
JAKARTA
adalah jantung kekuasaan Indonesia; lokasi dimana aktivitas pemerintahan,
ekonomi dan informasi terpusat. Sebagai ibukota Negara, wajar bila istana
presiden berdiri di tengah kota ini. Menandakan setiap rutinitas penting
seorang pemimpin Negara selalu dimulai dari padatnya lalu lintas dan diakhiri
oleh getirnya disparitas sosial dalam remangnya lanskap kota.
Jakarta
merupakan etalase, gerai dari tokoh-tokoh nasional. Padahal secara
administrative dia setara dengan provinsi-provinsi lain. Siapa yang tak kenal
Sutiyoso, Fauzi Bowo, Jokowi bahkan Ahok. Tapi hampir semua orang kebingungan
ketika ditanyai: siapa nama gubernur Sulawesi Utara terpilih kemarin? Atau
siapa sih, gubernur salah satu provinsi dari Papua saja.
Paska
naiknya Jokowi sebagai Presiden meninggalkan singgasana gubernur di DKI, mata
publik jadi terang benderang. “Jakarta adalah batu loncatan strategis menaikan
pamor, merampas bargaining politik”.
Jangan-jangan hanya di Jakarta, hukum rimba berlaku dalam budaya urban
masayarakat kota; siapa yang menaklukan Jakarta, sudah tentu mampu membabat
hutan rimba nan buas.
Bila
Jakarta adalah perempuan, tentu saja dia molek dan berbody sintal. Keseksiannya
senantiasa sukses mencuri perhatian. Bila kebetulan pasar informasi kita sedang
kekeringan issue, selalu saja Jakarta menjadi senjata pamungkas menghangatkan
lembar berita: kemacetan, pelaku kriminal kreatif, banjir, Ahok, dll. Tapi
keseksian Jakarta selalu hot hingga
mendidih acapkali yang muncul ialah kabar politik. Perempuan ini, seketika
menjelma primadona; memaksa tiap pria berjudi dengan nyawa – di tengah pentas
kekuasaan dan kehormatan.
Tapi
Jakarta lebih dari itu, tidak sekedar tentang harapan seluruh Indonesia. Saya
takut kota metropolitan ini diam-diam menjadi sumber problematika. Kalau ada
cermin yang bisa menampakkan dekandensi sosial dan keruntuhan moral,
jangan-jangan Jakarta adalah analogi yang pas. Jakarta adalah potret dari
kontrasnya perbedaan kelas sosial. Di masjid berasrsitektur mewah, selalu ada
pengemis tanpa sandal berbaris depan pintu; di trotoar, selalu terjadi
persaingan antara pejalan kaki dan motor; padatnya lalu lintas selalu disesaki
mobil pribadi yang ditumpangi satu atau dua orang; pengamen-pengamen yang
bernyanyi ikhlas merampas receh dengan paksa.
Saya
takut orang miskin yang dihadapkan pada kejamnya realitas Jakarta, akan menyerah
jadi orang baik, hingga memutar otak merencanakan kejahatan dengan dalih “orang
kaya sudah terlalu banyak, kalau mereka tidak berzakat, yah kita yang rebut
dengan paksa. Wong kata Tuhan
sebagian harta mereka adalah hak kita”.
Lebih
mudah membicarakan pesimisme, kiritik, serta hujatan daripada berbicara harapan, moral serta iman – begitulah Jakarta.
Hanya sedikit yang bisa melihat ini secara jenaka dengan bahasa satiris laiknya
Seno Gumira Ajidarma. Tiada Ojeg di
Paris, yang kukira awalnya adalah kumcer ternyata memuat 44 essei yang
cerdas. Siapa sangka ternyata, judul buku itu bermaksud tentang tajamnya
perbedaan antara kota Paris dan kota Jakarta. Ojeg, dimaknai sebagai salah satu
produk budaya urban yang hanya dimiliki Jakarta. Ojeg dan penatnya rutinitas
Jakarta seakan menjadi gerbang menuju tafsir atas kondisi sosial-budaya serta
ekonomi-politik Jakarta kita.
Seno
Gumira Ajidarma melihat Jakarta dalam jarak yang sangat dekat hingga apa yang
luput dari amatan warga Jakarta sendiri berhasil dia ringkus dan digubah –
meski itu hal-hal sepele sekalipun. Bajing yang melintas di sepanjang kabel
tiang listrrik saja bisa jadi alegori olehnya. Objek bukunya dinamai dengan
nama latin Homo Jakartensis.
Homo
Jakartensis adalah sebuah paradoks. Mereka adalah warga sekaligus pendatang.
Dimana intensitas berpas-pasan lebih tinggi dengan orang asing daripada teman dekat
apalagi keluarga. Tatkala musim mudik, sontak Jakarta kosong melompong. Seno
Gumira lalu bertanya: orang manakah homo jakartensis kita? Sehingga Seno Gumira
Ajidarma melontarkan renungan kepada kita: “mungkinkah mengenal orang-orang
yang hanya kita lihat dari balik jendela mobil saja?” Tentu saja homo
jakartensis adalah manusia mobill; mobil menjelma bak dunia ketiga setelah
rumah sebagai dunia pertama dan tempat kerja sebagai dunia kedua.
Jakarta
adalah arena dimana beraneka identitas melebur dalam sebuah pola rutinitas.
Bila ingin menyederhanakan homo Jakartensis, bagi saja mereka dalam kelas
sosial berdasi dan bersendal jepit. Berbicara tentang stratifikasi sosial,
hanya di Jakarta kesenian mengalami dekaden karena tidak lagi peduli kepada
penderitaan (dalam essei Penyanyi Dangdut
di Tepi Jalan).
Maka
masihkah Jakarta berarti kemenangan? Bukankah sebuah kota dibangun oleh makna?
Adalah makna yang membuat suatu tempat mempunyai nama. Dimensi ruang-spasial
Jakarta hanya akan menjadi ukuran, maknanya ditentukan oleh manusia. Lantas,
apakah makna Jakarta bagi Indonesia? Dan bisakah Indonesia tetap eksis tanpa
Jakarta? Atau marilah kita ajukan pertanyaan lain: “mampukah Jakarta tidak mati
tanpa Papua, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dll..”
Menjadi
homo Jakartensis banyak konsekuensinye.
Apalagi kalau menjadi pemimpin homo Jakartensis, mahabanyak konsekuensinya. Memimpin
Jakarta begitu pelik. Menjadi warga Jakarta saja susah apalagi jadi
pemimpinnya? Maka pemimpin orang-orang susah dan berbahaya ini, pastilah
manusia super hebat. Pemimpin Jakarta sudah terbebani konotasi manusia super. Tidak
heran Jokowi memanfaatkan keampuhan simbol Jakarta untuk meloncat ke kursi
presiden.
Menguasai
Jakarta sudah cukup menjadi indikator, bahwa individu tersebut telah
berkapasitas mengelola Indonesia. Sebab lumbung ekonomi dan politik berkecamuk
disini. Namun menjejal Jakarta tidak semudah berfantasi. Kehilangan akal
sehatpun sangat mungkin, karena obsesi dan ambisi seseorang melampaui
kesabarannya menahan perbuatan jahat. Jakarta adalah penghancur batas; peretas
tepi. Jakarta adalah kenyataan tanpa selingan dan mimpi, Jakarta adalah sisi
pahit kenyataan, yang oleh karenanya kita bisa mengukur jarak terjauh energi
manusia.
Betapa
daya tarik Jakarta begitu besar. Meski masih harus menunggu setahun lagi, tapi
wacana saling sahut menyahut mengembangkan persepsi public tentang “siapakah
sosok yang kelak memimpin Jakarta nanti?”. Jakarta hanyalah salah satu provinsi
Indonesia, tetapi daya ledak gossip politiknya bisa menembus jadi wacana
nasional. Jakarta sudah terasosiasi dengan sesuatu yang superior, perkasa,
istimewa, ekslusif, spesial, jempolan dan sebagainya. Silahkan kalian tinggal
satu hari di Jakarta, lalu langsung balik ke kampong halaman yang terpencil.
Pasti warga-warga menyematkan status elit, ekslusif, spesial, populer, keren,
jago, hebat dll kepadamu.
Maka
tidak mengherankan jutaan jiwa mengadu takdir dalam sengitnya survival of the fittest di rimba
Jakarta. Komitmen untuk bertahan hidup di Jakarta bukan sekedar hari ini
kenyang dan besok kenyang, lebih dari itu melibatkan kehormatan dan harga diri.
Jakarta adalah tolak ukur kesuksesan tiap manusia Indonesia. Barangsiapa yang
bisa membuka warung kecil di Jakarta, barangkali dia mampu mengelola sebuah
mall di tempat lain; barang siapa hendak menguji diri mampu menguasai
Indonesia, kuasailah Jakarteh.
Entah
kenapa tapi dalam benakku, ada kecurigaan yang menyelinap: “masihkah moral
dihargai dengan nilai tinggi di Jakarta?” Ketakutan terbesar bagiku apabila
kekuasaan menjadi kebutuhan primer di Jakarta. Kekuasaan adalah barang mewah
nan mahal. Kekuasaan adalah garansi, yang dengan itu kita bisa sekedar
meredakan ngeri dan ngilu oleh kejamnya Jakarta. Akankah nanti lapar kekuasaan
memecut kita hingga lupa dengan moralitas?
Melihat
realitas sosial Jakarta, seperti tengah menyaksikan praktek demi praktek dari
apa yang dinasihatkan Machiavelli untuk Medici dalam Il Prince. Dalam tumpukan-tumpukan surat Machiavelli, kita bisa
menarik simpulan dengan pasti, bahwa politik dan moral berada pada dimensi
berbeda. Aku tidak tau bagaimana, tapi sepertinya homo Jakartensis memiliki
paham Machiavelismus dalam hal ini. Dipotong dari secarik surat Machiaveli,
berbunyi: “Penguasa akan mati kalau dia selalu berbuat baik; dia harus selicik
seritgala dan segalak singa”. Berbicara tentang kelicikan serigala dan
kegalakan singa ini membuat imajinasiku terbang di atas langit Jakarta, seolah
Jakarta sudah familiar dengan istilah ini.
Bertarung
dalam pentas politik Jakarta tidak pernah kalah menarik dengan pertarungan
antar kandidat presiden. Selalu ada intrik dan konspirasi tentunya. Lambat laun
muncul nama-nama terkenal yang kebanyakan bukan asli orang Jakarteh atau dari
Betawi sekalipun. Sebut saja Ridwan Kamil, ada juga Ahmad Dhani, Basuki alias
Ahok dari Bangka Belitong, juga Yusril nih katanya mau maju. Untunglah beberapa
waktu lalu Ridwan Kamil hengkang dari arena kompetisi, tentu saja calon-calon
lain agak lega untuk ini.
Namun
akankah memimpin Jakarta berarti menjual kebaikan untuk dibeli para konstituen?
Barangkali kita harus sekali lagi bertanya seberapa besarkah moral dihargai
homo Jakartensis. Issue-issue pilkada lain semacam budaya, moral,
infrastruktur, kesejahteraan, dan semacamnya mungkin telah menjadi klise di telinga
homo Jakartensis yang tidak jelas mereka asli daerah mana. Lagi-lagi Machiaveli
punya argumentasi yang kurang lebih hamper sesuai dengan kondisi ini: “Orang-orang
beradab hampir pasti merupakan orang egois dan jahat. Jika sekarang ini ada
seorang yang ingin mendirikan sebuah Negara kesejahteraan, dia akan lebih mudah
mengajak orang-orang yang tinggal di gunung daripada di kota.”
Bagi
tokoh yang hidup beberapa abad lalu, harus kita acungkan jempol karena berhasil
meramal realitas hari ini. Bahkan Lord Chancellor Inggris, Francis Bacon,
memuji: “kita berutang sangat besar pada Machiavelli serta orang-orang lain
yang menulis tentang apa yang nyatanya dilakukan orang, dan bukan tentang apa
yang seharusnya dilakukan.” Banyak yang bisa mengumbar kata-kata indah, tetapi
sedikit yang cukup berani menyatakan kebenaran pahit. Banyak orang yang bisa
melukiskan harap diantara barisan awan Jakarta tak berbintang, tetapi cukupkah
kuat kita mengakui Jakarta adalah kota tempat orang-orang beradab, yang
dilukiskan oleh Machiavelli?
Untuk
kota sekaliber Jakarta tentu lumrah bila daya ledak beritanya melampaui
kompetisi politik lain. Mungkin yang membuat simpati publik tercuri karena alam
bawah sadar kolektif kita tertanam gelisah, khawatir, takut, prihatin, mawas
diri dan sedih. Emosi-emosi demikian bergumul menjadi bola panas pertaruhan. Sebab
Jakarta itu rumah dari pusat seluruh aktivitras Negara, apapun yang terjadi di
Jakarta, tidak ayal lagi melibatkan seluruh individu dipelosok Indonesia. Pilkada
Jakarteh adalah perjudian nasib kita kedepan.
Machiavelli
meski hidup jauh sebelum mengenal Jakarta – bahkan mati tanpa berkenalan dengan
Jakarta sama sekali, sukses bernubuat tentang suatu kota yang sama persis
dengan apa yang dia gambarkan. Namun membicarakan kenyataan Jakarta yang getir
tentu begitu membosankan, syukurlah Seno Gumira Ajidarma bisa membicarakan
Jakarta dengan gurau. Ada juga Goenawan Mohammad punya ceritanya sendiri dalam
catatang pinggirannya, tepatnya pada teks berjudul “Jakarta”, yang dibuka
dengan:
Jika
kota ini runtuh, mungkin karena orang-orang tak mengharap bahwa polisi, jaksa,
dan hakim akan menghukum sejumlah penjahat yang mendapat uang berlebihan seraya
menghancurkan Jakarta. Tak ada yang melihat ada jalan yang bisa ditempuh yang
menyelamatkan. Semua tahu bahwa untuk menghentikan persekutuan jahat itu
akhirnya harus ada sebuah alat: kekuasaan. Tapi sudah bertahun-tahun kita hidup
dengan asumsi bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang jauh dan ajaib, bukan sesuatu
yang bisa diproduksi oleh proses politik.
0 Komentar