“Salam (ave),
hai kau yang dikaruniai, Tuhan menyertaimu”, sabda sesosok malaikat kepada
perawan Maria. Syahdan, kebingungan menguasai perempuan mulia itu. Bagaimana
bisa, seorang yang tak bersuami bisa mengandung? Kegelisahannya terjawab oleh
kelompok masyarakat yang tidak henti-hentinya menggunjing.
Hanya segelintir orang yang menyadari, bahwa rahim
sang perawan Maria telah dibuahi oleh Roh Kudus (Logos). Matius yang bekerja sebagai pemungut pajak di Betlehem,
menyaksikan beramai-ramai Majusi menyembah-nyembah sang “raja”; Lukas,
menjelaskan secara lebih detail dan kronologis, bagaimana ia saksikan
penampakan Gabriel (Jibril) di atas
bumi Israel, bahwa hendak akan lahir seorang suci yang membawa misi kemanusiaan
universal.
Pertunangan Maria dengan Yusuf, membekaskan secuil
rasa ragu dalam benak sang suami. “Bisakah aku berseranjang dengan perempuan
yang bukan mengandung benihku ini?”. Seketika firman Tuhan hadir dalam
mimpinya, mencoba menghibur: “Yusuf, anak Daud, janganlah ragu mengambil anak
dalam rahim isterimu, sebab dia adalah Roh Kudus…” Henyaknya telah menyadarkan,
kelak, bayi Kristus akan lahir dalam pengampuannya. Di kandang domba yang
sempit, pada malam yang suci dan agung, sebuah peristiwa yang menentukan orientasi
masa depan umat manusia sedang terjadi. Yesus, transliterasi dari nama Ibrani,
”Yosua”, yang bermakna “juru selamat”, telah lahir kemuka bumi.
Di lain tempat, di jazirah yang tandus. Sekitar
tahun 560 M, barisan prajurit yang menunggangi gajah tengah mengelilingi
Mekkah, tempat pernaungan suku Quraisy. Tahun yang dikenal dengan tahun gajah,
didokumentasikan sebagai suatu peristiwa yang ganjil sekaligus menyimpan
misteri: langit-langit dipenuhi segerombolan burung, yang dikaki mereka
tercengkeram batu beracun, memborbardir sekawanan prajurit Abyssinia, hingga
terkepung mundur. Masyarakat Quraisy takjub, dan mengadakan pesta kemenangan
megah. Namun hanya segelintir, yang mengerti, bahwa Mekkah memang sedang
disituasikan, Tuhan tidak ingin suatu peristiwa monumental terganggu oleh
peperangan yang tak berarti.
Isyarat demi isyarat bermunculan mengawali kelahiran
sang nabi. Seorang rabbi yang saleh tengah beremigrasi dari Yatsrib (nama
Madinnah terdahulu) ke Syria. Ketika orang-orang menanyainya mengapa hendak dia
meninggalkan negeri subur dan aman serta pindah ke tanah yang dilanda
“kekerasan dan kelaparan”, dia menjawab bahwa dia ingin berada di Hijaz ketika
“sang messiah” tiba. “Waktunya sudah
tiba”, katanya pada bangsa Yahudi di Yatsrib, “dan jangan biarkan orang-orang
lain mendapatkannya sebelum kalian, hai bangsa Yahudi, karena dia akan dikirim
ke pertumpahan darah dan anak-anak dan perempuan akan dijadikan sandera bagi
mereka yang menentangnya Jangan biarkan hal itu menjauhkan kalian darinya.”
Sang putra bungsu Abdul Muthalib, Abdullah, tidak
pernah mengira apabila dari benihnya lah, Tuhan meniupkan nur Muhammad pada
rahim Siti Aminah. Syahdan, umur Abdullah tidak cukup panjang untuk menyaksikan
anak yang tengah dikandung isterinya. Ditinggal dengan keadaan kesulitan
ekonomi, membuat Aminah berjuang untuk mempertahankan kelahiran sang nabi
ditengah himpitan kesulitan. Dalam suatu peristiwa, dia menyaksikan cahya
keluar dari perutnya yang memperlihatkan kuil-kuil Basrah di Syria (kelak kuil-kuil
ini menerima cahaya Islam). Muhammad dilahirkan tanggal 12 Rabi’ul Awal, Aminah
langsung menyampaikan pada Abdul Muthalib bahwa bayinya kelak akan menjadi
orang besar. Dalam kegembiraan dan penuh terimakasih, laki-laki itu membawa
cucunya ke Ka’bah. Dia sendiri kabarnya pernah mendengar tentang masa depan
besar bagi Muhammad: seorang kahin pernah
meramal bahwa salah seorang keturunannya akan menguasai dunia. Suatu malam ia
bermimpi melihat sebatang pohon tumbuh dari punggung kanak-kanak Muhammad;
pucuknya mencapai langit dan cabang-cabangnya menyebar ke barat dan timur. Dari
pohon itu keluar cahaya, yang dipuja dan disembah oleh bangsa Arab dan Persia.
Berabad-abad lamanya terlewati sudah. Artefak-artefak
sejarah yang tersisa sudah menjadi saksi bisu dan bukti kebangkitan moral umat
manusia lewat prakarsa sang nabi. Nabi utama dalam agama-agama Ibrahimistik,
monotheisme. Kedua tokoh tadi, senantiasa mendapat posisi dan kekaguman yang
luar biasa dari seluruh penjuru dunia. Para pewarta informasi setia menempatkan
mereka di posisi teratas the influenced
people, manusia paling berpengaruh, yang pengaruhnya tidak pernah lekang
oleh zaman dan ruang.
Yesus Kristus dan Muhammad SAW memang diutus di dua
lokus berbeda dan zaman yang berbeda, tetapi dengan misi yang sama. Di
Nazareth, ia berkata: “tidaklah aku diutus selain untuk membimbing domba-domba
tersesat”; di Arab, ia berkata: “aku diturunkan untuk menyempurnkan budi
manusia”.
Tatkala warga hendak melempari Maria Magdalena
dengan kerikil dan bebatuan, Yesus menyela: hanya yang tidak pernah melakukan
kesalahan yang boleh melempari ia. Lalu rupanya, tidak ada satupun melemparkan
batu yang sudah mereka genggam, sebab semua manusia pasti punya kesalahan.
Bukan hanya cinta kasih, kebijaksanaan dan kearifan juga melakat pada sosok Yesus.
Pun Muhammad, seperti saat dia dengan sopan dan santun memaafkan seorang tua
gila yang mengencingi masjid, rumah Tuhan. Dengan senyum yang ringan dan tulus,
Muhammad malah menasehati orang gila tersebut agar dia paham baru saja
melakukan kesalahan. Bayangkan kalo kejadian tersebut tertimpa pada diri kita
hari ini, jangankan perkelahian, perang pun sangat mungkin tersulut.
Meski dengan rujukan kalender yang berbeda, bahwa
tanggal lahir Nabi Muhammad didasarkan pada kalender Hijriah (rotasi bulan) dan
Yesus Kristus berdasarkan kalender Gregorian (rotasi matahari), akan tetapi,
fenomena unik ini tidak boleh lewat tanpa pemaknaan dan perenungan sama sekali.
Hari dimana Maulid Rasul bersebelahan dengan Dies Natalis Kristus. Hari yang sakral,
yang menandai kebangkitan spirit kemanusiaan
universal.
Di penghujung tahun yang buram ini, cobaan demi
cobaan menghantam bangsa kita, bukan hanya dari segi politik, ekonomi, budaya,
tetapi juga dari agama. Adalah suatu hal yang pahit bagi pencinta toleransi,
tatkala keberagaman yang indah ini kita rusak lewat api yang melahap gereja di
Singkil dan Masjid di Tolikara. Kedua peristiwa nahas yang terjadi di kedua
ujung Indonesia itu, seakan menjadi teguran untuk menimbang kembali
multikulturalisme dan pluralitas Indonesia.
Gereja di Singkil, Aceh, dibakar karena diketahui
tidak memiliki izin atau tidak direstui oleh warga untuk berdiri. Sedangkan
pembakaran masjid di Tolikara, Papua, terjadi karena warga yang terusik oleh
berisiknya gema takbir khas Idul Fitri. Kedua peristiwa tersebut memang meletus
di dua wilayah dan waktu yang berbeda, tetapi dengan substansi yang sama:
kebencian dan amarah – sesuatu yang sama sekali tidak identik dengan agama.
Egosentrisme dan kebencian ini telah berakar sejak
lama, dipelihara oleh mesin waktu dan dapat kita temukan lewat dokumentasi
sejarah. Perasaan, merupakan tempat bermukimnya amarah – sesuatu yang membuatmu
tidak menyukai segala hal diluar kelompokmu, yang berbeda jalan keyakinannya
denganmu. Bila dengan atas nama orangpun, kita bisa saling membunuh, apalagi
jika pembunuhan itu mengatasnamakan Tuhan? Yang konon katanya pemilik kebenaran
absolut, yang memiliki kerajaan kekal abadi.
Masih hangat dalam memori kita, tentang perang
Salib/Sabil. Perang yang beruntut menjadi beberapa episode itu, rupanya
bukanlah perang dengan motif agama seperti yang kita kira. Meskipun dalam arena
pertempuran kerap diramaikan dengan symbol-simbol salib, takbir, doa dan
semacamnya. Tidak lain tidak bukan, perang itu hanyalah soal perolehan
kekuasaan, kemenangan, harga diri, nama baik, ekspansi territorial dan
semacamnya.
Bila kita coba flashback lebih jauh lagi, marilah
tengok ke zaman dimana Muhammad dan Yesus Kristus masih hidup. Adakah di ajaran
sang Messiah, mengenai pemeliharaan kebencian dan amarah apalagi terhadap
golongan lain yang berbeda keyakinan denganmu? Alih-alih membenci, Yesus rela
menanggung semua dosa anak manusia yang belum lahir sekalipun, di atas tiang
salib, dibalik mahkota duri itu. Muhammad yang diajak berjalan-jalan melewati
Neraka, harus menderita dan mendekam dalam tangis dan kesedihan mendalam,
tatkala menyaksikan umat-umat yang sebagian besar adalah musuhnya dirajam
sedemikian nista oleh lidah api neraka. Masihkan kita menyebut dia sebagai
symbol permusuhan? Apabila dengan sebuah renungan, kita telaah kembali doa
Rasulullah yang meminta kompensasi pada Tuhan lewat doa, meminta anak-anak
manusia yang disiksa itu, agar diberikan kesempatan sekali lagi. Orang-orang
yang dia doakan itu, sebagian adalah mereka yang melempari beliau dengan batu
dan kotoran tatkala beliau berdakwah di Mekkah saat awal kenabian.
Hari ini, terang kita saksikan: betapa berbahanya
sebuah keyakinan itu jika terpendar dan mengakut dalam batin. Iman yang
sejatinya merupakan tolak ukur yang menentukan simpati Tuhan, dijadikan alas an
pembenaran, alat justifikasi, untuk bebas memvonis seseorang diluar golongan
keyakinannya (the others / liyan)
sebagai bersalah. Agama, yang pada dasarnya murni suci, telah dimodifikasi oleh
para pengikutnya, digunakan alat legitimasi untuk menjadi mesin pembunuh
berdarah dingin yang kejam dan banal. Agama adalah semacam propaganda yang
paling ampuh untuk menghegemoni kekuasaan maupun mempertahan status quo. Agama, kini terjual murah
sebagai barang dagangan di pasar asongan, yang bahkan dijual dengan obral dan
potongan harga yang tinggi. Agama hari ini, bukanlah agama sang Nabi maupun
sang Kristus yang diurapi, agama hari ini telah bertransmisi jadi biang keladi
huru hara kekacauan.
Di penghujung akhir tahun yang bahagia ini, euphoria
seakan jadi tabir penutup tragedy Singkil dan Tolikara, sejatinya hanyalah
symbol, symbol atas masih semena-menanya perlakuan diskriminatif atas kebebasan
beragama terjadi pada bangsa. Meskipun konstitusi sudah secara gamblang melindungi
lewat pasal 29 UUD 1945 dan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, namun masih belum
juga menjadi perisai yang kokoh untuk melindungi kedamaian antar umat beragama.
Perangkat hokum tersebut belum didukung dengan regulasi-regulasi yang lebih
spesifik misalnya lewat PP, Permen, Perda dan semacamnya.
Di ujung 2015 ini, sebuah raport merah atas indeks
kebebasan beragama bagi Indonesia telah dilayangkan. Aceh dan Papua sebagai
representasi dari dua ujung territorial Indonesia, telah memberikan contoh yang
nyata betapa pentingnya toleransi dan kebebasan beragama dijadikan indicator
penting untuk objek pembangunan melalui rekayasa paradigm (paradigm engineering). Harusnya kita mengkategorikan toleransi dan
dialog sebagai sebuah jenis kecerdasan. Senada dengan kecerdasan interpersonal,
bahwa kecerdasan ini menunjukan betapa masyarakat atau individu sanggup untuk
berlaku baik dan ramah kendati berhadapan dengan individu lain yang memiliki
keyakinan yang berbeda. Dengan mengukur indeks kecerdasan spiritual suatu
daerah, kita akan mengetahui daerah mana yang merupakan prioritas dalam
pembenahan multikulturalisme dan pluralitas bangsa. Sudah saatnya pembangunan
bukan Cuma menarget dinamika material dan fisik, tapi juga mental dan batin.
Pada akhirnya mari kita bulatkan tekad dan eratkan
genggaman tangan satu sama lain. Tidak peduli apa warna kulitmu, dari ras mana
kau, siapa nama Tuhanmu, dimana kau menyembahnya, bahasa apa yang rapalkan
tatkala berdoa; kita hanyalah segelintir dari anak-anak manusia yang hendak
menyerahkan diri dan hati pada sosok mutlak yang misterius sekaligus
mempesonakan itu – Tuhan. Jikalau di ruangan kelas kita bisa memberikan tafsir
yang berbeda-beda terhadap guru/dosen yang tengah mengajar (ada yang bilang
metodenya kurang baik, ada yang bilang sudah baik, ada yang bilang no komen
dll), lantas kenapa kita harus heran bahkan marah apabila dalam cara menyembah
serta menyebut-Nya begitu beragam-ragam aneka. Bukankah pelangi membutuhkan
tujuh warna untuk terlihat indah?
Pernahkah kau mendengar pertanyaan: “jikalau Tuhan
itu satu, kenapa dia ingin disembah dengan berbagai cara?” Kukatakan: aku sudah
dapat menjawabnya. Mungkin prediksiku bisa salah juga, itu terserah kalian.
Hanya saja dari hasil perjalananku, kesimpulan sementara adalah: Tuhan mungkin
sengaja menyeting supaya kita senantiasa berbeda dengan yang lain. Pun di dalam
aliran keyakinan dan keberagamaan. Kalau kita lekatkan yang indah (estetis)
kepada yang baik (good), maka tiada
representasi daripada MahaIndah selain Tuhan. Dan jikalau perbedaan adalah rahmatan ‘lil alamin, adalah
satu-satunya jalan kita mengaplikasikan cinta kasih yang luhur, maka sengaja
diciptakan agamaku berbeda denganmu, supaya kita berkesempatan untuk
menghargai, bertoleransi, membangun dialog, bahu membahu bukan hanya ketika
kerja bakti, tetapi juga kerja batin. Keseragaman tidak membuat dunia menjadi
cantik dan indah bukan? Bayangkan hidup didominasi oleh warna hitam-putih;
bayangkan nada hanya didominasi oleh satu kunci; bayangkan lidah hanya mengecap
rasa nasi; bayangkan aku, tanpa kamu #jomblo.
1 Komentar
//Jikalau di ruangan kelas kita bisa memberikan tafsir yang berbeda-beda terhadap guru/dosen yang tengah mengajar (ada yang bilang metodenya kurang baik, ada yang bilang sudah baik, ada yang bilang no komen dll), lantas kenapa kita harus heran bahkan marah apabila dalam cara menyembah serta menyebut-Nya begitu beragam-ragam aneka. Bukankah pelangi membutuhkan tujuh warna untuk terlihat indah?//
BalasHapusApa yang mau disampaikan dengan analogi ini jika ternyata peninggalan arkeologis sekalipun tidak mencatat jejak sejarah karya keselamatan purba yang dibaharui sang Yesus?