Tepatnya bulan September tahun 2015 kemarin, pagi hari itu kakiku akhirnya menapaki Bandar Udara Sultan Babullah. Pada kesempatan itu, aku berniat ikut serta dalam agenda advenced Training yang diadakan HMI, tempatku belajar dan menggeruk pengalaman mendalam perihal keumatan, dan kebangsaan.
Memilih Badko Maluku-Maluku Utara sebagai destinasi tentu bukan tanpa alasan. Sudah sejak lama aku diliputi rasa penasaran terhadap daerah yang konon menjadi pusat perseturuan Eropa dalam agenda kolonialisasi rempah-rempah tepatnya abad XVI hingga XVII. Kisah itu seperti legenda ketika pertama kali terdengung di telinga. Akhirnya api penasaran bergelora dan meletup-letup dalam aliran darah, membawa raga melayang melewati rentetan pulau yang berada di antara kota Bandung dan Ternate.
Tatkala pesawat telah landing, aku sudah tidak sabar membuktikan kesan Afrizal Malna dalam novelnya, Kepada Apakah: “Udara laut dan udara datang beriringan, keluar masuk ke dalam paru-paruku. Kawasan yang pernah disebut sebagai pulau di bawah angin. Pulau dari punggung gunung yang sedikit menyisakan datarannya, tipis seperti ular yang melingkari badan pulau menuju laut. Ternate, Tidore, Makian, dan Bacan – kawasan pulau-pulau kecil yang pernah memenuhi imaji-imaji Abad XVI hingga abad XVII untuk mendapatkan gambaran surga. Gambaran akan kepanikan yang terus disembunyikan tentang harapan setelah kematian. Pulau yang dibayangkan memiliki parfum dari rempah-rempah. Aroma mistis untuk memanggil tuhan, dewa-dewa, setan dan segala bayangan dari dunia roh. Membandingkan antara penemuan kompas untuk menjelajahi lautan, dengan rempah-rempah yang bisa membawa sepasang kekasih untuk pertama kalinya bertemu dengan cinta. Tubuh dengan aroma kayu manis. Bau hutan pala yang membuat udara malam menjadi merah jambu.”
Di sela-sela agenda organisasi yang menghabiskan 2 minggu lamanya, kerapkali aku meminta teman-teman panitia untuk dibawa berjalan-jalan, menyusuri keremangan atau terik ketika sore. Mencicipi kuliner yang diolah bersama eksotisnya buah pala; menyaksikan beberapa reruntuhan artefak sejarah di era kolonialisme; memilah-milah kue kenari sebagai oleh-oleh pulang; menikmati desiran laut yang merdu oleh gesekan ombak dan lambung kapal, juga (yang paling berkesan); berfoto dengan latar gunung yang tercetak di uang kertas 1000 Rupiah.
Uang lebih daripada sekedar satuan hitung dan alat tukar dalam lalu lintas perekonomian kita. Lebih dari itu, uang mendokumentasikan harga diri dan semangat rakyat (folkgeist) Nusantara. Terkhusus dalam uang kertas pecahan 1000 Rupiah, bukan sekedar mengenai gambar pahlawan Pattimura berkancing smiley, juga tentang gunung yang tercetak dibelakangnya – sepasang gunung yang mendulang mentereng, di atas pulau Maitara dan Tidore. Sejenak, segenap khayalku beresonansi dengan roh sejarah, dia hendak bernostalgia. Perihal sisa-sisa memori di atas tanah yang pernah membuktikan dirinya menjadi primadona rempah-rempah dunia.
Semuanya bermula pada awal abad ke-XVI. Ketika itu bangsa Portugis berhasil menaklukan Malaka tahun 1512. Setelah gagal membuat koalisi perdagangan akibat perlawanan dari kerajaan Islam di tanah Jawa, mereka lalu bertolak ke arah Timur. Disanalah kemudian bangsa Portugis pertama kali menemukan sebuah pulau yang tanahnya subur, hutan-hutan ranum, dengan bau magis khas rempah. Dan Maitara adalah tanah pertama yang mereka pijak setelah sekian lama terombang-ambing oleh lautan ganas.
Setelah itu, dalam sejarah perdagangan rempah ekspedisi kedua, Perusahaan Hindia Timur Britannia yaitu James Lancaster, John Davis dan John Middleton, berhasil mencapai wilayah Timur Indonesia ini pada tahun 1603, tepatnya di pulau Run. Berita tentang surga rempah yang ditemukan di Nusantara – terkenal dengan kepulauan Hindia saat itu – telah memancing hasrat para borjuasi lokal di Inggris demi mengadakan perjalanan meraup kejayaan di dunia bagian Timur.
Saat itu warga Inggris telah dilanda prahara wabah penyakit yang merenggut ribuan nyawa tiap harinya. Rempah oleh klaim para dokter mampu menyembuhkan segalanya mulai dari wabah sampar hingga “berak darah”, sang penyakit langganan di ibu kota. Gumpalan wewangian beraroma manis, yang mengandung sejumlah besar rempah tersebut, bahkan bisa mencegah “penyakit berkeringat” yang muncul bersamaan dengan masa-masa penyakit sampar yang membinasakan.
Lewat buku Giles Milton, Pulau Run: Magnet Rempah-rempah Nusantara, dengan gamblang khasiat rempah ini dipaparkan, “Untuk batuk berdahak, para dokter merekomendasikan anggur yang dihangatkan dan dibubuhi pala. Cengkih disebut bisa menyembuhkan sakit telinga, lada melumpuhkan demam, sementara orang-orang yang masuk angin disarankan mengambil sebuah bunga rampai lima besar rempah termasuk kapulaga, kayu manis, dan pala – sebuah resep yang tak mampu dijangkau siapapun kecuali yang sangat kaya...”
Selain itu, kepemilikan rempah-rempah juga mempengaruhi mobilitas seseorang dalam stratifikasi sosial. Rempah aadalah kemewahan yang langka. Dalam Canerbury Tales, Sir Topaz yang gagah berani berbicara tentang kerinduannya akan roti jahe, permen hitam, dan bir rasa notemuge (pala). Pada masa Shakespeare, kemewahan itu segera menjadi hal umum.
Bahkan di masa itu, 1 gram rempah dihargai jauh lebih mahal daripada 1 gram emas. Para saudagar dan borjuasi yang memonopoli jalur perdagangan Timur Tengah memahami konstalasi yang terjadi. Bahwa rempah-rempah menjadi begitu populer sehingga permintaan telah lama melebihi suplai. Menyadari kesempatan berharga ini, persaingan rempah-rempah yang dipenuhi darah dan korban, dimulai.
Mengetahui keberadaan surgaloka rempah yang melimpah ruah di ujung Timur Nusantara, berbagai negara berlomba-lomba melarungkan armada mereka kesana. Kepentingan monopoli perdagangan telah menyeret bangsa Inggris, Portugis dan Belanda terlibat dalam konfrontasi militer yang sengit demi menguasai wilayah Maluku terutama di kepulauan Banda, Neira, Ai dan Run (Poolarun).
Hingga akhirnya tentara VOC di masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada waktu tahun 1621 sukses menancapkan hegemoni total setelah mengusir Inggris. Meskipun begitu Inggris masih sering mengirimkan armada perang mereka demi menggoyang monopoli Belanda. Hingga pada 1667 dalam Perjanjian Breada (Treaty of Breda), Belanda mau menukar salah satu wilayah kolonialnya, yakni Niew Amsterdam di Pulau Manhattan, Amerika Serikat, dengan Pulau Run.
Egon Schiele Harbor of Trieste 1907
Ironisnya, pulau Manhattan tersebut kini menjelma menjadi sebuah kota yang dijuluki the City Never Sleep, lokus dari salah satu aktivitas perekonomian terbesar, kita mengenalnya dengan New York. Sedangkan pulau Run di Maluku, setelah peristiwa bumi-hangus kebun Pala oleh Belanda, mata pencaharian masyarakat bergeser 70% ke nelayan. Salah seorang warga New York pernah mengunjungi pulau ini karena di negaranya, seringkali dikisahkan perihal suburnya tanah yang ditukar dengan kota mereka. Setelah menginjak pulau Run, dia berkata “...bagaikan dongeng, tidak masuk akal!”
Pada akhirnya, imaji itu tetaplah imaji, kejayaan rempah tidaklah sebuah kenyataan bagi Nusantara hari ini. Lamunanku kemudian buyar oleh realitas, bahwa kepulauan rempah-rempah yang pernah menjadi sumber peradaban dunia, harus menyurut dan menyusut termakan waktu. Bila Nusantara adalah surgaloka rempah-rempah, maka kenapa justru, dunia hanya mengenal Zanzibar yang terkenal dengan Cengkihnya?; Lalu kenapa justru, dunia mengenal Grenada dengan biji Palanya?
Bila Cina punya Silk Road sebagai jalur perdagangan sutra kelas dunia lewat darat, maka Indonesia pernah memiliki Spice Trail sebagai jalur perdagangan rempah kelas dunia lewat laut. Lantas masihkah kita berbangga, bila ternyata kejayaan itu hanya mampu dikenang dalam reruntuhan waktu dan artefak sejarah?
Syahdan. Kehadiranku selama 2 minggu di kepulauan ini, hanyalah sanggup mengenang. Dan sebagai ingatan, dalam sayup-sayup bau harum pala dan cengkih yang menyelinap berkat terpaan angin, terngiang petikan puisi Luiz Vaz de Camoes:
Lihatlah pulau-pulau tak terhitung
Terhampar di Laut Timur:
Lihatlah Tidore dan Ternate
dari puncaknya yang terbakar, meletup gelombang api
Kau akan melihat pepohonan cengkih yang tajam,
dibeli dengan darah bangsa Portugis...

(1572)