LAMPAU, sebelum Johanes Gensleich Zur Laden Zum Guttenberg memfasilitasi kehadiran buku lewat sarana media cetak, tulisan masih tercecer diatas kulit domba, kulit kayu keras (codex), gulungan payrus, daun lontar dan macam-macam lagi. Berterimakasihlah kita pada Guttenberg, sebab ekspansi ilmu pengetahuan semakin gencar lewat kehadiran buku cetak. Berbeda dengan media lainnya, mesin percetakan lebih bersifat praktis dan simple dalam mereproduksi buku.
Johanes Gutenberg adalah tokoh pertama yang memprakarsa mesin cetak dalam artian modern. Karya utama lewat mesin ciptaan itu adalah Injil Guttenberg yang terkenal dengan Injil 42 baris – Injil yang dipuji karena kualitas estetika serta teknik penulisannya yang unik. Setelah itu, selama 500 tahun lamanya bertahan dalam aras percetakan ide dan gagasan, terjadi kemajuan yang signifikan di peradaban Eropa yang menjauhi peradaban Cina dan lain sebagainya di belakang Jerman.
Mesin Guttenburg adalah ibu dari buku-buku pegangan para filsuf Renaisains. Karena penyebaran ide dan gagasan lebih masif dan luar biasa cepat dibandingkan sebelumnya. Gerakan Aufklarung yang terdiri dari proyek filsafat pencerahan serta reformasi institusional tak terelakan.
Pemikir serta penemu besar dunia tidak dapat melepaskan rasa terimakasih mereka atas kehadiran buku cetak yang mempedomani karya mereka lahir. Pada tumpukan kertas yang dilapisi hard cover itu termaktub sejuta inspirasi; buku adalah dimensi tersendiri yang merekam ruang dan waktu agar imajinasi serta pemikiran manusia dapat terdokumentasikan dengan apik. Seperti yang diakui Rene Descartes: “Lewat teks (buku), aku bisa belajar dari manusia-manusia masa lampau”.
Teks merupakan suatu keharusan tak terbendung. Dalam konteks kekinian, kita mengenal perantara pengetahuan itu sebagai buku. Sebuah benda praktis yang bisa digenggam dan dibawa kemana-mana. Buku, adalah harta karun paling berharga yang diwariskan sejarah kepada generasi masa depan. Benda yang umumnya berbentuk persegi empat itu memang pantas disebut jendela. Dia menciptakan sebuah lorong waktu, membawa kita mengembarai masa lalu dan berpetualang ke imajinasi akan masa depan.Buku, adalah mesin waktu dengan demikian.
Buku ada tape reccorder yang mengolah visualisasi, bunyi, tekstur, aroma dan persepsi inderawi lainnya ke dalam aksara. Buku merupakan perpanjangan indera kita melampaui imajinasi, menyaksikan kelahiran dan keruntuhan peradaban yang saling sahut meyahut pada lini masa. Buku adalah bahtera dalam menapak tilas lintasan sejarah peradaban umat manusia.
Buku juga adalah medium komunikasi. Buku telah mengabadikan pemikiran manusia agar kekal tak termakan waktu. Benarlah pepatah latin itu: “verba volant scripta manent”, “Semua yang terujar akan lenyap, semua yang tertulis akan abadi”. Kematian bukanlah akhir dari dedikasi seorang manusia, mereka masih bisa mewariskan cara berpikir mereka untuk ditelaah dunia. Buku telah menjadi sarana yang tepat bagi pewarta kebenaran serta keagungan ilmu pengetahuan melampiaskan keyakinannya di hadapan masyarakat dunia.
Dikisahkan bahwa Karl Marx yang pengaruhnya telah membanjiri seluruh dunia, merupakan penggila buku. Rutinitasnya padat oleh aktivitas yang menghabiskan waktu di perpustakaan baik siang maupun malam. Pernah suatu ketika badan intelejen Prusia (Jerman saat ini) menyusup ke tempat kediaman Marx dan melihat tempat tinggal sang Nabi Komunis itu yang disesaki oleh tumpukan serta deretan buku-buku. Diam-diam para intelejen Prusia mengagumi dedikasi Marx yang dianggap sebagai sosok Bohemian intelektual sejati.
Membaca bagi Marx adalah sebuah ibadah ritual wajib sehari-hari – mungkin sewajib shalat lima waktu, zakat, haji, atau sembahyang bagi umat beragama.
Jean Paul Sartre juga punya cerita sendiri. Sartre memandang bahwa setiap perpustakaan adalah kuil dan buku adalah agama baginya. “Aku suka menyadari betapa kerasnya buku bertahan, tidak pernah mau takluk begitu saja padaku; aku jadi terpedaya, capai, tetapi aku amat menikmati ambiguitas posisiku: ‘mengerti tetapi tidak mengerti.’”
Founding Leaders Indonesia juga tidak ketinggalan dalam memberi testimoni serupa. Tatkala dibuang ke Digul dalam rangka pengasingan oleh Belanda, Mohammad Hatta hanya meminta diperbolehkan membawa 16 buah buku sebagai sahabat pembunuh waktu dalam penjara. Hatta berujar: “Ruangan tanpa buku bagai raga tanpa jiwa”.
Milan Kundera punya rumusan tersendiri mengenai hal ini: “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.”

Sumber: Dewa Google

Namun beriringan dengan gesitnya langkah maju peradaban, kehadiran buku cetak semakin ditantang oleh globalisasi. Benarlah kata Mark Slouka, dunia yang kita tinggali kini tiada lain adalah Cyber Space, dimensi ruang yang terlipat karena intensitas kecanggihan teknologi informasi. Sesuatu yang dikatakan Umberto Eco sebagai Hiper Realitas (Realitas semu).
Kehadiran buku elektronik (e-book) adalah fenomena yang harus dipertimbangkan mengingat survivalitas buku cetak yang makin terenggus eksistensinya dan juga disisi lain buku elektronik memberikan kemudahan bagi pembaca. Hanya dengan searching lantas mengklik perintah download, kita sudah bisa memperoleh informasi itu tanpa harus capek-capek ke toko buku atau menunggu pesanan lama-lama.
Umberto Eco, novelis asal Italia, mengaku sungkan membaca edisi buku elektronik karena bisa membuat mata rabun. Eco justru menghendaki terus menjalani ritus membaca buku cetak. Nostalgia, emosionalitas, sentimentalitas, dan aliran waktu kerap tersimpan di buku cetak. Eco mengandaikan diri menemukan buku masa kecil di gudang. Takjub, haru, dan keajaiban bakal teralami dalam tautan diri, buku, serta waktu. Eco (Tempo, 30 Oktober 2011) mengatakan, “Ada emosi bergerak di situ.”
Pemaknaan buku cetak oleh Eco ada di zaman kalap teknologi. Segala hal mengalami percepatan, perluasan, peringkasan, dan penggandaan oleh teknologi. Orang-orang mulai mendua untuk menerima buku dalam format cetak dan elektronik. Nalar teknologis memihak selebrasi buku elektronik dengan dalil pencanggihan medium, ruang, harga, tubuh, dan waktu. Puja teknologi melalui ejawantah buku elektronik memang mengagendakan selebrasi masif literasi di dunia, tapi perlahan bisa menghilangkan memori ajaib tentang manusia dan buku.
Buku, kata Eco, telah menyajikan kontribusi yang jelas dan tak terbantahkan pada lintasan sejarah. Sedangkan buku elektronik belum. Eco mengatakan membaca e-book sangat tidak sehat dikarenakan matanya sering sakit dan memperparah kerabunan.
Buku (cetak), sedang berada dalam persimpangan peradaban: antara menjadi bagian dari romantisme sejarah masa lalu atau masih bertahan hidup tertatih-tatih di tengah pusaran hegemoni media elektronik.
Tapi, akankah bila Marx, Sartre, Hatta, Eco maupun Guttenberg lahir di era digital seperti hari ini: apakah makna buku cetak bagi mereka? Setarakah dengan kulit domba, kulit kayu keras (codex), gulungan payrus, daun lontar dan macam-macam lagi?
Saya rasa tidak. Ini giliran kita menjawabnya.



- TriwardanaMokoagow