“Seandainya aku tidak jadi mati, bagaimanakah? Seandainya aku diperkenankan hidup lagi? Tiap-tiap menit tentu menjadi zaman abadi bagiku, seluruh waktu akan menjadi milikku.. O tiap menit akan kujaidkan abad, tidak akan kusia-siakan lagi. Menit, menit ya menit itu akan kuisi sepenuh-penuhnya, supaya tidak percuma lagi, dan tidak akan saya sesali lagi kehampaannya.”
Pernyataan diatas adalah apa yang dituliskan Fyodor Dostoyevsky beberapa tahun setelah batalnya hukuman mati yang dijatuhkan padanya. Tulisan itu mengenangkannya pada peristiwa dimana dia menjadi salah seorang dari 15 terpidana mati yang hendak dieksekusi di lapangan Semonovskaya, yang pada hari itu telah dipenuhi sekitar 2000 orang. Dostoyevsky memperoleh giliran eksekusi kedua. Namun setelah eksekusi pertama, dan menjelang dilakukannya eksekusi kedua, tiba-tiba datanglah utusan Tsar yang mengumumkan perubahan hukuman, yakni dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup di Siberia.
Dunia kesusasteraan klasik patut menghaturkan terimakasih sebesar-besarnya sedalam-dalamnya pada spontanitas Tsar dikala itu. Sisa usia yang dijalani Dostoyevsky dia dedikasikan demi menulis. Salah satu mahakarya yang lahir yakni Crime and Punishment (Kejahatan dan Hukuman).
Novel itu memilih tokoh Rodion Raskolnikov sebagai pemeran utama. Pemuda idealis yang kerap disapa Rodya dengan akrab. Adalah fokus utama dari penulisan novel, yang lewat skenario Dostoyevsky, Rodya memperkenalkan pergumulan batin yang berkelindan-selirat secara psikologis. Penderitaan itu harus dia pendam sendirian selama berbulan-bulan hingga pada beberapa malam yang sepi seringkali membuat dia menyerah dan mempertimbangkan keputusasaan sebagai opsi.
Pergulatan batin itu secara sukarela dia terima tatkala sukses mengeksekusi skenario pembunuhan terhadap wanita tua lintah darat bernama Alyona Avanova dan adiknya, Lizaveta Ivanovka. Meskipun didera ganas oleh kondisi kemiskinan, motif ekonomi bukanlah alasan pembunuhan tersebut. Rodya muak melihat manusia selicik Alyona Avanova tetap hidup sembari mempermainkan nasib-nasib orang miskin yang butuh pinjaman uang. Tentu bukan rendahnya pinjaman yang diberikan oleh Alyona Avanova yang membuat Raskolnikov jengkel, akan tetapi ketidakhormatan wanita itu kepada orang-orang miskin. “Kemewahanpun bisa jadi milik pengemis, mereka hanya butuh dihormati.” Roskalnikov mungkin menganggap, pembunuhan olehnya adalah membalaskan dendam orang-orang miskin yang dipermainkan Alyona Avanova.
Kendati hanya tersirat, Dostoyevsky memberi isyarat kerangka berpikir yang mendorong perilaku moral Roskalnikov dalam novelnya. Isyarat itu muncul tatkala Rodya terlibat diskusi dengan Zametov, Porfiry Petrovitch dan Razumihin ketika berbicara tentang sosialisme, kejahatan, negara dan hukum. Perbincangan panas itu bermula dari proposisi: “....berinjak dari doktrin sosialisme, kejahatan merupakan sebentuk protes kepada ketidakberesan organisasi sosial...” Razumihin melanjutkan argumentasinya, “jika masyarakat diorganisir dengan baik, maka semua orang akan jadi baik, sebab tak ada ketimpangan yang harus diprotes. Watak manusiawi tidak masuk hitungan dalam hal ini Mereka tidak percaya akan kemampuan proses hitstoris yang wajar untuk menciptakan masyarakat normal, bagi mereka cita-cita ideal tersebut hanya akan tercapai dengan semacam  otak matematika yang berfungsi mengorganisir segala bentuk kemanusiaan yang dalam sekejap bisa menciptakan keadilan dan kesucian.”
Opini Razumihin jadi pemicu yang tepat bagi Profiry memancing pendapat Roskalnikov tentang artikel yang pernah Roskalnikov tentang manusia besar dan sejarah. “Ada orang-orang tertentu, yang bisa, sekalipun tidak selalu berarti biasa melakukannya, punya hak mutlak melakukan pelanggaran moral dan tindak kejahatan, dan hukum tidak berlaku bagi mereka.” Kutip Profiry dalam artikel Raskolnikov.
Melihat ada beberapa frasa yang sengaja dipelesetkan Profiry, Raskolnikov menyela: “Perbedaannya, tindak kejahatan yang dilakukan orang-orang besar itu tidaklah sejahat yang kamu sebutkan tadi. Dalam artikel itu aku memang mengisyaratkan bahwa orang-orang besar punya hak semacam itu; suatu hak spiritual untuk melakukan, dengan kesadaran sendiri, tindakan yang melewati norma-norma yang ada. Mereka melakukan hal-hal tertentu, demi tercapainya essensi cita-citanya yang mulia, malah terkadang boleh jadi, cita-citanya itu berguna untuk kepentingan seluruh umat manusia... Menuruku, semua pemimpin semacam Muhammad, adalah orang yang tidak boleh dianggap sebagai penjahat; demi hukum baru yang ditegakkannya, yang berbeda dari hukum peninggalan para nenek moyang, orang seperti dia berhak mengobarkan pertumpahan darah, meskipun pertumpahan darah semacam itu harus banyak mengorbankan nyawa.”
Roskalnikov melanjutkan argumentasinya dengan klasifikasi dua manusia yang mengingatkanku pada ordinary people dan exceptional people Jalaludin Rakhmat dalam Rekayasa Sosial. Lebih jelasnya ungkap Rodya: “Alamlah yang membagi manusia dalam 2 kategori tersebut: makhluk inferior (orang biasa yang tugasnya Cuma untuk mereproduksi makhluk sejenisnya) dan orang besar yang dianugerahi kemampuan mengabarkan sabda-sabda baru. Yang pertama bertemperamen kolot, terkungkung dalam hukum; mereka hidup di bawah kendali, dan memang suka dikendalikan. Menurutku, orang-orang semcam ini memang wajib dikendalikan. Yang kedua adalah orang-orang yang berada di atas hukum; kita pantas menyebut mereka sebagai manusia pendobrak. Kejahatan yang mereka lakukan harus dinilai secara relatif. Mereka adalah orang-rang yang –  dengan berbagai cara –  berupaya meruntuhkan masa kini demi masa depan yang lebih baik. Jika orang semacam itu terpaksa mengarungi lautan darah demi mewujudkan cita-citanya yanng agung, maka, menurut pendapatku, ia berhak untuk mengarungi lautan darah itu!”
Mengenai perbandingan kuantitas antara jumlah manusia besar dan manusia inferior Roskalnikov, dia menjawab: “Orang-orang besar dengan gagasan baru, dengan kemampuan gaib mengabarkan firman baru, benar-benar sangat sedikit jumlahnya. Bagian terbesar umat manusia adalah makhluk inferior; massa semacam itu Cuma bisa hidup di bawah suatu tatanan, di bawah panji-panji bangsa, klan dan keluarga; hanya satu diantara ribua manusia yang bisa muncul mengobarkan pembebasan. Manusia jenius seperti itu Cuma satu diantara jutaan.”
Dalam hal ini, secara spontan aku memperkirakan gagasan yang ditorehkan Dostoyevsky dalam novel ini dipengaruhi gerakan Romantisme khas Abad 18. Bagi yang pernah membaca sejarahnya, pasti sepakat bahwa imajinasi kita langsung terbawa pada ekspresi Thomas Carlyle dan Nietzche yang mengembangkan kultus kepahlawanan serta manusia-manusia besar.
Thomas Carlyle mendefinisikan sejarah sebagai “Biografi manusia-manusia besar.” Filsuf Skotlandia ini memandang bahwa syarat memperoleh predikat selaku manusia besar adalah selain memiliki pemikiran filsafati yang mapan, juga harus mampu menangkap kenyataan yang terjadi dalam konteks kerangka berpikirnya.
Secara gamblang, dalamnya minat Carlyle tercermin dari pernyataan beliau: “Aku katakan bahwa manusia besar selalu seperti halilintar yang membelah langit, dan manusia lain hanya menunggu dia seperti kayu kering yang siap dibakar. Manuisa besar, seperti percikan api yang memiliki daya ledak mengubah sejarah dalam waktu singkat.” (And he said: “The great man always act like a thunder. He storm the skies, while others are waiting to be stormed.”)
Namun dibandingkan Carlyle, Nietche punya pendapat yang lebih terstruktur bangunan argumentasinya mengenai kultus kepahlawanan ini yang dirangkum dalam Ubermansch, sang manusia super. Bertolak dari Schopenhauer, Nietzche mengadopsi gagasan tentang kehendak untuk berkuasa sebagai dorongan purba yang meninggali hasrat manusia. Sang filsuf rajawali membagi dua jenis manusia – yang sepertinya koheren dengan manusia inferior dan manusia besar Roskalnikov – yakni manusia berkehendak lemah dan berkehendak kuat.
Manusia berkehendak lemah Nietzche adalah manusia yang kadar kebutuhan untuk percayanya tinggi. Manusia ini senantiasa membutuhkan pegangan eksternal berupa keyakinan, agama, ideologi, serta hal-hal transedental lainnya. Semakin tinggi dorongan untuk percaya maka semakin lemah kehendaknya, konsekuensinya, melahirkan fanatisme.  Gagasan demikian tentunya berakar dari kritik Nietzche terhadap ide-ide metafisik (Archetype Plato; Das ing an sich Kant). Ide-ide abstrak demikian diciptkana oleh pemikir untuk menghindari campur aduk realitas. Ide abstrak tersebut diciptakan hanya demi memenuhi kebutuhan psikologis manusia selaku makhluk percaya.
Kebutuhan psikologis diperbesar oleh kebodohan dan ketidaktahuan. Lahirlah tuntutan dari rasa takut manusia, untuk mencari sebuah pegangan, sebuah isme. Padahal sebuah isme selalu punya doktrin; selalu punya mahkamah yang mempedomani hal-hal berkenaan baik-buruk serta benar-salah. Isme (agama, ideologi, believed system dll) adalah milik manusia berkehendak cacat; manusia lemah yang tak berdaya berhadapan dengan realitas yang kaotik dan fatalistik. Semakin orang kehendaknya lemah, semakin dia harus bertemu dengan orang yang berkata “kamu harus!”
Sebaliknya, manusia kuat adalah manusia yang berkehendak super. Yakni mereka yang tidak butuh sesuatu diluar dirinya sendiri. Nietzche menyebutnya Ubermansch. Manusia super tidak perlu mencari orang yang menasehatinya dengan “kamu harus!”. Manusia super adalah yang suara hatinya lebih kuat dari suara di luar dirinya sendiri. Manusia inilah yang diklasifikasi Nietzche sebagai pemilik mentalitas Tuan. Manusia super bukanlah bagian dari sistem, tetapi adalah yang menciptakan sistem.
Franz Marc (1914)
Thomas Carlyle dan Friedrich Nietzche memang tidak disebut secara langsung oleh Roskalnikov dalam buku Dostoyevsky. Tetapi bagi yang membaca sejarah filsafat barat, pasti akan memahami konotasi manusia besarnya Rodya. Sayangnya Fodor Dostoyevsky mati mendahului kelahiran seorang ulama Persia, Murthadha Mutthahhari persisnya, sehingga tidak sempat mengamati perbandingan teoritis mengenai manusia-manusia besarnya Carlyle maupun Nietzche.
Great Intellectual Giant, adalah sebutan Mutthahari atas manusia besarnya Roskalnikov. Dalam bukunya perihal Masyarakat dan Sejarah, Mutthahhari membangun landasan persoalan ini dalam argumen hipotetis: apakah manusia besar yang mempengaruhi sejarah ataukah sejarah yang mempengaruhi kelahiran manusia besar ini; antara manusia besar dan sejarah, manakah yang determinan? Berbeda dengan kedua filsuf sebelumnya, Mutthahhari memilih opsi kedua. Manusia besar merupakan manifestasi dari semangat zaman (zeitgeist) dalam lintasan sejarah. Manusia besar adalah personifikasi ekspektasi publik atas kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan yang menimpa masyarakat. Alam bawah sadar sosial kemudian terprogram, untuk mengkhayalkan kehadiran figur yang mampu mengentaskan semua problematika yang merajam tatanan sosial. Great Intellectua Giant dengan demikian, merupakan tuntutan sejarah.
Nabi Muhammad SAW yang diagung-agungkan Roskalnikov serta Thomas Carlyle memang merupakan manusia besar yang bahkan ditempatkan sebagai tokoh pertama yang paling mempengaruhi dunia oleh Michael Hart. Benar juga berkenaan dengan Carlyle tentang ledakan sejarah, Muhammad telah menjadi api pemantik yang luar biasa mendorong laju gerak peradaban. Namun kelahiran Muhammad sendiri merupakan kebutuhan kenyataan. Realitas Jahiliyah pada saat itu memang membuthkan sesosok figur yang mampu mengatasi disparitas sosial serta kesenjangan moral bangsa Arab. Disisi lain kenyataan bahwa manusia besar ini mampu merekonstruksi sejarah memang tidak terbantahkan.
Yang salah dalam pandangan Roskalnikov adalah bahwa Muhammad adalah pelanggar hukum. Roskalnikov tidak memahmi konteks “hukum” yang dia bicarakan sendiri. Hukum yang dipahami oleh Roskalnikov adalah hukum buatan negara. Yang dilanggar Muhammad adalah hukum bangsa Arab Jahiliyah yang menegaskan praktik vendetta, ghazwu, diskriminasi gender, perbudakan mutlak, dan banyak lagi. Hukum Jahiliyah tersebut dilanggar semata-mata demi menegakan hukum Ilahi, hukum transedental. Maka lebih tepatnya: Muhammad bukanlah pelanggar hukum, tetapi dia sedang mengembalikan hukum sebagaimana fungsinya semula.
Sedangkan untuk Nietzche sendiri, perlu kita pahami terdapat kontradiksi dalam tatanan argumentasinya sendiri. Disisi lain dia mengatakan manusia berkehendak cacat adalah manusia yang membutuhkan keyakinan diluar dirinya sendiri. Lantas, tatkala Nietzche mengatakan manusia berkehendak super adalah manusia yang tidak membutuhkan dorongan keyakinan diluar dirinya sendiri, dan kita menerima pendapat Nietzche sebagai sebuah doktrin yang harus diikuti, bukankah berarti kita telah membutuhkan Ubermansch Nietzche sebagai kekuatan keyakinan dari luar diri kita sendiri? Dengan demikian yang memegang teguh doktrin Nietzche sama halnya membutuhkan seseorang yang berkata “kamu harus!” Dalam filsafat, kekeliruan berpikir ini disebut fallacy of inconsisctncy.
Tapi apalah daya. Meskipun umur Dostoyevsky bisa lebih panjang dan berkesempatan untuk mengenal Mutthahhari, maka hal itu tidak juga akan mempengaruhi takdir Roskalnikov yang tetap saja dibuang ke Siberia sebagai hukumannya.
“Mengapa,” tanyanya membatin, “mengapa orang-orang itu takut pada teoriku? Karena tindakanku jahat? Lantas apakah kejahatan itu? Aku sadar sepenuhnya:tindakanku memang jahat; darah telah tumpah dan kitab hukum pidana telah dilanggar. Kalau begitu, hukumlah aku karena pelanggaran itu.... setelah itu, cukup! Memang banyak orang besar, orang-orang yang berjasa bagi umat manusia, orang-orang yang merampas kekuasaan dengan kekuatannya sendiri, yang terpaksa menjalani hukuman pada langkah-langkah awal perjuangannya. Namun mereka akhirnya berhasil, dan kejahatan mereka disucikan; tapi aku kok gagal, dan karenanya apakah aku tak punya hak untuk melanjutkan langkah seperti mereka?”
Keluh kesar Roskalnikov telah tumpah ruah di Siberia, tempat dia menjalani masa hukumannya. Seandainya Mutthahhari hidup lebih cepat 100 tahun. Mungkin Roskalnikov bisa memahami gagasan sang Mullah dan menyeimbangkan teori Manusia Besarnya. Mungkin juga artikel manusia besarnya itu dia revisi cepat-cepat: “Manusia besar tidak lahir dari ruang hampa dan ujug-ujug menjadi katalisator sejarah. Manusia besar ini, pastinya tindakannya merupakan proyeksi dari keyakinan publik sehingga laku apapun yang lahir, pasti memperoleh legitimasi rakyat.”
Dengan begitu, Roskanlikov tidak perlu dipenjarakan di Siberia. Dan sebelum dia berangkat ke apartemen Alyona Ivanovna demi membunuhnya, pasti dia dicegat oleh pikirannya: “Akh, apalah artinya aku selain manusia inferior. Apa gunanya membunuh wanita tua lintah darat ini bila tidak didukung mayoritas rakyat Rusia? Lebih baik aku membunuh Negara sahaja. Bukankah banyak rakyat miskin pasti mendukung?”