Globalisasi dan kecanggihan teknologi informasi
telah membuat rakyat kelabakan: arus informasi yang semakin deras, menuntut
setiap orang untuk selektif dan rasional dalam menerima berita. Aku menyadari
itu, tatkala pertamakali sinetron “papa minta saham” berdengung di telingaku.
Aku masih ingat ekspresi spontan waktu itu, aku geram, tanganku mengepal kuat,
darahku sontak memenuhi kepala: dalam hati aku mencaci dan mengumpat para mafia
itu, perilaku pejabat publik yang dikuasai nafsu kebinatangan, yang rakus dan
doyan perutnya diisi dengan makanan hasil uang haram.
Setelah emosiku mulai mereda, aku menemukan diri
terjerembab dalam suatu lobang besar. “Apakah ini perangkap?”, batinku. Yah,
ironisnya ia. Baudrilliard punya sebuah istilah sangat tepat untuk mewakili
fenomena yang tengah bergelinding kini: simulasi. Media massa sebagai referensi
kebenaran rakyat yang tak terjangkau secara fisik, tengah bekerja keras memutar
informasi dan mencoba menyusupi alam bawah sadar pikiran bangsa. Di era
posmodernisme, gelombang informasi dan kebanjiran data-data sangat rentan
terselip fakta palsu dan kebohongan. Jikalau secara intensional hal ini
dipermainkan lewat ruang public; pelemparan wacana dan pengembangan isu-isu
secara sporadic; tudingan demi tudingan yang diulang-ulang. Semua itu hanyalah
isyarat, kalau bangsa kita sedang dipaksa untuk meyakini sesuatu yang
dikehendaki oleh para actor dibalik layar, yang telah menyusun rapi naskah scenario
Freeport yang telah berlangsung lama, sejak 1967 lalu. Akhinya benarlah adagium
itu “realitas yang dikabarkan dan realitas yang sebenarnya, seakan-akan sama”
(Baudrillard).
Tahun-tahun menjelang akhir batas kontrak Freeport
(berakhir tahun 2021), sebuah episode sedang dimainkan dengan invisible hand para actor-aktor hantu,
yang tak tertangkap indera, dan menjadi bayangan bagi tokoh-tokoh yang terlibat
yang wajahnya menyemarakan berita di layar kaca kita. Kepala kita dibikin gaduh
dan suntuk melihat tagline berita belakangan ini, yang dihiasi dengan
pembersihan mafia di istana, perang antar genk, tuntutan mundurnya Setnov,
hipokritas Sudirman Said, rewelnya Maroef Sjamsuddin memberikan rekaman asli,
MKD, Klarifikasi Luhut Panjaitan dan variable-variabel lain yang memenuhi
diskursus di ruang public kita hari ini.
Memang nasib karir politik Ketua DPR kita sudah
habis, itu tidak bisa dipungkiri.
Pelanggaran ethic yang dilakukan, telah
melanggar salah satu TAP MPR yang mengatur tentang Etika Pejabat Publik.
Mestinya memang Setnov itu mengundurkan diri sesuai dengan norma dalam
ketetapan tersebut. Bahkan sudah banyak politisi separtai dengan Setnov sudah
ikhlas dan rela beliau minggat dari singgasananya. Akan tetapi bukan berarti,
drama ini sudah sampai pada tahap the
end. Ada manipulasi pikiran yang bekerja di balik gaduh dan keruhnya
realitas social-politik Indonesia kini. Kenyataan memalukan yang menimpa kader
partai golkar itu tidak sekonyong-konyong membuktikan Sudirman Said dan Freeport
sebagai pahlawan karena telah membantu membongkar kebiadaban perilaku pejabat publik
dan tidak sedikitpun akan merangsang rasa iba rakyat melihat Freeport dicongkel-congkel
oleh para penyamun; tidak akan menghilangkan kenyataan bahwa Freeport itu, tetaplah
benalu yang menghisap kekayaan Indonesia secara eksploitatif dan massif.
Penggalan rekaman yang telah sampai pada public
telah membuka beberapa tabir kejahatan tentang adanya suatu pemufakatan jahat (sammenspanning/conspiracy). Semoga saja euphoria
politik paska terungkapnya skandal “Papa minta saham” tidak mejadi kabut yang
menutupi konspirasi lain yang lebih besar, mengingat Masroef selaku direktur
Freeport Indonesia tengah gencar melakukan lobby dan negosiasi untuk
mengamankan perpanjangan kontrak karya 2021 kelak. Kalaupun Freeport telah
membantu Indonesia untuk menyingkirkan salah satu tirani dari system kita,
bukan berarti rasa terimakasih harus diungkapkan dengan menyematkan gelar
kepahlawanan pada Maroef Sjamsoeddin yang notabene mantan agen CIA, bkan
berarti pula kita membalas budi dengan merelakan harta kita dirampok lebih
banyak lagi hingga berpuluh-puluh tahun kedepan. Hegemoni informasi dan
rekayasa intelejen hebat ini telah menggiring opini public seakan-akan
Freeportlah penyelamat bangsa dari amoralitas. Ini namanya maling teriak
maling,; jeruk makan jeruk; pertengkaran antar penyamun.
Sepintas, aku merasakan Déjà vu. Pola yang hamper serupa, terjadi pada awal masuknya
kapitalis Freeport di negeri kita. Tatkala itu, lewat kerjasama dengan presiden
Kennedy, Soekarno berhasil membebaskan Irian Barat lewat perantara adik dari
sang presiden Amerika Serikat itu. Bukan berarti untuk membela Demokrasi
Terpimpin Soekarno, tapi harus diakui diantara buruknya ekses fasisme dalam
rezim beliau, pasti ada suatu hal positif yang beliau kerjakan. Yakni
permasalahan saham, dimana semua investor asing yang hendak menanamkan modal
haruslah memberikan porsi 60% kepada Negara. Nasionalisasi asset-aset memang
begitu ngetrend untuk Negara-negara dunia ketiga pada waktu itu.
Sementara itu, Freeport Shulplur (nama lama
Freeport) yang jengkel karena didepak dari Kuba oleh Fidel Castro, setelah
percobaan pembunuhan berkali-kali gagal, keputusasaan itu membawa mereka kepada
opsi lain tatkala Van Gruisen mempresentasikan sebuah wilayah yang begtiu kaya
dengan sumber daya alam di negeri Pertiwi. Di tanah Papua itu, – tidak seperti
di bagian dunia lainnya – kandungan biji tembaga tidak hanya tersembunyi di
dalam tapi juga terhampar di sekujur gunung Ersberg yang kelak akan menjadi
objek eksploitasi besar dalam waktu yang sangat panjang. Forbes Wilson selaku
bos Freeport Suphlur bergerak cepat, akhirnya tanggal 1 Februari 1960 telah
diteken kerjasama kontrak dengan East
Borneo Company untuk mengeksplrorasi gunung tersebut.
Akan tetapi, idealisme Soekarno dan Presiden Kennedy
yang mengalami suatu resonansi, merupakan hambatan bagi masuknya cengkeraman
asing di tanah ibu Pertiwi. Barulah ketika sebuah tragedy yang disinyalir
berangkat dari kegelisahan para actor kapitalisme atas kebijakan presiden AS
yang tidak sesuai kehendak mereka, penembakan dan wafatnya JFK menjadi pertanda
munculnya Presiden Johnson sebagai pengganti. Berbeda dengan presiden
sebelumnya, Johnson mengurangi bala bantuan ke Indonesia, dan tidak sekooperatif
Kennedy. August Long, merupakan otak dari Presiden Johnson, tergiur melihat
masa depan cerah ada di wilayah Timur Indonesia.
Setelah itu, lewat serangkaian pelemahan
kepemimpinan Soekarno dari dalam, superioritas TNI yang bangkit, runtuhnya ideology
komunisme, sudah tentu tidak lepas dari sebuah grand design, sebuah rekayasa
intelejen yang berjalan secara apik dan rapi hingga luput dari buku-buku
sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah kita. Sebuah konspirasi terjadi, creep coup d’etat (kudeta bertingkat).
Saat itu Mayjen Soeharto yang bahkan belum menapaki presiden, memiliki semacam previllege (hak khusus), tatkala
Soekarno hendak menasionalisasikan suatu perusahaan di Indonesia, intervensi
muncul dari pak Harto. Semakin melemahnya posisi Soekarno, gagalnya unifikasi
spirit ideologis lewat NASAKOM, berat tarik ulur dominasi antara kekuatan
militer dan Komunis, telah menyeret Soekarno lengser dari takhta kepresidenan
digantikan oleh Soeharto.
Sebulan paska tragedy 30 September, pada awal
November 1965 itulah ungkap Lisa Lane, Forbes Wilson mendapat telpon dari Ketua
Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, “Apakah Freeport sudah siap untuk
mengeksplorasi gunung emas di Irian Barat?”. Padahal ketika itu Soekarno masih
berkuasa hingga 1967. Tau sendiri bagaimana Soekarno yang garang apabila ada
proyek asing mau berinvestasi. Namun ternyata, isyarat yang diterima Wilson
tersebut telah menimbulkan suatu indikasi serius, konspirasi itu nyata adanya.
Lalu hingga akhirnya secara legal, terformalisasikanlah eksistensi Freeport di
tanah air setelah kelahiran UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
(PMA), yang merupakan pintu masuk kemenangan neo-imperialisme ke tanah air.
Melihat dari tempat kita berdiri sekarang, memang
telah panjang perjalanan Freeport menunggangi Indonesia. Jelas sudah bahwa
Freeport adalah anak haram yang dilahirkan dari segelintir kepentingan mafia.
Betapa legowonya bangsa kita, yang masih saja tidak bias berbuat apa-apa
tatkala diadu domba seperti ini. Lembaga-lembaga Negara dicoba untuk
dilumpuhkan. Siapapun dia, yang menjadi actor permainan ini pasti lihai dan
telah menguasai teori chaos dan
manajemen konflik dengan baik. Kita dibikin seperti air keruh, yang kacau
balau, marwah dan martabat bangsa kita diobok-obok, lalu kitapun saling
mencecar satu sama lain. Bukan berarti harus diartikan secara harfiah, tapi
yang jelas, devide et impera itu
memang tengah terjadi.
Dengan gemilang, nasehat sang maestro seni
peperangan, Sun Tzu, dimainkan secara apik. Dalam salah satu poin di Art of War berbunyi: “Gunakan kesempatan
saat terjadi kebakaran untuk merampok yang lain (merampok sebuah rumah yang
terbakar)”. Saat seluruh perhatian terarhkan ke MKD, Setnov, Luhut, and the gank… Diam-diam dibalik panggung
teater seluas Nusantara ini, di balik tirai yang menutupi latar belakang adegan,
sebuah pesta pora perampokan besar-besaran tengah terjadi…
Alkisah, tinggallah seorang wanita muda bernama
Tiwi, penggalan akhir dari nama lengkapnya. Beliau merupakan salah satu dari
sekian makhluk yang diberikan anugerah hamper tidak terbatas. Betapa kaya raya,
dan mahsyur dirinya. Sayangnya dia tidak begitu popular di mata dunia, hingga
abad ke (kurang lebih) 18. Orang-orang semakin ramai mendatanginya, hanya demi
sekedar menguji: benarkah tanah sekaya ini bukan hanya ada di dongeng?
Bayangkan, Pertiwi (nama lengkap tiwi) memiliki rumah dengan halaman yang
sangat luas. Tiba-tiba datang seorang asing, yang hendak menawarkan diri
sebagai pekerja. Oke deal, kata Ibu Pertiwi lewat perantara anak-anaknya.
Kemudian bekerjalah orang asing itu, dengan gaji yang lebih besar daripada
majikannya. Sang majikan hanya punya saham 9,36% dari hasil tanahnya sendiri,
sedangkan si orang asing bersukacita, 90.64% dia nikmati.
Yah begitulah, sialnya nasib Ibu Pertiwi yang
mempekerjakan seorang perampok. Freeport, masih akan terus bertahan. Tinggal
tunggu SDA kita habis dikuras dia, dan dia bawa pulang ke rumahnya sendiri.
Untuk nantinya dia jual apa yang dia gali di tanah kita, dia jual pada kita,
dengan harga yang jauh lebih mahal daripada saham yang pernah kita berikan pada
mereka. Tragis ya?
0 Komentar