedi yang lahir dari kedua tangan manusia yang mengaku pengikut ajaran mereka, aku yakin air mata tangisan mereka bahkan tidak mampu ditanggung oleh samudera dan sakitnya hati mereka bahkan tidak mampu ditanggung oleh hancurnya semesta.
Menjadi penganut agama yang binal, kejam, agresif, arogan, sombong, angkuh, dan keji tidak membuat orang-orang bersimpati padamu dan bahkan tidak membuat dirimu lebih baik dari mereka yang mengaku diri Athest. Tapi bukan berarti aku mengaku diri atheist tatkala mengkritik kalian. Aku memilih jalan yang lebih aman, lebih ramah kemanusiaan dan lingkungan, lebih bebas dalam berpikir dan tidak terbatas dalam membuka hati pada perubahan dan perbedaan. Aku lebih memilih ingin menjalani jalan yang demikian saja daripada ikut-ikutan fundamentalisme, ekstrimis, fanatis, puritan dan geng-geng berlabel agamis lain yang anehnya kok gandrung menciptakan kekacauan.
Aku lebih baik tidak ber-Tuhan apabila dan jika, Tuhan itu adalah Tuhan yang mereka tafsirkan: suka perang, suka bunuh-bunuhan, suka diskriminasi, suka menghalalkan darah orang, suka korupsi, suka arogan, suka mendahulukan kemurkaan dibanding kasih dan sayang. Aku lebih baik tidak beragama deh kalau seperti itu.
Tapi bukankah Tuhan lebih agung dan mulia? Aku percaya itu, lewat argumentasi-argumetasi ontologis, teleologis, kosmologis, fitrah, perenialisme, matematis, burhani, rasioanlistis, ilmiah, intuitif dan banyak lagi. Aku sampai pada petunjuk: Tuhan itu eksis secara nyata dan pasti. Tapi tidak menghendaki kejahatan. Tuhanku adalah Tuhan yang penyayang, pengasih, pemberi, pemaaf, pendamai, pemersatu, pengertian, yang mendahulukan kasih sayang dibanding kemurkaannya. Maka oleh karena semua sifat agung tersebut, telah menjadi motif bagi-Nya untuk menerbitkan semacam buku pedoman atau buku belajar sebagai petunjuk dan teka-teki hidup supaya umat manusia bisa menjalani kehidupan yang rahmatan lil alamin, kudus/kristus, yang mengami Upanishad, Ahimsa, Mencapai Nirwana.
Tapi apakah orang disebut baik disaat dia memahami kebaikan? Bisakah orang disebut baik tatkala melihat orang dihadapannya melakukan pencurian atau pemerkosaan sedang ia yang menonton, meski memiliki kesempatan untuk mencegah atau meminimalisir kerusakan serta kerugian yang akan terjadi, dan ia sadar bahwa membiarkan maling ato hidung belang itu akan menyebabkan masalah bebas terjadi, sedangkan dia tahu yang lebih baik adalah menolong, tapi dia malah diam menonton terpaku di tempat dan menyia-nyiakan kesempatan itu. Bisakah orang tersebut disebut baik? Atau, bisakah pencuri atau hidung belang itu disebut baik? Maka mari sekali lagi kita napak tilas, buka baik-baik tirai ilusi dunia yang menutup hatimu bicara dan bersabda. Dalam keheningan, tatkala pikiranmu sudah cukup tenang dari kekacauan dunia atas hiruk pikuk yang senantiasa menuntut teratasi: beranikah kau untuk bertanya pada suara hati paling jujurmu? “Sudahkah aku beragama?”

Sudahkah aku beragama? Tatkala melihat dihadapanku tersaji kekacauan dan tindakan amoral sedang aku memiliki kesempatan dan energi yang cukup untuk mencegah atau meminimalisir kerusakan serta kerugian yang akan terjadi, sedangkan dalam agamaku perbuatan yang baik adalah menolong, tapi aku malah diam menonton terpaku di tempat dan menyia-nyiakan kesempatan itu. Apakah aku disebut beragama? Pastilah tidak. Agama bukan sekedar pengetahuan, agama juga bukan sekedar status yang melekat di dalam kepribadianmu tiap waktu, agama adalah sikap hidup dalam menanggapi kehidupan selain kita. Agama bukan keyakinan yang sudah cukup dipegang oleh pikiran, bukan pula sekedar ritual atau senam tanpa makna, bukan mengikuti aturan-aturan yang berlaku bak prasasti nilai-nilai hanya karena kita takut disiksa oleh iming-iming neraka atau karena kita terobsesi oleh lezatnya bidadari dan fasilitas surga, agama adalah bagaimana kau memahami nilai-nilai dan bertindak berpedoman nilai-nilai tersebut itu. Agama bukan dipakai, tapi dilakoni.