Oleh : Triwardana Mokoagow (tyologi)
Pernahkah
sesekali kau berpikir menentang mainstream
sosial? Kau melawan arus kebiasaan masyarakat dimana kau tinggal. Tatkala
kerumunan orang menjalani hidup dengan standar normal yang diciptakan oleh
konstruksi sosial yang ada, kau memilih untuk menjadi tidak populer dengan
menentang kebiasaan. Sekali kau mencoba, kau akan dianggap aneh dan tidak
normal. Kau divonis sebagai manusia yang tidak wajar. Lantas rasa takut,
gelisah dan risau menyelubungi pikiran dan perasaanmu itu. Kemudian, dunia
menjadi tempat yang begitu membingungkan. Atau mungkin, bukan dunia ini yang
membingungkan? Kita, kitalah manusia yang telah membuat kebingungan itu hadir
di atas dunia.
Tiba-tiba
saja aku teringat dengan mendiang Kant. Di nisannya tertulis sesuatu yang
menarik yang kurang lebih seperti ini: dua misteri yang nyata dan menggelitik
perhatianku ada dua. Pertama, adalah langit di atas kita. Kedua, hati di dalam
diri kita. Kalau seorang pemikir besar seperti itu berani membandingkan “hati”
dan “langit” sebagai misteri yang setara, maka boro-boro para saintis ingin menyingkap alam semesta dengan semua
kecanggihan teknologi yang ada, sedangkan rahasia hati kita, yang terpaut dekat
dalam diri ini masih menyisakan pengetahuan yang nol besar.
Aku
bersyukur menyadari ini lebih awal. Di masa SMA, seorang teman mengingatkanku
bahwa hanya ada dua hal yang membuat hidup manusia kesusahan: pikiran dalam
kepala kita, dan hati di balik dada kita. Keluguanku di masa remaja membuatku
agak kebingungan untuk menafsirkannya sejelas sekarang. Rupanya itu pengetahuan
yang harus didasarkan pada pengalaman disamping pengetahuan murni saja. Aku
mengerti, bahwa sebagai manusia itualah yang membuat kita utuh. Aku dan kau
bukanlah manusia, tanpa dibekali akal dan hati.
Akan
tetapi, jangan terburu-buru dulu. Aku bukanlah orang yang menerima sesuatu apa
adanya (an sich) sesederhana itu (taken for
granted). Aku ingin kita sama-sama memikirkan
ini, sesuatu yang telah lama mendekam dalam diri kita yang tidak pernah
berhasil kita ungkap secara jelas dan tuntas. Apakah akal itu? Apakah sekedar
tumpukan daging yang bersembunyi dibalik kerangka kepalamu? Apakah hati itu?
Apakah sekedar daging yang tersembunyi di dalam tubuhmu? Lantas apakah manusia
itu? Tanpa otak dan hati? Kalau otak dan hati, hewan pun punya, lalu kenapa
tidak kita sebut saja manusia mereka itu? Kalau hewan dikatakan makhluk
rendahan karena memangsa dengan taring dan cakar mereka, maka kita apa? Kita
membunuh dengan nuklir, korupsi, pengkhianatan, pisau dapur, bambu runcing,
gergaji, tali dan lain sebagainya. Kita juga makhluk buas, berbeda dengan
hewan, alat yang kita pakai sedikit lebih canggih dan modern.
Lalu
makhluk apa aku ini? Apakah aku adalah tumpukan daging dan tulang belulang yang
memiliki kesadaran? Hewan juga begitu. Ooh rupanya yang membedakan kita dengan
spesies lain adalah akal dan intuisi. Tapi hewan juga punya otak dan hati kan?
Semakin kujawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul itu, semakin aku kebingungan
dan kelelahan. Lalu suara itu datang kembali, kudengan dia secara seksama
mengemukakan pendapatnya. “Lihatlah daging sapi dan babi yang dicincang-cincang
di pasaran. Lihatlah kambing yang disembelih di belakang masjid. Lihatlah ceker
ayam yang kau makan di mangkuk baksomu. Sekarang pikirkan, bila di pasar itu
yang dicincang adalah daging manusia, yang disembelih di belakang rumah
perubadatan tadi adalah leher manusia, dan yang dimakan di mangkuk baksomu
adalah tulang kaki manusia. Bisakah kau tidak berbohong, ada sebuah kengerian
yang menyergapmu”.
Bukankah
manusia yang sudah tidak bernafas, fungsi hati dan otaknya telah lenyap, tidak
sekedar dari daging yang terbungkus kulit? Kan itu artinya, mayat-mayat manusia
bukanlah manusia. Sama ketika kita memperlakukan hewan. Kita hanya memakan
mereka tatkala fungsi otak dan hatinya telah mati. Kenapa tidak mampu kita
lakukan itu pada bangkai manusia? Bisakah kau membuang mayat orang tuamu di
tempat sampah depan rumah tatkala mereka sudah mati? Bukankah tumpukan daging
dan tulang belulang yang terbungkus kulit hanya sekedar benda mati saja.
Kita
bisa saja melihat bangkai seekor tikus tatkala berada dalam perjalanan pulang
ke rumah. Kita akan melihat itu sebagai sebuah fenomena biasa. Bayangkan bila
yang tergeletak itu adalah mayat manusia? Bukankah ketakutan dan rasa iba
tiba-tiba seakan menjelma pisau dan menikam batinmu? Lalu kau hendak berujar
“malang sekali ada manusia yang tidak dikuburkan dengan cara yang baik”.
Kalimat yang tidak kau keluarkan tatkala melihat hewan mati.
Bayangkan
juga bagaimana sekiranya kau akan berekspresi. Tatkala mengetahui ibu dari
teman sekolahmu dikoyak-koyak oleh hewan buas, jantungnya terkelupas dari bilik
dada, tangan, kaki serta kepalanya terpisah dari tubuh. Dengan hati penuh
amarah akan kau caci hewan tersebut, meski itu bukan ibumu, dan meski kau tidak
mengenal nama teman sekolahmu, anak dari yang mati itu. Bayangkan bagaimana
posisimu, bila kau terlahir sebagai seekor ayam. Yang dipelihara dalam kandang
selama bertahun-tahun. Telah menyaksikan anak-anaknya, yang dia erami mulai dari
fase ketika masih belum menetas, menjadi cicit-cicit kecil dan tumbuh dewasa.
Bayangkan bagaimana perasaan ayam itu tatkala anaknya kau renggut dan kau bakar
hingga matang, dan kau makan bersama sayur-sayuran di dapurmu.
Kita
seringkali memaki seorang pembunuh di kantor polisi dengan teriakan “Anjing,
binatang, hewan, tidak punya perasaan...” Tapi kita rupanya adalah pembunuh
tiap harinya. Apabila membunuh diartikan merenggut fungsi otak dan hati yang mengatur regulasi
tubuh, maka sudah berapa mayat nyamuk yang kau lenyapkan wahai manusia? Kitalah
para pembunuh itu. Setiap hari dan setiap waktu, kitalah yang menebar horor di
atas dunia yang beku ini. Kitalah para pembunuh yang dengan wajah lugu dan
polos tidak berdosa, berani memakan makhluk hidup di atas piring makanan kita.
Kita
tidak bersisik, tak bersayap, tak berdecit, tak mengesot seperti ular, tak
berekor, tak bertanduk, tak berbebelalai, dan lain sebagainya. Kita hanya
tumpukan daging yang tersusun rapi membalut tulang belulang yang tertancap
kokoh dan terbungkus kulit. Tapi kitalah yang lebih buas daripada binatang,
namun tidak berani kita hadapi kenyataan itu. Tidak berani kita hadapi
kenyataan objektif itu dengan kejujuran. Bahwa kita lebih anjing dari anjing
dan lebih hewan dari hewan. Maka, makhluk apa aku ini?

0 Komentar