Sir Thomas More (1478-1535) adalahs seorang humanis yang saleh. Orang ini dikenal nyaris semata-mata karena karyanya, Utopia (1518).
Utopia adalah sebuah pulau di belahan bumi selatan, dimana segala sesuatu dikerjakan dengan cara terbaik. Pulau ini secara kebetulan dikunjungi seorang pelaut bernama Raphael Hythloday, yang menghabiskan waktu lima tahun disana, dan hanya kembali ke Eropa untuk memperkenalkan lembaga-lembaga yang bijaksana di pulau Utopia itu.
Di pulau Utopia, sebagaimana republiknya Plato, semuanya dimiliki secara bersama, karena kebaikan publik tidak dapat tumbuh jiak masih ada kepemilikan pribadi. More, dalam dialog ini, berkeberatan jika dikatakan bila kepemilikan bersama membuat manusia malas, dan merusak kehormatan para hakim; tentang hal ini, Raphael menjawab bahwa tidak akan ada orang berkata demikian jika dia telah hidup di Utopia.
Di Utopia terdapoat lima puluh empat kota, semua dibangun dengan perencanaan yang sama, kecuali ibukotanya. Semua jalan memiliki lebar dua puluh kaki, dan semua rumah pribadi sama persis, dengan satu pintu menghadap ke jalan dan satu lagi menghadap ke taman. Pintu-pintu ini tidak berkunci, dan setiap orang bisa masuk ke sembarang rumah. Sepuluh tahun sekali, orang-orang berganti rumah – rupanya untuk menghindari rasa kepemilikan.
Semua orang berpakaian sama, kecuali perbedaan antara pakaian laki-laki dan perempuan, sudah menikah dan belum. Modenya tidak pernah berubah dan tidak ada perbedaan antara pakaian musim panas dan dingin.
Setiap orang – laki-laki dan perempuan – bekerja enam jam sehari, tiga jam sebelum makan siang dan tiga jam sesudahnya. Semua orang tidur pada jam delapan selama delapan jam. Di pagi hari ada ceramah yang dihadiri banyak orang. Setelah makan malam, ada waktu satu jam untuk bermain. Kerja selama enam jam sudah cukup, karena tidak ada orang malas dan tidak ada kerja yang sia-sia..
Jika sebuah keluarga mempunyai anak terlalu banyak, anak-anak surplusnya dipindahkan ke keluarga lain. Jika sebuah kota tumbuh menjadi terlalu besar, sebagaian penduduknya dipindah ke kota lain. Jika semua kota menjadi terlampu besar, akan di bangun kota baru di tempat tidak berguna.
Tentang pernikahan, perceraian terjadi karena perzinahan atau “ketidapatuhan yang tidak ditolerir pada pasangannya”. Namun pasangan yang bersalah tidak dapat dinikahinya kembali. Orang-orang yang merusak ikatan pernikahan dihukum sebagai budak.
Jika seorang terjangkit penyakit yang tidak bisa disembuhkan, dia disarankan untuk bunuh diri, tetapi nasihat ini disampaikan secara hati-hati kalau-kalau dia menolaknya.
Dalam ulasannya terhadap Utopia More, Bertrand Russel berkata: “.... Saya lebih memperhatikan apa yang dikatakannya tentang perang, agama dan toleransi beragama, penentangan terhadap pembunuhan binatang tanpa alasan (ada sebuah paragraf yang sangat baik tentang penolakan terhadap perburuan), dan dukungannya pada hukum kejahatan ringan. (Buku tersebut terbuka terhadap pendapat yang menentang hukuman mati bagi pencuri)...”
Utopia More, sangat mungkin menghibur perasaan masyarakat-masyarkat yang letih atas konflik dan disparitas sosial yang senantiasa meliputi kehidupan manusia. Membuat masyarakat kita ingin menikmati utopia, meski dalam khayal sekalipun. Kita lelah atas realitas yang begitu pahit, hingga lari pada kisah imajiner yang menyejukan.
Tentunya ini merupakan fitrah alamiah manusia selaku makhluk percaya, spesies yang tidak bisa hidup tanpa meyakini suatu kepercayaan. Hidup tanpa keyakinan menanggalkan keraguan, ketidakpastian, kecemasan, galau dan rasa takut. Semakin banyak hal yang tidak pasti pada diri, semakin kita terpojok pada rasa ngeri. Keyakinan memberi kita garansi atas masa depan yang tidak pasti itu. Keyakinan akan tetapi, sama halnya dengan waktu, senantiasa berevolusi dan melakukan metamorfosis.
Awalnya adalah aliran kepercayaan, kehadiran monotheisme primitif berusaha untuk memadukan harmoni antara mikro-kosmos dan makro-kosmos. Kemudian muncullah agama yang turun dari langit (tanzih), menawarkan ide tentang eskatologis (dunia paska kiamat). Nurcholis Madjid menambahkan, kekeringan spiritual serta jenuhnya manusia kepada logika mistika yang dipelihara dari nenek moyang, lalu membuat umat manusia saban hari berpaling pada ideologi. Ideologi adalah konsensus akan sebuah dunia ideal, yang kelak dapat terwujud bila para penganutnya konsisten dalam gagasan maupun praksis.
Lebih lengkapnya, saya hendak mengutip Seliger:
Sebuah ideologi adalah kumpulan kepercayaan dan ketidakpercayaan (penolakan) yang diekspresikan dalam kalimat-kalimat yang bernilai, kalimat-kalimat permohonan dan pernyataan eksplanatoris.... (ia) dibuat untuk memberikan basis permanen yang relatif bagi suatu kelompok masyarakat untuk membenarkan kepercayaan pada norma moral dan sedikit bkti faktual serta rasionalisasi berbasis kesadaran-diri yang bertalian dengan legitimasi mplementasi dan preskripsi teknis yang dimaksudkan untuk menjamin tindakan yang ditampilkan demi perlindungan, reformasi, destruksi atau rekonstruksi dari tatanan yang ada.
Mempelajari ideologi  berarti mempelajari cara dimana makna memberikan pembenaran terhadap relasi dominasi. Di antara beberapa cara kerja ideologi, tiga yang dapat disebut sebagai sentral. Pertama, relasi dominasi dapat dipertahankan dengan menghadirkannya secara legitimate. Setiap sistem dominasi, menurut Weber, berusaha memperkuat suatu kepercayaan dengan tingkat legitimasinya dengan memanfaatkan landasan rasional, tradisional atau kharismatik.
Kedua, menggunakan disimulasi (dissimulation). Relasi dominasi yang memiliki keinginan untuk selalu memperluas wilayahnya pada pihak lain dapat disembunyikan, dielakkan atau “diblok” secara berbeda; dan cara-cara tersebut – selalu tumpang tindih, terkadang disengaja – dapat menyembunyikan dirinya melalui cara kerjanya yang sangat efektif, dengan menunujukan dirinya sebagai sesuatu yang lain dari sebenarnya.
Ketiga, melalui reification yaitu mewakili sesuatu yang bersifat sementara (fana), bersifat hitstoris, sebagaimana sebelumnya merupakan sesuatu yang tetap, alami dan berada diluar waktu (a-historis). Untuk membangun kembali dimensi masyarakat tanpa sejarah.
Namun kian hari, pesimisme semakin kuat menyelinap dalam kesadaran umat manusia. Perbedaan ideologi serta pertikaian panjang dari gagasan-gagasan ideal tentang pandangan dunia, telah menyeret masyarakat global pada konflik dan peperangan sengit. Entah itu bersifat fisik maupun non-fisik – seperti perang finansial, imperialisme budaya, eksportasi ide, dan lain sebagainya.
Muncul sebuah anggapan kalau-kalau ideologi ini adalah pembakuan dari semacam ekspresi imajinaer manusia yang lelah akan konflik serta perseturuan kelas sosial. Yang paling terkenal adalah Castoriadis, dalam gagasan tentang l’imaginaire social. Castoriadis menyatakan bahwa imajinasi ini adalah imajinasi yang memperhitungan orientasi institusi sosial, reproduksi motif-motif dan kebutuhan, keberadaan simbol-simbol, tradisi dan mitos.
Utamanya imajinasi sosial diekspresikan melalui pembentukan dunia makna. Melalui makna tersebut – simbol dan mitos tempat masyarakat menghadirkan masa kini dan masa lalunya – suatu masyarakat dibekali identitas dan dibedakan dari masayarakta lan dan dari kekacaubalauan yang tidak menentu.
Paul Klee: The Mask with Little Flag (1925)

L’imaginaire social, adalah gagasan bahwa ideologi mencoba melahirkan suatu sistem sosial baru, yang mengenyahkan sistem sosial lama yang dianggap menindas. Ideologi dipahami dalam konteks hubungan oposisional dengan kenyataan yang terjadi. Tatkala kita bosan atas realitas yang terjadi, ideologi berusaha menjual cita-cita lewat dunia pengganti yang bertentangan dengan dunia objektif (das sein), ideologi berusaha mewujudkan suatu tatanan dunia yang subjektif dan tidak pernah terwujud dalam sejarah (das sollen). Ideologi adalah mitos modern.
Dalam era posmodern ini, segala sesuatu kembali dipertanyakan. Baudrillard dengan tajam mengupas: simbol-simbol serta wacana, hanya direproduksi berulang-ulang dengan kemasan yang berbeda namun substansi yang sama. “Tidak pernah ada yang baru di bawah matahari”. Ideologi, telah menjadi mitos manusia modern yang mengelu-elukan sinar harapan penghapus chaos.
Tatkala Karen Armstrong bernubuat memproyeksikan keruntuhan kuil-kuil karena berpalingnya umat manusia pada agama, dalam Masa Depan Tuhan, mungkin yang dimaksudkan mantan biarawati itu adalah berbondong-bondong manusia lari ke pelukan ideologi sebagai agama baru, agama yang dikreasi dari imajinasi transedental.
Ideologi sebagai sistem tanda dan simbol yang memiliki dunia makna sendiri, telah memelihara mitos demi menghegemoni paradigma peradaban. Di samping misi yang luhur dan mulia, kemunculan wacana kritis telah menyibak tirai gelap yang menyembunyikan relevansi ideologi dan L’imaginaire social. Bahwa sesungguhnya ideologi sangat dekat dengan kepentingan status quo atau oposisi kekuasaan, ideologi dekat dengan motif kekuasaan dan perebutan pengaruh.
Dalam pentas survival of the fittest makhluk homo saphiens ini, tengah terjadi fenomena yang disebut “anomali kekuasaan”. Pertarungan ideologi tak ubahnya kontes kecantikan dengan model-modelnya yang bohai, seksi serta mengenyangkan khayalan khalayak ramai. Kita tengah berada dalam pasar hegemoni, dimana produsen adalah para intellectual-moral actor dan kita berperan selaku konsumen.
Menarik bila kita tilik pernyataan provokatif Jean Baudrillard tentang masyarakat konsumtif. Apa yang dikonsumsi selalu sesuatu yang ‘baru’, tetapi sesuatu yang baru ini hanyalah perbedaan belaka yang menandakan pengembalian abadi dari hal yang sama, pengembalian abadi dari objek keinginan konsumtif. Konsumen dihadapkan pada dunia dimana setiap sesuatu dapat dicapai, seperti rumah impian kita yang sedang menunggu, dengan pintu yang sedikit terbuika, untuk segera dimasuki. Dengan demikian, ideologi membangun suatu dunia yang tertutup, berulang dan sudah pernah dibuat sebelumnya.
Ideologi adalah mitos manusia modern yang dipelihara dan dijaga demi menghibur masyarakat yang rentan tanpa keyakinan sama sekali. Kita tengah dirayu oleh komoditas yang ditawarkan para legitimator ideologi: sebuah dunia harapan, dunia tempat manusia menghidupi diri dengan nyaman, adil, setara, serta sejahtera; dunia Utopia.
Namun demikan, harus diakui bahwa kehidupan di negara Utopianya More, sebagaimana di kebanyakan negara lain, sangat membosankan. Keragaman itu penting bagi kebahagiaan, dan di Utopia hampir tidak ditempukan. Ini merupakan sebuah cacat dari semua sistem sosial yang terencana, aktual serta imajiner. Barangkali begitu ungkap Bertrand Russel.
Kelak saat kematian menghampiri ideologi seperti halnya yang terjadi pada metafisika dan teologi, maka mitos utopia akan dikemas dengan nama apakah?

Dalam imajinasiku, Baudrillard tengah cengar-cengir menjawab: “selamat datang dalam simulakra!”